Prosedur Pembuatan Perjanjian ACFTA

2.Prosedur Pembuatan Perjanjian ACFTA

  ACFTA adalah perjanjian intermasional karena berdasarkan pihaknya, dilakukan antara negara dengan Organisasi Internasional 249 . Secara kronologis pembuatan perjanjian internasional seperti ACFTA dengan cara prosedur, yaitu :

  a. Perundingan (negotiation).

  b. Penandatanganan (signature).

  c. Ratification (ratifikasi).

  d. Keberlakuan

  -Penundaan -Pengunduran diri dari ACFTA

  a.Perundingan (negotiation) 250

  Kebutuhan suatu negara akan berhubungan dengan negara-negara lain untuk membicarakan dan memecahkan berbagai persoalan yang timbul diantara mereka menimbulkan kehendak negara-negara tersebut untuk mengadakan perundingan yang pada

  akhirnya melahirkan suatu treaty 251 . ACFTA sebagai perjanjian internasional dirundingkan sudah cukup lama. Dimulai pada akhir 1990-an melalui perundingan di berbagai tingkat

  jabatan di Pemerintahan, lalu China mengusulkan pembentukan kawasan ASEAN-China Free

  Organisasi internasional menurut Sri Setianingsih adalah salah satu subjek hukum internasional dimana OI itu sendiri belum memiliki pengertian yang baku sama halnya dengan pengertian hukum itu sendiri, namun memiliki ciri internasional dalam struktur maupun sistem dan status hukum dari organisasi tersebut yang tertuang dalam charter atau piagam organisasi tersebut

  250 Jeswald W. Salacuse, op.cit., hlm. 657

  251 Pasal 2: 1(a) Konvensi Wina 1969 “treaty” means an international agreement concluded between states in written frm and governed by international law whether embodied in single

  instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation

  Trade. kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor

  48 tahun 2004 252 .

  Dalam perundingan ACFTA yang dilakukan oleh Indonesia, Pemerintah Indonesia tidak melibatkan partisipasi publik dan DPR dalam proses tersebut, sehingga mayoritas publik menurut survey LSI tidak mengetahui adanya perjanjian ACFTA dan sebaliknya Singapura dan Malaysia melibatkan partisipasi publik, pengusaha di negara nya untuk mengkaji ACFTA dan menyiapkan strategi dan langkah sebelum ACFTA berlaku.

  Dalam perundingan tidak semua anggota ASEAN menyetujui penghapusan tarif 253 dalam waktu bersamaan ASEAN6 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura ,

  Thailand, Brunei Darussalam, dan Filipina menyetujui penghapusan per 1 Januari 2010 sedangkan CMLV (Cambodia,Myanmar, Laos,dan Vietnam) baru akan mengeliminasi dan menghapus tarif per 1 Januari 2015. Tidak hanya itu, negara-negara yang telah menyetujuinya juga akan meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi serta meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA.

  b. Penandatanganan (signature)

  Setelah perundingan disepakati, ACFTA ditandatangani yang dimulai pada tahun 2002 ditandatangani Kerangka Perjanjian Kerjasama ACFTA (Framework Agreement ACFTA), Kerangka Perjanjian ditandatangani oleh Kepala negara dari pihak-pihak dalam

  ACFTA 254 . Setelah itu pada tahun 2004 ditandatangani oleh Menteri Perdagangan tiap negara

  252 Lihat Kepres No 48 tahun 2004 yang berisikan tentang ratifikasi dari ACFTA

  253 Penghapusan tariff atau Tariff elimination salah satu asas yang termuat dalam WTO agreement on good, lihat juga ACFTA agreement yang berkaitan dengan tariff elimination; The General Agreement on

  Tariffs and Trade (GATT) is a multilateral agreement regulating international trade. According to its preamble, its purpose is the "substantial reduction of tariffs and other trade barriers and the elimination of preferences, on

  a reciprocal and mutually advantageous basis;

  254 Penandatanganan ACFTA oleh Indonesia dilakukan pada tahun 2004, yaitu yang berkaitan dengan Trade in Goods and Dispute Settlement Mechanism 254 Penandatanganan ACFTA oleh Indonesia dilakukan pada tahun 2004, yaitu yang berkaitan dengan Trade in Goods and Dispute Settlement Mechanism

  Pada tahun 2007 ditandatangani perjanjian jasa Agreement on Trade in Services dan pada tahun 2009 ditandatangani perjanjian investasi (Investment Agreement) 256 c.Ratifikasi

  Indonesia telah meratifikasi 257 kerangka kerja ini melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No 48 tahun 2004 258 , dengan penetapan berlakunya kerangka kerja tanggal 1

  Januari 2010. Artinya, Indonesia telah menunda berlakunya kerangka kerja ini selama enam tahun lebih. Selain itu, dengan penetapan waktu berlakunya tersebut, Indonesia dapat diartikan telah merampungkan segala prosedur internalnya sebagaimana yang diisyaratkan, maka terhadap Indonesia dapat diberlakukan hak-hak dan kewajiban para pihak secara penuh.

  Agreement on Trade in Goods and Dispute Settlement Mechanism adalah salah satu dari annex

  ACFTA yang membahas tentang pertukaran barang dan mekanisme dari penyelesaian sengketanya

  256 Dalam website resmi ASEAN.org, dijelaskan bahwa proses penandatangan semua perjanjian yang termuat dalam ACFTA tidak dilakukan sekaligus tetapi bertahap

  257 Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam

  bagiannya. Proses ratifikasi konstitusi sering ditemukan pada negara federasi seperti Amerika Serikat atau konfederasi seperti Uni Eropa. Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi

  258 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between The Association Of

  South East Nations and The People’s Republic of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi menyeluruh Antara Negara-negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China)

  ACFTA diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia 259 melalui Keputusan Presiden Nomor

  48 tahun 2004, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, beberapa pihak menyayangkan mengenai tidak dilibatkannya DPR dalam proses dan tidak diratifikasi melalui Undang- undang tetapi hanya melalui Keppres. 260 Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945 hasil perubahan ketiga pada 10 November 2002 dengan lugas berbunyi: “Pemerintah dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau

  pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR 261 ”. Menilik isi dan dampak perjanjian ACFTA, perjanjian ini mempengaruhi perekonomian masyarakat secara masif dan

  akan mengurangi potensi penerimaan negara dari sektor bea masuk.

  d.Keberlakuan d.1.Penundaan

  259 Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran lembaga eksekutif dan legislatif dalam meratifikasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional,

  ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Di Indonesia ratifikasi dengan undang-undang harus terdapat persetujuan Presiden dan DPR secara bersama- sama terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dengan keputusan Presiden hanya mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap perjanjian tersebut. Dasar hukum sistem ratifikasi di Indonesia, terdapat dalam undang-undang Dasar 1945 yaitu pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. Perjanjian internasional yang dapat diratifikasi dengan keputusan Presiden, diantaranya yaitu perjanjian induk yang berkaitan dengan kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, serta penghindaran pajak berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal. Ratifikasi melalui undang-undang dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional yang menyangkut materi-materi Politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara., Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI., Kedaulatan atau hak berdaulat Negara, Hak asasi manusia dan lingkungan hidup, Pembentukan kaidah hukum baru., Pinjaman danatau hibah luar negeri.

  260 Diunduh dari http:harrykatuuk.files.wordpress.com201107bab-iii.pdf 261 DPR, lembaga legislatif negara yang salah satu tugasnya bersama presiden melakukan kegiatan

  legislasi nya.

  Secara hukum, pemerintah Indonesia akan sulit membatalkan perjanjian ACFTA ini didasarkan pada prinsip hukum internasional Pacta Sunt Servanda 262 , yaitu bahwa perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihak -pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian itu sendiri bersumber dari keinginan bersama dua negara atau lebih yang membuat aturan-aturan hukum yang disepakati bersama. Untuk itu para negara peserta dalam membuat peraturan perundangundangannya harus tetap merujuk pada isi perjanjian itu sendiri sehingga asas Pacta Sunt Servanda harus tetap ditaati oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Ditinjau

  dari ketentuan UU yang berlaku di Indonesia, Pasal 3 UU No.24 tahun 2000 263 tentang perjanjian internasional, pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian

  internasional melalui cara-cara penandatangan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjiannota diplomatik 264 .

  Dalam mekanisme ACFTA dimungkinkan adanya klausul mengenai permohonan penundaan bagi negara. Beberapa masalah terkait penundaan antara lain :

  a) Keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA adalah dalam kerangka ASEAN sehingga penundaan dilakukan melalui mekanisme ASEAN

  b) Penundaan akan masuk dalam klausul amandemen sebagaimana Pasal 14 menyebutkan, "Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini dapat dimodifikasi melalui amandemen yang disetujui bersama secara tertulis oleh para pihak

  262 Madjedi H; Pacta Sunt Servanda : The principle and its Application”, 1990, hlm. 12 263 Lihat Pasal 3 UU no. 24 tahun 2000 tentang tata cara pengesahan perjanjian internasional

  oleh pemerintah Indonesia.

  264 Madjedi H, Op.cit., hlm 123 264 Madjedi H, Op.cit., hlm 123

  d.2.Pengunduran diri dari dari ACFTA

  Dalam ACFTA tidak diatur secara khusus mekanisme untuk keluar atau mengundurkan diri sepihak sebagai pihak dalam perjanjian ACFTA. Hanya dalam pasal 10

  ACFTA mengenai General Exceptions 266 atau pengecualian untuk tidak diberlakukan dalam keadaan yang menimbulkan suatu ketidakadilan. Pengecualian umum tidak diberlakukan

  dalam keadaan yang akan menimbulkan suatu ketidakadilan. Persetujuan ini juga tidak menghalangi setiap pihak untuk mengambil dan menentukan langkah-langkah untuk melindungi keamanan nasionalnya atau melindungi hal-hal yang berkaitan dengan kesenian, sejarah dan nilai arkeologi, atau langkah-langkah lain yang diperlukan untuk perlindungan moral masyarakat, atau perlindungan manusia, binatang atau tanaman hidup dan kesehatan. Jadi, apabila terdapat sesuatu dalam persetujuan yang membahayakan hal-hal yang telah disebutkan tadi, diberikan pengecualian bagi para pihak.

  Jika memang tidak diatur secara khusus, Konvensi Wina 1969 The Law of Treaties dalam pasal 27 Konvensi (prinsip “rebus sic stantibus 267 ”) mengatur bahwa pihak-pihak

  perjanjian tidak boleh mengemukakan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya sebagai

  Dispute mengacu pada pengertian sengketa yang ditimbulkan akibat adanya wan prestasi terhadap agreement ataupun perbuatan yang melanggar perjanjian, dimana penyelesaian sengketanya juga telah di perjanjikan dalam annex didalamnya

  general exception adalah klausula dimana yang berisi tentang pengecualian-pengecualian

  dalam perjanjian, dimana dalam ACFTA di masukan dalam substansi pasal 10 ACFTA yang di rumuskan dalam keadaan yang menimbulkan suatu ketidak adilan

  267 Friedrich Von Jena, rebus sic stantibus diversi iuris, 1998. Hlm 12 267 Friedrich Von Jena, rebus sic stantibus diversi iuris, 1998. Hlm 12

  Disebutkan lebih lanjut bahwa keberlakuan pasal 27 ini tanpa mengenyampingkan pasal 46 Konvensi. Pasal 46 Konvensi mengatur mengenai invalidityketidakabsahan, bahwa suatu negara mempunyai kewenangan untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian sebagai ketidak setujuannya karena telah melanggar hukum nasionalnya yang pentingFundamental Importance dan sangat mendalam sekali.

  Untuk menentukan hukum nasional suatu negara yang sangat pentingfundamental diserahkan kepada penilaian negara yang bersangkutan. Oleh karena itu agar pasal 46 konvensiperjanjian internasional dapat berjalan efektif, setiap negara harus bertindak dengan beriktikad baik dan tidak menggunakan kesempatan ini untuk kepentingan politik nasionalnya.

  Terlihat jelas dalam pasal 46 suatu perjanjian internasional apabila ACFTA melanggar fundamental importance 269 dari negara maka negara dapat melepaskan dari

  perjanjian seperti ACFTA. Apabila terbukti ACFTA melanggar pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan melanggar kepentingan masyarakat hajat hidup orang banyak maka sudah

  268 Clausula rebus sic stantibus ( Latin for "things thus standing") is the legal doctrine allowing for treaties to become inapplicable because of a fundamental change of circumstances. It is essentially an

  "escape clause" that makes an exception to the general rule of pacta sunt servanda (promises must be kept); dikutip dari bukuna yang berjudul Droit International Public (1994) sebagai mana dikutip oleh Athena D. Efraim, yang menjelaskan bahwa klausa rebus sic stantibus merupakan klausula kontra pacta sunt servanda yang menjelaskan bahwa suatu perjanjian dapat tidak dilaksanakan dengan membuat pengecualian

  269 Istilah

  fundamental importance dipakai dalam

  < www.euroace.orgLinkClick.aspx?fileticket=IYFmSEm7faM3Dtabid=159 > yang memberikan arti kepentingan hakiki dalam suatu negara yang hampir menyerupai konsep ketertiban umum dalam suatu negara.

  sewajarnya Indonesia melepaskan dari keikutsertaan ACFTA, sebagai contoh dengan adanya judicial review di Mahkamah Konstitusi mengenai ratifikasi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 270 tentang ratifikasi Asean Charter (Piagam Asean)

  Asean Charter sendiri adalah perjanjian internasional pada tingkat regional ASEAN yang ditandatangani 2007 dan merupakan landasan pemberlakuan pasar bebas ASEAN 271 .

  Berdasarkan Asean 272 Charter, ASEAN melakukan perjanjian perdangangan bebas dengan China, Korea, Jepang dan negara serta kawasan lainnya di dunia. Akibat ASEAN Charter

  Indonesia menderita kerugian cukup besar hingga hari ini.

  Pada dasarnya dapat berakhir apabila menilik klausul yang terdapat di Pasal 18 Ayat h UU No. 242000 Tentang Perjanjian Internasional. Klausul ini berbunyi sebagai berikut: “Perjanjian Internasional berakhir apabila terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan

  nasional” 273 . Dalam konteks ACFTA, ayat ini memberikan pesan yang jelas bahwa perjanjian ACFTA ini harus berakhir ketika kepentingan nasional 274 terganggu. Namun tentunya harus

  dibuktikan apakah telah terjadi pelanggaran terhadap kepentingan publik dan pelanggaran terhadap fundamental importance.