NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN)

(1)

commit to user

NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN)

SKRIPSI

Oleh : Fitri Wulandari

K1207018

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN)

Oleh: Fitri Wulandari

K1207018

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(3)

commit to user PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Surakarta, Mei 2011

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I,

Drs. Amir Fuady, M. Hum. NIP 195207291980101001

Pembimbing II,

Dr. Andayani, M. Pd. NIP 196010301986012001


(4)

commit to user PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : Rabu

Tanggal : 25 Mei 2011

Tim Penguji Skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Raheni Suhita, M.Hum. ...

Sekretaris : Budi Waluyo, S.S, M.Pd. ...

Anggota I : Drs. Amir Fuady, M.Hum. ...

Anggota II : Dr. Andayani, M.Pd. ...


(5)

commit to user ABSTRAK

Fitri Wulandari, K 1207018. NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Laskar

Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (2) persamaan dan perbedaan

struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (3) kajian intertekstualitas antara novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; dan (4) nilai pendidikan novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang

Sekolah.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yang sebelumnya didahului dengan pendekatan struktural. Sumber data adalah novel Laskar Pelangi dan Orang

Miskin Dilarang Sekolah. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik

purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik analisis

dokumen. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir. Teknik validitas data yang digunakan adalah trianggulasi teori. Hasil temuan penelitian dengan kajian intertekstualitas menunjukkan bahwa kedua novel tersebut: (1) struktur kedua novel terdiri atas tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat; (2) persamaan struktur kedua novel tersebut berupa tema. Kedua novel mempunyai tema yang sama yakni pendidikan. Amanat, kedua novel mengamanatkan untuk berani bercita dan berusaha keras mewujudkan cita-cita tersebut. Terkait dengan alur, kedua novel menggunakan alur maju. Penokohan dalam kedua novel memiliki persamaan yakni pada teknik karakterisasi. Baik itu Laskar Pelangi maupun Orang Miskin Dilarang Sekolah

karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci tetapi dapat diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung. Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak tokoh utama yaitu berkemauan keras. Perbedaan kedua novel terletak pada sudut pandang. Laskar pelangi menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”, sedangkan Orang Miskin Dilarang Sekolah menggunakan sudut pandang campuran. Latar cerita dalam novel Laskar Pelangi di Pulau Belitong, Sumatera Selatan, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah berlatar di Semarang, Jawa Tengah; (3) dari hasil kajian intertekstualitas dapat disimpulkan bahwa novel Laskar Pelangi merupakan hipogram, sedangkan novel Orang Miskin

Dilarang Sekolah merupakan teks transformasi; dan (4) nilai pendidikan yang

terkandung di dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah

yaitu: nilai pendidikan religius, sosial, moral, dan kebudayaan.


(6)

commit to user MOTTO

aku ingin hidup dalam keagungan cinta, dan cahaya keindahan, karena keduanya, merupakan pengejawantahan tuhan, di situlah aku hadir, hidup,

dan aku tak kan mungkin dapat diasingkan dari wilayah hidup, karena dengan amanah yang berkumandang itu

aku akan hidup kekal di alam baka. (Suara Sang Guru, Kahlil Gibran)


(7)

commit to user PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku yang senantiasa mendoakanku

2. Kakak-kakakku, Ayuri, Iyiq, Hoho, dan adikku Sayang yang selalu memberikan cinta, semangat dan doa

3. Teman-temanku, Haning, Fajar, Heri, Salmah, Rumi, Hanimun, Desinta, Yunianto, Adi, Kejora, Mei, Ratih, Adit, Ervin Hariningtyas untuk bantuannya selama ini 4. Teman-teman P. BASTIND 2007


(8)

commit to user KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang Maha Rahman dan Rahim yang telah melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi yang berjudul Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan

Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Intertekstualitas

dan Nilai Pendidikan), disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat Sarjana Pendidikan pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;

2. Drs. Soeparno, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi kepada penulis;

3. Drs. Slamet Mulyono, M.Pd, selaku ketua Progam Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan studi;

4. Drs. Amir Fuady, M.Hum dan Dr. Andayani, M.Pd selaku pembimbing I dan II yang telah sabar meluangkan pemikiran dan waktunya untuk memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini;

5. Para dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Dr. Herman J. Waluyo., Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum., Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Dr. Budhi Setiawan, M.Pd., yang telah memberikan ilmu, motivasi, dan bimbingannya selama menempuh studi;


(9)

commit to user

6. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd yang telah bersedia memberikan respons terhadap novel Orang Miskin Dilarang Sekolah;

7. Mas Wiwid Prasetyo yang telah berbagi informasi mengenai karyanya;

8. Teman-teman Mahasiswa Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2007.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, pembaca, dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Surakarta, Mei 2011

Penulis


(10)

commit to user DAFTAR ISI

JUDUL ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN BAB I PEDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR ... 7

A. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Hakikat Novel ... 7

2. Hakikat Pendekatan Struktural ... 29

3. Hakikat Kajian Intertekstualitas ... 31

4. Hakikat Nilai Pendidikan ... 36

B. Penelitian yang Relevan ... 42

C. Kerangka Berpikir ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 47

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ... 48

C. Sumber Data ... 48


(11)

commit to user

D. Teknik Sampling ... 48

E. Teknik Pengumpulan Data ... 49

F. Teknik Validitas Data ... 49

G. Teknik Analisis Data ... 49

H. Prosedur Penelitian ... 52

BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN ... 53

1) Deskripsi Data ... 53

1. Struktur Novel LP dan OMDS ... 53

2. Persamaan dan perbedaan antara Novel LP dan OMDS ... 139

3. Hubungan Intertekstual antara Novel LP dan OMDS ... 159

4. Nilai Pendidikan dalam Novel LP dan OMDS ... 141

2) Pembahasan Hasil Temuan Penelitian ... 159

3) Struktur Novel LP dan OMDS ... 159

4) Persamaan dan perbedaan antara Novel LP dan OMDS ... 205

5) Hubungan Intertekstual antara Novel LP dan OMDS ... 220

6) Nilai Pendidikan dalam Novel LP dan OMDS ... 211

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 228

A. Simpulan ... 228

B. Implikasi ... 229

C. Saran ... 231

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

commit to user DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ... 47


(13)

commit to user DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 46

Gambar 2. Skema Analisis Mengalir (Flow Model of Analysis) ... 51

Gambar 3. Skema Plot Novel LP Karya Andrea Hirata ... 127

Gambar 4. Skema Plot Novel OMDS Karya Wiwid Prasetyo ... 134


(14)

commit to user DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Sinopsis Novel LP ... 233

Lampiran 2. Sinopsis Novel OMDS ... 236

Lampiran 3. Profil Andrea Hirata ... 239

Lampiran 4. Profil Wiwid Prasetyo ... 245

Lampiran 5. Artikel Internet “Mengapa Harus Novel Pendidikan?” ... 272


(15)

commit to user DAFTAR SINGKATAN

LP= Laskar Pelangi (Novel)

OMDS= Orang Miskin Dilarang Sekolah (Novel)


(16)

commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra terdiri dari berbagai jenis, salah satunya adalah novel. Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) menyatakan bahwa novel sebagai suatu karya fiksi yang menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang yang bersifat imajiner. Mengacu pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel sebagai sebuah dunia hasil rekaan pengarangnya yang dibangun oleh sebuah jalinan struktur yang ditawarkan pengarang untuk dijadikan teladan bagi pembacanya.

Jakob Sumardjo dan Saini K.M (dalam Herman J. Waluyo) menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yaitu: plot, tema, karakter, setting, point of view, gaya, dan suasana cerita (2002: 140). Unsur-unsur inilah yang menyebabkan sebuah novel menjadi lebih hidup sehingga pembaca seolah merasakan kehidupan yang digambarkan oleh pengarang dalam suatu rangkaian peristiwa. Dengan demikian, pembaca akan terbawa ke dalam sebuah permenungan tentang kehidupan manusia yang ditulis pengarang. Hingga akhirnya pembaca dapat memperoleh suatu pesan dalam kehidupan nyata.

Arifin (2009) menyatakan bahwa novel pada umumnya dianggap sebagai karya sastra yang bersifat menghibur. Selain itu, novel sebagai salah satu bentuk karya sastra mempunyai fungsi bermanfaat. Dikatakan menghibur karena dengan membaca novel, seseorang bisa menikmati keindahan cerita yang terkandung di dalam novel tersebut. Novel memiliki keindahan dalam alur cerita, konflik yang dibangun, dan hal lain yang dituangkan dalam tema yang beragam. Tema tersebut dapat berupa percintaan, persahabatan, kritik sosial, maupun pendidikan. Sedangkan dikatakan bermanfaat karena novel tercipta melalui permenungan yang sungguh-sungguh. Sehingga pembaca dapat mengambil nilai-nilai yang bermanfaat yang terkandung di berbagai novel, salah satunya novel LP.


(17)

commit to user

Novel LP merupakan novel perdana dari Andrea Hirata yang memiliki banyak nilai-nilai pendidikan yang dapat dipetik. Hal ini dikarenakan novel LP

menyoroti dunia pendidikan yang dikemas sangat menarik dan sarat dengan nilai kehidupan yang bermanfaat bagi pembacanya. St. Muttia A. Husain (2010) dalam karya tulisnya menyatakan bahwa membaca novel LP juga dapat menimbulkan kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya dengan melakukan berbagai hal untuk mengubah dan memperbaiki kehidupan. Mengacu pendapat tersebut tak heran jika dalam waktu singkat, LP menjadi bahan pembicaraan para penggemar novel.

Berdasarkan uraian di atas, Fajar Aryanto (2009) dalam menyatakan bahwa dalam waktu seminggu, LP mampu terjual lebih dari satu juta eksemplar sehingga termasuk dalam best seller. Pendapat tersebut sejalan dengan Sainul Hermawan yang menyatakan bahwa novel LP menjadi novel terlaris di Indonesia serta melampaui rekor Ayat-ayat Cinta dan Saman (2009: 103). Hal ini disebabkan LP menyuguhkan sebuah cerita yang dikemas sangat menarik oleh pengarangnya. Novel ini mengisahkan semangat anak-anak kampung Gantung Kabupaten Belitong Timur yang tak mengenal menyerah dalam berjuang meraih cita-cita. Mereka adalah sekumpulan anak yang dijuluki Laskar Pelangi yang hidup serba kekurangan dan penuh keterbatasan. Akan tetapi, segala keterbatasannya itu tidak sedikitpun menyurutkan niat mereka dalam belajar dan kemauan keras merubah nasib. Isi novel LP menegaskan bahwa kemiskinan bukanlah hambatan seseorang meraih kesuksesan asalkan tetap mempunyai cita-cita dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita-cita-citanya.

Setelah kemunculan novel LP yang fenomenal ini, kontan saja dunia sastra banyak diramaikan dengan kemunculan novel-novel sejenis, yakni novel bertemakan pendidikan. Asrori S. Karni menyatakan bahwa kisah Ikal yang diceritakan dengan lincah oleh Andrea Hirata telah menginspirasi jutaan orang (2008: 1). Banyak pengarang terinspirasi untuk menulis kisah-kisah sejenis, seperti novel Perahu Kertas oleh Dewi Lestari, Negeri Lima Menara oleh A Fuadi, Ma Yan oleh Sanie B. Kuncoro, Sang Pelopor, Titian Sang Penerus, Jejak


(18)

commit to user

pengarang yang juga terinspirasi dari novel LP adalah Wiwid Prasetyo. Beberapa karya Wiwid yang sudah terbit antara lain Orang Miskin Dilarang Sekolah, Sup

Tujuh Samudra, Chicken Soup Asma’ul Husna, Miskin Kok Mau Sekolah…?!,

Idolaku Ya Rasulullah Saw…!, Demi Cintaku pada-Mu, Aha, Aku Berhasil

Kalahkan Harry Potter, The Chronicle of Kartini, dan Nak, Maafkan Ibu Tak

Mampu Menyekolahkanmu.

Salah satu karya Wiwid yang menarik adalah novel yang berjudul Orang

Miskin Dilarang Sekolah (OMDS). Novel yang terbit pertama kali pada tahun

2009 ini, kini di tahun 2011 sudah mencapai cetakan keenam dan oleh Diva Press diberikan gelar nasional best seller. Novel ini mengangkat tema yang sama dengan novel LP, yakni masalah pendidikan yang diramu dengan persahabatan, cinta, dan fenomena sosial, khususnya masalah kemiskinan. Tak kalah dengan novel LP, novel OMDS juga sarat dengan muatan nilai pendidikan. Novel OMDS

menceritakan kegigihan seorang anak yang berasal dari golongan miskin yang berjuang untuk dapat mengenyam pendidikan. Novel OMDS mempunyai banyak kemiripan dengan novel LP. Wiwid (2010) mengaku terinspirasi setelah membaca novel LP hingga kemudian ia bertekad untuk membuat karya yang sejenis.

Kemiripan-kemiripan antara dua novel tidak hanya ditemui pada novel LP

dan OMDS saja. Dalam khazanah sastra Indonesia tidak jarang ditemui banyak karya dalam berbagai genre yang mempunyai kemiripan. Hal ini bukan berarti bahwa karya yang lahir kemudian merupakan hasil penjiplakan dari karya sebelumnya. Pradopo (dalam B. Trisman) menyatakan bahwa kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya satra yang mendahuluinya yang pernah diserap oleh sang sastrawan (2003: 81). Jadi, pada mulanya sastrawan dalam menciptakan karyanya melihat, meresapi, dan menyerap teks-teks lain yang menarik perhatiannya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ia menggumuli konvensi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri. Pengkajian terhadap dua karya sastra atau lebih tersebut sering disebut dengan pengkajian sastra dengan pendekatan intertekstualitas


(19)

commit to user

Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Menurut A. Teeuw (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 126) karya sastra itu merupakan response pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sejumlah teks, dengan cara membandingkan dan menemukan hubungan-hubungan kebermaknaan antara teks yang ditulis lebih dulu (hipogram) dengan teks sesudahnya (teks transformasi).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yang diawali dengan pendekatan struktural. Untuk mengetahui struktur yang terdapat dalam novel LP dan OMDS, peneliti perlu mengkaji unsur intrinsiknya yang berupa: tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat. Hal ini penting dilakukan sebagai langkah awal untuk memenuhi kebutuhan makna karya sastra yang dilihat dari segi karya itu sendiri. Dengan pendekatan struktural, karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembacanya. Dalam penerapannya, pendekatan ini memahami karya sastra secara close reading

(membaca karya sastra secara tertutup tanpa melihat pengarangnya dan berbagai konteks di luar karya itu sendiri). Dari hasil pendekatan struktural akan terlihat jelas struktur yang membangun novel tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan pendekatan intertekstualitas. Dari pendekatan intertekstualitas ini akan dapat diketahui perbandingan struktur kedua novel serta persamaan, perbedaan, nilai pendidikan, dan hubungan intertekstualitas antara novel LP dan OMDS. Oleh karena itu penelitian ini berjudul “Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah berikut ini:


(20)

commit to user

1. Bagaimanakah struktur novel novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo?

2. Persamaan dan perbedaan apa yang terdapat dalam struktur novel LP karya Andrea Hirata dan novel OMDS karya Wiwid Prasetyo?

3. Bagaimanakah hubungan intertekstualitas antara novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo?

4. Bagaimanakah nilai pendidikan novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS

karya Wiwid Prasetyo?

C. Tujuan Penelitian

Bertolak dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan struktur novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo.

2. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam struktur novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo.

3. Mendeskripsikan hubungan intertekstualitas antara novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo.

4. Mendeskripsikan nilai pendidikan novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS

karya Wiwid Prasetyo.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi secara teoretis dan praktis.

1. Manfaat teoretis

Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi bidang kajian sastra yakni memperkaya masalah telaah sastra khususnya pendekatan intertekstualitas dan nilai pendidikan dalam novel.

2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa


(21)

commit to user

Hasil penelitian ini memberikan gambaran atau deskripsi mengenai struktur novel LP dan OMDS. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai struktur kedua novel sehingga dapat membantu siswa melakukan apresiasi terhadap kedua novel. b. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran teori dan apresiasi sastra dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas XI SMA, khususnya pada Kompetensi Dasar menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan.

c. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembanding atau referen bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian sastra dengan permasalahan yang serupa, yaitu mengenai kajian intertekstualitas dan nilai pendidikan.


(22)

commit to user BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Novel merupakan jenis karya sastra yang tergolong baru. Herman J. Waluyo (2002: 36) menyatakan “novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti baru”. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakangan dibandingkan cerita pendek dan roman. Karena muncul belakangan, novel pun juga menawarkan hal-hal yang baru yang membedakan ia dengan roman dan cerpen. Apabila dalam roman dikisahkan sebagian besar dari kisah hidup manusia, maka dalam novel dikisahkan beberapa episode kehidupan manusia. Sedangkan dalam cerita pendek hanya salah satu episode kehidupan saja yang dikisahkan. Dengan begitu jelaslah perbedaan novel dengan bentuk karya sastra yang lain.

Henry Guntur Tarigan (1993: 164) berpendapat “novel adalah suatu cerita dengan suatu alur yang cukup panjang, berisi satu buku atau lebih, yang mengisahkan tentang kehidupan dan bersifat imajinatif”. Mengacu pendapat tersebut, novel memang merupakan sebuah karya sastra yang bersifat imajinatif yang merupakan hasil pengimajian pengarangnya. Imajinasi pengarang kemudian dituangkan ke dalam sebuah jalinan cerita yang cukup panjang dengan banyak detail cerita. Itulah yang disebut dengan novel.

Hal ini diperkuat lagi oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) yang mengungkapkan “novel sebagai suatu karya fiksi yang menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibandingkan melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajiner”. Mengacu pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel sebagai sebuah dunia hasil rekaan pengarangnya, di mana ia dibangun oleh sebuah


(23)

commit to user

jalinan struktur yang ditawarkan pengarang untuk dijadikan teladan bagi pembacanya.

Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan ciri-ciri yang ada dalam sebuah novel, yaitu adanya: (a) perubahan nasib tokoh cerita; (b) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; dan (c) biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Senada dengan Herman J. Waluyo, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 11) menyatakan bahwa “novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks”. Dalam hal ini berarti mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu Mengacu dua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel memang berbeda dengan karya sastra yang lain. Novel cenderung menitikberatkan kompleksitas yang di dalamnya memungkinkan adanya penyajian yang panjang lebar mengenai tokoh dan segala konflik yang dialaminya.

Sebagai suatu karya sastra, novel mengandung nilai-nilai moral yang berguna bagi pembacanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002: 37) “novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni, yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan kepada pembaca tentang pekerti yang baik dan budi luhur”. Mengacu pendapat di atas maka novel selain menawarkan sebuah seni atau alat hiburan, novel juga mempunyai misi untuk pembacanya yakni untuk mendidik pembaca melalui kisah-kisah yang disuguhkan dalam novel.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa novel adalah jenis cerita fiksi yang tergolong baru, yang menyuguhkan suatu cerita dengan suatu alur yang cukup panjang dengan memasukkan berbagai unsur intrinsik di dalamnya, yang meliputi tema, alur, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat.

b. Struktur Novel

Suatu karya fiksi terwujud karena disusun dengan meramukan berbagai unsur di dalamnya. Zulfahnur (1996: 24) menyatakan “pengorganisasian berbagai unsur sastra menjadi suatu kebulatan utuh dan mencerminkan kepribadian karya


(24)

commit to user

fiksi yang menarik dan bermakna disebut struktur fiksi”. Maka dengan kata lain hal tersebut berlaku juga dengan novel. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra juga tersusun atas sebuah struktur. Ada banyak pendapat mengenai struktur sebuah novel.

Jakob Sumardjo dan Saini K.M (dalam Herman J. Waluyo) menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yaitu: plot, tema, karakter, setting, point of view, gaya, dan suasana cerita (2002: 140). Sementara itu Marjorie Boulton membagi cerita rekaan menjadi enam unsur, yakni: point of view, plot, character, percakapan, latar dan tempat kejadian, dan tema yang dominan (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 139).

Burhan Nurgiyantoro (2005: 23) mengatakan “unsur-unsur pembangun sebuah novel secara garis besar dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik”. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur-unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Di lain pihak, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.

Senada dengan Burhan Nurgiyantoro, Zulfahnur juga menyatakan bahwa sebuah karya fiksi dibangun oleh dua unsur yakni unsur ekstrinsik dan intrinsik. Unsur ekstrinsik yang meliputi permasalahan kehidupan, falsafah, cita-cita, ide-ide dan gagasan serta latar budaya yang menopang kisahan cerita. Sedangkan unsur intrinsik (unsur dalam dari sebuah fiksi) terdiri atas tema dan amanat, alur, perwatakan, sudut pandang, latar, dan gaya bahasa (1996: 24 – 25). Wahyudi Siswanto juga membagi unsur intrinsik atas alur, tokoh, watak, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, amanat dan tema (2008: 142). Zainuddin Fananie


(25)

commit to user

(2000: 77) menambahkan “faktor ekstrinsik adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra yang meliputi tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama dan sebagainya”. Wellek dan Warren (1990: 75 – 130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan filosofis.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra (novel) dibangun atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, meliputi tema, penokohan, latar, sudut pandang, alur, amanat, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik merupakan faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra yang meliputi tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama dan sebagainya. Kedua unsur ini bersama-sama membangun sebuah struktur karya fiksi khususnya novel. Telaah struktur novel pada penelitian ini dibatasi pada unsur-unsur yang penulis rasa cukup penting yang berkaitan dengan kajian novel dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yaitu tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat. a. Tema

Tema merupakan salah satu unsur dalam karya sastra. Panuti Sudjiman (1984: 50) menyatakan bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra. Sangidu (1995: 154) menyatakan “tema adalah apa yang menjadi persoalan utama di dalam sebuah karya sastra”. Sedangkan Zainuddin Fananie (2000: 84) menyatakan “tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra”. Brooks, Purser, dan Waren (dalam Henry Guntur Tarigan) mengemukakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra (1993: 125). Mengacu beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra.


(26)

commit to user

Sebagai sebuah gagasan dasar, tema merupakan sesuatu yang netral, belum ada sikap, belum ada kecenderungan untuk memihak. Oleh karena itu persoalan apa saja dapat dijadikan tema di dalam sebuah karya sastra. Zainuddin Fananie menyatakan bahwa karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam (2000: 84). Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Senada dengan Zainuddin Fananie, Herman J. Waluyo (2002: 142) juga menyatakan “tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya”. Mengacu pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pesoalan apa saja dapat dijadikan sebagai tema dalam sebuah karya sastra.

Di dalam sebuah cerita rekaan terdapat banyak tema. Oleh karena itu tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Di dalam kajian teori ini, dipaparkan jenis-jenis tema dipandang dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley. Berikut adalah penjelasan tentang tingkatan tema menurut Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 80 – 81) yang meliputi tema tingkat fisik, tema tingkat organik, tema tingkat sosial, tema tingkat egois, dan tema tingkat devine.

1) Tema tingkat fisik. Tema ini lebih banyak mengarang dan ditujukan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada tokoh cerita bersangkutan.

2) Tema tingkat organik (kejiwaan). Tema ini menyangkut aspek kejiwaan tokoh cerita.

3) Tema tingkat sosial (makhluk sosial). Tema ini menyangkut masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lain.

4) Tema tingkat egois (persona). Manusia sebagai makhluk individu senantiasa menuntut pengakuan hak individualitas. Tema ini antara lain mengangkat masalah martabat, egoistis, harga diri, sifat batin, misalnya jati diri atau sosok kepribadian seseorang.

5) Tema tingkat divine (manusia sebagai makhluk tingkat tinggi). Masalah yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan


(27)

commit to user

pencipta alam, masalah religiusitas, atau masalah yang bersifat filosofis seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

Selain itu, Burhan Nurgiyantoro juga menggolongkan tema dari tingkat keutamannya, yaitu: tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita (2005: 82 – 83) Senada dengan Burhan Nurgiyantoro, Marjorie Boulton (dalam Herman J. Waluyo) juga menyebutkan adanya tema dominan (sentral) dan tema-tema lainnya (2002: 144). Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa di dalam sebuah karya sastra bisa mengandung banyak tema. Adanya beberapa tema dalam sebuah karya sastra justru akan menunjukkan kekayaan karya sastra tersebut.

Sebagai sebuah karya imajinatif, tema dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Menurut Zainuddin Fananie, tema dapat diungkapkan melalui dialog tokoh-tokohnya, melalui konflik-konflik yang dibangun, atau melalui komentar secara tidak langsung (2000: 84). Dari pendapat Zainuddin Fananie tersebut dapat dimakanai bahwa tema yang baik pada hakikatnya adalah tema yang tidak diungkapkan secara langsung dan jelas. Tema bisa disamarkan sehingga kesimpulan tentang tema yang diungkapkan pengarang harus dirumuskan sendiri oleh pembaca.

Bertolak dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tema di dalam sebuah karya sastra merupakan hal yang sangat penting. Tema merupakan gagasan utama yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Tema merupakan dasar bagi seorang pengarang untuk mengungkapkan permasalahan dalam sebuah cerita yang dapat diungkapkan baik secara langsung maupun tidak langsung.

b. Sudut Pandang atau Point of View

Sudut pandang atau disebut juga point of view merupakan salah satu unsur novel yang digolongkan sebagai sarana cerita. Herman J. Waluyo (2002: 184) menyatakan “sudut pandang atau point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita”. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248)


(28)

commit to user

mendefinisikan sudut pandang itu sebagai cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Sementara itu Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001: 249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Burhan Nurgiyantoro (2005: 250) memberikan pengertian tentang sudut pandang “sudut pandang adalah strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya”. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa sudut pandang adalah cara pandang pengarang dalam menyajikan sebuah cerita.

Pemilihan sudut pandang harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh pengarang. Menurut Stevick (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 251) “sudut pandang mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca”. Maksud dari pengertian di atas bahwa pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita. Pemahaman pembaca pada sudut pandang akan menentukan seberapa jauh persepsi dan penghayatan, bahkan juga penilaiannya terhadap novel yang bersangkutan

Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Burhan Nurgiyantoro (2005: 256 – 266) membedakan sudut pandang menjadi tiga, yaitu sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang persona pertama “aku”, dan sudut pandang campuran.

1) Sudut pandang persona ketiga “Dia”

Sudut pandang persona ketiga “Dia” yaitu pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.


(29)

commit to user

Sudut pandang ini dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu “Dia” Mahatahu dan “Dia” terbatas (“dia” pengamat).

Dalam sudut pandang “Dia” Mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut pandang “dia”, namun pengarang, narator , dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat diindra, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh. Lebih dari itu, ia tak hanya mampu melapor dan menceritakan kisah tentang tokoh-tokoh saja, melainkan juga dapat mengomentari dan menilai secara bebas dengan penuh otoritas, seolah-olah tak ada satu rahasia pun rahasia tentang tokoh yang tidak diketahuinya.

Sedangkan dalam sudut pandang “Dia” terbatas (“Dia” pengamat), pengarang hanya melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun hanya terbatas pada seorang tokoh saja. Pengarang tidak “mengganggu” dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang diceritakannya. Ia hanya menjadi pengamat, observer, melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang bertindak sebagai pusat kesadaran. 2) Sudut pandang persona pertama “aku”

Sudut pandang persona pertama “aku” yaitu pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, gaya “aku”. Posisi narator adalah ikut terlibat dalam cerita, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, didengar, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Dalam sudut pandang ini, sifat kemahatahuannya terbatas. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita, yakni “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan.


(30)

commit to user

3) Sudut pandang campuran

Sudut pandang campuran yaitu penggunaan sudut pandang lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Misalnya campuran “Aku” dan “Dia”. Penggunaan kedua sudut pandang tersebut terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Si “aku” adalah tokoh utama protagonis, dan ini memungkinkan pengarang membeberkan berbagai pengalaman batinnya. Namun, jangkauan si “aku” terhadap tokoh lain terbatas, tak bersifat Mahatahu. Padahal, pembaca menginginkan informasi penting dari tokoh-tokoh lain, atau narator yang ingin menceritakannya kepada pembaca, terutama yang dalam kaitannya dengan tokoh “aku”. Agar hal itu dapat dilakukan, pengarang sengaja beralih ke sudut pandang yang lain yang memungkinkan memberinya kebebasan, dan teknik ini berupa “Dia” Mahatahu. Dengan demikian pembaca memperoleh cerita secara detil baik dari tokoh “aku” maupun “dia”. Hal ini juga berarti pembaca menjadi lebih tahu tentang berbagai persoalan hubungan tokoh-tokoh tersebut daripada tokoh-tokoh itu sendiri.

Selain itu, Herman J. Waluyo (2002: 184 – 185) juga membagi sudut pandang menjadi tiga, yaitu teknik akuan, teknik diaan, dan teknik pengarang serba tahu.

1) Teknik akuan

Teknik akuan menempatkan pengarang sebagai orang pertama dan menyebut pelakunya sebagai “aku”. Panuti Sudjiman menambahkan, pencerita akuan cepat membina keakraban antarcerita dan pembaca. Namun, ada semacam keterbatasan yang disebabkan sudut pandangnya yang bersifat sepihak (1984: 73). Pencerita akuan secara langsung dan dengan bebas dapat menyatakan sikap, pikiran, dan perasaannya sendiri kepada pembaca, tetapi tentang tokoh-tokoh lain ia hanya dapat memberikan pandangan dari pihaknya sendiri. Ia tidak dapat menduga dalam-dalam sikap dan pikiran tokoh yang lain. Sebaliknya karena ia harus membatasi penceritaan dengan cara memandang segala sesuatu dari satu sudut, ceritanya menjadi padat-padu.


(31)

commit to user

2) Teknik diaan

Teknik diaan menempatkan pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utamanya sebagai “dia”.

3) Teknik pengarang serba tahu (omniscient narrative)

Teknik pengarang serba tahu menempatkan pengarang sebagai pencerita segalanya dan memasuki sebagai peran yang bebas. Panuti Sudjiman mengibaratkan teknik ini, seolah-olah pengarang berdiri di atas segala-galanya dan dari tempatnya yang tinggi itu ia dapat mengamati segala sesuatu yang terjadi, bahkan dapat menembusi pikiran dan perasaan para tokoh (1984: 73 – 74). Dengan sudut pandang ini si pencerita dapat berkomentar dan memberikan penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkannya itu. Ketiga jenis metode ini dapat dikombinasikan oleh pengarang dalam suatu cerita rekaan dengan tujuan untuk membuat variasi cerita agar tidak membosankan.

Menurut Panuti Sudjiman (1984: 72) penggunaan sudut pandang yang berbeda menghasilkan versi yang berbeda dari peristiwa atau rentetan peristiwa yang sama, dan menyajikan rincian yang berbeda dari peristiwa yang sama. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa seorang pencerita harus menentukan sudut pandang; ia harus menentukan dari sudut mana (atau siapa) sebaiknya cerita itu dihidangkan. Pemilihannya itu didasarkan faktor-faktor tertentu, seperti suasana cerita, kategori, atau jenis ceritanya, serta maksud tujuan cerita.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan sudut pandang dalam cerita rekaan menjadi sangat penting karena akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut pandang difungsikan pengarang untuk sarana penyajian tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa dalam cerita rekaan kepada pembaca. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita.

c. Penokohan

Berbicara tentang sebuah cerita tentu tidak terlepas dari tokoh karena tokoh merupakan unsur yang penting dalam cerita. Atar Semi (1993: 36) mengatakan bahwa, masalah penokohan dan perwatakan merupakan salah satu hal


(32)

commit to user

yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan karena tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita.

Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Menurut Burhan Nurgiyantoro istilah-istilah tersebut ada yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada “teknik” pengembangannya dalam sebuah cerita (2005: 164 – 165). Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165) menyatakan “penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Mengacu pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah penempatan/pelukisan/penyajian tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu.

Watak-watak tertentu inilah yang akan menghidupkan tokoh di dalam cerita. Herman J. Waluyo (2002: 171 – 172) menyatakan bahwa pendeskripsian watak tokoh dengan tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi psikis, dan dimensi sosiologis. 1) Dimensi fisik, artinya keadaan fisik tokohnya yang meliputi: usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh (tinggi, pendek, pincang, gagah, tampan, menarik, dan sebagainya), ciri-ciri wajah (cantik, jelek, keriput, dan sebagainya , dan ciri khas yang spesifik; 2) Dimensi psikis dari tokoh melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat dan karakteristiknya, seperti misalnya mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan, temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi, serta kecakapan dan keahlian khusus; 3) Dimensi sosiologis menunjukkan latar belakang kedudukan tokoh dalam masyarakat dan hubungan dengan tokoh-tokoh lainnya. Misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan


(33)

commit to user

dalam masyarakat, pendidikan, pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, kesenangan, suku bangsa, keturunan dan sebagainya.

Tokoh-tokoh cerita tidak begitu saja secara serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana penyajian yang memungkinkan kehadirannya. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh atau metode penokohan. Atar Semi (1993 : 39 – 40) menyampaikan ada dua macam cara dalam memahami tokoh atau perwatakan tokoh-tokoh yang ditampilkan yaitu secara analitik dan secara dramatik. 1) Secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan karakter tokoh-tokoh dalam cerita; 2) Secara dramatik, yaitu pengarang tidak menceritakan secara langsung perwatakan tokoh-tokohnya, tetapi hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh, melalui penggambaran fisik tokoh dan melalui dialog.

Senada dengan Atar Semi, Herman J. Waluyo (2002: 164) mengatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya yaitu metode analitis, metode tidak langsung, dan metode kontekstual. (1) Metode analitis: pengarang langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci (psikis, fisik, dan keadaan sosial); (2) Metode tidak langsung: penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan penampilan fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya. Lukisan watak tokoh dalam metode ini tidak diberikan langsung oleh pengarang, tetapi harus disimpulkan sendiri oleh pembaca; dan (3) Metode kontekstual: metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Dalam metode ini penggambaran watak digambarkan secara panjang lebar melalui tingkah laku dari tokoh-tokohnya

Panuti Sudjiman (1984: 23 – 27) menyatakan bahwa terdapat dua cara penyajian watak tokoh yaitu metode analitis dan metode tak langsung. 1) Metode analitis, metode langsung, metode perian, atau metode diskursif yaitu metode di mana pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya, tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang watak tersebut. Cara yang mekanis ini menurutnya memang sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan imajinasi


(34)

commit to user

pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk membentuk gambarannya tentang si tokoh; 2) Metode tak langsung, metode ragaan, metode dramatik yaitu metode penyajian watak tokoh di mana pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Ketiga metode ini pada umumnya dipakai bersama-sama dalam sebuah karya sastra, atau dua di antaranya berkombinasi, kadang-kadang dengan penggunan salah satu metode secara dominan

Zainuddin Fanani (2000: 87 – 92) juga mengungkapkan bahwa ada 2 model cara mengekspresikan karakter tokoh yang dipakai pengarang yaitu melalui tampilan fisik dan secara tidak langsung. (a) Tampilan Fisik yakni pengarang menguraikan gambaran fisik tokoh, termasuk di dalamnya uraian mengenai ciri-ciri khusus yang dipunyai tokoh. Dalam hal ini, pengarang biasanya menguraikan pula secara rinci perilaku, latar belakang, keluarga, kehidupan tokoh pada bagian awal cerita. Model ini dalam telaah sastra sering disebut dengan istilah analitik, yaitu tokoh-tokoh cerita sudah dideskripsikan sendiri oleh pengarang; (2) Pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan karakter tokohnya. Dalam model ini, karakter dibangun melalui kebiasaan berpikir, cara pengambilan keputusan dalam menghadapi setiap peristiwa, perjalanan karir, dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lain, termasuk komentar dari tokoh yang satu ke tokoh yang lainnya.

Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara garis besar ada dua cara metode penyajian watak tokoh atau metode penokohan, yaitu: 1) metode analitik, metode langsung, metode perian, atau metode diskursif yaitu pengarang langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terperinci (psikis, fisik, dan keadaan sosial); 2) metode dramatik, metode tak langsung, metode ragaan yaitu pengarang tidak menceritakan secara langsung perwatakan tokoh-tokohnya, tetapi pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.


(35)

commit to user

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Herman J. Waluyo (2002: 167 – 168) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa macam, antara lain berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonis. 1) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita; 2) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita; dan 3) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk protagonis dan untuk tokoh antagonis

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 176 – 194) tokoh-tokoh dalam sebuah fiksi dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang, tokoh tipikal dan tokoh netral.

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

b) Tokoh protagonis dan antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh baik yang mendatangkan simpati para pembacanya, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis, atau tokoh jahat yaitu yang menimbulkan perasaan antipati dan benci pada pembacanya.

c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat

Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana boleh saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang diformulakan


(36)

commit to user

itu. Tokoh bulat, kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.

d) Tokoh statis dan tokoh berkembang

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan lingkungan sehingga akan mempengaruhi sikap, watak dan tingkah lakunya. e) Tokoh tipikal dan tokoh netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili. Tokoh netral merupakan tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan berinterksi dalam dunia fiksi. Tokoh netral dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan tokoh inilah yang sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata.

Berdasarkan uraian mengenai penokohan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penokohan merupakan faktor yang penting di dalam sebuah cerita. Penokohan sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan inilah yang sebenarnya merupakan batang dari sebuah cerita. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, pengarang berusaha menjadikannya seperti hidup, yang mempunyai perasaan, memiliki etika, dan keterikatan pada lingkungannya, sehingga menjadikan sebuah novel terasa hidup. d. Latar atau setting

Dalam karya sastra, latar merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya. Burhan Nurgiyantoro (2005: 217) mengungkapkan “latar


(37)

commit to user

memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas”. Mengacu pendapat tersebut, konret dan jelas dipandang penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Maksud pernyataan tersebut adalah penggambaran seorang pengarang tentang latar tempat dan waktu dimaksudkan agar pembaca dapat memahami secara jelas tempat dan waktu terjadinya peristiwa yang digambarkan oleh pengarang.

W. H. Hudson (dalam Herman J. Waluyo) menyatakan bahwa pada novel, latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut (2002: 198). Ia juga menyatakan bahwa latar adalah keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan dan pandangan hidup tokohnya serta selalu berkaitan dengan waktu, tempat penceritaan, tempat terjadinya cerita, misalnya siang, malam atau pagi, hari, bulan atau tahun, di desa, kota, atau wilayah tertentu, di pantai, gunung, danau, sungai atau lingkungan masyarakat tertentu dan sebagainya.

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 227 – 235) “latar dalam novel menyangkut keterangan mengenai sosial budaya, tempat dan waktu di mana peristiwa itu terjadi”. Unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut, walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.

1) Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.


(38)

commit to user

2) Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain.

3) Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.

Latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Selain itu dapat pula berupa penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Di samping penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh dalam banyak hal juga berhubungan dengan latar sosial.

Walaupun latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen latar hakikatnya tidaklah hanya menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung. Zainuddin Fananie berpendapat bahwa selain menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, latar berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis (2000: 97 – 98). Mengacu pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa dari kajian mengenai latar akan dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi


(39)

commit to user

antara perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan pandangan masyarakatnya. Di samping itu, kondisi wilayah, letak geografi, struktur sosial juga akan menentukan watak-watak atau karakter tokoh-tokoh tertentu. Karena itu fungsi latar dalam sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari masalah yang lain seperti tema, tokoh, bahasa, medium sastra yang dipakai, dan persoalan-persoalan yang muncul yang kesemuanya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini diperkuat oleh Montaque dan Henshaw (dalam Herman J. Waluyo) yang menyatakan tiga fungsi latar, yaitu: mempertegas watak para pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang disampaikan (2002: 198).

Kenney (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 198). juga menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu: sebagai metafora, sebagai atmosphere, dan sebagai unsur dominan yang mendukung plot dan perwatakan. 1) Sebagai metafora (setting

spiritual) yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita.

Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi; 2)

Sebagai atmosphere atau kreasi, yang lebih memberi kesan dan tidak hanya memberi tekanan kepada sesuatu; 3) setting sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa latar atau

setting adalah keseluruhan lingkungan cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi

baik itu lingkungan tempat, waktu, sosial maupun segala sesuatu yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa. Di mana kesemuanya mempunyai peran tersendiri dalam mendukung struktur utuh cerita.

e. Alur atau Plot

Alur merupakan bagian penting dalam suatu fiksi. Ia adalah penghubung suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Siti Sundari (dalam Zainuddin Fananie, 2000: 93).) memberikan batasan mengenai alur, “alur merupakan keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita”. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113). mengemukakan ”plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”.


(40)

commit to user

Senada dengan Stanton, Atar Semi juga menyatakan bahwa alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (1993: 43). Alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya. Alur memegang peranan penting dalam sebuah cerita rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa alur adalah keseluruhan rangkaian kejadian dan tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain

Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2005: 153 – 163) mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan isi. Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kronologis dan tak kronologis. Kategori kronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau progresif, sedang kategori tak kronologis disebut sebagai plot sorot balik; mundur; flash-back; atau regresif.

Alur maju atau progresif, terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir

terjadinya peristiwa; alur mundur atau regresif atau flash back, alur ini terjadi jika dalam cerita tersebut dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita.

Istilah plot tunggal dan subplot digunakan untuk menilik plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun sebuah fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu menandakan adanya sub-subplot.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 160) juga membagi alur berdasarkan kepadatannya menjadi dua, yaitu: alur padat dan alur longgar. Alur padat yaitu


(41)

commit to user

cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi secara susul menyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga apabila ada salah satu cerita dihilangkan, maka cerita tersebut tidak dapat dipahami hubungan sebab akibatnya. Sedangkan alur longgar adalah alur yang peristiwa demi peristiwanya berlangsung dengan lambat.

Sedangkan menurut Herman J. Waluyo (2002: 153 – 156) menyatakan beberapa teknik penyusunan alur, yaitu teknik progresif, teknik umpan balik, dan teknik compound plot. Teknik progresif atau kronologis, artinya cerita berurutan dari awal hingga akhir. Teknik umpan balik atau flash back, artinya cerita yang seharusnya ada pada bagian akhir diletakkan di depan. Teknik compound plot atau alur majemuk, artinya di samping mengandung alur utama juga terdapat alur bawahan, yakni cerita tambahan yang dikisahkan pengarang untuk memberikan latar belakang dan kesinambungan.

Secara teoretis plot dapat diurutkan atau dikembangkan ke dalam tahap-tahap tertentu secara kronologis. Burhan Nurgiyantoro (2005: 142 – 146) membagi alur menjadi tiga tahap, yakni tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.

Tahap Awal, biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada

umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal (atau: pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.

Tahap Tengah, yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan

pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik pertentangan yang terjadi antara tokoh-tokoh cerita. Tahap Akhir, atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi bagian ini berisi bagaiman kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita.

Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membagi alur cerita menjadi tujuh bagian, yaitu Eksposisi, Inciting Moment, Rising Action, Complication, Climax,


(42)

commit to user

Falling Action, dan Denouement. Ketujuh alur cerita tersebut dapat diuraikan

sebagai berikut:

1) Eksposisi artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan

tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman.

2) Inciting Moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai

ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan.

3) Rising Action adalah penanjakan konflik, selanjutnya terus terjadi peningkatan

konflik.

4) Complication adalah konflik yang semakin ruwet.

5) Climax adalah puncak penggawatan, klimaks cerita harus merupakan puncak

dari seluruh cerita itu dan semua kisah/peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut.

6) Falling Action adalah konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah

mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang.

7) Denouement artinya penyelesaian, unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang

dapat juga oleh pembaca, karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita.

Lubis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149 – 150) membagi plot menjadi lima bagian, meliputi: (1) Situation (tahap penyituasian); (2) Generating

Circumstance (tahap pemunculan konflik); (3) Rising Action (tahap peningkatan

konflik); (4) Climax (tahap klimaks); (5) Denouement (tahap penyelesaian). Berdasarkan beberapa pandapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa plot adalah urutan atau rangkaian kejadian dan peristiwa dalam suatu karya fiksi yang memiliki tahapan-tahapan tertentu secara kronologis untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Ragam plot ada berbagai macam tergantung pengarang ingin menyuguhkan cerita yang seperti apa kepada pembacanya. Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita sedangkan kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dipahami. Sebaliknya, sebuah fiksi yang rumit, komplit, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antarperistiwanya akan sulit untuk dicerna dan dipahami oleh pembaca.


(43)

commit to user

f. Amanat

Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto ( 1986: 10) amanat atau pesan yang dalam bahasa Inggris disebut message adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya (cerpen atau novel) kepada pembaca atau pendengar.

Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Hal baik itu dapat berupa pengajaran tentang moral. Hal ini sesuai dengan pendapat Panuti Sudjiman (1984: 57) yang menyatakan “amanat adalah suatu pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang”. Mengacu pendapat di atas, wujud amanat dapat berwujud kata-kata mutiara, nasihat, firman Tuhan sebagai petunjuk untuk memberikan nasihat dari tindakan tokoh cerita. Jadi amanat adalah pesan yang disampaikan penulis yang berupa nasihat

Esten (dalam Sangidu) mengemukakan bahwa pemecahan masalah yang dihadapi dan pemberian jalan keluar di dalam sebuah karya sastra yang diberikan oleh si pengarang terhadap tema yang dikemukakan disebut amanat (1995: 154). Amanat adalah hal tersirat atau tersurat dalam suatu cerita, sebuah amanat dalam cerita meskipun ada yang diungkapkan secara terang-terangan tetapi jarang terjadi. Amanat merupakan pemecahan suatu tema. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. A. Teeuw (1984: 27) menyatakan “amanat berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang khas, umum, subjektif, sehingga harus dilakukan dengan penafsiran”.

Burhan Nurgiyantoro menyamakan amanat dengan moral.

“Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan,

message. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang

mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi tentulah berbeda efeknya dibanding yang lewat tulisan non fiksi” (2005: 321).

Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1984: 57) menyatakan bahwa amanat atau hikmah cerita dapat disajikan secara eksplisit dan implisit. mengatakan, implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh


(44)

commit to user

menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya. Amanat dapat ditangkap langsung melalui dialog antartokoh. Amanat yang disampaikan secara langsung ini mudah ditangkap. Sebaliknya, amanat kadang-kadang dapat ditangkap melalui perenungan atau pemikiran atas apa yang terjadi dalam cerita. Seorang pembaca atau pendengan sastra harus menemukan hikmah, pesan, atau ajaran di balik kejadian-kejadian atau perilaku para tokohnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Di dalam amanat akan terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang yang disajikan secara implisit dan eksplisit. Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis, karena amanat merupakan pemecahan suatu tema.

2. Hakikat Pendekatan Struktural

Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 36) menjelaskan “struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya serta secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Mengacu pendapat tersebut setiap karya sastra mempunyai unsur pembangun yang secara bersama-sama membentuk kesatuan dan susunan yang indah sehingga dapat dinikmati oleh pembaca.

Di pihak lain, Burhan Nurgiyantoro menyatakan bahwa struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (2005: 36). Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana. Mengacu pendapat di atas bahwa struktur karya sastra baru akan bermakna apabila ada hubungannya dengan


(1)

commit to user

LAMPIRAN 4

BIOGRAFI WIWID PRASETYO

Wiwid Prasetyo atau sering juga menulis dengan nama Prasmoedya Tohari, lahir pada 9 November 1981 di Semarang. Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, tahun 2005 ini sehari-harinya aktif di Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul (majalah anak-anak), serta tabloid Info Plus Semarang, baik selaku redaktur maupun reporter. Selain itu, ia juga peduli terhadap dunia pendidikan, terbukti masih menjadi pengajar di Bimbingan Belajar Smart Kids Semarang.

Di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya dalam bentuk buku. Beberapa karyanya yang sudah terbit adalah Orang Miskin Dilarang Sekolah (DIVA Press, 200), Sup Tujuh Samudra (Bersama Badiatul Rozikin, DIVA Press, 2009), Chicken Soup Asma’ul Husna (Garailmu, 2009), dan Miskin Kok Mau Sekolah…?! (DIVA Press, 2009), Idolaku Ya Rasulullah Saw…! (DIVA Press, 2009), Demi Cintaku pada-Mu (DIVA Press, 2009), Aha, Aku Berhasil Kalahkan Harry Potter (DIVA Press, 2010), The Chronicle of Kartini (DIVA Press, 2010), dan Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu (DIVA Press, 2010).

Bagi pembaca yang ingin berdiskusi atau sekadar ngobrol, dapat menghubunginya melalui email: prasmoedyatohari@gmail.com.

http://blogdivapress.com/dvp/?p=143


(2)

commit to user

LAMPIRAN 5

Mengapa Harus Novel Pendidikan?

Tanda Baca: dilarang, miskin, novel, orang, sekolah

Ditulis oleh missi_holic tanggal 4 May 2010 | 6:52

artikel | 2 Komentar

oleh: wiwid prastyo*

Sudah terlalu banyak pesan yang masuk ke akun saya, entah itu melalui fasilitas facebook, twitter, chat melalui yahoo messenger sampai email yang menanyakan mengapa saya harus menulis tentang novel pendidikan? Semua pertanyaan itu terkadang saya jawab dengan sekenanya atau saya jawab dengan serius, bahkan memakai landasan normatif segala—itu jika si penanyanya adalah orang punya latar belakang intelektual yang melebihi saya.

Sekitar tahun 2007, saya berkenalan dengan Laskar Pelangi—hak cipta Andrea Hirata. Begitu mengesankan novel itu bagi saya, sampai-sampai membuat saya tak bisa tidur sebelum akhirnya berambisi saya harus menulis novel serupa. Akhirnya, saya kumpulkan remah-remah ingatan masa kecil, kemudian saya corat-coret dalam selembar kertas, entah itu tentang kejadian-kejadian unik, ataupun setting kehidupan tempat saya tinggal, hingga jadilah novel itu berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah[1]

Betapa saya harus mengucapkan terima kasih pada kenangan masa kecil saya, karena Ia adalah resources yang sangat kaya bagi pembentukan mental karakter kita di masa depan. Tentunya, ide yang sedemikian kaya tentang masa kecil itu tak mungkin rela saya lepas begitu saja. Semua saya brainstorming-kan dalam coretan kecil yang telah tulis jauh-jauh hari dalam buku kecil yang kemana-mana selalu saya bawa.

Baiklah, sebelum saya bercerita tentang bagaimana menemukan metode penulisan yang sangat mengesankan melalui novel Laskar Pelangi, sebelumnya ketika kuliah, sekitar tahun 2004-an saya juga telah menulis novel yang sangat panjang—sekitar 600 halaman tentang kehidupan religius di musholla kecil di kampungku dan segenap intrik-intrik sosial didalamnya. Hanya saja, karena waktu itu saya tidak tahu novel itu mau diarahkan kemana, apa tujuannya,

bagaimana ideologi yang akan dikembangkan. Maka, ‘novel percobaan’ itu begitu mengalir ke segala arah. Novel itu selesai, tetapi kabur dan saya tidak tahu lagi apakah novel itu layak terbit atau tidak.

Ideologi yang terbentuk dalam diskusi Missi—dulu namanya Diskaso (Diskusi Kamis Sore) juga mengilhami saya untuk menulis novel berikutnya, tentang kehidupan di zaman 65-an dan geliat-geliat partai politik komunis didalamnya.


(3)

commit to user

Hanya saja saya kehabisan energi untuk menyelesaikannya, bahkan naskah itu kemudian hilang bersamaan dengan rusaknya komputer pentium dua—satu-satunya kekayaan yang diwariskan orangtua waktu itu yang sedianya untuk menulis skripsi.

Apa yang patut kita renungkan melalui dua pengalaman ‘gagal’ saya di atas? Setidak-tidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita petik. Yakni, seorang penulis harus tahu akan kemana arah tujuannya dalam menulis. Arah dan tujuan itu adalah tenaga yang mampu membuat penulis menyelesaikan karyanya. Sebab, seperti kata Gus Mus, menulis itu gampang, yang sulit adalah menyelesaikannya. Sedangkan kedua adalah perlunya prinsip-prinsip ideologi yang akan

dikembangkan oleh penulis itu sendiri. Dulu saya sering bingung, akan menulis apa, saya merasakan ide yang berlimpah dari segenap kehidupan, tetapi saya sering kesulitan untuk menuliskannya, karena tidak adanya ideologi yang akan saya bangun. Andaikan saya seorang pemahat, saya melihat batu berlimpah di pegunungan, tetapi saya bingung akan memahat apa karena saya tidak

mempunyai gambaran dalam pikiran, apa yang akan saya buat.

Sekarang, begitu orang-orang menjuluki saya sebagai penulis novel pendidikan, maka saya harus konsen dengan penyematan itu, dan tiap kali saya memandang sebuah ide, saya kerucutkan atau saya alihkan ke tema-tema pendidikan yang luar biasa luas itu. Demikian pula ketika saya menulis Orang Miskin Dilarang Sekolah. Idenya sederhana, kenakalan bocah-bocah kecil di sebuah kampung, hanya saja karena tema besarnya adalah pendidikan, maka coba saya kerucutkan ke persoalan-persoalan pendidikan. Saya kemudian teringat dengan Laskar Pelangi tentang pertentangan Sekolah PN Timah dengan Sekolah

Muhammadiyah Gantong. Saya bayangkan tengah ber-ekstase seperti Andrea Hirata pula. Saya punya teman-teman kecil yang sedari kecil sudah bekerja untuk sebuah peternakan sapi milik seorang Singkek.

Hampir sama dengan Andrea, persoalan yang dibidik adalah kemiskinan. Jika Lintang putus sekolah karena harus membantu ayahnya melaut, maka, teman-teman kecil saya juga memutuskan sekolah karena harus membantu ayahnya, ada yang bekerja membersihkan kotoran sapi, membersihkan kandangnya dan sebagainya. Beruntung sekali, dahulu saya pernah bergaul bersama mereka. Saya merasakan betul bagaimana mereka tinggal di sebuah rumah petak dan lebih mirip gubuk derita yang ada di kawasan kumuh bantaran sungai. Anehnya, kami tak pernah merasakan itu sebagai sebuah kesenjangan. Saya bermain layang-layang, menjadi liar gara-gara ikut memulung kabel tembaga di sekitar Barito, ikut mencuri mangga, kresen—dibuat jus kresen, hingga bermain video game di sekitar kawasan bioskop Manggala. Bahkan tak jarang ikut menjadi kleptomania saat tergiur melihat barang-barang di Supermarket.


(4)

commit to user

Dan, hasil akhir nasib seseorang ditentukan oleh pendidikan itu ada benarnya juga. Beberapa teman saya memang ada yang terus sekolah hingga SMA/SMK, bahkan kebanyakan ada yang bersekolah hanya sampai Sekolah Dasar, semua itu ternyata berpengaruh bagi masa depan yang dijalani sekarang ini. Mereka yang sekolah sampai SMA ini bisa bekerja dengan baik, entah itu pabrik mebel, atau tekstil. Adapun yang dahulu tidak sadar artinya sekolah, mereka ini hanya lontang-lantung di kampung. Menjadi sponsor kemaksiatan, maupun event-event kampung yang selaras dengan minuman keras dan perjudian.

Sungguh mengerikan memang, tetapi inilah kenyataan yang saya hadapi sekarang. Saya menghadapi generasi yang mundur setapak demi setapak, mereka tidak sadar untuk sekolah bukan sekedar karena alasan kemiskinan, tetapi lebih karena lingkungan permissif yang begitu menggoda mereka. Jangan dibayangkan, mereka yang putus sekolah hanya ada di desa-desa terpencil saja, di kotapun seperti itu sangat banyak. Sekolah seolah-olah menjadi ujian yang sangat berat, sebab bisa dihitung dengan jari saja mereka yang bisa lulus sampai menengah atas.

Kebanyakan mereka tidak sabaran, ingin cepat bekerja, ingin-ingin cepat-cepat mendapatkan uang, padahal di zaman sekarang, bukankah ijasah SMP dan SD sudah tidak berlaku lagi? Seorang pekerja kasar di pabrik-pabrik saja

bukankah minimal harus SMA.

Anehnya, orangtua mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya bilang “Harus bagaimana lagi, di sekolahkan saja tidak mau, penginnya cepat-cepat bekerja, ya sudah …” siapapun yang mendengar niscaya hanya akan mengelus dada dengan kenyataan yang ada di depan mata. Sayapun yang mendengarkan kalimat-kalimat miris itu membayangkan, beberapa dekade ke depan akan banyak sekali kita jumpai orangtua-orangtua bertubuh bongkok namun tetap bekerja menghidupi anaknya, sedangkan anaknya sendiri, karena tidak mampu bekerja—dikarenakan tidak punya ijasah, hanya bisa duduk ongkang-ongkang kaki menanti uluran sesuap nasi dari orangtuanya. Sikap ‘kasihan’ dan ketidaktegasan orangtua untuk memaksa anak mereka bersekolah, suatu saat akan menjadi bumerang bagi orangtua sendiri. Karena anak mereka tidak bisa bekerja dan menggantikan posisi orangtua dalam mencari nafkah, sampai tuapun, orangtua harus tetap mencari nafkah, ini sungguh

memprihatinkan.

Apalagi persaingan ke depan seperti hukum rimba saja, era pasar bebas AFTA sudah dimulai tahun ini, mereka yang tidak punya ketrampilan, ijasah, siap-siap saja gigit jari sebab pasar eropa akan menyerbu indonesia, tenaga indonesia akan digantikan tenaga-tenaga luar, pengusaha-pengusaha kecil Indonesia tidak mungkin bisa menang melawan pemodal-pemodal besar dari Eropa. Dalam keadaan demikian, jangankan mengharapkan tenaga Indonesia menjadi jongos di


(5)

commit to user

negeri sendiri. Bisa-bisa mereka diusir dari negeri yang saat ini kita pijak. Dalam keadaan seperti ini, kita ini menghadapi masalah yang betul-betul klasik, yakni kesadaran bersekolah. Bagaimana mungkin kita bersaing di era pasar bebas kelak, jika sekarang saja untuk menumbuhkan kesadaran pendidikan saja sedemikian sulitnya.

Saya sering berpesan kepada generasi muda di bawah saya yang sedang tekun-tekunnya bersekolah, saya besarkan semangat mereka dengan membuka jalan pikiran mereka, saya nasehatkan nasehat yang benar-benar ekstrem untuk bekal mereka agar benar-benar kuat menghadapi lingkungan yang bisa melemparkan mereka ke tempat paling hina “Kamu sekolah, tidak perlu pintar-pintar, asalkan sudah lulus saja sudah cukup, sebab di masa depan yang dibutuhkan adalah selembar ijasah, ketika engkau bekerja tak akan ditanyai tentang pelajaran sekolahmu.” Nasehat yang menjerumuskan sebenarnya, tetapi kita menghadapi generasi yang mempunyai mental emoh sekolah, jadi saya pikir, nasehat inilah yang paling tepat.

Akhirnya, tibalah saya menjawab pertanyaan paling sulit dari beberapa teman di facebook, twitter atau yang sering men-chat saya melalui yahoo messenger, mengapa saya harus menulis novel tentang pendidikan? Banyak orang yang menduga saya menulis novel pendidikan karena mengikuti selera pasar yang begitu larisnya novel-novel tentang pendidikan seperti Perahu Kertas oleh Dewi Lestari, Negeri Lima Menara oleh A Fuadi, Ma Yan oleh Sanie B Kuncoro, atau tetralogi Laskar pelangi milik Andrea Hirata.

Bukan, bukan sesederhana itu. Saya menulis novel pendidikan karena ujud keprihatinan saya dengan lingkungan tempat saya tinggal, zaman saya kecil dulu di kampung saya, masih sering saya jumpai teman-teman yang bisa bersekolah sampai memakai celana panjang abu-abu. Sekarang ini begitu sulit

menjumpainya, bahkan justru sekarang pikiran mereka benar-benar berbalik arah, akan mengejek orang yang masih sekolah, sementara teman-temannya yang putus sekolah ini sudah berbondong-bondong untuk bekerja.

Belum lagi ekses-ekses yang timbul akibat ketidakterdidikan mengakibatkan mereka mudah terjerumus dalam lingkungan yang sudah tercemar oleh minum-minuman keras dan mental bertaruh yang mereka punyai. Dalam keadaan seperti ini, apakah kita hanya bisa diam? Barangkali ini cara saya dalam melawan arus, bukankah kita ini Da’i yang bersenjata pena, ladang jihad kita adalah

melawan kebodohan, kemiskinan yang ada di depan kita, mengapa kita tidak melawan dari sekarang?

*Novelis Pendidikan Nasional Best Seller untuk Novel yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah (dimuat di majalah MISSI edisi 32)


(6)

commit to user

[1] Orang Miskin Dilarang Sekolah sampai sekarang telah mencapai cetakan ke IV dan oleh Diva Press disematkan nasional best seller. Hanya saja yang sempat saya heran, kenapa judul buku itu sama dengan buku milik Eko Prasetyo, hanya saja formatnya adalah seperti buku intelektual (kiri) sedangkan buku saya adalah novel bertema pendidikan