Nilai Ikonis

2. Nilai Ikonis

Nilai ikonis pada liwa dan rayah di HTI DIY mengindikasikan bendera tersebut memiliki kesamaan dengan acuannya. Dalam hal ini, acuan tersebut adalah bendera yang digunakan Nabi Muhammad. Dengan kata lain, liwa dan rayah di HTI DIY bernilai ikonis karena meniru bendera Rasulullah.

Peniruan seperti ini sesuai dengan pendapat Elgenius. Ia menyatakan bahwa penggunaan warna bendera oleh umat Islam merupakan peniruan terhadap bendera pemimpinnya; ini berbeda dengan bangsa China yang mengidentifikasi setiap warna bendera

dengan konsep filsafat atau agama. 24 Bukan hanya bangsa China, warna bendera sebagai simbol ajaran tertentu dapat ditemui di belahan bumi manapun. Misalnya, pada Chabana Ramsi atau „panji enam warna‟, bendera Buddhis yang dibuat oleh J.R. de Silva dan Kolonel

H.S. Olcott, putih melambangkan kesucian, merah berarti cinta kasih, biru merepresentasikan bakti, kuning bermakna kebijaksanaan, oranye menyimbolkan keaktifan, dan campuran kelima warna tersebut

melambangkan aura Buddha. 25 Selain itu, pada bendera India putih melambangkan kedamaian dan kebenaran; di bendera Kanada merah berarti pengorbanan; dalam bendera Perancis merah berarti

kebebasan; dan di Kuwait merah merupakan simbol darah musuh. 26 Demikian pula pada bendera Indonesia, merah menyimbolkan keberanian mempertahankan kedaulatan, putih berarti kesucian atau

kebenaran. 27 Di HTI DIY, penggunaan warna putih pada liwa atau hitam pada rayah sama sekali tidak menyimbolkan pemaknaan seperti itu. Ground

24 Elgenius, 2007, 17-18. 25 Hudaya Kandahjaya, “Aura Budha”, dalam Ensiklopedi Nasional

Indonesia (Bekasi: PT. Delta Pamungkas, cetakan ke-4, 2004), 417; Yan Senjaya, Media Pembelajaran Pendidikan Agama Buddha, Video CD (Joky Production, 2009), 5.

26 Roberts, 1997, passim.

tersebut, demikian pula dengan charge, semata-mata dimaksudkan sebagai peniruan terhadap bendera Nabi Muhammad. Dalam Islam, peniruan terhadap perbuatan Rasulullah adalah sesuatu yang biasa;

dalam ibadah hal seperti itu disebut tawqifiyah. 28

Kendati liwa dan rayah bersifat ikonik, terdapat pula perbedaan penggunaan antara yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad dengan yang terjadi di HTI DIY. Dalam peperangan semasa Nabi, liwa hanya ada satu, sedangkan rayah dimungkinkan berjumlah banyak; saat itu, posisi liwa berada di dekat pemimpin tertinggi, dan rayah

digunakan tiap pemimpin divisi atau pempinan kabilah. 29 Sementara, pada HTI DIY tidak ada batasan jumlah penggunaan liwa maupun rayah (gb. 4.35). Selain itu, pembawa bendera pada masa nabi hanyalah laki-laki; sedangkan di HTI DIY liwa dan rayah dibawa oleh laki-laki maupun perempuan (gb. 4.36). Tentang perbedaan jumlah, Ketua DPD I HTI DIY menyatakan bahwa penggunaan liwa dan rayah di HTI DIY merupakan bentuk sosialisasi bendera Khilafah, bukan sebagai penanda posisi pimpinan perang, dengan demikian jumlahnya tidak dibatasi. Adapun dasar penggunaan bendera oleh wanita, menurutnya, didasari ketidakadaan dalil khusus yang membatasi

28 Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, Terj. Zamroni (Bogor: Pustaka Thariqul „Izzah, cetakan ke-4, 2002), 118.

penggunaan liwa dan rayah hanya oleh laki-laki, dengan demikian

wanita diperbolehkan memanfaatkannya. 30

Secara visual, terdapat juga perbedaan khat dalam liwa dan rayah yang digunakan HTI DIY dengan yang digunakan Nabi Muhammad. Khat sulus, yang digunakan HTI DIY, belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad, saat itu khat yang ada masih sederhana. Khat sulus diciptakan setelah Nabi Muhammad wafat. Bentuk sulus tidak dapat dilepaskan dari kodifikasi yang dilakukan Ibnu Muqlah,

asisten Khalifah Bani Abasiyah yang lahir pada akhir abad ke-9. 31 Ibrahim as-Syajari yang lebih awal merintis khat sulus juga hidup di masa Bani Abbas. 32 Demikian juga, Qubah al-Muharris yang disebut- sebut menciptakan khat sulus hidup pada masa Khilafah Umawiyah. 33 Saat zaman Nabi, langgam khat masih sederhana, sebagaimana yang

tertera pada surat Nabi (gb. 1.8 dan gb. 2.36). 34

Menanggapi hal ini, HTI menggunakan analogi pemakaian khat dalam al-Quran yang berbeda antara masa kini dengan yang ada pada zaman Nabi. Jika al-Quran menggunakan khat yang ada pada zaman Nabi Muhammad, maka akan sukar dibaca. Selain itu, penggunaan

khat tertentu tidak diwajibkan dalam syariat Islam. 35

30 Wawancara dengan Rasyid Supriyadi, Ketua DPD I HTI DIY, tanggal 3 Juni 2012.

31 AR., 1992, 86-93. 32 AR., 2007, 70. 33 Safadi, 1986, 16 34 Al-Azami, 2005,138.

35 Wawancara dengan Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir

Gambar 4.35

Tidak terdapat pembatasan jumlah liwa dan rayah di HTI DIY, foto

diambil saat aksi “Tolak Obama” tanggal 13 November 2011

(Foto: Deni Junaedi, 2011)

Gambar 4.36

Liwa dan rayah juga dibawa Muslimah HTI DIY,