Landasan dan Pendekatan Teori
E. Landasan dan Pendekatan Teori
Landasan teori bersifat ensiklopedis atau definisi suatu konsep. Pendekatan teori merupakan sudut pandang yang digunakan dalam penelitian. Keduanya disatukan karena pembahasan tentang pendekatan teori tidak terlepas dari landasannya. Landasan dan pendekatan teori dalam penelitian ini meliputi veksillologi, liwa dan rayah, kaligrafi, konteks yang meliputi konteks sejarah maupun konteks budaya, dan estetika semiotis untuk analisis bendera di HTI DIY sebagai teks.
1. Veksillologi
Bendera adalah selembar kain, biasanya berwujud persegi, dibentuk dengan warna atau pola tertentu, umumnya dipasang agar tertiup angin, dan menyampaikan makna tertentu. 27 Studi tentang bendera disebut veksillologi (vexillology). 28 Bidang ini
27 Lewis Mulford Adams, ed., New Master Pictorial Encyclopedia (New York: Book Inc., tanpa tahun), 495.
28 Michael Fault, ed., “50 Years of Vexillology”, dalam jurnal Flagmaster the Journal of the Flag Institute (York, issue 124, Agustus
merupakan bagian heraldri (heraldry), yaitu studi tentang lambang
pasukan atau pemerintahan (coat of arms). 29
Istilah veksillologi digunakan pertama kali oleh Whitney Smith pada tahun 1957. Kata itu berasal dari bahasa Latin vexillum, yaitu bendera Romawi kuno yang dikaitkan melintang di
ujung tombak. 30
Dalam veksillologi, warna dasar bendera disebut ground. 31 Konfigurasi gambar atau tulisan adalah charge. Bagian paling dekat dengan tiang pengibaran dinamai hoist. Bidang yang
berkibar atau jauh dari tiang disebut fly. 32 Material tambahan yang digunakan untuk mendekorasi bendera ialah bunting. 33
29 Stephen Slater, The History and Meaning of Heraldry (London: Southwater, 2004), 28.
30 Fault, 2007, 1-3. 31 Whitney Smith, The Encyclopedia Americana International Edition, Volume 11 (Connecticut: Grolier Incorporated, 1984), 348. 32 David Roberts, Complete Flags of the World (London, New York, Melbourne, Munich, dan Delhi: DK, cetakan ke-7, 2008), 7. 33 Smith, 1984, 349.
Gambar 1.3 Bagian bendera (Foto: Deni Junaedi, 2012)
Smith memperhatikan shape dalam pengamatan terhadap bendera. 34 Shape, oleh Feldmand, diartikan sebagai batas terluar suatu objek. 35 Dengan demikian, shape adalah bagian dari form (bentuk) atau wujud yang tampak. Dalam penelitian ini, sebagaimana pemahaman dalam bahasa Indonesia, istilah bentuk digunakan secara bergantian dalam pengertian form maupun shape, hal itu tergantung pada konteksnya.
Dalam veksillologi terdapat istilah khusus untuk berbagai macam bentuk (shape) bendera. Berikut ini adalah bentuk yang terkait dengan penelitian ini. Canton adalah bendera berbentuk segi empat; seringkali istilah ini juga mengacu pada seperempat
34 Smith, 1984, 349. 35 Feldman, 1967, 233.
bagian bendera yang ada di bagian atas dekat dengan tiang; 36 dalam penelitian ini, arti yang pertama yang digunakan. Pennant (atau pendant dalam ejaan British) adalah bendera berbentuk
segitiga atau bendera yang kecil memanjang. 37 Pennon adalah bendera yang pada bagian fly seakan terpotong oleh bentuk
segitiga, bendera ini memiliki lima sisi. 38
Gambar 1.4 Bentuk (shape) bendera
(Digambar oleh: Deni Junaedi, 2012)
Tipe bendera juga dapat dilihat dari komposisinya. Komposisi itu, antara lain, adalah bicolor, tricolor, tribar, triangle, dan serration. Bicolor adalah pola bendera dua warna baik terkomposisi secara vertikal maupun horisontal. Tricolor terdiri
36 Roberts, 2008, 7. 37 Smith, 1984, 349. 38 William Crampton, Flag (London: A Dorling Kindersley, 1989), 6.
dari tiga warna yang berderet vertikal. Tribar terkomposisi dari tiga warna yang berjajar secara horisontal. Komposisi triangle terdiri dari bentuk segitiga pada bagian hoist. Serration merupakan komposisi dua warna yang berjajar secara vertikal, batasnya
berupa garis zig-zag. 39
Gambar 1.5 Tipe bendera (Digambar oleh: Deni Junaedi, 2012)
Istilah lain dalam veksillologi yang terkait dengan penelitian ini adalah gonfanon dan ratio. Gonfanon atau gonfalon adalah
39 Roberts, 2008, 6.
bendera yang dipasang dengan cara dikaitkan pada kayu palang yang berada di ujung tiang. 40 Ratio adalah perbandingan proporsi
antara sisi tinggi dibanding sisi panjang. 41
2. Liwa dan Rayah
Secara literal dalam bahasa Arab, tidak ada perbedaan arti antara liwa dan rayah, keduanya tergolong sebagai alam atau
„bendera‟ (kata alam yang berarti bendera juga digunakan di Aceh). Kata alam berasal dari kata alama yang berarti „memberi tanda‟
(kata ini juga membentuk kata alamat, yang telah diserap dalam bahasa Indonesia, yang juga mengandung pengertian „tanda‟). Dengan demikian, terdapat kedekatan antara bendera dengan
tanda. 42 Sementara itu, tanda menjadi jantung semiotika. Liwa dan rayah terbedakan pada makna istilah. Liwa adalah bendera dengan field berwarna putih dan charge berupa kaligrafi Arab yang berbunyi laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah dengan warna hitam. Rayah adalah bendera dengan field berwarna hitam dan menggunakan charge yang juga berupa kalimat sahadat
40 Smith, 1984, 349. 41 Roberts, 2008, 7.
42 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 965-966.
namun berwarna putih. 43 Cara membaca lafaz sahadat pada liwa atau rayah dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 1.6 Ejaan laa illaaha illaa Allah, Muhammad Rasul Allah, huruf tebal menunjukkan kata yang dibaca
(Digambar oleh: Deni Junaedi, 2012; dimodifikasi dari desain liwa oleh Aruman)
43 H. A. R. Gibb, et al., ed., The Encyclopaedia of Islam (London: Luzac&CO., 1960), 349; Al-Hujaili, 2002, 33-36; Hizbut Tahrir, Ajhizah
ad-Daulah al-Khilafah (Libanon: Darul Umah, 2005), 169.
Istilah liwa yang berarti bendera juga ditemui dalam bahasa Indonesia. Hal ini tercantum di Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta. Di sana disebutkan, liwa berarti „bendera atau panji‟. Namun demikian, kata tersebut diberi tanda salib (†) yang berarti, antara lain, telah usang atau tidak
digunakan lagi. 44 Hal serupa dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional. 45 Dalam buku resmi HT berbahasa Indonesia, liwa dipadankan dengan bendera, dan rayah searti dengan panji. Dalam bahasa Indonesia tidak ada perbedaan arti yang mendasar antara bendera dengan panji. Terkadang, panji dikaitkan dengan bendera yang berbentuk segitiga, namun hal itu bukan suatu keharusan. Demikian pula dengan bendera, selain berbentuk
segiempat, juga dapat berbentuk segitiga. 46 Perbedaan antara bendera dan panji dapat dilihat dari penggunanya. Panji umumnya digunakan oleh kesatuan atau organisasi tertentu,
44 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), 604.
45 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, edisi ke-4, 2008),
46 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, 169 dan 1015.
misalnya militer atau kepanduan; sedangkan bendera digunakan untuk negara. 47 Perbedaan antara liwa atau bendera dengan rayah atau panji dalam referensi HTI terletak pada penggunaannya dalam peperangan semasa Nabi. Liwa atau bendera berada di dekat pemimpin tertinggi atau wakilnya dalam peperangan. Rayah atau panji berada di samping komandan bagian. Dengan demikian, dalam sebuah peperangan hanya terdapat sebuah liwa, dan
dimungkinkan ada beberapa rayah. 48 Bentuk jamak rayah adalah raayaah atau panji-panji. Dalam buku resmi terbitan HTI, kadang tertulis al- liwâ‟ dan ar-râyah, 49 kadang pula tertulis liwa dan rayah. 50 Penelitian ini memilih ejaan liwa dan rayah, dengan pertimbangan ejaan liwa terdapat dalam kamus bahasa Indonesia. Adapun penulisan rayah, tanpa mencantumkan kata ar di depannya, menyesuaikan dengan ejaan liwa yang tidak mencantumkan kata al di depannya. Kata al, yang dapat berubah bunyi menjadi ar, dalam bahasa Arab menunjukkan kata yang telah pasti; hal ini seperti kata the dalam bahasa Inggris.
47 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), 22. 48 Al-Hujaili, 2002, 32-36
49 Hizbut Tahrir, 2009, 283. 50 Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, terj. Abu
Amin, at al. (Bogor: Pustaka Thariqul „Izzah, cetakan ketiga, 2001), 146.
3. Kaligrafi
Charge bendera yang digunakan HTI DIY berupa kaligrafi Arab. Kaligrafi adalah „tulisan indah‟ atau „tulisan tangan yang elegan‟. Kata yang berasal dari bahasa Latin calligrapia ini dibentuk dari kata Yunani kallos yang berarti „indah‟ dan graphein
yang berarti „tulisan‟. 51 Dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut khat. Kata yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia itu secara
harfiah berarti „garis‟ atau „tulisan‟ dan secara istilah berarti „tulisan yang indah‟. 52 Tulisan Arab dibaca dari arah kanan ke kiri, sebagaimana keluarga tulisan Aramea yang lain, seperti Siria dan Ibrani. 53 Di antara berbagai khat Arab, terdapat beberapa gaya yang paling menonjol, yaitu: naskhi, sulus, diwani, diwani jali, farisi, riqah, dan kufi. 54 Khat tersebut telah menjadi pakem di dalam kaligrafi Arab tradisional; setiap gaya memiliki varian. Ketujuh bentuknya dapat dilihat pada contoh berikut (semua lafaznya
51 David Diringer, “Calligraphy and Epigraphy”, dalam Encyclopedia of World Art (London: McGraw-Hill Book Company, Inc.,
1960), 2. 52 D. Sirojuddin AR., “Kaligrafi” dalam Ensiklopedi Islam (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 45. 53 Donal M. Anderson, The Art of Writen Forms The Theory ang
Practice of Calligraphy (New York, atau al.: Holt, Rinehart and Winston, 1969). 296.
54 Nina M. Armando, ed., et al., Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, tanpa tahun), 45-48; D. Sirojuddin AR., Koleksi Karya
Master Kaligrafi Islam (Naskhi, Sulus, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi, Riq‟ah) (Jakarta: Darul Ulum Press, 2007), passim.
berbunyi bismillahirrohmanirrohim yang berarti „dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyasang‟).
Gambar 1.7 Berbagai gaya khat
(AR., 2007, passim)
Saat nabi Muhammad masih hidup, langgam khat tersebut belum dikenal meskipun cikal bakalnya telah tampak. Ketika itu, bentuk tulisan masih sederhana, salah satunya digunakan dalam Saat nabi Muhammad masih hidup, langgam khat tersebut belum dikenal meskipun cikal bakalnya telah tampak. Ketika itu, bentuk tulisan masih sederhana, salah satunya digunakan dalam
membedakan ciri tulisan. 56
Gambar 1.8
Surat Nabi Muhammad untuk Raja Bizantium
(Al-Azami, 2005, 138)
55 M. M. Al-Azami, Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin, et al. (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), 138. 56 Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, terj. Abdul Hadi W.M.
(Jakarta: Pantja Simpati, 1986), 5.
4. Konteks
Konteks adalah situasi keberadaan teks. 57 Kadang juga ditulis koteks (cotext), yaitu gabungan dari kata co dan text yang secara harfiah berarti „bersama teks‟. 58 Konteks perlu diperhatikan
karena mempengaruhi teks, teks yang sama memiliki makna yang berbeda pada konteks yang berlainan. 59 Dalam penelitian ini, estesis liwa dan rayah di HTI DIY menempati posisi sebagai teks; teks adalah tanda itu sendiri. Konteks yang diperhatikan adalah
konteks sejarah dan konteks budaya, 60 dengan kata lain konteks waktu dan konteks ruang.
a. Konteks Sejarah
Helius Sjamsuddin menyatakan, sejarah adalah kajian tentang kegiatan manusia pada masa lalu yang merupakan manifestasi pikiran, perasaaan, dan perbuatan. 61 Kuntowijoyo
57 Henddy Shri Ahimsa- Putra, “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, dan Post- Modernistis” dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Printika, 2000), 399-421.
58 Mulyana, Kajian Wacana, Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip- prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 10.
59 Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, Analisis Wacana Teori dan Metode, terj. Imam Suyitno, et al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), 21. 60 Thomas P. Hébert dan Teresa M. Beardsley, “Jermaine: A
Critical Case Study of a Gifted Black Child Living in Rural Poverty”, dalam Sharan B. Merriam, et al., Qualitative Research in Practise Examples for Discussion and Analysis (San Francisco: Jossey-Bass, 2002), 209.
61 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), 159-160.
mencatat, terdapat dua model dalam kajian sejarah, yaitu model diakronis dan model sinkronis. Model diakronis lebih mengutamakan penggambaran berdimensi waktu, model ini yang banyak digunakan dalam ilmu sejarah. Model sinkronis lebih mengutamakan deskripsi yang meluas dalam ruang tanpa terlalu banyak menyinggung dimensi waktu, model ini banyak dipakai
ilmu sosial. 62 Adapun penyajian sejarah dapat berbentuk deskriptif-naratif
Deskriptif-naratif menyandarkan pada narasi peristiwa. Analisis-kritis lebih memperhatikan problem dan struktur. 63 Penelitian ini cenderung bersifat analisis-kritis dan menggunakan model sinkronis.
atau
analisis-kritis.
b. Konteks Budaya
Menurut Paul B. Harton dan Chaster L. Hunt, budaya adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. 64 Sesuai dengan Koentjaraningrat, tidak ada perbedaan pada istilah budaya dan kebudayaan,
kependekan dari kata kebudayaan. 65
budaya
hanyalah
62 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, cetakan ke-2, 2003), 43.
63 Sjamsuddin, 2007, 237-238. 64 Paul B. Harton dan Chaster L. Hunt, Sosiologi, jilid 1, terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari (Jakarta: Erlangga,1987), 58. 65 Koentjaraningrat, Pengatar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, cetakan ke-8, 2002), 181.
J.J. Honingman mengelompokkan unsur budaya menjadi tiga, yaitu sistem budaya, aktivitas, dan artefak. Sistem budaya terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, atau sejenisnya yang bersifat abstrak; aktivitas merupakan tingkah laku berpola para pelaku budaya; dan artefak
berupa karya manusia. 66
5. Estetika Semiotis
Katya Mandoki mendefinisikan estetika sebagai “kajian tentang proses estetis”. 67 Kendati secara linguistik batasan ini tidak tepat karena mengandung unsur kata yang didefinisikan, 68 definisi tersebut tidak mereduksi kajian estetika. Definisi yang termuat dalam buku Everyday Aesthetics itu lebih komprehensif jika, misalnya, dibandingkan dengan definisi Bosanquet tahun 1892, yang hingga kini versinya masih diulang-ulang dalam
berbagai referensi, yaitu “estetika sebagai filsafat keindahan”. 69 Proses estetis dalam definisi tersebut juga disebut estesis. Istilah ini berkorelasi dengan kata semiosis dalam terminologi
66 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX), (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000), 40-41.
67 Katya Mandoki, Everyday Aesthetics: Prosaics, the Play of Culture and Social Identities (Hampshire: Ashgate, 2007), xi.
68 Gorys Keraf, Komposisi (Flores: Nusa Indah, cetakan ke-6, 1980), 53.
69 W.E. Kennick, Art and Philosophy Reading in Aesthetic (New York: St. Martin‟s Press, cetakan ke-2 1979), xi.
semiotika. 70 Semiotika adalah studi tentang tanda dan cara kerja tanda. 71 Semiosis merupakan proses penandaan atau proses
penerimaan suatu tanda oleh interpreter. 72
Analisis estetika melalui metodologi semiotika, oleh Mandoki, disebut semio-aesthetics. 73 Untuk hal yang sama, Winfried Nöth menggunakan istilah semiotic aesthetics. 74 Berdasarkan frasa tersebut, penelitian ini menggunakan istilah estetika semiotis.
Mandoki memanfaatkan model semiosis Ferdinand de Saussure. Ia menolak semiosis Charles Sander Peirce yang dipandang berbahaya jika diterapkan di selain ranah semiotika. 75 Sebaliknya, penelitian ini menggunakan model semiosis Peircean untuk diterapkan dalam estesis. Pemanfaatannya dilakukan dengan cara penyederhanaan dan pengeliminasian beberapa konsep Peirce. Cara yang hampir sama pernah dilakukan
oleh Michael Newall. 76
70 Mandoki, 2007, 109. 71 John Fiske, Cultural and Communication Studies, terj. Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 60. 72 Winfried Nöth, Handbook of Semiotics (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 42. 73 Mandoki, 2007, 101-102. 74 Nöth, 1990, 421. 75 Mandoki, 2007, 109-113
76 Michael Newall, What is a Picture? Depiction, Realism, Abstraction (New York: Palgrave Macmillan, 2011), 52-54.
a. Semiosis Peircean
Semiosis Peirce bersifat triadik. Sudut segitiganya terdiri dari representamen, object, dan interpertant. Representamen, atau kadang disebut tanda (sign), adalah sesuatu yang berada bagi seseorang untuk sesuatu yang lain dalam berbagai cara atau kapasitas. Representamen merupakan aspek material suatu tanda. Object, berbeda dengan pengertian sehari-hari, adalah sesuatu yang diacu oleh representament. Interpretant merupakan hal yang muncul pada benak seseorang karena dibangkitkan oleh
representament. 77
Peirce membagi tipologi tanda dalam tiga trikotomi. Salah satunya, yang paling terkenal, adalah trikotomi berdasarkan hubungan antara representamen dengan object. Dalam hal ini tanda dibagi menjadi tiga, yaitu ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Ikon adalah tanda atau representamen yang karakternya memiliki kesamaan dengan object, baik object tersebut eksis terindera maupun tidak. Indeks merupakan tanda atau representamen yang keberadaannya disebabkan oleh efek keberadaan object. Simbol adalah tanda atau representamen yang kaitannya dengan object berdasarkan konvensi atau hukum,
77 Charles Sander Peirce, “Logic as Semiotic: The Theory of Sign”, dalam Justus Bucher, ed., Philosophical Writing of Peirce (New York:
Dover, 1955), 99.
biasanya berupa ide umum. 78 Sebuah tanda dapat tergolong dalam
ikon, indeks, dan simbol sekaligus. 79
Makna suatu tanda merupakan hal yang dicari dalam kajian semiotika. 80 Peirce melihat makna secara pragmatis, yaitu efek penandaan yang terjadi pada aktivitas mental seseorang. 81 Aktivitas mental seperti ini tidak bisa lepas dari ide atau gagasan yang telah ada pada orang tersebut. 82 Efek semiosis dapat berupa efek emosional, efek energetis, maupun efek logikal. Efek emosional adalah efek berupa perasaan; efek energetis berupa
reaksi fisik; efek logikal berupa konsep pemikiran. 83
b. Estesis dalam Model Semiosis Peircean
Dalam penelitian ini, segitiga semiosis Peircean diadopsi menjadi segitiga estesis. Sudut representamen ditempati “objek estetis”; object diubah menjadi “nilai estetis”, dan interpretant diganti dengan “pengalaman estetis”. Objek estetis, nilai estetis,
78 Peirce, 1955, 102. 79 Paul Cobley dan Litza Jansz, Mengenal Semiotika for Biginners,
terj. Ciptadi Sukono (Bandung: Mizan, 2002), 33. 80 Marcel Danesi, Messages, Signs, and Meanings: A Basic
Textbook in Semiotics and Communication Theory, 3rd Edition (Toronto: Canadian Scholars‟ Press, 2004), 3.
81 Thomas Turino, “Signs of Imagination, Identity, and Experience: A Piercian Semiotic Theory for Music”, dalam jurnal Ethnomusicology (Vol. 43, No. 2, Sping-Summer, 1999), 224.
82 Charles Sander Peirce, “The Law of Mine”, dalam Nathan Houser, et al., ed., Writing of Charles S. Peirce a Chronological Edition
Volume 8 1890-1892 (Blomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 2010), 136.
83 Turino, 1999, 224; dan Nöth, 1990, 44.
maupun pengalaman estetis merupakan ranah pembahasan estetika yang penting. 84 Nilai estetis menempati puncak segitiga, hal ini untuk menunjukkan bahwa nilai bersifat objektif dan subjektif sekaligus. Sebagaimana dikatakan M. M. Syarif, nilai muncul dari perpaduan atau konstruksi antara objek tertentu
dengan subjek dalam keadaan tertentu pula. 85
i. Objek Estetis Menurut Thomas Munro, objek estetis adalah apapun yang dapat merangsang kemunculan pengalaman estetis. 86 Objek estetis dapat berupa karya seni, objek non-seni, maupun alam. 87 Dalam dimensi estetika, menurut Noël Carroll, karya seni adalah objek yang dibuat untuk membawa, menimbulkan, atau
setidaknya mendukung pengalaman estetis. 88 Kajian tentang objek estetis meliputi beberapa hal berikut.
84 Marcia Muelder Eaton, Persoalan-persoalan Dasar Estetika, terj. Embun Kenyowati Ekosiwi (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), xiii.
85 M.M. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung: Mizan, 1984), 106-107.
86 Thomas Munro, Form and Style in the Arts: an Introduction to Aesthetic Morpology (Cleveland: The Press of Case Western University,
1970), 22. 87 Ted Honderich, The Oxford Companion to Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 7; Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-14, 2002), 13-14.
88 Noël Carroll, Philosophi of Art (London: Routledge, 1999), 202.
Pertama material dan teknik, menurut Edmund Burke Feldman, material adalah elemen fisik pembentuk karya seni; 89 Gene Mittler dan Rosalind Ragans mencatat, teknik merupakan metode penciptaan karya seni. 90 Kedua bentuk (form), Marcia Muelder Eaton menyatakan, bentuk karya seni adalah hal yang ditampilkan secara langsung dan dipersepsi. 91 Dalam veksillologi, bentuk meliputi ground, charge, ukuran maupun rasio, dan bunting. Adapun persoalan kaligrafi terangkum dalam charge karena konfigurasi yang terdapat dalam liwa dan rayah adalah kaligrafi. Ketiga displai (display), dalam konteks veksillologi,
displai merupakan cara pemasangan bendera. 92 Keempat, untuk memperjelas kategori, objek estetis juga memperbincangkan masalah status objek tersebut dalam seni; hal seperti ini
sebagaimana dilakukan oleh Eaton. 93
ii. Nilai Estetis Menurut Eaton, nilai estetis adalah nilai yang dimiliki objek terkait dengan kapasitasnya untuk membangkitkan kesenangan, yang muncul dari ciri objek yang secara tradisional dianggap
89 Edmund Burke Feldman, Art as Image and Idea (New Jersey: Prentice-Hall, 1967), 306.
90 Gene Mittler dan Rosalind Ragans, Understanding Art (Woodland Hills: Glencoe/McGraw-Hill, 2005), 30-38.
91 Eaton, 2010, 102. 92 Smith, 1984, 350-351. 93 Eaton, 2010, 99.
berharga untuk diperhatikan dan direfleksikan. 94 Terkait batasan tersebut, ketiga jenis tanda dalam trikotomi Peirce dianggap sebagai nilai estetik, yaitu: nilai simbolis, nilai ikonis, dan nilai indeksikal.
Pertama, nilai simbolis adalah kapisitas karya seni untuk dikaitkan dengan konvensi atau ide tertentu. Kedua, nilai ikonis merupakan nilai yang dimiliki karya seni berdasarkan kesamaan dengan acuannya, baik acuan tersebut dapat dijumpai di alam maupun hanya berada dalam pemikiran. Ketiga, nilai indeksikal merupakan nilai karya seni yang menunjukkan hubungan koeksistensi dengan sesuatu yang lain.
iii. Pengalaman Estetis Eaton menyatakan, pengalaman estetis adalah pengalaman tentang tanda intrinsik sesuatu yang secara tradisional dianggap berharga untuk diperhatikan dan direfleksikan. Untuk mengetahui pengalaman itu dibutuhkan pemahaman tentang budaya
masyarakat bersangkutan. 95 Hal ini sejalan dengan Pierre Bourdieu yang menyatakan bahwa karya seni memiliki makna dan
94 Eaton, 2010, 181. 95 Eaton, 2010, 181.
interes hanya untuk seseorang yang mempunyai kompetensi kultural. 96 Mengingat pengalaman tersebut timbul pada pengamat ketika menanggapi objek estetis, maka pengalaman estetis dapat dilihat sebagai makna dalam pandangan Peircean. Pengalaman estetis merupakan aktivitas mental seseorang saat mencerap objek estetis, atau efek yang ditimbulkan oleh objek estetis. Dalam semiotika Peircean, efek tersebut dapat berupa efek emosional, efek energetis, maupun efek logikal.
Dalam teori Immanual Kant, efek yang termasuk pengalaman estetis adalah efek emosional. Kant mengatakan bahwa persoalan estetis tidak bersifat logikal, tapi terkait dengan perasaan kenikmatan atau ketidaknikmatan yang bersifat
subjektif. 97 Teori estetika Kant tentang disinterested kurang tepat. Disinterested adalah pengalaman estetis 98 yang terjadi tanpa berharap apapun dari objek estetis; 99 teori ini menegaskan pemisahan pengalaman estetis dengan unsur logikal. Beberapa
96 Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, terj. Ricard Nice (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 4.
97 Immanuel Kant, “Critique of the Aesthetical Judgment”, dalam W.E. Kennict, Art and Philosophy Reading in Aesthetics (New York: St.
Martin‟s Press, 1979), 501. 98 Nöel Carroll, “Aesthetic Experience: A Question of Content”,
dalam Matthew Kieran, Contemporary Debates in Aesthetics and the Philosophy of Art (Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing, cetakan ke-3, 2007), 73.
99 Elizabeth Prettejohn, Beauty and Art 1750 ‒2000 (New York: Oxford University Press, 2005), h. 44.
estetikus tidak sepakat dengan pemisahan tersebut. Nelson Goodman meyakini bahwa pengalaman estetis adalah salah satu jenis pemahaman kognitif; Goodman menyatakan bahwa pemisahan emosi dan pemikiran adalah kesalahan serius; Eaton mengatakan bahwa pikiran dan perasaan bekerja pada pengalaman estetis, dan seseorang ketika mencermati objek estetis
melakukannya dengan sebuah tujuan (interest), 100 bukan disinterested. Oleh karena itu, efek logikal yang muncul ketika berhadapan dengan objek estetis tetap dipertimbangkan dan dianggap bagian tidak terpisahkan dengan efek emosial; meskipun demikian efek tersebut tidak termasuk pengalaman estetis. Unsur logikal merupakan bagian yang ikut mempengaruhi pengalaman estetis. Berbeda dengan efek logikal, efek emosional atau perasaan bersifat subjektif dan terkait dengan senang atau tidak senang terhadap sesuatu. 101
Demikian pula, efek energetis bukan termasuk pengalaman estetis tapi terkait erat dengannya. Bahkan, efek ini merupakan unsur yang tampak dari pengalaman estetis. Feldman menyatakan, dalam pengalaman estetis seseorang akan mengidentifikasi objek estetis melalui pengaturan peralatan
100 Eaton, 2010, 61.
Abu Ahmadi, Psikologi Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 101.
Gambar 1.9 Skema teori
(Digambar oleh: Deni Junaedi, 2011)
102 Feldman, 1967, 282.