III. KERANGKA PEMIKIRAN
Keputusan-keputusan rumahtangga yang menggambarkan perilaku ekonomi rumahtangga dalam peningkatan ketahanan pangan dapat dipelajari
secara teoritis menggunakan model ekonomi rumahtangga.Dasar pemikiran teoritis perilaku ekonomi rumahtangga petani dijelaskan pada uraian berikut.
3.1. Model Rumahtangga Petani dan Pengembangannya
Model ekonomi pengambilan keputusan rumahtangga pertanian berawal teori maksimisasi utilitas rumahtangga hasil studi Chayanov Ellis, 1988;
Nakajima, 1986; Sawit, 1993.Chayanov mempelajari pengaruh struktur dan ukuran rumahtangga terhadap perilaku ekonomi rumahtangga melalui valuasi
subyektif tenaga kerja dalam rumahtangga. Ellis 1988 menjelaskan, dalam model Chayanov rumahtangga petani diasumsikan berusaha memaksimumkan
utilitas dengan mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja keluarga pada kegiatan usahatani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka sendiri. Padahal, bekerja
di usahatani sendiri dianggap membosankan tidak menyenangkan sehingga dihindari. Oleh sebab itu fokus pengambilan keputusan rumahtangga petani
adalah pada pilihan antara bekerja untuk usahatani atau bersantai leisure. Pertentangan kepentingan seperti itu digambarkan Ellis 1998 sebagai situasi
drudgery averse , yang menjadi ciri model rumahtangga Chayanov.
Pertentangan kepentingan dalam pengambilan keputusan rumahtangga menurut Chayanov merupakan implikasi dari kondisi struktur demografi
rumahtangga, yaitu terkait komposisi antara anggota rumahtangga yang menjadi beban konsumsi dengan anggota rumahtangga yang bekerja. Komposisi antara
kedua kelompok dinyatakan sebagai consumers to workers ratio rasio cw.Jika anggota rumahtangga yang menjadi beban konsumsi makin besar dibanding
anggota rumahtangga yang bekerja, makasemakin besar pula nilai rasio cw. Kemampuan menjelaskan pengaruh perubahan struktur demografi ini menurut
Ellis 1998 menjadi keunggulan model Chayanov sehingga dikenal sebagai model demografi pengambilan keputusan rumahtangga.
Lebih lanjut Ellis 1988 menerangkan bahwaterdapat beberapa asumsi dalam model perilaku rumahtangga petaniChayanov, yaitu: 1 tidak ada pasar
tenaga kerja, sehingga tidak ada tenaga buruh yang dapat disewa oleh rumahtangga atau upah kerja yang diperoleh karena bekerja di luar, 2 produk
usahatani dapat disimpan untuk konsumsi atau dijual di pasar sesuai tingkat harga pasar yang berlaku, 3 seluruh rumahtangga petani memiliki akses terhadap lahan
usahatani secara fleksibel, dan 4 setiap komunitas petani memiliki norma sosial tentang pendapatan minimum per kapita yang dianggap wajar oleh masyarakat,
sehingga implikasinya, rumahtangga memiliki tingkat konsumsi minimum yang dapat diterima.
Dijelaskan pula bahwa pada dasarnya model Chayanov berusaha memformulasikan masalah ekonomi memaksimumkan utilitas dengan kendala
fungsi produksi, tingkat pendapatan minimum yang wajar, dan jumlah maksimum waktu kerja yang tersedia. Secara matematik masalah ekonomi tersebut dapat
dinyatakan sebagai: maksimumkan U = f Y,H, dimana Y adalah pendapatan minimum yang dianggap wajar dan H adalah waktu santai. Notasi kendala-
kendaladapat dinyatakan sebagai berikut: Y = P
Y
.fL; Y ≥ Y
min
; L ≤ L
max
, dimana P
Y
adalah harga produk dan FL adalah fungsi produksi dengan input tunggal tenaga kerja. Dengan asumsi kendala fungsi produksi bersifat mengikat
binding, solusi masalah tersebut akan dicapai pada kondisi keseimbangan dimana ∂U∂H∂U∂Y = ∂Y∂H = NPM
L
. Keseimbangan tersebut terjadi pada saat substitusi marjinal waktu santai terhadap pendapatan sama dengan nilai
produk marjinal tenaga kerja rumahtangga. Ilustrasi perilaku rumahtangga petani menurut model Chayanov dapat
disimak pada Gambar 3. Pada gambar tersebut, sumbu vertikal menunjukkan besarnya nilai produk usahatani yang setara dengan nilai pendapatan, sedangkan
sumbu horisontal menunjukkan alokasi waktu kerja rumahtangga yang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja keluarga. Meskipun total waktu kerja yang tersedia
sebesar L, tetapi maksimum waktu yang dapat digunakan untuk bekerja hanya sebatas L
maks
. Fungsi produksi rumahtangga, yang menunjukkan hubungan perubahan jumlah produk akibat perubahan input digambarkan oleh kurva TVP.
Oleh karena diasumsikan nilai output setara dengan pendapatan, maka kurva TVP juga menggambarkan kurva pendapatan rumahtangga Dari persamaan fungsi
produksi Y= P
Y
fL dapat disebutkan bahwa pendapatan merupakan fungsi dari harga pasar output dan input tenaga kerja.
Sisi konsumsi digambarkan oleh kurva indeferen I
1
dan I
2
yang cembung terhadap terhadap titik asal L. Kurva ini menggambarkan utilitas tertentu yang
diperoleh dari kombinasi penggunaan pendapatan dengan waktu santai dan dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan U=fY, H. Setiap titik pada kurva indiferen,
misal titik B, menggambarkan nilai subyektif yang ditempatkan rumahtangga untuk bekerja di titik tersebut. Kemiringan kurva di titik B menggambarkan nilai
pendapatan ∂Y yang harus didapatkan rumahtangga untuk mengganti kehilangan
satu unit waktu santai ∂H. Dengan kata lain rasio ∂Y∂H menunjukan tingkat upah subyektif rumahtangga.
Gambar 3. Model Rumahtangga Petani Chayanov
Interval dan besarnya upah subyektif dibatasi oleh kendala minimum pendapatan Y
min
dan kendala maksimum jumlah waktu kerja yang dapat disediakan L
maks
. Keduanya ditentukan oleh struktur demografi rumahtangga ukuran rumahtangga dan jumlah anggota rumahtangga yang bekerja. Adanya
O u
tp u
t P
en d
ap at
an Y
Y
min
Y
e
Sumber: Ellis 1988
Waktu santai H Waktu kerja L
O L
L
max
L
e
I
1
I
2
A δY
δH B
TVP O
u tp
u tP
en d
ap at
an Y
kendala ini mengakibatkan bentuk kurva indiferen pada kedua titik ekstrim menjadi horisontal di bagian kiri bawah Y
min
dan menjadi vertikal di bagian kanan atas L
maks
. Bagian kurva yang horisontal tersebut menunjukan utilitas marjinal waktu santai menjadi nol. Adapun pada bagian kurva yang vertikal
menunjukan utilitas marjinal pendapatan menjadi nol Gambar 4.
`
Gambar 4. Dampak Peningkatan Rasio Konsumen Terhadap Pekerja
Dari Gambar 3, keseimbangan kurva terjadi pada titik singgung antara kurva produksi dengan kurva indiferen, yaitu di titik A pada kurva I
1
. Pada kondisi keseimbangan jumlah penggunaan waktu kerja akan sebesar L
e
dan tingkat perolehan pendapatan sebesar Y
e
. Pada titik tersebut produk marjinal tenaga kerja MP
L
sama dengan nila subyektif dari waktu kerja anggota rumahtangga, yang menunjukan besarnya nilai pendapatan yang dibutuhkan atau
harus diterima untuk mengganti kehilangan satu unit waktu santai ∂Y∂H.
Tingkat pendapatan sebesar Y
2min
pada Gambar 4 dicapai karena diasumsikan terjadi perubahan struktur anggota rumahtangga. Tingkat pendapatan
awal adalah pada titik Y
1min
. Perubahan struktur demografi akan mengubah rasio cw. Perubahan struktur rumahtangga akibat pertambahan anggota baru melalui
Y
1min
Sumber: Ellis 1988
Waktu kerja L O
L L
max
L
1
O u
tp u
t P
en d
ap at
an Y
Y
1min
Y
2 min
I
1
I
2
A B
TVP O
u tp
u tP
en d
ap at
an Y
L
2
Y
2min
Y
2e
kelahiran, meningkatkan kebutuhan pendapatan minimum rumahtangga menjadi Y
2min
. Perubahan tersebut tidak mengubah fungsi produksi, tetapi menggeser kurva indiferen ke kanan, dari I
1
ke I
2
,karena kebutuhan konsumsi meningkat. Kurva I
2
tampak lebih landai dari I
1
, mengindikasikan bahwa utilitas marjinal pendapatan mengalami peningkatan. Tetapi disisi lain, utilitas marjinal waktu
santai mengalami penurunan. Akibat pergeseran kurva indiferen di atas, keseimbangan baru menjadi di
titik B, yaitu titik singgung antara kurva produksi TVP dengan kurva indiferen baru I
2
. Keseimbangan baru tersebut menunjukan titik dimana tingkat pendapatan dan alokasi waktu kerja lebih tinggi dibandingkan keseimbangan
sebelumnya. Pendapatan rumahtangga meningkat menjadi Y
2e
dan alokasi waktu kerja anggota rumahtangga menjadi OL
2
dengan konsekuensi waktu santai rumahtangga berkurang. Oleh karena fungsi produksi tidak berubah maka
keseimbangan baru tersebut menunjukan bahwa produk marjinal tenaga kerja PM
L
di titik B lebih rendah dibandingkan di titik A, konsisten dengan optimisasi pada tingkat upah subyektif yang lebih rendah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model rumahtangga Chayanov membahas teori perilaku rumahtangga petani pada sisi produksi dan
konsumsi. Akan tetapi, model ini tidak memiliki kemampuan analisis respon rumahtangga terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi produksi. Model
ini memiliki kemampuan analisis lebih baik dalam hal menjelaskan dampak struktur ukuran dan komposisi rumahtangga yang mempengaruhi kemiringan
dan posisi kurva indiferen sebagai cerminan preferensi konsumsi rumahtangga. Ide dasar model Chayanov kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh
Nakajima 1986 yang membangun teori keseimbangan subyektif rumahtangga petani dari kasus di Jepang. Teori Nakajima memiliki beberapa asumsi, yaitu: 1
rumahtangga petani menghasilkan produk yang homogen dimana pasar produk tersebut cukup bersaing, 2 sarana produksi yang digunakan dalam usahatani
hanya lahan dan tenaga kerja, 3 areal lahan usahatani sudah tertentu dan konstan. Lahan tersebut adalah lahan milik sendiri dan tidak ada pasar lahan, 4
tidak ada pasar tenaga kerja, 5 rumahtangga petani tidak memiliki pendapatan luar usahatani, 6 fungsi produksi rumahtangga petani sudah tertentu, 7 fungsi
utilitas rumahtangga sudah tertentu, dan 8 tidak ada pengaruh musim dalam produksi usahatani.
Menurut teori
Nakajima, rumahtangga
diasumsikan berusaha
memaksimumkan fungsi utilitas U = UA,M dengan mengkombinasikan penggunaan tenaga kerja A dan pendapatan uang M. Kendala yang dihadapi
adalah fungsi produksi F = FA,
B
, dimana untuk menghasilkan satu jenis produk usahatani diperlukan input tenaga kerja A yang bersifat variabel dan
lahan garapan
B
sebagai input tetap. Dengan asumsi tidak ada pasar input maka tingkat pendapatan rumahtangga M = P
Y
.FA,
B
. Tingkat pendapatan tersebut juga digunakan sebagai kendala untuk memaksimumkan utilitas, dimana syarat
untuk mencapai maksimisasi adalah P
Y
.∂F∂A = -U
A
U
M
. Persamaan tersebut menyatakan bahwa nilai produk marjinal tenaga kerja keluar adalah sama dengan
substitusi marjinal tenaga kerja terhadap pendapatan uang, dimana U
A
= ∂U∂A dan U
M
= ∂U∂M. Dalam model ini nilai -U
A
U
M
disebut sebagai marginal valuation of family labor
nilai valuasi marginal terhadap setiap tambahan satu jam tenaga kerja keluarga, yang ditetapkan secara subyektif. Dengan demikian
persamaan diatas menunjukan bahwa pada titik keseimbangan subyektif, nilai produk marjinal tenaga kerja sama dengan penilaian marjinal tenaga kerja
keluarga. Karakteristik ini membedakan model Nakajima dari analisis ekonomi perusahaan yang akan menyamakan rasio tersebut terhadap tingkat upah
P
Y.
[∂F∂A] = w. Gambar 5 menunjukan keseimbangan ekonomi rumahtangga dalam model
Nakajima. Sumbu mendatar menunjukan jumlah tenaga kerja, sedangkan sumbu tegaknya menunjukan nilai uang pendapatan rumahtangga M=P
Y
FA,
B
. Garis H menunjukan batas psikologis tenaga kerja keluarga. Garis M
M ’
menunjukan tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum subsisten. Kurva TVP menunjukan kurva penerimaan produk total, sedangkan
turunan kurva tersebut, yaitu kurva nilai produktivitas marjinal NPM
T
, diilustrasikan pada gambar sebelah bawah. Kurva NPM
T
memiliki sudut negatif yang semakin turun dengan bertambahnya penggunaan tenaga kerja keluarga
karena asumsi produktivitas marjinal yang semakin menurun declining marjinal
H P
en d
ap at
an M
}
O T
1
T
2
T A
I
O T
1
T
2
T NPM
T
VM
T
α
M0’
productivity . Adapun kurva VM
T
menunjukan kurva penilaian marjinal tenaga kerja keluarga.
Gambar 5. Model Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima
Jika rumahtangga ingin memaksimumkan utilitas U, maka keseimbangan akan diperoleh di titik A. Di titik tersebut kurva nilai produk total TVP
bersinggungan dengan kurva indiferen I. Bersamaan dengan itu, terjadi keseimbangan subyektif dimana NPM
T
= VM
T
. Pada Gambar 5 dapat disimak bahwa pada kondisi keseimbangan, rumahtangga akan mengalokasikan tenaga
kerja sebesar OT
2
untuk usahatani. Adapun selebihnya digunakan untuk waktu santai T
2
T. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, model ekonomi rumahtangga
Nakajima mengasumsikan tidak ada pasar tenaga kerja seperti asumsi dalam model Chayanov. Jika asumsi tersebut dilonggarkan sehingga dalam penerapan
Y Y
1
Alokasi tenaga kerja
Alokasi tenaga kerja
M
Sumber: Nakajima 1986
Mo
teori keseimbangan subyektif diasumsikan terdapat pasar tenaga kerja Findeis, 2002; Ellis, 1988 maka beberapa skenario alokasi tenaga kerja rumahtangga
dapat disimulasikan. Menurut Findeis 2002, dinamika perekonomian saat ini memungkinkan rumahtangga petani memiliki beberapa sumber pendapatan
berbeda, termasuk pendapatan dari alokasi tenaga kerja di luar usahatani dan di luar pertanian.
Dengan mengikuti konsep OECD 2001 Findeis 2002 menyebutkan adanya tiga kelompok tipe rumahtangga petani yang berbeda dalam pola alokasi
tenaga kerja keluarga. Ketiga tipe tersebut adalah: 1 rumahtangga yang memiliki kelebihan tenaga kerja untuk dipekerjakan diluar usahatani, 2 rumahtangga yang
tidak bekerja di luar usahatani tetapi juga tidak menyewa tenaga kerja dari luar, dan 3 rumahtangga yang menyewa tenaga kerja luar untuk menutupi kekurangan
kebutuhan tenaga kerja dalam keluarga. Pada kelompok rumahtangga yang pertama,diasumsikan rumahtangga
masih memiliki kelebihan potensi tenaga kerja yang belum digunakan untuk kegiatan apapun. Oleh sebab itu, selain untuk usahataninya sendiri petani juga
masih dapat mengalokasikan tenaga kerja untuk aktifitas di luar usahatani maupun non pertanian sebagai tenaga upahan maupun sebagai pengelola atau self
employment . Perilaku pengambilan keputusan alokasi tenaga kerja dalam seluruh
usaha yang dikelola rumahtangga dapat disimak pada Gambar 6. Diasumsikan bahwa usahatani F pada awalnya memiliki atau
memberikan pendapatan upah tenaga kerja marginal return to labortertinggi. Tetapi kemudian, pendapatan tenaga kerja dari usahatani tersebut menjadi kalah
tinggi dibanding pendapatan tenaga kerja dari bekerja di usaha lain N. Kelebihan tenaga kerja dalam keluarga dimanfaatkan untuk melakukan aktifitas produktif di
luar usahatani dan non pertanian, tanpa meninggalkan prioritas alokasi tenaga kerjauntuk usahatani.
Keseimbangan terjadi ketika kurva indiferen rumahtangga I menyinggung kurva pendapatan tenaga kerja total net return to labor, yang
ditunjukan oleh kurva 0Z’N’, yaitu di titik Q. Pada kondisi keseimbangan
tersebut, total alokasi waktu kerja rumahtangga optimal adalah sebesar T
t
. Alokasi tersebut meliputi alokasi untuk bekerja dalam usahatani sebesar T
f
.
Gambar 6. Keseimbangan Subyektif Pilihan Multiple Self-employment: Antara Pertanian dan Non Pertanian
33 Sumber: Findeis 2002
Alokasi Tenaga kerja Non Pertanian Alokasi Tenaga Kerja Pertanian
Total Alokasi Tenaga Kerja T
n
S’ N
T
n
Z Z’
T
f
F
T
f
Q I
N’
S T
f
T
t
T P
enda pa
tan M
P enda
pa tan
M
P enda
pa tan
M
34
Ha lama
n ini seng
aja diko songkka
n
Alokasi tersebut meliputi alokasi untuk bekerja dalam usahatani sebesar T
f
dan untuk bekerja pada usaha lain usaha alternatif sebesar T
n
.Waktu yang tersisa digunakan untuk santai leisure atau untuk melakukan pekerjaan domestik rumahtangga, yaitu
sebesar T-T
t
, dimana T menunjukan total potensi sumberdaya tenaga kerja dalam rumahtangga petani.
Garis SS’ menunjukan batas minimum tingkat pendapatan untuk konsumsi subsisten.
Selanjutnya, jika diasumsikan diantara anggota rumahtangga petani ada yang bekerja sebagai tenaga buruh upahan pada kegiatan di luar usahatani atau di sektor
non pertanian, maka keseimbangan subyektif alokasi tenaga kerja rumahtangga dapat disimak pada Gamber 7. Pada tingkat upah konstan yang berlaku ditunjukan oleh
garis W dan kurva net return usahatani F, rumahtangga diasumsikan akan mengalokasikan tenaga kerja pada kegiatan usahatani lebih dulu sebagai prioritas.
Selanjutnya, alokasi tenaga juga dilakukan untuk bekerja sebagai tenaga upahan di sektor non pertanian.Situasi demikian menggambarkan rumahtangga melakukan
pekerjaan ganda multiple job-holding. Pada kasus di atas, keseimbangan tercapai di titik Q. Dalam kondisi
keseimbangan, volume tenaga kerja yang dialokasikan untuk bekerja secara total adalah sebesar T
t
. Adapun volume tenaga kerja yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar T
f
dan volume tenaga kerja pada kegiatan non usahatani adalah sebesar T
w
. Pada kasus dimana ada anggota rumahtangga yang terlibat pada lebih dari dua kegiatan secara bersamaan maka pengambilan keputusan untuk penentuan
volume alokasi tenaga kerja masing-masing pekerjaan akan dipengaruhi oleh alokasi waktu secara keseluruhan, disamping dipengaruhi juga oleh preferensi rumahtangga
terhadap pilihan antara bekerja dan bersantai. Model Nakajima juga mengulas kasus dimana anggota rumahtangga bekerja
penuh sebagai buruh luar usahatani Findeis, 2002. Meski secara empiris adanya kesempatan kerja penuh di luar usahatani tidak menjamin prioritas alokasi waktu
untuk pekerjaan tersebut, tetapi pada kasus ini pendapatan tenaga kerja marginal return to labor
bekerja di luar pertanian dianggap lebih tinggi dibandingkan bekerja dalam usahatani. Diasumsikan pula bahwa rumahtangga mengalokasikan waktunya
Gambar 7. Keseimbangan Subyektif Bekerja Usahatani dengan Bekerja Upahan di Luar Usahatani Sumber: Findeis 2002
S’ W’
T
f
P enda
pa tan
M
P enda
pa tan
M
Alokasi Tenaga Kerja Dalam Usahatani
Alokasi Tenaga Kerja Berburuh Luar Usahatani
Total Alokasi Tenaga Kerja F
T
f
Z Z’
T
w
W ’
T Q
I
T
f
T
t
T F
P enda
pa tan
M 36
untuk bekerja secara penuh pada satu atau lebih jenis pekerjaan dan kemudian menggunakan sisa waktunya untuk mengurus usahatani. Visualisasi secara grafis kasus ini
dapat disimak pada Gambar 8. Pada rumahtangga tipe kedua, diasumsikan seluruh kebutuhan tenaga kerja dapat
dipenuhi oleh tenaga kerja dalam keluarga. Selain itu, tidak ada kegiatan menyewa tenaga kerja luar atau menjual jasa tenaga kerja keluar. Seluruh waktu kerja dialokasikan untuk
mendukung operasional kegiatan usahatani, sehingga rumahtangga tidak memiliki pekerjaan sampingan. Pola alokasi waktu demikian dapat terjadi jika usahatani memberikan
pendapatan atas tenaga kerja marginal return lebih besar dibandingkan pendapatan dari bekerja di luar usahatani atau di sektor non pertanian, dalam seluruh rentang alokasi waktu
untuk bekerja. Dapat dikatakan usahatani memberikan keuntungan cukup besar, sedangkan bekerja di luar usahatani dan di non pertanian kurang memberikan pendapatan yang
memadai. Menurut Findeis 2002, di daerah-daerah dimana kesempatan kerja di luar
usahatani atau di luar pertanian kurang berkembang atau tidak dapat dijangkau oleh anggota rumahtangga petani, maka seluruh waktu kerja rumahtangga petani akan
dialokasikan pada kegiatan usahatani dan pekerjaan di rumah. Situasi seperti itu dapat menjadi penyebab meningkatnya pengangguran di sektor pertanian. Secara teori, alokasi
tenaga kerja penuh dalam usahatani juga dapat terjadi jika upah di luar usahatani terlalu rendah di bawah upah reservasi. Namun demikian, pilihan kerja tersebut juga dipengaruhi
oleh besarnya biaya transaksi. Di daerah-daerah yang relatif terisolir, biaya transaksi untuk mendapatkan pekerjaan di luar usahatani bisa jadi cukup besar.
Tipe rumahtangga petani ketiga adalah mereka yang menggunakan jasa tenaga kerja luar keluarga karena kebutuhan yang terlalu besar dibandingkan kemampuan rumahtangga
menyediakan tenaga kerja. Penggunaan jasa tenaga kerja umumnya memiliki periode atau pola tertentu harian, mingguan, bulanan,atau musiman. Biasanya, aktifitas menyewa
tenaga kerja terjadi ketika usahatani sudah berjalan intensif dan membutuhkan curahan tenaga kerja banyak. Secara grafis ilustrasi penggunaan jasa tenaga kerja dapat disimak
pada Gambar 9.
S’ W
full
T
n
W
full
T
f
F
T
f
Q I
S T
w
T
t
T F
O P
enda pa
tan M
P enda
pa tan
M
P enda
pa tan
M
Gambar 8. Keseimbangan Subyektif Usahatani dengan Bekerja Penuh di Luar Usahatani T
n
Alokasi Tenaga Kerja Penuh di Luar Usahatani
Alokasi Tenaga Kerja Usahatani Total Alokasi Tenaga Kerja
Sumber: Findeis 2002 38
Gambar 9. Alokasi Waktu Kerja Rumahtangga yang Menyewa Buruh Tani
Diasumsikan rumahtangga hanya memiliki ketersediaan waktu untuk bekerja dalam usahatani sebesar T
f
. Padahal, kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani lebih besar dari itu, yaitu mencapai F
f
. Untuk menutup kekurangan tersebut rumahtangga menyewa tenaga kerja buruh dari luar. Pada tingkat upah
yang berlaku sebesar W
h
, maka alokasi waktu dari tenaga buruh adalah sebesar F
f
-T
f
. Dengan menggunakan tenaga kerja sewaan rumahtangga petani dapat memanfaatkan waktu mereka lebih leluasa untuk kepentingan atau kegiatan lain
yang produktif maupun tidak produktif, seperti bersantai atau mengerjakan aktifitas rutin dalam rumahtangga.
Dijelaskan oleh Findeis 2002, dalam perspektif pola yang lebih kompleks rumahtangga dapat menyewa jasa tenaga kerja dari luar untuk
usahataninya. Tetapi, di sisi lain, mereka juga menjual jasa tenaga kerja di pasar tenaga kerja luar usahatani. Keputusan seperti itu mungkin saja dilakukan,
terutama jika terdapat perbedaan upah cukup besar antara bekerja dalam usahatani dengan bekerja di luar usahatani. Mobilitas tenaga kerja antar sektor seperti itu
bagi rumahtangga petani dapat dipandang sebagai alternatif strategi meningkatkan T
f
F
f
S’ W
h
Q I
S T
F
O P
enda pa
tan M
AlokasiTenaga Kerja Sumber: Findeis 2002
efektifitas pemanfaatan sumberdaya internal sekaligus sebagai upaya meningkatkan pendapatan.
3.2. Dampak Perubahan Harga Terhadap Keseimbangan Subyektif