Aktivitas HTI DIY Terkait dengan Liwa dan Rayah

B. Aktivitas HTI DIY Terkait dengan Liwa dan Rayah

HTI DIY memproyeksikannya tsaqofah (pemikiran) yang telah dipelajari dalam halqoh, ke dalam kehidupannya, termasuk dalam hal penggunaan liwa dan rayah. Panji dan bendera itu digunakan dalam berbagai kegiatan. Tidak ada batasan tertentu acara apa yang mesti menggunakan liwa dan rayah dan acara apa yang tidak. Namun demikian, bendera itu cenderung digunakan dalam Aktivitas yang bersifat terbuka atau melibatkan masyarakat luas. Sebelum membicarakan kegiatan yang menggunakan liwa dan rayah maupun kegiatan yang tidak menggunakannya, berikut ini dibahas tentang pembuatan atau pengadaan bendera tersebut, lalu tentang perlakuan HTI DIY terhadap bendera itu.

1. Pengadaan Liwa dan Rayah

HTI DIY tidak memiliki bagian khusus yang bertugas membuat liwa dan rayah. Jarang seorang anggota ditugasi membuat bendera. Bendera-bendera itu umumnya dipesan di biro jasa advertensi. Perusahan yang biasa menangani adalah Ahsanta

29 Al-Muafiri, 2000, 461-463. 30 Imam an-Nawawi dan al-Qasthalani, Kumpulan Hadits Qutsi beserta Penjelasannya (Yogyakarta: Al-Manar, cetakan ke-5, 2008), 64.

Design and Product (Ahsanta) dan Solfi Advertising and Printing Textile (Solfi).

Anggota HTI DIY yang pernah bertugas membuat rayah adalah Aruman yang dibantu beberapa teman. Rayah berukuran 4 x 3 m yang sering digunakan sebagai backdrop acara HTI DIY

adalah karyanya tahun 2006. “Rayah itu kami kerjakan di STIE Kerja Sama sebelum kampus itu roboh karena gempa,” katanya

mengenang. 31 Panji itu hanya dibuat tiga buah, kini berada di HTI DIY mahaliyah (cabang) Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Lelaki kelahiran Mojokerto 18 Oktober 1977 itu memang tidak asing dengan dunia kaligrafi. Adho HTI DIY yang juga dosen seni rupa ISI Yogyakarta ini beberapa kali menjuarai kompetisi kaligrafi Arab, antara lain, Penghargaan Terbaik I Lomba Kaligrafi MTQ 1999.

Adapun Ahsanta (gb. 3.1) adalah biro jasa advertensi milik pasangan suami istri, Eko Pujiayanto dan Nunuk Dwi Hariyanti. Berbeda dengan Nunuk, Eko bukan anggota HT. Nunuk telah aktif di HTI DIY sejak berstatus mahasiswa seni kriya tekstil di ISI Yogyakarta.

dengan beberapa karyawatinya, mengerjakan penjahitan bendera; adapun Eko,

31 Wawancara dengan Aruman, kaligrafer pembuat rayah HTI DIY, tanggal 10 Maret 2012.

seorang diri, menggarap penyablonan. “HTI DIY sering memesan

bendera ke sini,” kata Nunuk. 32

Menariknya, kendati HT tidak pernah mengajarkan laku khusus saat mengerjakan liwa dan rayah, Eko merasa perlu berwudlu terlebih dahulu, agar suci, sebelum membuatnya. Dalam proses pembuatan, ia tidak berani melangkahi bendera itu, karena

terdapat lafaz kalimat sahadat. 33

Karena Eko bekerja seorang diri, ia sering kewalahan menerima order. Maka, saat persiapan acara Konjab 1432 H, industri rumah tangga itu hanya mampu menggarap enam ratus bendera dari dua ribu lebih yang dibutuhkan. Muhammad Nazir, anggota HTI DIY bagian produksi liwa dan rayah untuk Konjab 1432 H, segara mencari perusahaan lainya yang bersedia menggarap dua ribu bendera dalam waktu tiga hari. Pilihannya jatuh pada Solfi (gb. 3.2).

Jasa percetakan tekstil yang memiliki belasan karyawan itu telah terbiasa menerima order dalam jumlah banyak, khususnya untuk batik printing. Sedikit waktu yang disediakan panitia dapat digunakan untuk merampungkan pesanan . “Membuat liwa dan

32 Wawancara dengan Nunuk Dwi Hariyani, pemilik Ahsanta Design and Product, tanggal 4 November 2011

33 Wawancara dengan Eko Pujiyanto, pemilik Ahsanta Design and Product, tanggal 4 November 2011 33 Wawancara dengan Eko Pujiyanto, pemilik Ahsanta Design and Product, tanggal 4 November 2011

menambahkan. 35

Di sisi lain, anggota maupun pelajar HTI DIY secara personal tidak dilarang mempunyai liwa dan rayah, namun juga tidak diharuskan memilikinya. Sabab HTI DIY dapat membeli bendera itu. Tempat yang biasa menjual liwa dan rayah, dan juga buku- buku keluaran HT, adalah toko buku Panatagama, atau yang lebih dikenal dengan namanya Rumah Muslim (Rumus). Kadang, liwa dan rayah juga dijual pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya ketika ada perhelatan HTI DIY (gb. 3.3).

34 Wawancara dengan Indarjo, pemilik Solfi Advertising and Printing Textile, tanggal 20 November 2011.

35 Wawancara dengan Indarjo, pemilik Solfi Advertising and Printing Textile, tanggal 20 November 2011.

Eko Pujiyanto, pemilik Ahsanta, memperlihatkan skrin sablon

Gambar 3.1

untuk pembuatan liwa atau rayah

(Foto: Deni Juanedi, 2011)

Rayah dijual di acara Konjab 1432 H Rayah di etalase Solfi

Gambar 3.2 Gambar 3.3

(Foto: Deni Juanedi, 2011) tanggal 19 Juni 2011 (Foto: Deni Juanedi, 2011)

2. Perlakuan HTI DIY terhadap Liwa dan Rayah

Secara umum, HTI DIY memperlakukan liwa dan rayah sebagai benda penting. Hal ini terindikasi dari berbagai aksinya yang menggunakan bendera itu. Meskipun demikian, bendera tersebut tidak dianggap sebagai benda keramat dalam pengertian benda suci yang harus diperlakukan dengan ritual khusus. Perlakuan HTI DIY terhadap liwa dan rayah berbeda dengan, misalnya, perlakuan yang diberikan Keraton Yogyakarta terhadap bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung yang mesti dimandikan

setiap tanggal 1 Suro. 36

HTI DIY atau HT tidak mengeluarkan peraturan khusus tentang perlakuan terhadap liwa dan rayah. Kendati HT membahas bendera itu dalam Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Islam, di sana tidak ada ayat yang mengatur tentang

perlakuan terhadapnya. 37 Ini berbeda dengan, misalnya, bendera Indonesia, Sang Merah Putih, yang memiliki seperangkat peraturan yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009. Dalam Pasal 24 ayat e, umpamanya, Sang

Merah Putih dilarang digunakan sebagai pembungkus barang. 38 Di lapangan, HTI DIY pernah menggunakan bendera itu hingga menyentuh tanah, yaitu saat pentas pengibaran liwa dan

36 Wawancara dengan K.R.T. H. Jatiningrat, kerabat Keraton Yogyakarta, 7 Januari 2012.

37 An-Nabhani, 2001, 102; An-Nabhani, 2009, 310. 38 Tim, 2009, 21-22.

rayah di Konjab 1432 H (gb. 3.4). Akan tetapi, hal itu bukan aksi yang dirancang agar bendera itu menyentuh tanah, gerakan itu lebih sebagai ancang-ancang untuk mengibarkannya. Hal itu berbeda, misalnya, dibandingkan dengan prajurit Keraton Jogja yang memang harus merendahkan benderanya hingga menyentuh tanah, bahkan menyeretnya, ketika berjalan di depan Sultan (gb.

3.5). 39 HTI DIY juga pernah membagi-bagikan liwa dan rayah berukuran kecil, kira-kira 14 x 19 cm, yang terbuat dari kertas difotokopi. Bendera itu, pada saat pawai menjelang Ramadhan tanggal 29 Juni 2011, diberikan kepada orang-orang yang ada di pinggir jalan, termasuk kepada anak kecil (gb. 3.6) dan wisatawan mancanegara (gb. 3.7). Selain itu, liwa dan rayah tidak terbatas hanya digunakan oleh orang tua. Pada beberapa acara, terutama ketika masirah, bendera tersebut juga dibawa oleh anak-anak yang diajak mengikuti aksi (gb. 3.8)

digunakan untuk memperlakukan liwa dan rayah adalah seperti benda-benda lain sejenis yang tercantum nama Allah, Nabi Muhammad, atau ayat al-Quran. Terkait dengan hal ini, terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban bahwa Nabi Muhamammad melepas cincinnya

Secara umum,

kaidah

yang

39 Yuwono Sri Suwito, et al. “Kajian Filosofi dan Nilai Budaya Prajurit Kraton Yogyakarta” (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya, 2008), 134; dan Wawancara dengan K.R.T. H. Jatiningrat,

kerabat Keraton Yogyakarta, 7 Januari 2012.

yang terukir tulisan “Muhammad Rasul Allah” ketika ia masuk kamar kecil. Dengan demikian, liwa dan rayah yang terdapat kalimat sahadat juga tidak boleh dibawa masuk ke toilet.

Gambar 3.4

Liwa dan rayah pernah digunakan HTI DIY hingga menyentuh tanah, saat

Konjab 1432 H tanggal 19 Juni 2011, dalam gambar hanya terlihat rayah

(Foto: Deni Juanedi, 2010)

Gambar 3.5

Bendera Gula Kelapa dibawa prajurit Keraton Yogyakarta

hingga menyentuh tanah

(Suwito, 2008, 134)

Gambar 3.6 Gambar 3.7

Anak-anak mendapat bendera, Wisatawan macanegara mendapat

saat pawai menjelang Ramadhan bendera, saat pawai menjelang tanggal 29 Juni 2011

Ramadhan tanggal 29 Juni 2011

(Foto: Deni Junaedi 2011)

(Foto: Deni Junaedi 2011)

Gambar 3.8

Anak sabab HTI DIY yang diajak aksi ikut membawa liwa dan rayah

(Suwito, 2008, 134)

3. Aktivitas HTI DIY dengan Liwa dan Rayah

HTI DIY hampir selalu menggunakan liwa dan rayah pada kegiatannya yang bersifat terbuka, seperti masirah (demonstrasi), pawai, konferensi, seminar, diskusi, syawalan, sholad ied, atau bantuan bencana alam. Paling sering, bendera itu dikibarkan di acara masirah. Dalam setahun, aksi seperti ini dapat berlangsung beberapa kali. Pada tahun 2011, misalnya, paling tidak digelar lima aksi turun ke jalan. Salah satunya adalah masirah menolak liberalisasi mig as dengan tema “Negara Gagal Selamatkan dengan Syariah dan Khilafah” tanggal 21 Januari 2011 (gb. 3.9). Pernah,

HTI DIY secara khusus meminta seluruh aktivisnya membawa liwa atau rayah dalam unjuk rasa. Beberapa hari sebelum masirah untuk umat Islam Suriah tanggal 4 Maret 2012 dengan tema

“Tumbangkan Diktator Basyar al-Asad”, HTI DIY mengirim sms kepada para sabab untuk, “Berbaju rapi sopan, memakai ikat kepala, dan membawa liwa atau rayah .”

Sementara itu, dalam acara pawai menjelang Ramadhan tanggal 29 Juni 2011, oleh Muslimah HTI DIY liwa dan rayah dikibarkan bersama dengan balon berwarna-warni. Balon-balon itu mengurangi kesan garang pada kegiatan yang berawal dari taman parkir Abu Bakar Ali hingga alun-alun utara, acara ini juga tidak disertai orasi politis (gb. 3.10).

Gambar 3.9

Liwa dan rayah dalam aksi menolak liberalisasi migas tanggal 21 Januari 2011 di perempatan Kantor Pos

(Foto: Deni Juanedi, 2011)

Gambar 3.10 Liwa dan rayah disamping balon berwarna warni, dalam pawai menjelang Ramadhan tanggal 29 Juni 2011 (Foto: Deni Juanedi, 2011)

Selain di masirah dan pawai, liwa dan rayah juga digunakan dalam acara Konferensi Rajab (Konjab) 1432 H tanggal 19 Juni 2011 (gb. 3.11). Acara yang diselenggarakan di Jogja Expo Center (JEC) dengan tema “Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah” itu melibatkan ribuan liwa dan rayah. Bahkan, gawai yang diselenggarakan dalam rangka retrospeksi dan introsepsi keruntuhan Khilafah itu disertai agenda “Aksi Sejuta Liwa Rayah”, yaitu pemasangan dua ribuan liwa dan rayah di jalan lingkar Yogyakarta. Konferensi ini merupakan satu paket dengan acara Konjab HTI yang digelar di berbagai kota.

Kendati jauh lebih sedikit jika dibandingkan Konjab 1432 H, Seminar Rajab 1431 H tanggal 10 Juli 2010 juga menggunakan liwa dan rayah. Di atas pembicara seminar hanya terpajang dua liwa dan dua rayah yang dipasang saling berhimpitan dan bersilangan (gb. 3.12). Di kanan kiri peserta “Islam Menjawab Problematika Indonesia dan Dunia” itu hanya ada beberapa bendera kecil ditempel di dinding. Adapun di depan gedung Mandala Bhakti Wanitatama terdapat rayah berukuran lebar.

Liwa dan rayah dalam jumlah terbatas, tidak lebih dari sepuluh, juga telihat dalam kegiatan diskusi “Separatisme, Terorisme, dan Negara Islam dalam Sorotan ” di masjid kampus UNY. Keseluruhan bendera dalam kegiatan tanggal 24 Oktober 2010 itu hanya dikaitkan di pagar masjid bagian depan (gb. 3.13).

Sementara itu, di dalam ruangan hanya ada gambar liwa di backdrop pembicara (gb. 3.34); salah satu pembicara adalah wakil dari Poltabes Yogyakarta.

Demikian pula, liwa dan rayah yang hanya sedikit digunakan dalam kegiatan Syawalan HTI DIY tanggal 17 September 2011. Pada acara yang diselenggarakan di Monumen Diponegoro itu menggunakan tidak lebih dari sepuluh bendera. Di dalam pendapa hanya ada sebuah rayah berukuran besar sebagai backdrop (gb. 3.14).

Di Posko Peduli Merapi HTI ketika bencana letusan Merapi tahun 2010 juga dipasang liwa dan rayah (gb. 3.15). Saat itu terdapat dua posko, yang satu ada di luar stadion dan yang lain ada di dalamnya. Rayah berukuran besar dipasang di posko luar, di sebelah timur stadion Maguwoharjo Sleman Yogyakarta.

Sebuah rayah sebagai backdrop juga digunakan HTI DIY ketika penyelenggaraan sholat Idul Adha 6 November 2011 di Balai Pelatiahan Teknik Traksi (BPTT) Lempuyangan. Bendera itu dipasang di belakang khotib atau di depan imam sholat (gb. 3.16). Di bagian lain tidak terlihat keberadaan liwa dan rayah yang dikibarkan. Setelah usai sholat terjadi pemandangan unik. Beberapa siswa BPTT yang ikut berjamaah bergantian berpose di depan bendera itu (gb. 3.17).

Gambar 3.11

Gambar 3.12

Liwa dan rayah, tampak di kiri Liwa dan rayah, tampak di tengah atas, digunakan dalam Konjab 1432

atas, digunakan di Seminar Rajab

1431 H tanggal 10 Juli 2010 (Foto: Deni Juanedi, 2011)

H tanggal 19 Juni 2011

(Foto: Deni Juanedi, 2011)

Gambar 3.13

Gambar 3.14 Liwa dan rayah di depan masjid

Rayah di Syawalan

kampus UNY, acara diskusi tanggal tanggal 17 September 2011

24 Oktober 2010 (Foto: Deni Juanedi, 2011)

(Foto: Deni Juanedi, 2011)

Gambar 3.15

Posko Peduli Merapi HTI tahun 2010, liwa dan rayah kecil

tampak di dekat pintu

(Foto: Deni Juanedi, 2011)

Gambar 3.16 Gambar 3.17 Rayah di Idul Adha yang diselenggarakan HTI DIY Usai sholad Idul Adha, siswa BPTT

berpose di depan rayah 6 November 2011

(Foto: Deni Juanedi, 2011)

(Foto: Deni Juanedi, 2011)

4. Aktivitas HTI DIY tanpa Liwa dan Rayah

HTI DIY tidak mengeluarkan ketentuan khusus terkait dengan kegiatan apa yang memerlukan liwa dan rayah dan apa yang tidak. Aktivitas tanpa bendera umumnya adalah aktivitas yang bersifat internal, yang hanya untuk undangan khusus, atau yang tidak memerlukan perhatian publik.

Halqoh di HTI DIY, sebagai kegiatan rutin mingguan, tidak pernah menggunakan bendera. Demikian juga, rapat para sabab juga tidak memakainya. Selain itu, beberapa kegiatan berikut ini tidak memanfaatkan liwa dan rayah.

Diskusi Meja Forum Intelektual Muslim tanggal 15 Januari 2011 digelar tanpa bendera (gb. 3.18), kecuali hanya dalam desain tayangan lcd projektor. Acara yang berjuluk “Refleksi atas Indonesia Menggagas Masa Depan Gemilang untuk Negeri Muslim

Terbesar” ini diikuti oleh dosen dan pemikir dari berbagai Terbesar” ini diikuti oleh dosen dan pemikir dari berbagai

hotel mudah dicari, jadi tidak perlu liwa atau rayah .” 40 Saat penyelenggaraan Training Pemuda di Balai Desa Merdikorejo Tempel Sleman, sebuah desa di lereng Merapi, HTI DIY juga tidak memasang liwa maupun rayah (gb 3.19). Acara yang diselenggarakan tanggal 19 Desember 2010 itu merupakan rangkaian kerja tim tanggap bencana Merapi HTI. Ketiadaan liwa dan rayah di acara yang berjudul “Bangkit Pemudaku Raih Prestasimu” ini didasari kritikan bahwa parpol-parpol yang membuka posko memanfaatkan situasi untuk sarana kampanye dengan cara ramai-ramai mengibarkan bendera.

Selanjutnya, daurah atau kajian untuk perekrutan daris yang diselenggarkan tanggal 16 Januari 2011 juga tanpa bendera (gb. 3.20). Acara yang digelar di mushola Baitul Makmur kompleks gedung Kementrian Dinas Sosial Yogyakarta ini hanya diikuti oleh

40 Wawancara dengan koordinator acara Diskusi Meja Forum Intelektual Muslim tanggal 9 Maret 2012.

peserta undangan. Sebelum diundang dalam acara yang berjuluk “Menjadi Sang Pencerah Penegak Syariah dan Khilafah” ini, para

peserta telah mengikuti beberapa kajian umum.

Gambar 3.18

Liwa dan rayah tidak digunakan di Diskusi Meja Forum Intelektual Muslim 15 Januari 2011, dalam gambar tampak

pembicara Revrison Baswir, bukan anggota HT

(Foto Deni Juanedi, 2011)

Gambar 3.19 Gambar 3.20 Liwa dan rayah tidak digunakan di

Liwa dan rayah tidak digunakan Training Pemuda 19 Desember 2010

di daurah 16 Januari 2011 (Foto: Deni Juanedi, 2010)