TINJAUAN PUSTAKA Analisis ketahanan pangan rumahtangga petani di beberapa provinsi

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dimensi dan Pengukuran Ketahanan Pangan Pada awalnya pengertian ketahanan pangan banyak dikait-kaitkan dengan situasi kekurangan atau kelangkaan pangan yang berdampak pada munculnya kasus rawan pangan dan kelaparan secara luas Soekirman, 2000; Simatupang, 2000;2007; Saliem dan Ariani, 2002. Pemahaman konsep ketahanan pangan kemudian mengalamiperkembangan cukup kompleks seiring dinamika perubahan lingkungan strategis. Berkembangnya konsep food entitlement Sen, 1981 mengubah persepsi orang terhadap ketahanan pangan lihat Maxwell dan Frankenberger, 1992.Ketahanan pangan tidak lagi dipahami hanya sekedar masalah kekurangan atau kelangkaan pangan akibat ketidakseimbangan produksi dengan permintaan secara makro, tetapi lebih sebagai masalah aksesibilitas dan ketidakmerataan distribusi pangan. Penguasaan sumberdaya pangan di tingkat individu ternyata lebih berperan strategis dalam menentukan tingkat atau derajat ketahanan pangan. Defenisi ketahanan pangan yang diadopsi secara luas berasal dari FAO Pinsrup-Andersen, 2009. Menurut FAO 1996;2010 Ketahanan pangan didefinisikan sebagai ”…when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient safe and nutritious food that meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life ”. Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan tidak saja harus menjangkau setiap orang secara berkelanjutan, memenuhi syarat kecukupan kuantitas, keamanan pangan dan kandungan gizi, tetapi juga harus dapat mengakomodasi preferensi konsumen Pinsrup-Andersen, 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 71996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 2002, ketahanan pangan didefinisikan sebagai: ”kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau ”. Definisi tersebut agak berbeda dari defenisi menurut FAO di atas. Selain tidak secara eksplisit menjelaskan aspek keberlanjutan waktu, perbedaan konsep juga terletak pada penetapan sasaran ketahanan pangan. Menurut kedua peraturan perundangan, fokus ketahanan pangan justru pada tingkat rumahtangga, bukan individu. Namun sampai kini penggunaan terminologi rumahtangga tidak banyak dipersoalkan karena dalam sistem sosial yang umum berlaku, kepentingan setiap individu diasumsikan telah dapat diakomodasi oleh rumahtangga sebagai unit terkecil yang menyatukan mereka melalui hubungan kekerabatan. Menurut Chungetal. 1997, ketahanan pangan memiliki tiga pilar utama triad concept, yaitu: ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Oleh karena masing-masing pilar membutuhkan kontinuitas keberlanjutan untuk mendukung ketahanan pangan yang kokoh maka stabilitas dari masing-masing pilar menjadi faktor penting. FAO 2006: 2008 bahkan memasukkan faktor stabilitas salah satu pilar ketahanan pangan. Akan tetapi menurut Simatupang 2007, perbedaan itu hanyalah bentuk perluasan dan penyesuaian terhadap perkembangan pengetahuan dan isu pembangunan yang ingin menjelaskan pentingnya dimensi waktu dalam ketahanan pangan. Ketahanan pangan merefleksikan situasi kecukupan pangan yang tidak terkendala waktu. Beragam indikator generik dari setiap pilar ketahanan pangan dapat disimak pada Gambar 1 Webb et al. 1993 dalam Chung et al.1997. Secara struktur, antara ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan terdapat hubungan yang bersifat hirarkis Simatupang, 2007, dimana antara satu pilar dengan pilar yang lain saling dukung. Dijelaskan bahwa ketersediaan pangan menjadi syarat keharusan, tetapi tidak cukup untuk menjamin akses pangan yang tinggi karena ada faktor kendala daya beli. Demikian pula, akses pangan menjadi syarat keharusan untuk pemanfaatan pangan, tetapi tidak cukup dapat menjamin tingginya status gizi seseorang karena terdapat faktor lain yang turut menentukan kinerja status gizi seseorang. Pengukuran ketahanan pangan membutuhkan indikator-indikator. Maxwell dan Frenkenberger 1992 membedakan indikator ketahanan pangan menjadi indikator proses process indicators dan indikator dampak outcome indicators. Indikator proses mencerminkan derajat kerentanan terkait ketersediaan dan akses pangan. Indikator tersebut meliputi: data meteorologi, informasi sumberdaya alam, data produksi pertanian, model agro-ekologi, neraca bahan makanan, informasi sebaran hama penyakit, struktur pasar dan kelembagaan penunjang. Indikator dampak merupakan proksi konsumsi pangan. Sumberdaya Produksi Pendapatan Konsumsi Status Gizi Alam : Curah hujan Kualitas tanah Ketersediaan air Akses sumberdaya hutan Total areal tanam Areal beririgasi Areal tidak diusahakan Akses dan penggunaan input Jumlah musim tanam Pendapatan total Pendapatan usahatani Pendapatan ternak Upah kerja Pendapatan usaha Total pengeluaran Pengeluaran pangan Pengeluaran non pangan Harga konsumen Intik pangan Antropometri Tingkat serum gizi mikro Morbiditas Mortalitas Fertilitas Fisik : Pemilikan ternak Akses infrastruktur Pemilikan praktek usahatani Akses dan pemilikan lahan Aset fisik lain Manusia: Diversifikasi tanaman Produksi tanaman Produksi pangan Produksi tanaman semusim Jumlah sumber pendapatan non usahatani Produksi kerajinan tangan Harga produsen Akses pasar, jalan Pendapatan migran Frekuensi makan Akses sarana kesehatan Akses sumber air bersih Akses sanitasi yang cukup KK wanita Rasio ketergantungan Pendidikan,tingkatmelek huruf Ukuran rumah tangga Umur KK Ketersediaan Pangan Akses Pangan Pemanfaatan Pangan Sumber daya: - Alam - Fisik - Manusia Produksi: - Usahatani - Non usahatani Pendapatan: - Usahatani - Non usahatani Konsumsi: - Pangan - Non pangan Status Gizi - Anak - Dewasa Sumber: Webb et al. 1993 dalam Chunget al. 1997. 13 Gambar 2. Indikator Generik Ketahanan Pangan 14 Ha lama n ini seng aja diko songka n Indikator dampak meliputi indikator langsung direct indicators yang mencakup: survei anggaran belanja dan konsumsi rumahtangga, persepsi rumahtanggaterhadap ketahanan pangan dan frekuensi pangan dan indikator tidak langsung indirect indicators, yang meliputi: simpanan atau cadangan pangan, rasio potensi subsisten dan status gizi. Ketahanan pangan adalah situasi yang kompleks sehingga tidak ada indikator dan solusi masalah yang bersifat tunggal. Implikasi hal ini, pengukuran ketahanan pangan menjadi relatif dan tergantung pada situasi serta penyebab terjadinya rawan pangan di suatu tempat lihat Maxwell dan Frankenberger, 1992. Lebih jauh diungkapkan oleh Maxwell dan Frankenberger 1992, meskipun pangan memiliki beberapa kandungan unsur yang diperlukan tubuh, akan tetapi pengukuran tingkat ketahanan kecukupan pangan banyak menggunakan proksi energi dan protein atau bahkan hanya energi saja sebagai indikator. Pengukuran status ketahanan pangan menggunakan indikator kecukupan energi dan protein secara nasional mengacu pada hasil rumusan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi yang penyelenggarannya dilakukan secara periodik dan di bawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI. Untuk saat ini, dasar pengukuran tersebut telah dibakukan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1593MenkesSKXI2005 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Menurut peraturan tersebut angka kecukupan yang dianjurkan adalah 2000 Kkalkapitahari untuk energi dan 52 gramkapitahari untuk protein. Lebih detail, Hardinsyah dan Tambunan 2004 telah menghitung angka kecukupan yang disesuaikan dengan jenis kelamin, umur dan aktifitas dalam satuan setara pria dewasa adult equivalent unit, AEU.Perhitungan tersebut sekaligus sebagai penyesuaian atas perhitungan sebelumnya yang dilakukan Muhilal et al. 1998. Dalam ukuran setara pria dewasa besarnya angka kecukupan energi adalah sebesar 2350 Kkalhari, sedangkan kecukupan protein sebesar 60 gramhari. Meski umum digunakan, tetapi penerapan indikator-indikator di atas dalam pengukuran ketahanan pangan menurut Coates et al.2007 dianggap masih sulit karena membutuhkan data lengkap dan berbiaya besar. Oleh sebab itu pemikiran dan inovasi baru terus dikembangkan dengan memanfaatkan ketersediaan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis ketahanan pangan, termasuk indikator yang spesifik lokasi. Chung et al. 1996, misalnya, mengaplikasikan pendekatan metode campuran mixed method kuantitatif dan qualitatif untuk kasus di India.Hardinsyah 1996 mengembangkan alternatif pengukuran ketahanan pangan lebih kompleks dengan metode Skor Konsumsi Pangan SKP. Dalam skor tersebut sudah tercakup masalah keseimbangan komposisi zat gizi disamping kriteria kecukupan. Cara baru pengukuran ketahanan pangan dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kualitatif kepada rumahtangga. Terdapat 18 pertanyaan yang harus dijawab untuk rumahtangga yang memiliki anak atau 10 pertanyaan jika rumahtangga tidak memiliki anak Bickel et al., 2000; Gundersen, 2008. Dalam konsep ini rawan pangan dan kelaparan dipandang sebagai situasi yang terjadi akibat kendala sumberdaya finansial dalam rumahtangga Bickel et al., 2000. Cara baru ini dikenal dengan metode Household Food Security Survey Module HFSSM yang dikembangkan oleh United State Department of Agriculture USDA.Uji coba metode ini di Indonesia pernah dilakukan oleh Usfar et al. 2006. Dalam pandangan Kendall et al. 1995 cara baru pengukuran ketahanan pangan dengan metode HFSS tersebut lebih sesuai untuk identifikasi rumahtangga kelaparan dan rawan pangan di negara-negara maju yang kaya pangan. Dijelaskan Kendall etal. 1995 bahwa pengukuran status gizi dengan cara antoprometri, klinis atau biokimia di negara maju dan kaya pangan kurang sesuai karena gejala klinis dan biokimia akibat kelaparan jarang terlihat. Masalah gizi yang sering dikaitkan dengan faktor kemiskinan bukan masalah stunting ukuran tubuh pendek karena pertumbuhan lambat atau wasting karena kurang gizi akut, akan tetapi lebih terkait dengan masalah kegemukan obesitas. Itu sebabnya di negara maju dan kaya pangan cara antropometri tidak banyak berguna untuk mengukur fenomena rawan pangan dan kelaparan. 2.2. Resiko Ketahanan Pangan Mewujudkan dan meningkatan ketahanan pangan rumahtangga bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Banyak sumber-sumber distorsi dan resiko yang dapat membuat kondisi ketahanan pangan tidak tercapai. Sumber resiko tersebut secara langsung terkait dengan kerentanan masing-masing pilar penyangga ketahanan pangan ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Faktor resiko menjadi penentu derajat ketahanan pangan Maxwell dan Frankenberger, 1996; Simatupang, 2007, Sumaryanto, 2009. Implikasi hal itu, faktor stabilitas masing-masing pilar menjadi penting dalam menentukan derajat ketahanan pangan. Faktor stabilitas secara operasional menjadi indikatortingkat derajat resiko dalam ketahanan pangan. Stabilitas pada dasarnya merujuk pada pentingnya menjaga dan meredam fluktuasi situasi kecukupan pangan akibat gangguan berbagai faktor yang terjadi antar waktu. Oleh sebab itu dimensi waktu menjadi sangat kritikal dalam analisis ketahanan pangan Simatupang, 2007. Secara umum, resiko ketahanan pangan antara lain terkait dengan faktor internal rumahtangga, faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol dan kebijakan pemerintah yang dipersiapkan khusus untuk mendukung kinerja ketahanan pangan. Beberapa jenis sumber resiko antara lain von-Braun et al. 1992; Maxwell dan Frankenberger 1992; FAO, 2008 adalah: 1 kondisi cuaca buruk, 2 produksi pangan, 3 perdagangan pertanian, 4 harga pangan, 5 kesempatan kerja dan upah, 6 kesehatan, 7 kegagalan politik yang memicu konflik, 8 kegagalan kebijakan, dan 9 faktor demografi. Terkait dengan pilar-pilar ketahanan pangan, Sumaryanto 2009 telahmengidentifikasi beberapa simpul kerawanan yang mengindikasikan potensi resiko pada masing-masing pilar. Pada dimensi ketersediaan kerawanan terkait dengan 1 kapasitas lahan yang terbatas, 2 keterbatasan modal usahatani, 3 tingkat keandalan pasokan air, 4 degradasi sumberdaya lahan dan air akibat kerusakan Daerah Aliran Sungai DAS, 5 penyusutan lahan sawah akibat konversi ke penggunaan lain, 6 terbatasnya perluasan lahan pertanian karena keterbatasan anggaran dan biaya investasi yang makin mahal, 7 perubahan iklim, keterbatasan inrastruktur pertanianperdesaan, dan 8 memudarnya motivasi petani mengusahakan sumber-sumber pangan alternatif pengganti beras. Pada pilar akses pangan, kerawanan utama terkait dengan rendahnya daya beli pangan masyarakat karena masih besarnya jumlah penduduk miskin. Kemiskinan menjadi kendala untuk mengurangi prevalensi rawan pangan. Kerawanan pada pilar pemanfaatan pangan berkaitan dengan kebiasaan makan menu, penyiapan dan cara masak, waktutempat makan, atau kualitas makanan. Pada pilar ini evaluasi kerawanan umumnya mengacu pada indikator terkait masalah keracunan makanan, kekurangan gizi dan atau kegemukan. Simpul kerawanan pada dimensi ini banyak berhubungan dengan permasalahan yang berakar pada kemiskinan, kurangnya kesadaran akan pentingnya pola konsumsi pangan yang sehat, dan masih diabaikannya hak-hak konsumen. Kerawanan lain adalah terkait dengan dimensi stabilitas. Stabilitas ketahanan pangan dalam hal ini lebih berkonotasi pada stabilitas pangan pokok penduduk, yaitu beras padi. Dijelaskan bahwa simpul kerawanan ini semakin kritis jika ketergantungan terhadap beras semakin tinggi. Di sisi lain, kerawanan juga akan meningkat jika kinerja manajemen resiko aspek produksi dan sistem distribusi semakin rendah. Ketergantungan terhadap beras yang tinggi juga telah mengabaikan pengembangan jenis pangan potensial lain.Seiring pengembangan komoditas beras yang cenderung mengarah pada pola tanam padi monokultur terjadi degradasi dalam manajemen kelembagaan lokal pengelolaan usahatani. 2.3. Status Gizi Sebagai Indikator Ketahanan Pangan Target akhir dari kebijakan ketahanan pangan adalah terpenuhinya kecukupan pangan yang mampu memberikan asupan gizi bagi setiap orang secara berkelanjutan sehingga dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Oleh sebab itu secara kausalitas kecukupan gizi dianggap dapat menjadi bagian dari indikator ketahanan pangan Chung et al., 1997; Haddad et al., 1994; Simatupang, 2007. Menurut Haddad et al. 1994 ketahanan pangan lebih merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin tercapainya ketahanan gizi. Hal ini karena selain kecukupan pangan, dalam defenisi ketahanan gizi masih terdapat faktor penting yang diperlukan untuk menjamin seseorang dapat hidup sehat dan aktif secara berkelanjutan. Faktor tersebut antara lain: layanan gizi dan kesehatan serta waktu pengasuhan. Dalam konsep UNICEF, status gizi dipengaruhi oleh ketidakcukupan konsumsi gizi aktual, pola asuh, dan faktor penyakit Birnkman et al ., 2010. Menurut Simatupang 2007 dengan menggunakan konsep trilogi Chung et al. 1997 pembedaan ketahanan pangan dan ketahanan gizi dapat dijembatani sehingga keduanya identik. Identik dalam hal ini berarti pada penggunaan istilah ketahanan pangan sudah tercakup makna ketahanan gizisebagaimana pengertian umum ketahanan pangan versi FAO lihat FAO, 1996; 2010. Secara operasional ketahanan gizi diukur dari status gizi anggota rumahtangga. Oleh sebab itu, agar analisis ketahanan pangan rumahtangga dapat mencakup makna ketahanan gizi rumahtangga maka lingkup analisis harus memasukan aspek status gizi. Menurut Suhardjo et al., 2006, terdapat tiga cara untuk menilai status gizi yaitu: 1 studi konsumsi pangan, 2 pemeriksaan fisik, dan 3 pemeriksaan laboratorium. Dari ketiga cara tersebut, cara pemeriksaan fisik melalui penilaian antropometri dianggap paling mudah dan murah. Antropometri dapat digunakan untuk berbagai tujuan, tergantung pada indikator yang dipilih Cogill, 2003. Terdapat beberapa indikator antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi Jahari et al. 2000; Cogill, 2003, yaitu: 1 berat badan per umur BBU, 2 tinggi badan per umur TBU, dan 3 berat badan per tinggi badan BBTB. Perhitungan ketiga indikator adalah dalam bentuk z-skor. Menurut Cogill, 2003, angka BBU merupakan indeks antropometri yang dapat mencerminkan kondisi gizi anak pada masa lalu cronic dan sekarang acute, meski tidak mampu membedakan antara satu dengan lainnya. Indeks BBU yang rendah mencirikan kondisi anak yang kekurangan berat badan pada umur tertentu underweight. Indeks TBU yang rendah mencirikan kekurangan gizi di masa lalu kronis yang disebut stunting. Indeks BBTB yang rendah berguna untuk mengetahui anak-anak yang terkena kekurangan gizi akut wasting dan ketika tidak diketahui umurnya secara pasti. Cogill 2003 menyatakan, dibandingkan underweight dan wasting, kondisi anak stunting lebih mencerminkan kegagalan pertumbuhan di masa lalupast growth failure . Kegagalan tersebut terkait sejumlah faktor jangka panjang, seperti kekurangan asupan kalori dan protein kronis, sering infeksi, pola pemberian makan yang tidak tepat, dan faktor kemiskinan. Pada anak yang berusia lebih dari dua tahun dampak dari faktor-faktor jangka panjang tersebut bisa tidak terpulihkan. Pengukuran status gizi dari data antropometeri saat ini dapat dilakukan dengan bantuan piranti lunak software komputer. Terdapat beberapa jenis piranti lunak mudah didapatkan seperti: ENA for Smart, WHO-Anthro, atau WHO- Anthroplus. Secara umum perbedaan spesifikasi piranti lunak tersebut terkait dengan batasan umur seseorang yang menjadi obyek pengukuran antropometri.Pengukuran antropometri dengan piranti lunak tersebut menjadi lebih mudah karena angka atau skor yang dihasilkan sudah mengacu pada standar referensi sesuai ketentuan. Jahari, et al. 2000 menyebutkan, standar pengukuran status gizi anak di Indonesia umumnya menggunakan standar WHO-NCHS. 2.4. Ketahanan Pangan dan Model Perilaku Rumahtangga Padastudi-studi terdahulu, analisis ketahanan pangan rumahtangga pertanian umumnya tidak dibangun dari teori atau model ekonomi rumahtangga sebagai kerangka pikirnya lihat Jayaputra, 2001; Manesa, 2009; Amirian, 2009; Suhardianto, 2007; Omoteshoet al., 2006; Babatunde et al., 2007. Padahal, penggunaan teori rumahtangga pertanian memungkinkan peneliti menganalisis keterkaitan perilaku produksi dan konsumsi yang secara bersamaan mempengaruhi kinerja ketahanan pangan rumahtangga. Di tingkat rumahtangga ketahanan pangan merupakan resultante dari berbagai keputusan, di sisi produksi maupun konsumsi lihat Hardono, 2002. Oleh sebab itu kinerja ketahanan pangan rumahtanggasangat ditentukan oleh respon terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada kedua sisi keputusan tersebut. Menurut Ellis 1988, rumahtangga pertanian dianggap memiliki karakteristik berbeda dari rumahtangga biasa karena mereka bisa berperan sebagai produsen maupun konsumen sekaligus dalam perekonomian. Peran ganda tersebut menimbulkan keterkaitan antara keputusan-keputusan di sisi produksi dengan sisi konsumsi, yang kemudian menjadi ciri utama rumahtangga pertanian Ellis, 1988; Singh et al., 1986.Ciri keterkaitan tersebut menjadikan model ekonomi rumahtangga berbeda dari model penawaran dan permintaan konvensional. Dalam model ekonomi rumahtangga kendala-kendala sisi penawaran maupun permintaan telah diintegrasikan dalam satu fungsi tujuan rumahtangga. Singh et al. 1986 menjelaskan, pendekatan analisis model ekonomi rumahtangga pertanian dapat dilakukan dengan caraseparablerecursive maupun nonseparable nonrecursive. Pembedaan pendekatan tersebut didasarkan pada bagaimana hubungan keterkaitan antara keputusan-keputusan konsumsi dengan keputusan produksi dalam rumahtangga.Lebih lanjut diungkapkan Singhet al. 1986, masing-masing pendekatan terikat pada syarat-syarat tertentu, tetapi pemilihan pendekatan merupakan isu sekunder yang perlu dilihat kasus per kasus. Disebutkan bahwa pada rumahtangga subsisten identik tidak akses terhadap pasar, pengambilan keputusan produksi, konsumsi dan penawaran tenaga kerja dilakukan secara simultan karena rumahtangga hanya dapat mengkonsumsi apa yang dihasilkan diproduksi saja. Besarnya produksi tergantung pada kemampuan tenaga kerja dalam rumahtangga. Akan tetapi pada rumahtangga yang sudah semi komersial, pengambilan keputusan-keputusan tersebut tidak lagi harus dilakukan secara nonseparable. Strauss 1986 menjelaskan, sepanjang rumahtangga petani dapat menjual atau membeli produk sebanyak yang mereka mau pada harga pasar yang berlaku rumahtangga petani sebagai penerima harga maka keputusan produksi dan konsumsi dapat diperlakukan secara sekuen urutan. Keputusan produksi dapat dilaksanakan lebih dahulu separable, meskipun pengambilan keputusan produksi dilakukan secara simultan dengan keputusan konsumsi. Akan tetapi, jika rumahtangga memilih untuk mengkonsumsi semua hasil produksinya sebagai corner solution maka akan berlaku syarat harga bayangan yang ditentukan secara internal dan merupakan fungsi dari preferensi dan teknologi. Pemberlakuan harga bayangan yang bersifat endogen mengindikasikan pengambilan keputusan rumahtangga tidak lagi separable. Harga bayangan Singh et al.,1986;Skoufias, 1994,juga disebut sebagai harga implisit atau internal wage Sonoda dan Mayurama, 1999. Secara empiris kedua model pengambilan keputusan rumahtangga telah banyak diaplikasikan. Model separable telah digunakan antara lain oleh Barnum dan Squire1979, Sawit 1993, dan Hardaker et al. 1985. Sementara itu, model analisis rumahtangga non separable telah digunakan antara lain oleh Bagi dan Singh 1974, Kusnadi 2005, Asmarantaka 2007, dan Fariyanti 2007. Pemilihan separable atau non separable dilakukan sesuai asumsi dan tujuan penelitian. Diungkapkan oleh Skoufias 1994 bahwa pada kondisi: 1 ada kendala waktu yang bersifat mengikat binding pada kesempatan kerja non usahatani sehingga menghambat terjadinya penyesuaian sempurna dalam pasar tenaga kerja, 2 substitusi tenaga kerja dalam keluarga oleh tenaga kerja luar keluarga yang tidak sempurna, atau 3 petani mempunyai preferensi untuk bekerja dalam usahatani atau non usahatani, maka solusi keputusan produksi dan konsumsi dalam model rumahtangga pertanian harus diperlakukan secara nonseparable. Sementara, Singh et al. 1986 berpendapat bahwa nonseparable menjadi penting dalam pemodelan ketika menghadapi kondisi tertentu yakni: 1 jika harga jual dan harga beli dibedakan untuk komoditas yang sama, atau 2 ketika pasar tidak sempurna, karena menghadapi resiko dan masalah insentif. Pendapat kedua pakar tersebut tidak bertentangan, karena sama-sama mempersoalkan akibat dari ketidaksempurnaan pasar. Akan tetapi secara empiris pendekatan nonseparable dianggap lebih sulit Sonoda dan Mayurama, 1999. Varian baru penggunaan model ekonomi rumahtangga ditandai dengan berkembangnya penelitian-penelitian yang menggunakan persamaan simultan untuk spesifikasi model empiris Kusnadi, 2005. Dikemukakan dalam Kusnadi 2005bahwa model persamaan simultan dikembangkan untuk menangkap kompleksitas interaksi antar berbagai variabel ekonomi rumahtangga, tanpa menjadikan separabilitas rekursifitas sebagai isu utama yang harus ditonjolkan. Beberapa Selain Kusnadi 2005, penelitian rumahtangga yang menggunakan model persamaan simultan antara lain: Pakasi 1998 untuk melihat ekonomi rumahtangga petani nira aren di Sulawesi Utara; Hardono 2002 melihat dampak perubahan faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga dengan data pasca crisis ekonomi 19971998, Asmarantaka 2007 melihat ekonomi rumahtangga petani pangan dan perkebunan di Provinsi Lampung, Purwanti 2008 yang meneliti kebijakan pengembangan ekonomi dan ketahanan pangan rumahtangga nelayan skala kecil di Jawa Timur, serta Fariyanti, 2007 yang mengamati perilaku rumahtangga petani sayur menghadapi resiko di Pengalengan, Jawa Barat. Pada penelitian-penelitian yang menggunakan persamaan simultan di atas, variabel harga yang digunakan adalah harga yang berlaku di pasar. Oleh sebab itu meski menggunakan model persamaan simultan, menurut Kusnadi 2005 model penelitian tersebut sebetulnya masih berciri rekursif. Penggunaan harga eksogen membuat asumsi atau syarat nonseparablesebetulnya tidak terpenuhi. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, untuk menjadi nonseparable maka variabel harga yang digunakan seharusnya bersifat endogen dan ditentukan oleh rumahtangga sebagai harga bayangan di dalam model. Dalam banyak studi yang menggunakan model ekonomi rumahtangga, analisis kebijakan dirumuskan dengan menganggap bahwa rumahtangga dapat mewakili preferensi seluruh individu anggota rumahtangga. Oleh sebab itu diasumsikan bahwa setiap rumahtangga hanya memiliki satu fungsi utilitas. Model ekonomi rumahtangga seperti itu disebut sebagai unitary household model Haddad, et al., 1994, yang dicirikan oleh adanya penggabungan pendapatan pooled income diantara anggota rumahtangga. Pada kenyataannya, diantara anggota rumahtangga bisa terjadi perbedaan preferensi dan tidak harus selalu terjadi penggabungan pendapatan sehingga kesejahteraan antar individu dalam rumahtangga bisaberbeda-beda. Pandangan seperti ini kemudian melahirkan konsep model ekonomi rumahtangga baru yang disebut collective household model Haddad et al.,1994. Model kolektif ini masih terpecah lagi menjadi model kooperatif dan model non kooperatif. Meskipun model ekonomi rumahtangga klasik unitary model dianggap mengandung kelemahan karena tidak mampu menjelaskan kemungkinan perbedaan preferensi antar anggota rumahtangga, tetapi hal itu tidak berarti bahwa model ekonomi rumahtangga baru collective model menjadi model yang paling benar. Model rumahtangga baru tersebut hanya dianggap memiliki kelebihan dalam hal kemampuannya menjelaskan konsekuensi logis dari adanya perbedaaan preferensi dan ketidakmerataan alokasi sumberdaya dalam rumahtangga terhadap individu anggota rumahtangga. Penggunaan model kolektif juga mungkin lebih tepat pada lingkungan sosial dimana sikap indivialis dalam rumahtangga sudah menonjol. Implikasi hal tersebut, kedua model masih tetap dapat digunakan, tergantung pada tujuan analisis. Jika fokus yang dikehendaki mengarah pada masalah-masalah berkaitan dengan intra rumahtangga maka model rumahtangga kolektif lebih tepat digunakan. Akan tetapi jika fokus analisis tidak berkaitan dengan masalah-masalah intra rumahtangga maka model rumahtangga unitary masih dapat digunakan. Telah diungkapkan sebelumnya bahwa di tingkat rumahtangga ketahanan pangan merupakan resultante dari berbagai keputusan internal rumahtangga. Oleh sebab itu kinerja ketahanan pangan ditentukan oleh respon rumahtangga terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada masing-masing sisi keputusan produksi dan konsumsi. Perubahan-perubahan pada harga input, harga output, tingkat upah, kesempatan kerja dan berusaha serta luas garapan dapat mempengaruhi pencapaian produksi dan pendapatan rumahtangga. Pendek kata, perubahan berbagai faktor ekonomi dapat mempengaruhi kinerja ketersediaan,akses pangan,dan pemanfaatan pangan yang menjadi pilar ketahanan pangan rumahtangga. Seiring dinamika pendapatan, kinerja konsumsi rumahtangga juga akan mengalami perubahan, termasuk perubahan dalam pengeluaran pangan yang menentukan konsumsi energi dan status gizi. Studi Hardono 2002 terdahulu menunjukan, kenaikan harga pupuk dan upah tenaga kerja akan menurunankan ketahanan pangan rumahtangga pertanian. Akan tetapi jika kenaikan harga input tersebut diikuti kenaikan harga padi secara proporsional, kinerja ketahanan pangan rumahtangga masih dapat ditingkatkan karena pendapatan rumahtangga masih meningkat. Studi tersebut juga menyebutkan upaya peningkatan produksi, terkendala oleh tidak responsifnya perubahan luas lahan garapan dalam jangka pendek terhadap perubahan harga output harga padi, sehingga saran yang diberikan adalah melakukan penataan kelembagaan penguasaan lahan dan peningkatan kapasitas sumberdaya tersebut untuk peningkatan ketahanan pangan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN