27 5
Membina  hubungan  dengan  orang  lain,  inti  dari  seni  memelihara hubungan  dengan  orang  lain  adalah  kemampuan  untuk  mengetahui  dan  mengenali
perasaan  orang  lain.  Keterampilan  berinteraksi  dengan  orang  lain  merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain.
keterampilan  berinteraksi  dengan  orang  lain  dapat    disebut  juga  kecerdasan  sosial. Adapun  yang  dimaksud    kecerdasan  sosial  adalah  kemampuan  untuk  memahami
orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Dari uraian diatas dapat  disimpulkan bahwa wilayah kecerdasan emosional
meliputi  kemampuan  dalam  mengenali  emosi  diri,  mengerti  apa  yang  sedang dialaminya  dan  dampak  yang  akan  ditimbulkan.  Kemampuan  untuk  mengelola  dan
mengekspresikan emosi diri, mengelola emosi bukan berarti menjauhi perasaan tidak menyenangkan  untuk  salalu  bahagia,  tetapi  kemampuan  untuk  tidak  membiarkan
perasan sedih berlangsung tak terkendali. Kemampuan untuk memotivasi diri dalam melakukan  sesuatu,  menunjukkan  keuletan  dan  rasa  tanggung  jawab.  Selanjutnya
kemampuan mengenali emosi orang lain dan mambina hubungan dengan orang lain, kemampuan untuk  melakukan hubungan sosial  sangat  bergantung pada kematangan
dua  ketrampilan  emosi  lainnya,  yaitu  kemampuan  mengelola  emosi  diri  dan kemampuan memahami perasaan orang lain.
B. Akhlakul Karimah Siswa
1. Pengertian Akhlakul Karimah
Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk jamak dari kata Khulk, yang  artinya  secara  etimologi  adalah  tingkah  laku,  perangai,  tabi’at,  watak,  moral
dan  budi  pekerti.
54
Kata  budi  pekerti  yang  terdiri  dari  kata  budi  dan  pekerti.  Budi ialah  yang  ada  pada  manusia,  yang  berhubungan  dengan  kesadaran,  yang  didorong
oleh  pemikiran,  rasio,  yang  disebut  karakter.  Pekerti  ialah  apa  yang  dilihat  pada
54
Masam Alfat, Dkk, Akidah Akhlak, Semarang: CV. Toha Putra, 1994, Cet. Kep-1, h. 60
28 manusia,  karena  didorong  oleh  perasaan  hati,  yang  disebut  tingkah  laku.  Jadi  budi
pekerti  adalah  merupakan  perpaduan  dari  hasil  rasio  dan  rasa  yang  bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.
55
Secara  lingustik kebahasaan kata akhlak merupakan  isim jamid atau isim ghair  mustaq,  yaitu  isim  yang  tidak  mempunyai  akar  kata,  melainkan  kata  tersebut
memang  begitu  adanya.  Kata  akhlak  adalah  jamak  dari  kata  khulqun  atau  khuluq yang  artinya  sama  dengan  arti  akhlak  sebagaimana  yang  telah  disebutkan  di  atas.
56
Sedangkan  Lamis  Ma’luf  dalam  Al-Munjid  fi-al-lughah  wal  A’lam  mengatakan bahwa
“akhlak” secara  etimologi adalah perangai, kelakuan, tabi’at, kebiasaan dan peradaban yang baik.
57
Sedangkan  dari  terminologi  akhlak  adalah  daya  kekuatan  jiwa  yang mendorong  perbuatan-perbuatan  dengan  mudah  dan  spontan,  tanpa  difikir  dan
direnungkan  lagi.
58
Akhlak  adalah  keadaan  jiwa  yang  mendorong  timbulnya  suatu perbuatan  yang mudah karena dibiasakan sehingga tidak memerlukan pertimbangan
dan pemikiran terlebih dahulu.
59
Jadi,  akhlak  adalah  sifat-sifat  yang  dibawa  oleh  manusia  sejak  lahir  dan tertanam  dalam  jiwanya  dan  selalu  ada  padanya.  Sifat  itu  dapat  lahir  berupa
perbuatan  baik  atau  buruk  sesuai  dalam  pembinaannya.
60
Juga  disyaratkan,  suatu perbuatan  dapat  dinilai  baik  jika  timbulnya  perbuatan  itu  dengan  mudah  sebagai
suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran. Sebab seandainya ada seseorang yang memaksakan  dirinya  untuk  mndermakan  hartanya  atau  memaksakan  hatinya  untuk
berdiam  di  waktu  timbul  sesuatu  yang  menyebabkan  kemarahan  dan  hal  itu diusahakan dengan sungguh-sungguh dan dipikir-pikir dahulu, maka bukanlah orang
yang semacam ini yang disebut orang dermawan.
55
Rachmat Djatnika, Isitem Etika Islami Akhlak Mulia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992, cet ke- 1, h. 26
56
M. Ardani, Akhlak-Tasawuf  Nilai-Nilai AkhlakBudi Pekerti Dalam Ibadah dan Tasawuf, Jakarta: CV. Karya Mulia, 2001, Cet. Ke-1, h. 25
57
Lamis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, Beirut: Darul Masyrik, 1986, Cet. Ke- 28, h. 194
58
Masam Alfat, Dkk, Akidah Akhlak,  h. 61
59
Suradji, Etika dalam Perspektif Al- Qur’an dan Al-Hadits, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2006, h. 4
60
Asmaran, AS, Pengantar Study Akhlak, Jakarta: CV. Rajawali, 1992, Cet. Ke-1, h. 1
29 Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasan kehendak.
Ini  berarti  bahwa  kehendak  itu  bila  dibiasakan  akan  sesuatu  maka  kebiasaannya  itu disebut  akhlak.  Contohnya,  bila  kehendak  itu  dibiasakan  memberi,  maka  kebiasaan
itu ialah akhlak dermawan.
61
Ibrahim  Anis  dalam  kitab Mu’jamal-wasit,  sebagaimana  dikutip  oleh
Abudin  Nata  mengatakan  bahwa  akhlak  adalah:  “Sifat  yang  tertanam  dalam  jiwa, yang  dengannya  lahirlah  macam-macam  perbutan,  baik  atau  buruk,  tanpa
membutuhkan  pemikiran  dan  pertimbangan.
62
Jadi,  pada  hakekatnya  khuluk  atau akhlak  suatu  kondisi  atau  sikap  yang  telah  meresap  dalam  jiwa  dan  menjadi
kepribadian hingga timbullah berbagai macam perbuatan secara spontan dan mudah tanpa direkayasa dan tanpa memerlukan pemikiran.
Sedangkan  dalam  pengertian  istilah  terdapat  beberapa  pengertian, diantaranya menurut al-Ghazali yaitu:
سا  سَّْلا ْيف  ْيه ْنع   ا ع ,
َي ْكف ىلإ  ج اح  ْيغ ْنم  سي   لْ سب   اعْفأا  دْصت ا ّْع
......
Artinya: “akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa, yang darinya lahir berbagai  perbuatan-perbuatan  dengan  mudah  dan  gampang,  tanpa  perlu
kepada pikiran pertimbangan.”
63
Imam  Al-Ghazaaly  menekankan,  bahwa  akhlak  adalah  sifat  yang  tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik dan buruk dengan menggunakan ukuran
ilmu-pengetahuan dan norma agama. Adapun pengertian yang diberikan Ibn Maskawaih adalah:
يْأ  ا   ْكف  ْيغ ْنم   اعْفأ ىلإ ا ل   يعا  سَّْلل  اح  ه قاْخأا .
61
Asmaran, AS, Pengantar Study Akhlak,, h. 2
62
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. Ke-1, h. 4
63
M. Ardani, Akhlak-Tasawuf  Nilai-Nilai AkhlakBudi Pekerti Dalam Ibadah dan Tasawuf h. 28-29