Nilai Simbolis
1. Nilai Simbolis
Liwa dan rayah memiliki nilai simbolis. Bendera itu mempunyai kapasitas untuk dikaitkan dengan ide tertentu. Nilai simbolis bendera tersebut, dalam konteks HTI DIY, terkait dengan Islam dan Khilafah.
a. Liwa dan Rayah sebagai Simbol Islam Keterkaitan liwa dan rayah dengan Islam, dalam konteks HTI DIY, ditegaskan melalui pernyataan Rasyid Supriyadi, Ketua DPD HTI DIY, bahwa bendera tersebut bukanlah bendera HT atau organisasi
tertentu, tapi bendera Islam. 17 Selain itu, secara terbuka dalam aksi “Mengutuk Rencana Pembakaran al-Qur‟an” di depan Kantor Pos Pusat Yogyakarta tanggal 29 Agustus 2010, orator aksi menyerukan,
17 Wawancara dengan Rasyid Supriyadi, Ketua DPD HTI DIY, tanggal 1
“Kibarkan liwa dan rayah! Bendera itu adalah bendera Rasulullah, bendera umat Islam, bukan bendera organisasi manapun.” 18 Hubungan liwa dan rayah dengan Islam dapat dilihat pada charge bendera tersebut, yaitu kalimat sahadat. Pernyataan laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasul Allah hanya ada di dalam Islam, dan
menjadi syarat mutlak yang harus diucapkan seseorang ketika menyatakan keislamannya. Kalimat tersebut juga selalu dibaca saat orang Muslim melaksanakan sholat. Namun demikian, HT tidak memberikan penafsiran khusus terkait dengan pencantuman kalimat sahadat pada bendera tersebut.
Di kalangan umat Islam telah dipahami bahwa kalimat sahadat merupakan esensi Islam. Hal itu terkait dengan sebuah hadis , “Islam itu dibangun atas lima perkara: Persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan sholat; menunaikan zakat; melaksanakan haji ke Baitullah; dan berpuasa di
bulan Ramadhan.” 19
Lafaz laa ilaaha illa Allah kadang ditafsirkan secara berbeda oleh para pemikir Islam, misalnya, „tidak ada pencipta kecuali Allah‟, „tidak ada yang diibadahi kecuali Allah‟, atau „tidak ada hak untuk
menghukumi kecuali bagi Allah‟. 20 Bahkan, Nurcholish Madjid,
18 Orasi saat aksi “Mengutuk Rencana Pembakaran al-Qur‟an” di depan Kantor Pos Pusat Yogyakarta tanggal 29 Agustus 2010.
19 Hadis ini disampaikan oleh Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin al-Khattab; dalam Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah Rukun Islam, Jilid
1 Syahadat (Bogor: Media Tarbiyah, cetakan ke-2, 2010), 16.
cendekiawan Muslim yang memperoleh gelar doktor di Chicago, mengartikan kalimat tersebut dengan „tiada tuhan (t kecil) selain
Tuhan (T besar)‟. 21 Sementara itu, Yazid bin Abdul Qadir Jawas mengartikannya sebagai „tiada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar selain Allah‟. Terlepas dari perbedaan itu, secara literal kalimat tersebut berarti „tidak ada Tuhan (ilah, sesembahan) kecuali Allah‟. Dalam hal ini, pemakaian huruf “T” besar pada Tuhan mengacu pada
kaidah penulisan bahasa Indonesia; dalam bahasa Arab tidak dikenal perbedaan huruf besar dengan huruf kecil.
Kalimat laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasul Allah merupakan identitas yang membedakan antara Islam dan bukan Islam. Di dalam Islam dimungkinkan ada perbedaan (khilafiyah) dalam tatacara ibadah, namun perbedaan sahadat tidak dimungkinkan; dengan kata lain tidak terdapat perbedaan dalam tataran akidah. Dengan demikian, bendera yang bertuliskan sahadat terkait erat dengan keislaman.
b. Liwa dan Rayah sebagai Simbol Khilafah Selain sebagai simbol Islam, liwa dan rayah di HTI DIY juga menjadi simbol penegakan Khilafah. Dengan kata lain, bendera itu memiliki kapasitas untuk dikaitkan dengan ide penegakan Khilafah. Pada beberapa buku resmi HT, sebagaimana telah diulas dalam bab konteks budaya, keberadaan liwa dan rayah terkait erat dengan negara
21 Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (Jakarta:
Khilafah. Dalam kitab tersebut, liwa dan rayah tidak dimaksudkan sebagai bendera HT yang mesti dikibar-kibarkan ketika mengadakan
kegiatan, namun dipersiapkan untuk negara Khilafah. 22 Nilai simbolis liwa dan rayah terkait dengan penegakan Khilafah dikukuhkan dengan keberadaan bendera tersebut di tengah-tengah slogan HTI DIY yang selalu terkait dengan Khilafah. Sebagaimana telah
dibahas dalam subbab “Artefak di seputar Liwa dan Rayah”, dalam aksi yang diselenggarakan HTI DIY, liwa dan rayah dikibarkan berdekatan dengan slogan-slogan yang mencantumkan kata “Khilafah”
atau “Syariah”. Kedekatan liwa dan rayah dengan slogan tersebut menimbulkan persepsi kesatuan antara keduanya. Hal ini sesuai dengan hukum gestalt, yang dicetuskan oleh Wertheimer, yang antara lain menyatakan bahwa objek-objek yang memiliki kedekatan
(proximity) akan cenderung dipersepsi sebagai kesatuan. 23 Status liwa dan rayah yang memiliki nilai simbolis terkait dengan negara Khilafah sekaligus dapat digunakan untuk memperjelas dua hal yang seakan-akan bertentangan, yaitu di satu sisi HTI DIY tidak menggunakan kekerasan dan di sisi lain menggunakan atribut Rasulullah yang digunakan dalam peperangan. Kendati digunakan dalam peperangan, liwa dan rayah bukan simbol peperangan tapi simbol negara. Hal ini persis dengan bendera negara lain yang
22 An-Nabhani, 2009, 310; An-Nabhani, 2001, 102; An-Nabhani, 2003, 310-314; Hizbut Tahrir, 2005, 169-172.
23 Irwanto, et al., Psikologi Umum Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: 23 Irwanto, et al., Psikologi Umum Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta:
Gambar 4.34
Konfigurasi kata Khilafah di acara Konjab 19 Juni 2011, pementasan ini
merupakan satu rangkaian dengan pengibaran liwa dan rayah
(Foto: Deni Junaedi, 2011)