Status Liwa dan Rayah dalam Seni

4. Status Liwa dan Rayah dalam Seni

HTI DIY tidak pernah membicarakan apakah liwa dan rayah tergolong sebagai karya seni atau tidak. Menurut Howard S. Becker, seni rakyat (folk art) atau seni yang dibuat oleh mayarakat kebanyakan, memang sering kali tidak disertai kesadaran masayarakat

penciptanya sebagai karya seni. 11

Kendati tidak disertai kesadaran tentang seni atau estetika, bendera yang digunakan HTI DIY tergolong sebagai objek estetik, karena objek tersebut dapat menimbulkan pengalaman estetik. Lebih

11 Howard S. Becker, Art Worlds (Berkeley dan Los Angeles: University 11 Howard S. Becker, Art Worlds (Berkeley dan Los Angeles: University

Liwa dan rayah termasuk seni rupa, karena bendera tersebut dicerap dengan indera penglihatan; karya seni rupa adalah karya yang ditangkap secara visual. 12 Akan tetapi, bendera tersebut dapat menjadi properti utama seni pertunjukan, misalnya, ketika digunakan pada pentas acara Konjab 1432 H tanggal 19 Juni 2011 (gb. 4.33); seni

pertunjukan ditandai dengan keberadaan aksi atau praktek. 13

Gambar 4.33

Liwa dan rayah sebagai properti utama pertunjukan di Konferensi Rajab 1432 H tanggal 19 Juni 2011

(Foto: Deni Junaedi 2011)

12 Rosalind Ragans, Art Talk (Woodland Hills: Glencoe/McGraw-Hill, 2005), 6.

13 Angela Hobart dan Bruce Kapferer, Aesthetics in Performance: Formation of Symbolic Construction and Experience (New York: Berghahn

Lebih khusus, liwa dan rayah termasuk seni kriya (craft). Bendera itu memenuhi tiga parameter seni kriya yang diungkapkan Becker, yaitu fungsional, pembuatannya dibutuhkan keahlian tertentu,

dan pada tiap bendera tidak diperlukan keunikan khusus. 14 Pertama, bendera itu bersifat fungsional karena difungsikan sebagai identitas keislaman dan penyampai pesan cita-cita penegakan Khilafah. Kedua, pembuatan liwa maupun rayah diperlukan keahlian terutama dalam pembuatan kaligrafi Arab. Ketiga, antara bendera satu dengan lainnya tidak diperlukan keunikan atau perbedaan; sekalipun terdapat perbedaan komposisi sebagaimana yang telah dibahas, perbedaan itu tidak diniatkan untuk diciptakan di tiap bendera; ini berbeda, misalnya, dengan penciptaan patung dalam lingkup seni murni yang mengejar perbedaan antara satu karya dengan karya lainnya.

Di sisi lain, bendera tersebut juga dapat dikategorikan sebagai desain. Victor Papanek menyebutkan, desain adalah usaha sadar untuk membentuk tatanan yang bermakna. Bahkan, mantan dekan sekolah desain di California Institute of the Arts ini menyatakan bahwa setiap manusia adalah desainer, dan perencanaan maupun pemolaan setiap tindakan menuju tujuan yang diinginkan dan terprediksi Di sisi lain, bendera tersebut juga dapat dikategorikan sebagai desain. Victor Papanek menyebutkan, desain adalah usaha sadar untuk membentuk tatanan yang bermakna. Bahkan, mantan dekan sekolah desain di California Institute of the Arts ini menyatakan bahwa setiap manusia adalah desainer, dan perencanaan maupun pemolaan setiap tindakan menuju tujuan yang diinginkan dan terprediksi

Liwa dan rayah, sebagai seni kriya maupun desain, dalam wacana seni modern tergolong sebagai seni rendah (low art), berbeda dengan, misalnya, lukisan yang termasuk seni tinggi (high art). Akan tetapi, pemilahan seperti itu belum terjadi sebelum abad ke-19 di

Eropa; 16 dan tidak digemari dalam estetika postmodern yang mulai

diwacanakan pada pertengahan abad ke-20. 17

Segala kategorisasi seni atas liwa dan rayah tersebut tidak diperbincangkan di lingkungan HTI DIY. Status seni atau bukan seni, seni kriya atau seni murni, seni rendah atau seni tinggi, seni modern atau seni postmodern tidak pernah dibahas dalam parpol itu. Yang dilakukan HTI DIY adalah mengibarkan bendera sebagai bagian dari perjuangan penegakan Khilafah.

15 Victor Papanek, Design for the Real World (Toronto, New York, London: Bantam Books, 1973), 1.

16 David Inglis, “Thingking „Art‟ Sociologically”, dalam Inglis, David, dan John Hughson, ed., The Sociology of Art (New York: Palgrave Macmillan,

2005), 12-16. 17 Yustiono, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia dan Gelombang Post-

Modernisme”, dalam Jurnal Seni Rupa (Volume I, 1995), 16.