commit to user
31
memaparkan secermat, seteliti dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh 1984: 135. Senada dengan A. Teuuw, Zainuddin Fananie 2000: 112 juga
mengungkapkan “pendekatan struktural adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan”. Hal ini mengisyaratkan untuk
melihat eksistensi karya sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi yang dimaksud yaitu meliputi aspek-aspek intrinsik sastra yang
meliputi kebulatan makna, tema, plot, setting, sudut pandang dan sebagainya. Untuk mengetahui kebulatan makna, maka unsur-unsur tersebut harus
dihubungkan satu sama lain. Burhan Nurgiyantoro 2005: 37 – 38: “analisis struktural tak cukup dilakukan hanya mendata unsur tertentu
sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan
antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan
mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping setiap karya mempunyai ciri kekompleksan dan
keunikannya sendiri dan hal inilah antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan karya yang lain”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan struktural adalah pendekatan
yang memandang karya sastra memiliki otonomi penuh yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar
karya sastra itu sendiri. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan
satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, dan saling menopang satu sama lain.
3. Hakikat Kajian Intertekstualitas
Karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya. Pradopo dalam B. Trisman menyatakan bahwa kelahiran suatu karya sastra tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sang sastrawan 2003: 81. Mengacu pendapat di atas dapat dimaknai
bahwa karya sastra yang kemudian, harus dikaitkan dengan karya sastra yang
commit to user
32
mendahuluinya. Dalam hal ini pada mulanya sastrawan dalam menciptakan karyanya melihat, meresapi, dan menyerap teks-teks lain yang menarik
perhatiannya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ia menggumuli konvensi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang
dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Menurut A. Teeuw dalam
Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 126 “karya sastra itu merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya”. Burhan Nurgiyantoro 2005: 51
memberikan contoh, misalnya sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti
pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama. Kemudian, sebelum Chairil
Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi dan prosa, di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga Baru, begitu seterusnya. Dari sini
terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya.
Nyoman Kutha
Ratna 2003:
184. memberikan
pengertian intertekstualitas:
“dalam kajian intertekstualitas, setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang
sungguh-sungguh mandiri;
dalam arti
bahwa penciptaan
dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai
contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih
dulu, tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting:
pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki atau pun disimpangi”.
Senada dengan Nyoman Kutha Ratna, Suwardi Endraswara juga
menyatakan bahwa secara garis besar penelitian intertekstualitas memiliki dua fokus: pertama, meminta perhatian tentang pentingnya teks yang terdahulu prior
text. Tuntutan adanya otonomi teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan,
commit to user
33
sebuah karya memiliki arti karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan lebih dahulu oleh pengarang lain. Kedua, intertekstualitas akan membimbing peneliti
untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi. Dari dua fokus ini, tampak
bahwa karya sastra sebelumnya berperan dalam sebuah penciptaan. Lebih lanjut Suwardi 2003: 136 mengungkapkan bahwa pada dasarnya, baik studi interteks
maupun sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: 1 affinity pertalian, kesamaan dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; 2
pengaruh karya sastra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lain dan sebaliknya 2003: 133.
Karya sastra yang baru dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka karya sastra pendahulunya Dick Hartoko dan B. Rahmanto.
Karya sastra yang dijadikan kerangka bagi penulisan karya yang berikutnya disebut hipogram. Istilah tersebut sering diterjemahkan menjadi latar, yaitu dasar
bagi penciptaan karya lain walaupun mungkin tidak secara eksplisit. Karya pendahulu yang melatari atau menjadi hipogram karya berikutnya inilah yang
menjadi fokus penelitian intertekstualitas 1986: 67. Melalui penjajaran karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain yang menghipogrami, maka karya
sastra yang bersangkutan dapat dipahami secara penuh. Julia Kristeva dalam Suwardi Endraswara mengatakan bahwa munculnya
intertekstualitas sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain 2003: 131. Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang
masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dan karya-karya yang lain. Julia
Kristeva dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 52 – 53 mengungkapkan bahwa: “tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan
penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang
baik dari teks -teks sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan
demikian, walau sebuah karya sastra berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan
daya kreatifitas sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya,
commit to user
34
karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya”.
Senada dengan Julia Kristeva, Nyoman Kutha Ratna juga mengatakan
bahwa interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain 2009: 172 – 173. Teks itu sendiri secara etimologis berarti tenunan,
anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian
dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas
sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas- luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram.
Rachmat Djoko Pradopo juga mendefinisikan bahwa intertekstual merupakan ringkasan pengetahuan yang memungkinkan teks mempunyai arti
dalam Sangidu, 1995: 151. Menurutnya, arti suatu teks tergantung pula teks-teks lain yang diserap dan yang ditransformasi. Oleh karena itu, hubungan intertekstual
atau hubungan antarteks karya sastra dipandang penting untuk memperjelas maknanya sebagai karya sastra sehingga memudahkan pemahamannya, baik
pemahaman makna teks maupun makna dan posisi kesejarahannya. Hubungan antarteks tersebut dapat berupa hubungan karya-karya sastra sejaman, hubungan
karya-karya sastra yang mendahului, dan hubungan karya-karya sastra yang kemudian. Dengan perkataan lain, hubungan antarteks tersebut dapat berupa
hubungan karya-karya sastra masa lampau, hubungan karya-karya sastra masa kini, dan hubungan karya-karya sastra masa depan. Hubungan kesejarahan ini
dapat berupa penerusan tradisi atau konvensi sastra sehingga karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain yang tercipta
berdasarkan konvensi dan tradisi sastra suatu masyarakat yang bersangkutan. Julia Kristeva dalam Umar Junus, 1985: 87 – 88 menjelaskan ciri-ciri
intertekstualitas sebagai berikut: 1 kehadiran fisikal suatu teks dalam teks lainnya; 2 pengertian teks bukan hanya terbatas pada cerita tetapi juga mungkin
berupa teks bahasa; 3 adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan perseimbangan dan pemisahan antara suatu teks dengan teks yang telah terbit
commit to user
35
lebih dulu; dan 4 dalam membaca buku teks, pembaca tidak hanya membaca teks itu saja tapi harus membacanya secara berdampingan dengan teks-teks yang
lainnya, sehingga interpretasi pembaca terhadap bacaannya tidak dapat dilepaskan dari teks-teks lain.
Studi intertekstualitas menurut Frow dalam Suwardi Endraswara, 2003: 131 didasarkan beberapa asumsi kritis: 1 Konsep intertekstualitas menuntut
peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek perbedaan dan sejarah teks, 2 teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama
lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks, 3 ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada
teks tertentu merupakan proses waktu yang menentukan, 4 bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai yang implisit. Teks
boleh saja diciptakan ke bentuk lain: di luar norma ideolog dan budaya, di luar genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain, 5 hubungan
teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi penghilangan-
penghilangan bagian tertentu, 6 pengaruh mediasi dalam interteks sering memengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun norma-norma sastra, 7
dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, 8 analisis intertekstualitas berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada
konsep pengaruh. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa intertekstualitas
merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sejumlah teks, dengan cara membandingkan dan menemukan hubungan-hubungan bermakna antara teks
yang ditulis lebih dulu hipogram dengan teks sesudahnya teks transformasi.
4. Hakikat Nilai Pendidikan