Kerangka Konseptual

G. Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual merupakan penggambaran hubungan antara konsep - konsep yang ingin diteliti, oleh karena itu keberadaan kerangka konseptual dalam suatu penelitian sangatlah diperlukan guna dijadikan pedoman dalam meneliti suatu konsep, bukan merupakan gejala yang akan diteliti melainkan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut yang akan memberikan penyelesaian kepada kasus-

  kasus yang timbul karena hal tersebut. 74 Dalam kerangka konsep ini pula dikemukakan beberapa definisi operasional yang dalam penelitian ini akan kerap digunakan dalam

  penulisan disertasi.

  Sebagai titik tolak dari perumusan kerangka konseptual, dapat diuraikan beberapa konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

  1. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang mengandung unsur asing. Dalam hal ini unsur asing mungkin saja ada pada subyek hukumnya, obyek yang diperdagangkan, maupun forum penyelesaian sengketa danatau hukum yang

  dipilih untuk berlaku dalam suatu transaksi perdagangan. 75

  74 Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),

  hlm.132.

  75 Lihat Agus Brotosusilo. Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang-Undang Anti Dumping dan

  Safeguard (Jakarta: 2006), hlm 18-19.

  2. Perdagangan Bebas atau Free Trade yaitu prinsip perdagangan bebas dengan menghilangkan berbagai hambatan perdagangan baik yang bersifat tariff barrier maupun non tariff barrier. Perdagangan yang dilandasi mekanisme pasar murni (berdasar pada permintaan dan penawaran) tanpa pengaruh-pengaruh non ekonomi dan pengaruh-pengaruh intervensi regulasi yang menyebabkan eksklusivisme. Perdagangan bebas juga harus bebas dari pengaruh politis dari negara dan hubungan antar negara. Perdagangan bebas juga dipahami searah dengan pasar bebas.

  3. FTA : Free Trade Agreement adalah perjanjian yang diterapkan oleh negara- negara peserta WTO, dimana mereka menyerahkan kekuasaan yang dimiliknya (setelah melalui pertimbangan mendalam dan proses perbandingan) untuk mengesampingkan kebijakan nasional dan lokal demi norma yang lebih tinggi

  yaitu kesempatan ekonomi oleh masyarakat internasional. 76

  4. Subjek Perjanjian Perdagangan Bebas adalah kategorisasi pihak dalam perjanjian perdagangan bebas, baik : -bilateral baik antar dua negara (state vs state), atau kawasan dan negara (regional

  groups vs state). 77

  76 Lihat Paul Bowles dan Brian MacLean, “Understanding Trade Bloc Formation: The Case of the ASEAN Free Trade Area”, Review of International Political Economy, Vol 3 No 2, 1996, hlm 321.; Lihat juga

  Carsten Kowalczyk dan Raymond Riezman, Free Trade: What Are the Terms-of-Trade Effects?”, Economic Theory, Vol 41 No 1, Oktober 2009, hlm 150.; Eric Sheppard, “Constructing Free Trade: from Manchester boosterism to global management”, Transaction of the Institute of British Geographers, Vol 30 No.2, Juni 2005, hlm 151, 153.

  77 Bilateral Trade Agreement atau perjanjian dagang bilateral didefinisikan sebagai salah satu bentuk regionalisme dari berbagai bentuk perjanjian bilateral seperti Bilateral Preferential Agreement (BPA) yang

  menawarkan pengurangan tarif antara para pihak untuk kategori produk tertentu dan sektor khusus, Bilateral Service Agreement (BSA) yang menawarkan imbal balik fasilitas pelayanan jasa ekonomi bagi par apeserta dan Bilateral Custom Union (BCU) yang mengatur penetapan tarif bagi para negara anggota yang bukan peserta dari perjanjian. Lihat W. Goode, Dictionary of Trade Policy Terms, 2nd ed., Adelaide: University of Adelaide.

  -Regional atau negara dalam satu kawasan atau antar dua kelompokkawasan

  (regional groupsblocs vs regional groupsblocs), 78

  - Multilateral antara berbagai pihakkelompok 79

  5. Dumping adalah tindakan memasukkan suatu produk ke dalam perdagangan di negara lain dibawah “normal value” yaitu harga produk sejenis pada negara

  domestik di negara pengekspor. 80

  6. Antidumping adalah kebijakan negara pengimpor untuk mengenakan bea impor tambahan terhadap produk tertentu untuk menstabilkan harga produk mendekati

  harga normal atau menghilangkan kerugian yang dialami oleh industri lokal. 81

  hlm. 220.; R.G Lipsey dan K. A. Chrystal, Principles of Economics, 9 th edition, Oxford: Oxford University Press 1999, hlm. 487; B. Balassa, The Theory of Economic Integration, London: George Allen and

  Unwin Ltd, hlm. 2.

  78 Proposal FTA antara China-ASEAN, misalnya, memberikan penawaran Early Harvest Program kepada para anggota ASEAN dengan memfasilitasi penghapusan delapan kategori produk agrikultur yang dapat

  diekspor ke China. Perjanjian ini meningkatkan impor dari ASEAN ke China sebanyak 39 persen dalam 6 bulan pertama tahun 2004. Lihat Gary Clyde Hufbauer dan Yee Wong, “Prospects for Regional Free Trade in Asia”, Working Paper Series, 2005, hlm.7-8; lihat juga Robert Scollay dan John P. Gilbert. New Regional Trading Arrangements in the Asia Pacific?, 2001, Washington: Institute for International Economics; Lihat juga Jiangyu Wang, China’s Regional Trade Agreements: The Law, Geopolitics and Impacts on the Multilateral Trading System. Singapore: Yearbook of International Law and Contributors 8, 2004.

  79 Deepak menulis bahwa esensi dari perjanjian perdagangan bebas multilateral adalah untuk memungkinkan pengecualiran dari aturan GATT pasal XXIV mengenai aturan most-favored-nation dan prinsip

  non diskriminasi yang telah dibangun sejak perang dunia kedua. Ia memandang bahwa perjanjian perdagangan bebas multilateral adalah pengaplikasian paham merkantilis dimana negara mencoba untuk menyerahkan “konsesi” ekonomi yang mereka miliki kepada pasar dan berupaya untuk tidak merugikan negara-negara lainnya. Deepak Lal, “Trade Blocs and Multilateral Free Trade”, UCLA Dept of Economics, Working Paper 697, 1993. Hlm. 1.; lihat Anne O. Krueger, “Free Trade Agreements versus Custom Unions”, Journal of Development Economics, 1997, hlm 171.; lihat H.W. Arndt, “Anatomy of Regionalism”, Journal of Asian Economics Vol 4, 1993, hlm. 279.

  80 Agus, hlm 19; Article 2 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994.; lihat Caroline Freund, “Different Paths to Free Trade: the Gains from Regionalism”, The Quarterly Jounal of Economics, Vol

  115, 2000, hlm.1320.; lihat Robert E. Hudec, Enforcing International Trade Law: The Evolution of the Modern GATT Legal System, (New Hampshire: Butterworth Legal Publishers, 1993), hlm. 372.

  81 Understanding the WTO: the Agreements. Anti‐dumping, subsidies, safeguards: contingencies, etc. http:www.wto.orgenglishthewto_ewhatis_etif_eagrm 8_e.htm .;

  lihat Claude E. Barfield, ,

  http:www.cid.harvard.educidtradeissuesantidumping.html “Free Trade, Sovereignty, Democracy: The

  7. Safeguard adalah kewenangan yang diberikan kepada negara pengimpor untuk membatasi impor atau mengenakan bea masuk tambahan dalam jangka-waktu sementara, apabila setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak yang berwenang, diputuskan bahwa impor telah mengalami peningkatan sedemikian rupa sehingga menyebabkan kerugian yang serius terhadap industri domestik yang menghasilkan

  produk-produk sejenis atau yang menjadi pesaingnya. 82

  8. Tarif adalah bea yang dikenakan atas barang yang diangkut dari sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Bea ini khususnya atas barang yang diimpor dari wilayah kekuasaan politik yang satu ke wilayah yang lain, atau tingkat pajak yang

  dikenakan atas barang tersebut 83

  9. Hambatan tarif adalah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu Negara yang disebabkan diberlakukannya tariff bea masuk maupun tarif lainnya yang tinggi oleh suatu Negara terhadap suatu barang. Hambatan non tarif ialah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu Negara yang disebabkan tindakan selain penerapan tariff atas suatu barang, misalnya berupa penerapan standar tertentu atas suatu barang impor yang sedemikian sulit dicapai oleh para

  eksportir 84

  Future of the World Trade Organization”, 2001, Chicago Journal of International Law 403; Global Trade Negotiations, “Anti Dumping Summary”.

  82 Agus Brotosusilo, hal 21. article XIX: 1(a) GATT 1947, dibaca bersama Article 2, The agreement on Safeguards. Lihat J. Viner. “The Custom Union Issue”, New York: Carnegie Endowment for International

  Peace, 1950.; lihat Christopher Huhne, “Real World Economics”, England: Penguin Group, 1990. hlm. 282-289.

  83 Taryana Sunandar, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional Dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO, (Jakarta: BPHN, Departemen Kehakiman, 1996), hlm. 11

  84 Hambatan non tarif terdiri dari hambatan kebijakan impor, persyaratan standarisasi, pengujian, labeling dan sertifikasi, tindakan anti dumping dan pencegahan, subsidi ekspor dan dukungan domestik,

  pengadaan oleh pemerintah, hambatan jasa, kurangnya perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual dan hambatan-hambatan lainnya. Hambatan kebijakan impor, sebagai contoh disesuaikan dengan pasal XX dari GATT yang memperbolehkan larangan impor atas dasar kesehatan moral publik, keselamatan manusia, binatang atau tanaman setempat, atau jika menyangkut harta nasional yang bersifat, artistik, histori ataupun arkeologis.

  10. Fair Trade adalah perdagangan yang berkeadilan

  11. Negara adalah subjek hukum internasional yang memiliki penduduk tetap, wilayah tertentu, pemerintahan; dan kapasitas untuk berhubungan dengan negara

  lain. 85

  12. ASEAN adalah Association of Southeast Asian Nations terdiri dari Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapore, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.

  13. ACFTA merupakan ASEAN-CHINA Free Trade Agreement. Perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China yang berlaku dalam 3 (tiga) tahap, yaitu early harvest track, normal track, high sensitive track; ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negaranegara anggota ASEAN termasuk Indonesia dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.

  14. AANZFTA adalah Agreement on Establishing ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area. Perjanjian berdagangan bebas antara negara-negara Asean, Australia dan New Zealand yang mengatur semua sektor baik barang maupun jasa;

  15. IJEPA adalah Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement;

  16. KAFTA merupakan Korea-ASEAN Free Trade Agreement;

  lihat R.K. Gupta, Non-Tariff Barriers or Disguised Protectionism. http:www.cuts-international.org1997- 2.htm , diakses 17 November 2011.;

  85 Pasal 1, The Convention on Rights and Duties of State of 1933.

  17. Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan-material maupun immaterial berupa kebutuhan hidup manusia, dari suatu tempatkawasan ke seluruh

  penjuru dunia (globe). 86