Perjanjian Perdagangan Bebas Sebagai Instrumen Kepentingan Negara dan Menimbulkan Ketidakadilan Bagi Negara Berkembang

2. Perjanjian Perdagangan Bebas Sebagai Instrumen Kepentingan Negara dan Menimbulkan Ketidakadilan Bagi Negara Berkembang

  Pada awalnya esesnsi globalisasi ekonomi dan Perjanjian perdagangan bebas yang bebas dari hambatan-hambatan penyebab distorsi memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa. Seperti pendapat Adam Smith yang mengemukakan pemikiran- pemikirannya tentang persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar perdagangan bebas dapat menngkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa, diantaranya

  1.Perkembangan masyarakat yang telah mencapai tahap “commercial society” 130 2.Hubungan hukum yang bersumber pada “contractual relations” 131 3.Peran pemerintah yang sangat vital 132 dan penting

  129 Frank J. Garcia, The Fair Trade Law of Nations or a Fair Global Law of Economic Relations”. Boston College Law School Faculty Papers. 2007.

  130 Adam Smith : Lectures In Jurisprudence. Glasgow ed. 1978, hlm 14-15; 459-460.

  131 Ibid.

  Namun penyalahgunaan potensi tersebut oleh negara-negara maju berakibat semakin terpuruknya nasib negara-negara berkembang, yang berakibat meningkatnya rasa ketidakadilan terhadap mereka. Kajian ekonom Paul Bairoch yang akan disajikan pada uraian mendukung kebenaran phenomena tersebut. Morris berkesimpulan bahwa ketidaksetaraan

  inequality bukan hanya menjadi penyebab, tetapi juga merupakan akibat dari globalisme. 133

  Melalui berbagai cara, negara-negara maju berusaha untuk memanfaatkan, bahkan bilamana perlu menyalahgunakan sistem perdagangan internasional termasuk perjanjian

  perdagangan bebas, yang berakibat ketidakadilan bagi negara-negara berkembang 134 . Penyalahgunaan sistem perdagangan internasional dan perjanjian perdagangan bebas oleh

  negara-negara maju yang berakibat ketidakadilan bagi negara-negara berkembang meliputi, penerapan prinsip “comparative advantage” yang meningkatkan ketidakadilan antara negara- negara berkembang dan negara-negara maju, policy negara maju yang memihak kepentingan TNC’s sehingga memojokkan negara-negara berkembang, dan negara-negara berkembang

  yang membutuhkan fair trade, dipaksa tunduk pada free trade yang unfair. 135

  132 Peran pemerintah semakin mengemuka, di dukung bukti-bukti empiris yang ditunjukan dalam penelitian Gerard Debreu (pernah dianugerahi Nobel bidang Ekonomi pada tahun 1983) dan Kenneth Arrow

  (peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1972). Keduanya mengemukakan kekuatan pasar –dimotori oleh “the profit motive”--, yang menghasilkan ekonomi yang efisien berkat kinerja “the invisible hand” sebagaimana yang di idealkan oleh Adam Smith hanya dapat dicapai, apabila dipenuhi persyaratan yang sangat ketat, yaitu adanya “perfect competiton” dan “perfect information” dalam pasar. Syarat-syarat ini mustahil untuk dicapai, terutama di negara-negara berkembang. Untuk itu, masyarakat tidak dapat hanya menyerahkan nasib sepenuhnya kepada “market economy”, tetapi membutuhkan peran pemerintah yang berpihak untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka dari penyalahgunaan “competition” dan “information”. Lihat Greenwald B. and J.E Stiglitz : “Externalities in economies with imperfect information and Incomplete Markets”, Quarterly Journal of Economics 101 (2) (May 1986), h.229-264). Lihat juga Stiglitz : Globalization and Its Discontents. New York : W.W. Norton Company, 2003, hlm 73, 219.

  133 Joost Pauwelyn: “just trade”. George Washington International Law Review, Vol. 37, 2005, hlm.

  134 Radius Purnawira Hulu, “Pengaruh Globalisasi Dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia”, http:www.docstoc.comdocs23011272Pengaruh-Globalisasi-dalam-Ekonomi-di-Indonesia , 28 Februari 2012,

  hlm 23.

  135 Agus Brotosusilo, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional : Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang-Undang Anti Dumping dan Safeguard,

  Disertasi : Universitas Indonesia : 2006

  Dalam kaitan dengan Penerapan “Comparative Advantage” meningkatkan inequality, bahwa hampir semua ekonom kini menyadari bahwa teori Adam Smith-David Ricardo memiliki kesalahan mendasar, diantaranya adalah asumsi-asumsi bahwa : kapital bersifat “Immobile” dalam lingkup batas wilayah kenegaraan dan comparative advantage bersifat

  statis. 136 Robert Gilpin, meskipun adalah simpatisan free trade, menyimpulkan bahwa :

  “... comparative advantage is now... considered to be arbitrary and a product of corporate and state policies... Free Trade and its doctrine of comparative advantage are not, and could not be, magic invisible hands quaranteeing the greatest prosperity

  for the greatest number. There are winners and lossers in international trade.....” 137

  Kritik David Morris terhadap penyalahgunaan potensi free trade oleh negara-negara maju diawali dengan uraiannya bahwa selama ini kita telah mengalami “cuci otak” dan dijejali indoktrinasi tentang manfaat prinsip-prinsip dalam perjanjian perdagangan bebas, yaitu

  1. Kampanye “Competition”, yang dianggap lebih baik daripada “Cooperation”, karena mendorong inovasi, meningkatkan priduktivitas, dan menurunkan harga produk

  2. Menggalakkan “The Division of Labour” yang memungkinkan spesialisasi, meningkatkan produktivitas dan menurunkan harga produk

  3. Perlunya makin memperbesar unit produksi, agar lebih meningkatkan “the division of labor” yang memungkinkan spesialisasi dan menurunkan harga produk

  136 Robert Gilpin, dikutip pada Sara Dillon. A Farewell to “Linkage” : International Trade Law and Global Sustainability Indicators. Rudgers Law Review, vol. 55, Fall 2002, FN 120, hlm. 118.

  137 Dikutip pada Sara Dillon. A Farewell to “Linkage” : International Trade Law and Global Sustainability Indicators. Rudgers Law Review, vol. 55, Fall 2002, FN 120, hlm. 118.

  4. Penerapan comparative advantage yang mampu mengarahkan spesialisasi sehingga meningkatkan standar hidup. 138

  Morris memperingatkan sehubungan dengan promosi prinsip comparative advantage dan kemampuannya untuk semakin meningkatkan stadar hidup, pantas ditanggapi dengan kritis, dan dipertanyakan : standar hidup siapa yang ditingkatkan. Morris menekankan bahwa akibat penerapan prinsip comparative advantage tersebut selama ini, ketidaksetaraan inequality antarnegara, maupun dalam satu negara semakin meningkat. Merujuk kepada penelitian ekonom Paul Bairoch, Morris mengemukakan bahwa GNP per kapita pada tahun 1750 hampir sama antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Pada tahun 1930 rasio perbandingan GNP per kapita antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang memburuk menjadi 4:1. Pada tahun 2001 rasio tersebut 8:1. Morris berkesimpulan bahwa ketidaksetaraan inequality bukan hanya menjadi penyebab, tetapi juga

  merupakan akibat dari globalisme. 139

  Ketidaksetaraan menjadi sebab dari globalisme, karena ketidaksetaraan di dalam satu negara menyebabkan turunnya jumlah warga negara yang memiliki daya beli yang cukup, sehingga produsen harus menjual sebagian barangnya kepada pembeli dari negara lain agar tercapai skala produksi yang diperlukan untuk menghasilkan produk dengan harga murah. Ketidaksetaraan Inequality di dalam satu negara merupakan akibat globalisme, karena industri untuk ekspor mempekerjakan hanya sedikit buruh, yang penghasilannya lebih tinggi dibanding pekerja lainnya. KetidaksetaraanInequality antarnegara juga merupakan akibat

  138 David Morris. Free Trade-The Great Destroyer, dalam : Jerry Mander Edward Goldsmith eds.: The Case Against the Global Economy, 1996, hlm. 219-228.

  139 Ibid.

  globalisme, karena negara-negara maju cenderung mengambil dari negara-negara berkembang lebih banyak dari nilai kapital yang mereka tanamkan. 140

  Perdagangan Bebas yang diturunkan dalam bentuk perjanjian perdagangan bebas diharapkan dapat meningkatkan standar hidup manusia. Tapi kenyataannya bahkan di Amerika Serikat sekalipun standar hidup rakyatnya semakin turun sejak tahun 1980. Bahkan lebih dramatis lagi, pada tahun 1988 buruh di Amerika Serikat harus bekerja hampir setengah hari lebih lama untuk upah yang lebih rendah dari nilai riilnya pada tahun 1970. Dengan demikian maka segala indoktrinasi tentang kehebatan Free Trade dan hasilnya, berupa perekonomian global, harus ditinjau kembali. Demikian pula nasib teori Comparative

  Advantage yang telah kehilangan kredibilitasnya. 141

  Berikut adalah data survey perihal free trade dalam perspektif US Economy

  140 Ibid.

  141 Ibid.

  Teori comparative advantage hanya valid pada saat penyebaran teknologi berlangsung dengan lambat. Pada awal revolusi industri, saat Inggris menguasai supremasi industri tekstil, negara ini tidak hanya melarang ekspor peralatan pabrik tekstil, tetapi bahkan melarang emigrasi orang-orang yang tahu bagaimana menjalankan pabrik tekstil. Pada tahun 1789, saat Samuel Slater, seorang magang di suatu pabrik tekstil Inggris ingin membangun pabrik tekstil di Amerika Serikat, ia hanya dapat mengandalkan memorinya atas design dan peralatan pabrik di tempat dia magang sebelumnya.

  Berdasarkan keterangan Dataquest, sebuah perusahaan riset pasar, hanya perlu waktu satu minggu bagi suatu produk baru yang diperkenalkan di Amerika Serikat untuk dikopi, diproduksi secara massal di Asia, dan dikirim kembali ke Amerika Serikat. Dengan demikian teori Comparative advantage kehilangan kredibilitasnya. 142

  142 David Morria. Free Trade – The Great Destroyer, dalam: Jerry Mander Edward Goldsmith eds : The Case Against the Global Economy, 1996, hlm. 219-228.