Intellectual Property Rights dalam Perdagangan Bebas dan ACFTA

5.Intellectual Property Rights dalam Perdagangan Bebas dan ACFTA

  Konsep HKI pada dasarnya memberikan hak monopoli didasarkan atas kemampuan individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Dengan begitu, pemegang HKI mendapatkan keuntungan ekonomi dari kekayaan intelektual yang dimilikinya. Dengan begitu, sebenarnya HKI lahir dalam masyarakat di mana hak kepemilikan dimiliki oleh individu atau perusahaan. Dalam hal ini adalah masyarakat kapitalis barat. Pemberian hak monopoli ini, sering kali merugikan kepentingan umum dan Konsep HKI pada dasarnya memberikan hak monopoli didasarkan atas kemampuan individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Dengan begitu, pemegang HKI mendapatkan keuntungan ekonomi dari kekayaan intelektual yang dimilikinya. Dengan begitu, sebenarnya HKI lahir dalam masyarakat di mana hak kepemilikan dimiliki oleh individu atau perusahaan. Dalam hal ini adalah masyarakat kapitalis barat. Pemberian hak monopoli ini, sering kali merugikan kepentingan umum dan

  Menurut Stiglitz, hak kekayaan intelektual memiliki perbedaan mendasar dengan hak penguasaan lainnya. Jika rambu hak penguasaan lainnya adalah tidak memonopoli, mengurangi efisiensi ekonomi, dan mengancam kesejahteraan masyarakat, maka hak kekayaan intelektual pada dasarnya menciptakan monopoli. Kekuatan monopoli menciptakan persewaan monopoli (laba yang berlebih), dan labi inilah yang seharusnya digunakan untuk melakukan penelitian. Ketidak efisienan yang berkaitan dengan kekuatan monopoli dalam memanfaatkan pengetahuan sangatlah penting, karena ilmu pengetahuan dalam ekonomi

  disebut komoditas umum. 334 Di lain sisi, batasan dari kekayaan intelektual sulit ditetapkan, bahkan dalam menetapkan yang akan dipatenkan. Salah satu sebabnya adalah kekaburan

  kriteria ”baru” dalam pematenan. Oleh sebab itu semakin besar cakupan dari kekayaan intelektual (semakin banyak barang yang dapat dipatenkan dan semakin luas jenis patennya), semakin besarlah manfaat yang didapat oleh mereka yang mendapatkan hak paten—dan

  semakin besarlah lingkup monopoli. 335

  Ide awal penerapan HKI sebenarnya berasal dari Amerika Serikat (AS) yang merasa sangat dirugikan oleh praktik pembajakan. ”Komisi perdagangan Internasional AS memperkirakan bahwa akibat perlindungan HKI yang tidak optimal di seluruh dunia, industri

  333 Bello, Walden, WTO : Menghamba Pada Negara Kaya, dalam laporan khusus International Forum on Globalization, Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta: Cindelaras, 2004, hlm. 17

  334 Wibowo, Derajad H., Menjadi Pemenang Globalisasi, dalam pengantar Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work (terj.), Bandung : Mizan, 2007, hlm 43

  335 Stiglitz, Joseph E., Making Globalization Work (terj.), Bandung : Mizan, 2007, hlm 12

  AS dirugikan sekitar 23,8 miliar dolar AS” (Jhamtani dan Lutfiyah Hanis, 2002:8). 15 Pada

  perundingan multilateral General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), atas desakan perusahaan-perusahaan farmasi di AS, pemerintah AS bersikeras agar perlindungan HKI diterapkan seketat mungkin. Perusahaan-perusahaan farmasi itu percaya bahwa makin ketat perlindungan HKI atas produk mereka, makin tinggi laba mereka, yang pada gilirannya akan

  memberikan pemasukan yang tinggi pula bagi pemerintah AS. 16

  Alasan inilah yang membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk WIPO ( World Intellectual Property Organizaton) berkedudukan di Jenewa Swiss. WIPO dibentuk sebagai sarana untuk merundingkan kesepakatan mengenai perlindungan HaKI secara internasional. Namun negara-negara maju beranggapan perlindungan HaKI dalam WIPO tidak cukup kuat dibandingkan dengan WTO (World Trade Organization) di mana Dispute Settlement Body (DSB) dalam WTO dinilai mampu menegakkan hukum perlindungan HaKI lebih ketat dibandingkan dengan WIPO. Negara-negara maju ingin menempatkan HaKI

  dalam rejim perdagangan bebas, seperti dalam WTO-TRIPs. 17

  Perlindungan Hak Milik Intelektual (HMI) tertuang dalam TRIPS Agreement yang dihasilkan dalam diskusi tentang General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) memiliki tiga prinsip pokok. Pertama adalah menetapkan standar minimum perlindungan dan penegakan HMI bagi negara-negara peserta penandatangan TRIPs Agreement. Termasuk di dalamnya adalah hak cipta (dan hak terkait lainnya), merek, indikasi geografis, disain industri, paten, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Poin yang penting untuk diperhatikan ialah bahwa ini merupakan standar minimum. Tidak ada larangan bagi negara- negara tersebut untuk menetapkan standar yang lebih tinggi. Kedua ialah bahwa tiap-tiap negara harus saling melindungi HMI warga negara lain, dengan memberikan mereka hak Perlindungan Hak Milik Intelektual (HMI) tertuang dalam TRIPS Agreement yang dihasilkan dalam diskusi tentang General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) memiliki tiga prinsip pokok. Pertama adalah menetapkan standar minimum perlindungan dan penegakan HMI bagi negara-negara peserta penandatangan TRIPs Agreement. Termasuk di dalamnya adalah hak cipta (dan hak terkait lainnya), merek, indikasi geografis, disain industri, paten, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Poin yang penting untuk diperhatikan ialah bahwa ini merupakan standar minimum. Tidak ada larangan bagi negara- negara tersebut untuk menetapkan standar yang lebih tinggi. Kedua ialah bahwa tiap-tiap negara harus saling melindungi HMI warga negara lain, dengan memberikan mereka hak

  Ketiga, negara peserta tidak boleh memberikan perlakuan yang lebih merugikan kepada warga negara dari negara lain dibandingkan dengan perlakuan pada warga negara sendiri. Lebih lanjut, prinsip “the most favoured nation” berlaku di sini, yang artinya bahwa hak apapun yang diberikan kepada warga negara dari suatu negara, harus juga diberikan kepada warga negara dari negara lain.

  Sebagai akibatnya, TRIPS Agreement mensyaratkan negara peserta untuk melindungi HMI yang pada dasarnya sama dengan yang diatur dalam Berne Convention, The Paris Convention, The Rome Convention, dan The Washington IPIC Treaty (Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits). Hasilnya adalah sebuah sistem perlindungan internasional dengan berdasar pada prinsip non-diskriminasi dan didukung oleh basis minimum perlindungan di 117 negara penandatangan.

  Kesepakatan mengenai TRIPs yang mengatur perdagangan terkait HKI ini pada hakikatnya lebih didasari oleh paham individualisme barat dan proteksionisme teknologi yang justru anti pasar bebas. Riset yang dilakukan oleh Bank Dunia sendiri menunjukkan bahwa negeri berkembang pasti mengalami kerugian jika menerapkan peraturan WTO tentang properti intelektual (yakni: paten dan hak cipta). Kerugian ini lebih besar daripada apa yang mungkin mereka dapat raih dengan adanya akses pasar eksport ke negeri-negeri kaya. Dengan kata lain, proteksionisme yang dipastikan oleh adanya perjanjian-perjanjian ini, baik dalam hal farmasi maupun bidang lain, jauh lebih penting dari sudut pandang yang murni ekonomis ketimbang poin tentang penghapusan hambatan dagang oleh negeri-negeri

  maju. 1

  336 Khor, Martin, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, 2001, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas. Hlm 65

  Kesepakatan TRIPs yang ada secara hukum hanya mengikat terhadap subyek perdata yang adalah individu atau lembaga formal, dan tidak mengenal adanya pengakuan terhadap pengetahuan atau subyek komunal. Berbagai kajian menunjukkan bahwa TRIPs memiliki potensi ancaman terhadap timbulnya erosi keanekaragaman hayati, menegasikan kearifan tradisional masyarakat adatlokal, membuka peluang adanya penjarahan sumberdaya hayati dan konflik dengan peraturan internasional yang lain, seperti Protokol Keselamatan Hayati. Bagian kontroversial terbesar dalam kesepakatan TRIPs adalah menyangkut pasal Pematenan, Paten dan secara umum kesepakatan TRIPs dinilai “bias kota” dimana aspirasi masyarakat kampungdesa (rural) yang terkait dengan hak komunal kepemilikan lokal seperti pengetahuan, ketrampilan, tata nilainorma dalam konteks pelestarian keanekaan hayati, pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan; tidak diakomodasi dalam

  kesepakatan tersebut. 337

  Sebagai negara yang telah meratifikasi TRIPs melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade OrganisationWTO), Indonesia memiliki keterikatan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan HMI yang terdapat dalam TRIPs. Ratifikasi ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian. Langkah terpenting yaitu dalam hal legislasi dan konvensi internasional dengan merevisi atau mengubah peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang HMI dan mempersiapkan peraturan perundang-undangan baru untuk bidang HMI juga mempersiapkan penyertaan Indonesia

  dalam konvensi-konvensi internasional. 338

  337 Nugroho, Ganjar, Ketegangan antara Individualitas dan Sosialitas, dalam Mugasejati (ed), Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, 2006, Yopgyakarta : Fisipol UGM

  338 Rianto, Puji, Globalisasi, Liberalisasi Ekonomi dan Krisis Demokrasi, dalam Mugasejati (ed), Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, 2006, Yogyakarta : Fisipol UGM

  UU HKI di Indonesia pun sangat dipengaruhi oleh kesepakatan internasional. Hal ini dapat jelas terlihat dalam UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara jelas menjadikan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual), atau TRIPs, sebagai konsideran.

  Dengan begitu dapat dipastikan bahwa isi dari UU tersebut mengakomodasi kepentingan WTO. Pasal 12 yang menyebutkan jenis-jenis ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: (a) buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; (b) ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; (c) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; (d) lagu atau musik dengan atau tanpa teks; (e). drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; (g) arsitektur; (h) peta; (i) seni batik; (j) fotografi; (k) sinematografi; (l) terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

  Dengan begitu maka teknologi tradisional dan aset budaya tradisional Indonesia menjadi salah satu jenis produk objek patenMakanan tradisional kita, tempe, juga menjadi korban klaim. Bonnie Setiawan mencatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan Dengan begitu maka teknologi tradisional dan aset budaya tradisional Indonesia menjadi salah satu jenis produk objek patenMakanan tradisional kita, tempe, juga menjadi korban klaim. Bonnie Setiawan mencatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan

  Na-kaseinat dan putih telur. 4

  Selain mengklaim tempe, Jepang juga sempat mematenkan beberapa jenis rempah- rempah asli Indonesia, diantaranya kayu rapet (Parameria laevigata), kemukus (Piper cubeba), tempuyung (Sonchus arvensis L), belantas (Pluchea indica L), mesoyi (Massoia aromatica Becc), pule (Alstonia scholaris), pulowaras (Alycia reindwartii Bl), sintok (Cinnamomum sintoc Bl), kayu legi, kelabet, lempuyang, remujung, dan brotowali adalah nama-nama tumbuhan dan rempah Indonesia yang akan dipatenkan oleh perusahaan kosmetik Jepang Shiseido. Bahkan diantaranya nama-nam tumbuhan tersebut ada yang sudah terdaftar pada paten Jepang. Atas perjuangan beberapa LSM Indonesia pengajuan paten tanaman obat

  yang sudah berabad-abad dipergunakan di Indonesia tersebut dibatalkan oleh pihak Shiseido. 5

a. Kaitan ACFTA dan HKI

  Dari sudut pandang ini HKI bisa menjadi penyaring (buffer) barang-barang yang masuk dari China menuju Indonesia bahkan sebaliknya. Karena dalam kaitannya dengan perdagangan bebas, harus mengikuti kaidah-kaidah Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPS). Karena didalam salah satu isi TRIPS ini adalah mengembangkan prinsip, aturan, dan mekanisme kerjasama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas Hak Kekayaan Intelektual.

  Hingga kini bila dicermati “Framework Agreement on Comprehensive Economic Co- Operation between ASEAN and the Republic of China” yang ditandatangani pada 4 November 2002 di Kamboja tidak memuat secara spesifik klausal mengenai HKI.

  ACFTA Pasal 7 ayat 2 dari perjanjian tersebut hanya menyebutkan bahwa HKI merupakan salah satu bidang kerja sama. Hal itu berbeda dengan perdagangan bebas ASEAN dengan Selandia Baru dan Australia (AANZFTA) yang memuat pengaturan tentang HKI dalam sebuah bagian tersendiri yakni chapter 13 Demikian halnya dengan perjanjian antara Indonesia-Jepang melalui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement di mana pengaturan mengenai kekayaan intelektual adalah bagian yang penting dalam perjanjian.

  Produk yang dihasilkan Indonesia harus berbasis HKI agar dapat bersaing dan memiliki nilai tambah. Penerapan standarisasi produk-produk China-ASEAN melalui HKI ini sangat positif untuk memberikan daya saing bagi produk-produk unggulan Indonesia. Hal itu diharapkan dapat menjadi langkah yang mampu membuka mata hati para pengusaha di Indonesia agar mendaftarkan kekayaan industrinya melalui paten, desain industri, hak cipta, dan merek yang dapat merupakan intangible asset suatu daerah yang bernilai pasar tinggi sehingga produk-produk tersebut bisa masuk ke pasaran China. Potensi China pun dengan banyaknya jumlah penduduk harus menjadi peluang bagi para pengusaha Indonesia untuk bisa menembus pasaran China sehingga mampu memberikan devisa pada negara

  Kenapa HKI bisa menjadi (penyaring) buffer untuk standardisasi sebuah produk? Karena dengan adanya syarat standardisasi ini hanya produk-produk yang telah memiliki sertifikat Paten, Sertifikat Merek, Sertifikat Desain Indrustri, Sertifikat Hak Cipta, serta sertifikat Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) untuk tanaman. Diluar produk-produk yang tidak memiliki sertifikat itu bahkan barang bajakan maka haram hukumnya untuk masukdiimport ke Indonesia. Karena bisa-bisa membahayakan produk-produk di dalam negeri.

  Penerapan standardisasi produk-produk China-Asean melalui HKI ini sangat positif untuk menghindari “Perdagangan Sampah” dan memberikan daya saing bagi produk-produk unggulan Indonesia. Disisi lain dampak ACFTA ini harus membuka mata hati para pengusaha Indonesia agar mendaftarkan segenap kekayaan Industri mereka seperti merek dagang, Desain Industri, sehingga produk mereka bisa masuk ke pasaran China. Potensi China dengan banyaknya jumlah penduduknya menurut data kaskus.us, 19.64 dari penduduk dunia adalah warga China dengan jumlah. 1.335.870.000 jiwa. Bisa dibayangkan jika para pengusaha Indonesia bisa menembus pasaran China tentu bisa memberikan devisa yang luar biasa besarnya.

b. Masalah-Masalah HKI yang Dihadapi Indonesia dalam ACFTA

  Masalah yang harus dihadapi Indonesia atas berlakunya perjanjian perdagangan negara-negara ASEAN dan China (Asean-China Free Trade AgreementACFTA) adalah melindungi hak kekayaan intelektual produk dalam negeri. Pemerintah dinilai akan sulit memproteksi produk-produk dalam negeri dari sisi hak kekayaan intelektual. Sebab, pengusaha Indonesia pun masih sering meniru barang-barang merek asing. Indonesia masih sering meniru. Indonesia masih lemah (dalam perlindungan HKI)

  Pemberlakuan ACFTA sejak 1 Januari 2010 lalu menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan. Tanpa skema perdagangan bebas pun produk-produk China sudah membanjiri pasar Indonesia. Apalagi dengan rezim perdagangan bebas. Dalam situasi demikian, Pemerintah dihadapkan pada persoalan HKI. Jika Pemerintah ingin melindungi HKI produk dalam negeri, konsekuensinya pengusaha Indonesia tidak boleh meniru atau membajak merek lain. Pola pikir masyarakat juga dinilai bisa menghambat HKI. Masyarakat Indonesia pada umumnya bersifat komunal. Pada masyarakat demikian, membagi hasil penemuan kepada orang lain adalah suatu kebanggaan. Penemu sering tak mempersoalkan jika orang lain Pemberlakuan ACFTA sejak 1 Januari 2010 lalu menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan. Tanpa skema perdagangan bebas pun produk-produk China sudah membanjiri pasar Indonesia. Apalagi dengan rezim perdagangan bebas. Dalam situasi demikian, Pemerintah dihadapkan pada persoalan HKI. Jika Pemerintah ingin melindungi HKI produk dalam negeri, konsekuensinya pengusaha Indonesia tidak boleh meniru atau membajak merek lain. Pola pikir masyarakat juga dinilai bisa menghambat HKI. Masyarakat Indonesia pada umumnya bersifat komunal. Pada masyarakat demikian, membagi hasil penemuan kepada orang lain adalah suatu kebanggaan. Penemu sering tak mempersoalkan jika orang lain

  c.Dampak ACFTA terhadap Pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

  Hampir bisa dipastikan bahwa pemberlakuan ACFTA akan mengakibatkan pendaftaran Hak Kekayaan intelektual (HKI) di Kantor Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM akan meningkat secara signifikan. Tanda-tanda sudah dengan jelas dapat kita amati dari sebelum ACFTA di berlakukan, serbuah barang-barang elektronik semisal Handphone made in China sudah membanjiri pasar dengan berbagai merek dagangnya.

  Selain itu, di bidang desain Indrustri desain-desain HP besutan China yang memiliki bentuk seperti Blackberry banyak membanjiri pasaran Indonesia. Di bidang pertanian hampir bisa dipastikan pendaftaran Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) dari China akan semakin banyak membanjiri masuk Indonesia. Karena China merupakan salah satu negara yang berhasil mengembangkan Padi Hibridanya. Bahkan saat ini mereka telah mengembangkan Padi Super Hibrida. Salah satu tanda banyaknya produk pertanian yang masuk adalah kita bisa mengamati banyaknya buah-buahan asal China yang masuk ke Indonesia saat hari imlek beberapa saat yang lalu, dengan ditandai banyaknya berbagai macam varietas jeruk-jeruk import asal China yang dijual dengan harga yang relatif murah.

  Hampir bisa dipastikan bahwa pemberlakuan ACFTA ini akan membuat China untuk segera memperbaiki strategi perdagangan mereka, mereka akan semakin tunduk kepada aturan-aturan TRIPS. Menanggulangi penjualan barang-barang bajakan keluar negara mereka. Karena ancaman ACFTA yang paling serius adalah jika membanjirnya barang- barang bajakan yang diselundupkan dari China masuk ke Indonesia atau sebaliknya. Inilah inti dari ancaman terbesar ACFTA bagaimana kita bisa menanggulangi pembajakan diantara

  ASEAN dan China untuk tidak saling memasuki pasar masing-masing kawasan, jika hal ini tidak bisa ditangani maka sudah dapat dipastikan bahwa barang-barang bajakan akan mematikan perekonomian diantara China dan Asean. Sebagai contoh perihal masalah penjualan senjata dari China kepada Indonesia, China tidak mempermasalahkan transfer teknologi senjata, ketika China menjual senjata ke Indonesia. Mereka menjual tanpa mempermasalahkan perlindungan HKI, sangat berbeda dengan Jepang misalnya yang mempermasalahkan HKI dalam penjualan.

  TABEL Perbandingan Perdagangan Indonesia – China Terhadap Indonesia – Total Negara (Persen)

  Neraca Perdag.

  Total Perdag.

  Sumber: BPS, 2009 (diolah)

  Melihat tabel di atas yang menarik adalah terlihat peningkatan investasi China ke Indonesia setelah dibukanya perdagangan bebas ACFTA dari rata-rata 32,43 juta US menjadi 59,33 juta US, hampir dua kali lipat

  TABEL Rata-Rata Perdagangan Indonesia Sebelum dan Era ACFTA (US) Indikator Sebelum

  ‐ Migas

  ‐ Non Migas

  ‐ Migas

  ‐ Non Migas

  Neraca Perdag.

  ‐ Migas

  ‐ Non Migas

  ‐632.70

  Total Perd

  ‐ Migas

  ‐ Non Migas

  Sumber: BPS, 2009

  Dari sisi ekspor, rata-rata ekspor pada pasca ACFTA juga mengalami kenaikan berarti dibanding sebelum pelaksanaan ACFTA. Sebelum pelaksanaan ACFTA rata-rata ekspor per tahunhanya mencapai US 3.770, kemudian naik menjadi US 7.940 pertahun pasca ACFTA. Ekspor migas sebelum pelaksanaan ACFTArata-rata hanya sebesar US 954 per tahun, naik menjadi US 2.794per tahun pasca ACFTA atau naik hampir tiga kali lipat. Disisilain, ekspor non migas sebelum pelaksanaan ACFTA sebesar US2.815 per tahun, kemudian naik menjadi US 5.146 per tahun padaera pelaksanaan ACFTA

  TABEL Perkembangan Realisasi Investasi China ke Indonesia 2001 -2007 (juta US)

  Negara

  Sebelum ACFTA

  Setelash ACFTA

  Rata‐

  2008 Rata‐

  rata

  rata

  Asean

  Total Dunia

  Inv.China

  ke Indonesia

  Sumber: BKPM, 2009 ) diluar investasi sektor minyak dan gas bumi.

  Hal yang menarik diamati adalah pertumbuhan ekspor nonmigas lebih rendah dibanding pertumbuhan ekspor migas ke China. Hal inilah yang perlu diperhatikan pemerintah. Ini berarti kita belum berhasil meningkatkan ekspor non migas ke China baikdari segi jumlah maupun nilai ekspor itu sendiri. Apabila dilihat dari sisi impor, rata-rata impor sebelumpelaksanaan ACFTA sebesar US 3.162 per tahun , naik menjadiUS pada US 6.780 per tahun pada pelaksanaan ACFTA. Impor migas sebelum pelaksanaan ACFTA rata- rata US 563 per tahun,naik menjadi US 1.001 per tahun pada pelaksanaan ACFTA.Sementara itu, impor non migas sebelum pelaksanaan ACFTAsebesar US 2.598 per tahun, menjadi US 5.779 pada erapelaksanaan ACFTA. Sedangkan pertumbuhan impor migas lebih rendah dibanding pertumbuhan impor non migas.Selain masalah ekspor impor kedua negara makaperkembangan investasi China ke Indonesia cukup menarik. Menurut BKPM perkembangan realisasi investasi China keIndonesia sebelum dan sesudah ditanda Hal yang menarik diamati adalah pertumbuhan ekspor nonmigas lebih rendah dibanding pertumbuhan ekspor migas ke China. Hal inilah yang perlu diperhatikan pemerintah. Ini berarti kita belum berhasil meningkatkan ekspor non migas ke China baikdari segi jumlah maupun nilai ekspor itu sendiri. Apabila dilihat dari sisi impor, rata-rata impor sebelumpelaksanaan ACFTA sebesar US 3.162 per tahun , naik menjadiUS pada US 6.780 per tahun pada pelaksanaan ACFTA. Impor migas sebelum pelaksanaan ACFTA rata- rata US 563 per tahun,naik menjadi US 1.001 per tahun pada pelaksanaan ACFTA.Sementara itu, impor non migas sebelum pelaksanaan ACFTAsebesar US 2.598 per tahun, menjadi US 5.779 pada erapelaksanaan ACFTA. Sedangkan pertumbuhan impor migas lebih rendah dibanding pertumbuhan impor non migas.Selain masalah ekspor impor kedua negara makaperkembangan investasi China ke Indonesia cukup menarik. Menurut BKPM perkembangan realisasi investasi China keIndonesia sebelum dan sesudah ditanda

  

  berbedadibanding sebelum pelaksanaan ACFTA yang besarnya US 32,43. 339