commit to user
8
jalinan struktur yang ditawarkan pengarang untuk dijadikan teladan bagi pembacanya.
Herman J. Waluyo 2002: 37 mengemukakan ciri-ciri yang ada dalam sebuah novel, yaitu adanya: a perubahan nasib tokoh cerita; b ada beberapa
episode dalam kehidupan tokoh utamanya; dan c biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Senada dengan Herman J. Waluyo, Abrams dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 11 menyatakan bahwa “novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan
lebih melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks”. Dalam hal ini berarti mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu Mengacu dua
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel memang berbeda dengan karya sastra yang lain. Novel cenderung menitikberatkan kompleksitas yang di
dalamnya memungkinkan adanya penyajian yang panjang lebar mengenai tokoh dan segala konflik yang dialaminya.
Sebagai suatu karya sastra, novel mengandung nilai-nilai moral yang berguna bagi pembacanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo
2002: 37 “novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni, yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai baik buruk moral dalam
kehidupan ini dan mengarahkan kepada pembaca tentang pekerti yang baik dan budi luhur”. Mengacu pendapat di atas maka novel selain menawarkan sebuah
seni atau alat hiburan, novel juga mempunyai misi untuk pembacanya yakni untuk mendidik pembaca melalui kisah-kisah yang disuguhkan dalam novel.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa novel adalah jenis cerita fiksi yang tergolong baru, yang
menyuguhkan suatu cerita dengan suatu alur yang cukup panjang dengan memasukkan berbagai unsur intrinsik di dalamnya, yang meliputi tema, alur,
penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat.
b. Struktur Novel
Suatu karya fiksi terwujud karena disusun dengan meramukan berbagai unsur di dalamnya. Zulfahnur 1996: 24 menyatakan “pengorganisasian berbagai
unsur sastra menjadi suatu kebulatan utuh dan mencerminkan kepribadian karya
commit to user
9
fiksi yang menarik dan bermakna disebut struktur fiksi”. Maka dengan kata lain hal tersebut berlaku juga dengan novel. Novel sebagai salah satu bentuk karya
sastra juga tersusun atas sebuah struktur. Ada banyak pendapat mengenai struktur sebuah novel.
Jakob Sumardjo dan Saini K.M dalam Herman J. Waluyo menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yaitu: plot, tema, karakter, setting, point of
view, gaya, dan suasana cerita 2002: 140. Sementara itu Marjorie Boulton membagi cerita rekaan menjadi enam unsur, yakni: point of view, plot, character,
percakapan, latar dan tempat kejadian, dan tema yang dominan dalam Herman J. Waluyo, 2002: 139.
Burhan Nurgiyantoro 2005: 23 mengatakan “unsur-unsur pembangun sebuah novel secara garis besar dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik”. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur-unsur intrinsik sebuah novel adalah
unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Di lain
pihak, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi
bagian di dalamnya. Senada dengan Burhan Nurgiyantoro, Zulfahnur juga menyatakan bahwa
sebuah karya fiksi dibangun oleh dua unsur yakni unsur ekstrinsik dan intrinsik. Unsur ekstrinsik yang meliputi permasalahan kehidupan, falsafah, cita-cita, ide-
ide dan gagasan serta latar budaya yang menopang kisahan cerita. Sedangkan unsur intrinsik unsur dalam dari sebuah fiksi terdiri atas tema dan amanat, alur,
perwatakan, sudut pandang, latar, dan gaya bahasa 1996: 24 – 25. Wahyudi Siswanto juga membagi unsur intrinsik atas alur, tokoh, watak, penokohan, latar,
sudut pandang, gaya bahasa, amanat dan tema 2008: 142. Zainuddin Fananie
commit to user
10
2000: 77 menambahkan “faktor ekstrinsik adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra yang meliputi tradisi dan nilai-nilai,
struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama dan sebagainya”. Wellek dan Warren 1990: 75 – 130
menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan
filosofis. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra
novel dibangun atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, meliputi tema, penokohan, latar,
sudut pandang, alur, amanat, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik merupakan faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra yang meliputi tradisi dan nilai-
nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama dan sebagainya. Kedua unsur ini bersama-sama
membangun sebuah struktur karya fiksi khususnya novel. Telaah struktur novel pada penelitian ini dibatasi pada unsur-unsur yang penulis rasa cukup penting
yang berkaitan dengan kajian novel dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yaitu tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat.
a. Tema Tema merupakan salah satu unsur dalam karya sastra. Panuti Sudjiman
1984: 50 menyatakan bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra. Sangidu 1995: 154 menyatakan “tema adalah apa
yang menjadi persoalan utama di dalam sebuah karya sastra”. Sedangkan Zainuddin Fananie 2000: 84 menyatakan “tema adalah ide, gagasan, pandangan
hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra”. Brooks, Purser, dan Waren dalam Henry Guntur Tarigan mengemukakan bahwa tema adalah
pandangan hidup yang tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu
karya sastra 1993: 125. Mengacu beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra.
commit to user
11
Sebagai sebuah gagasan dasar, tema merupakan sesuatu yang netral, belum ada sikap, belum ada kecenderungan untuk memihak. Oleh karena itu persoalan
apa saja dapat dijadikan tema di dalam sebuah karya sastra. Zainuddin Fananie menyatakan bahwa karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka
tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam 2000: 84. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang
terkait erat dengan masalah kehidupan. Senada dengan Zainuddin Fananie, Herman J. Waluyo 2002: 142 juga menyatakan “tema adalah masalah hakiki
manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya”. Mengacu pendapat di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pesoalan apa saja dapat dijadikan sebagai tema dalam sebuah karya sastra. Di dalam sebuah cerita rekaan terdapat banyak tema. Oleh karena itu tema
dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Di dalam kajian teori ini, dipaparkan jenis-
jenis tema dipandang dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley. Berikut adalah penjelasan tentang tingkatan tema menurut Shipley dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 80 – 81 yang meliputi tema tingkat fisik, tema tingkat organik, tema tingkat sosial, tema tingkat egois, dan tema tingkat devine.
1 Tema tingkat fisik. Tema ini lebih banyak mengarang dan ditujukan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada tokoh cerita bersangkutan.
2 Tema tingkat organik kejiwaan. Tema ini menyangkut aspek kejiwaan tokoh cerita.
3 Tema tingkat sosial makhluk sosial. Tema ini menyangkut masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan
atasan bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lain. 4 Tema tingkat egois persona. Manusia sebagai makhluk individu senantiasa
menuntut pengakuan hak individualitas. Tema ini antara lain mengangkat masalah martabat, egoistis, harga diri, sifat batin, misalnya jati diri atau sosok
kepribadian seseorang. 5 Tema tingkat divine manusia sebagai makhluk tingkat tinggi. Masalah yang
menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan
commit to user
12
pencipta alam, masalah religiusitas, atau masalah yang bersifat filosofis seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
Selain itu, Burhan Nurgiyantoro juga menggolongkan tema dari tingkat keutamannya, yaitu: tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna
pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama keseluruhan
cerita 2005: 82 – 83 Senada dengan Burhan Nurgiyantoro, Marjorie Boulton dalam Herman J. Waluyo juga menyebutkan adanya tema dominan sentral dan
tema-tema lainnya 2002: 144. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa di dalam sebuah karya sastra bisa mengandung banyak tema.
Adanya beberapa tema dalam sebuah karya sastra justru akan menunjukkan kekayaan karya sastra tersebut.
Sebagai sebuah karya imajinatif, tema dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Menurut Zainuddin Fananie, tema dapat diungkapkan melalui dialog tokoh-
tokohnya, melalui konflik-konflik yang dibangun, atau melalui komentar secara tidak langsung 2000: 84. Dari pendapat Zainuddin Fananie tersebut dapat
dimakanai bahwa tema yang baik pada hakikatnya adalah tema yang tidak diungkapkan secara langsung dan jelas. Tema bisa disamarkan sehingga
kesimpulan tentang tema yang diungkapkan pengarang harus dirumuskan sendiri oleh pembaca.
Bertolak dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tema di dalam sebuah karya sastra merupakan hal yang sangat penting. Tema merupakan
gagasan utama yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Tema merupakan dasar bagi seorang pengarang untuk mengungkapkan
permasalahan dalam sebuah cerita yang dapat diungkapkan baik secara langsung maupun tidak langsung.
b. Sudut Pandang atau Point of View Sudut pandang atau disebut juga point of view merupakan salah satu unsur
novel yang digolongkan sebagai sarana cerita. Herman J. Waluyo 2002: 184 menyatakan “sudut pandang atau point of view adalah sudut pandang dari mana
pengarang bercerita”. Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248
commit to user
13
mendefinisikan sudut pandang itu sebagai cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sementara itu Booth dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001: 249 mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan
pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Burhan Nurgiyantoro 2005:
250 memberikan pengertian tentang sudut pandang “sudut pandang adalah strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya”. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa sudut pandang adalah cara pandang
pengarang dalam menyajikan sebuah cerita. Pemilihan sudut pandang harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh
pengarang. Menurut Stevick dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 251 “sudut pandang mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca”. Maksud dari
pengertian di atas bahwa pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita. Pemahaman pembaca pada sudut pandang akan menentukan
seberapa jauh persepsi dan penghayatan, bahkan juga penilaiannya terhadap novel yang bersangkutan
Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Burhan Nurgiyantoro 2005: 256 – 266 membedakan sudut pandang menjadi
tiga, yaitu sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang persona pertama “aku”, dan sudut pandang campuran.
1 Sudut pandang persona ketiga “Dia” Sudut pandang persona ketiga “Dia” yaitu pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
commit to user
14
Sudut pandang ini dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu “Dia” Mahatahu dan “Dia” terbatas “dia” pengamat.
Dalam sudut pandang “Dia” Mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut pandang “dia”, namun pengarang, narator , dapat menceritakan apa saja hal-hal
yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat diindra, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati
dan pikiran tokoh. Lebih dari itu, ia tak hanya mampu melapor dan menceritakan kisah tentang tokoh-tokoh saja, melainkan juga dapat mengomentari dan menilai
secara bebas dengan penuh otoritas, seolah-olah tak ada satu rahasia pun rahasia tentang tokoh yang tidak diketahuinya.
Sedangkan dalam sudut pandang “Dia” terbatas “Dia” pengamat, pengarang hanya melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun hanya terbatas pada seorang tokoh saja. Pengarang tidak “mengganggu” dengan memberikan komentar dan penilaian yang
bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang diceritakannya. Ia hanya menjadi pengamat, observer, melaporkan sesuatu yang
dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang bertindak sebagai pusat kesadaran. 2 Sudut pandang persona pertama “aku”
Sudut pandang persona pertama “aku” yaitu pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, gaya “aku”. Posisi narator
adalah ikut terlibat dalam cerita, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, didengar, dan dirasakan,
serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka pembaca hanya dapat melihat dan merasakan
secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Dalam sudut pandang ini, sifat kemahatahuannya terbatas. Sudut pandang persona
pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita, yakni “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh
tambahan.
commit to user
15
3 Sudut pandang campuran Sudut pandang campuran yaitu penggunaan sudut pandang lebih dari satu
teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Misalnya campuran “Aku” dan “Dia”.
Penggunaan kedua sudut pandang tersebut terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Si “aku” adalah tokoh
utama protagonis, dan ini memungkinkan pengarang membeberkan berbagai pengalaman batinnya. Namun, jangkauan si “aku” terhadap tokoh lain terbatas,
tak bersifat Mahatahu. Padahal, pembaca menginginkan informasi penting dari tokoh-tokoh lain, atau narator yang ingin menceritakannya kepada pembaca,
terutama yang dalam kaitannya dengan tokoh “aku”. Agar hal itu dapat dilakukan, pengarang sengaja beralih ke sudut pandang yang lain yang memungkinkan
memberinya kebebasan, dan teknik ini berupa “Dia” Mahatahu. Dengan demikian pembaca memperoleh cerita secara detil baik dari tokoh “aku” maupun “dia”. Hal
ini juga berarti pembaca menjadi lebih tahu tentang berbagai persoalan hubungan tokoh-tokoh tersebut daripada tokoh-tokoh itu sendiri.
Selain itu, Herman J. Waluyo 2002: 184 – 185 juga membagi sudut pandang menjadi tiga, yaitu teknik akuan, teknik diaan, dan teknik pengarang
serba tahu. 1 Teknik akuan
Teknik akuan menempatkan pengarang sebagai orang pertama dan menyebut pelakunya sebagai “aku”. Panuti Sudjiman menambahkan, pencerita
akuan cepat membina keakraban antarcerita dan pembaca. Namun, ada semacam keterbatasan yang disebabkan sudut pandangnya yang bersifat sepihak 1984: 73.
Pencerita akuan secara langsung dan dengan bebas dapat menyatakan sikap, pikiran, dan perasaannya sendiri kepada pembaca, tetapi tentang tokoh-tokoh lain
ia hanya dapat memberikan pandangan dari pihaknya sendiri. Ia tidak dapat menduga dalam-dalam sikap dan pikiran tokoh yang lain. Sebaliknya karena ia
harus membatasi penceritaan dengan cara memandang segala sesuatu dari satu sudut, ceritanya menjadi padat-padu.
commit to user
16
2 Teknik diaan Teknik diaan menempatkan pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut
pelaku utamanya sebagai “dia”. 3 Teknik pengarang serba tahu omniscient narrative
Teknik pengarang serba tahu menempatkan pengarang sebagai pencerita segalanya dan memasuki sebagai peran yang bebas. Panuti Sudjiman
mengibaratkan teknik ini, seolah-olah pengarang berdiri di atas segala-galanya dan dari tempatnya yang tinggi itu ia dapat mengamati segala sesuatu yang terjadi,
bahkan dapat menembusi pikiran dan perasaan para tokoh 1984: 73 – 74. Dengan sudut pandang ini si pencerita dapat berkomentar dan memberikan
penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkannya itu. Ketiga jenis metode ini dapat dikombinasikan oleh pengarang dalam suatu cerita rekaan dengan tujuan
untuk membuat variasi cerita agar tidak membosankan. Menurut Panuti Sudjiman 1984: 72 penggunaan sudut pandang yang
berbeda menghasilkan versi yang berbeda dari peristiwa atau rentetan peristiwa yang sama, dan menyajikan rincian yang berbeda dari peristiwa yang sama. Lebih
lanjut ia mengungkapkan bahwa seorang pencerita harus menentukan sudut pandang; ia harus menentukan dari sudut mana atau siapa sebaiknya cerita itu
dihidangkan. Pemilihannya itu didasarkan faktor-faktor tertentu, seperti suasana cerita, kategori, atau jenis ceritanya, serta maksud tujuan cerita.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan sudut pandang dalam cerita rekaan menjadi sangat penting karena akan
berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut pandang difungsikan pengarang untuk sarana penyajian tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa dalam cerita
rekaan kepada pembaca. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian
cerita. c. Penokohan
Berbicara tentang sebuah cerita tentu tidak terlepas dari tokoh karena tokoh merupakan unsur yang penting dalam cerita. Atar Semi 1993: 36
mengatakan bahwa, masalah penokohan dan perwatakan merupakan salah satu hal
commit to user
17
yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan karena tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan
dan tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita. Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama.
Menurut Burhan Nurgiyantoro istilah-istilah tersebut ada yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada “teknik” pengembangannya dalam sebuah
cerita 2005: 164 – 165. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti
yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan
karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 165 menyatakan “penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Mengacu
pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah penempatanpelukisanpenyajian tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak
tertentu. Watak-watak tertentu inilah yang akan menghidupkan tokoh di dalam
cerita. Herman J. Waluyo 2002: 171 – 172 menyatakan bahwa pendeskripsian watak tokoh dengan tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi psikis, dan dimensi
sosiologis. 1 Dimensi fisik, artinya keadaan fisik tokohnya yang meliputi: usia tingkat kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh tinggi, pendek, pincang,
gagah, tampan, menarik, dan sebagainya, ciri-ciri wajah cantik, jelek, keriput, dan sebagainya , dan ciri khas yang spesifik; 2 Dimensi psikis dari tokoh
melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat dan karakteristiknya, seperti misalnya mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan, temperamen, keinginan, dan
perasaan pribadi, serta kecakapan dan keahlian khusus; 3 Dimensi sosiologis menunjukkan latar belakang kedudukan tokoh dalam masyarakat dan hubungan
dengan tokoh-tokoh lainnya. Misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan
commit to user
18
dalam masyarakat, pendidikan, pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, kesenangan, suku bangsa, keturunan dan sebagainya.
Tokoh-tokoh cerita tidak begitu saja secara serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana penyajian yang memungkinkan
kehadirannya. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh atau metode penokohan. Atar Semi 1993 : 39 – 40 menyampaikan ada dua macam cara
dalam memahami tokoh atau perwatakan tokoh-tokoh yang ditampilkan yaitu secara analitik dan secara dramatik. 1 Secara analitik, yaitu pengarang langsung
menceritakan karakter tokoh-tokoh dalam cerita; 2 Secara dramatik, yaitu pengarang tidak menceritakan secara langsung perwatakan tokoh-tokohnya, tetapi
hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh, melalui penggambaran fisik tokoh dan melalui dialog.
Senada dengan Atar Semi, Herman J. Waluyo 2002: 164 mengatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk
menampilkan tokoh-tokohnya yaitu metode analitis, metode tidak langsung, dan metode kontekstual. 1 Metode analitis: pengarang langsung mendeskripsikan
keadaan tokoh itu dengan terinci psikis, fisik, dan keadaan sosial; 2 Metode tidak langsung: penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan
penampilan fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya. Lukisan watak tokoh dalam metode ini tidak diberikan langsung oleh
pengarang, tetapi harus disimpulkan sendiri oleh pembaca; dan 3 Metode kontekstual: metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa
atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Dalam metode ini penggambaran watak digambarkan secara panjang lebar melalui
tingkah laku dari tokoh-tokohnya Panuti Sudjiman 1984: 23 – 27 menyatakan bahwa terdapat dua cara
penyajian watak tokoh yaitu metode analitis dan metode tak langsung. 1 Metode analitis, metode langsung, metode perian, atau metode diskursif yaitu metode di
mana pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya, tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang watak tersebut. Cara yang mekanis ini
menurutnya memang sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan imajinasi
commit to user
19
pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk membentuk gambarannya tentang si tokoh; 2 Metode tak langsung, metode ragaan, metode dramatik yaitu metode
penyajian watak tokoh di mana pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari
penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Ketiga metode ini pada umumnya dipakai bersama-sama dalam sebuah karya sastra, atau
dua di antaranya berkombinasi, kadang-kadang dengan penggunan salah satu metode secara dominan
Zainuddin Fanani 2000: 87 – 92 juga mengungkapkan bahwa ada 2 model cara mengekspresikan karakter tokoh yang dipakai pengarang yaitu melalui
tampilan fisik dan secara tidak langsung. a Tampilan Fisik yakni pengarang menguraikan gambaran fisik tokoh, termasuk di dalamnya uraian mengenai ciri-
ciri khusus yang dipunyai tokoh. Dalam hal ini, pengarang biasanya menguraikan pula secara rinci perilaku, latar belakang, keluarga, kehidupan tokoh pada bagian
awal cerita. Model ini dalam telaah sastra sering disebut dengan istilah analitik, yaitu tokoh-tokoh cerita sudah dideskripsikan sendiri oleh pengarang; 2
Pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan karakter tokohnya. Dalam model ini, karakter dibangun melalui kebiasaan berpikir, cara pengambilan
keputusan dalam menghadapi setiap peristiwa, perjalanan karir, dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lain, termasuk komentar dari tokoh yang satu ke tokoh yang
lainnya. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara
garis besar ada dua cara metode penyajian watak tokoh atau metode penokohan, yaitu: 1 metode analitik, metode langsung, metode perian, atau metode diskursif
yaitu pengarang langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terperinci psikis, fisik, dan keadaan sosial; 2 metode dramatik, metode tak langsung,
metode ragaan yaitu pengarang tidak menceritakan secara langsung perwatakan tokoh-tokohnya, tetapi pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh dari pikiran,
cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
commit to user
20
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Herman J. Waluyo 2002: 167 – 168 mengklasifikasikan tokoh
menjadi beberapa macam, antara lain berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonis. 1 Tokoh protagonis,
yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai
pendukung cerita; 2 Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang
ikut menentang cerita; dan 3 Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk protagonis dan untuk tokoh antagonis
Menurut Burhan Nurgiyantoro 2005: 176 – 194 tokoh-tokoh dalam sebuah fiksi dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh
protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang, tokoh tipikal dan tokoh netral.
a Tokoh utama dan tokoh tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam
cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. b Tokoh protagonis dan antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh baik yang mendatangkan simpati para pembacanya, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis, atau tokoh jahat yaitu yang
menimbulkan perasaan antipati dan benci pada pembacanya. c Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh
sederhana boleh saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang diformulakan
commit to user
21
itu. Tokoh bulat, kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.
d Tokoh statis dan tokoh berkembang Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami
perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa- peristiwa. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan
lingkungan sehingga akan mempengaruhi sikap, watak dan tingkah lakunya. e Tokoh tipikal dan tokoh netral
Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili. Tokoh netral merupakan tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar
merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan berinterksi dalam dunia fiksi. Tokoh netral dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan tokoh inilah yang
sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar
dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata. Berdasarkan uraian mengenai penokohan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa penokohan merupakan faktor yang penting di dalam sebuah cerita. Penokohan sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan,
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan inilah yang sebenarnya merupakan batang dari
sebuah cerita. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, pengarang berusaha menjadikannya seperti hidup, yang mempunyai perasaan, memiliki etika, dan
keterikatan pada lingkungannya, sehingga menjadikan sebuah novel terasa hidup. d. Latar atau setting
Dalam karya sastra, latar merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum
sebuah karya. Burhan Nurgiyantoro 2005: 217 mengungkapkan “latar
commit to user
22
memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas”. Mengacu pendapat tersebut, konret dan jelas dipandang penting untuk memberikan kesan realistis kepada
pembaca untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Maksud pernyataan tersebut adalah penggambaran seorang pengarang
tentang latar tempat dan waktu dimaksudkan agar pembaca dapat memahami secara jelas tempat dan waktu terjadinya peristiwa yang digambarkan oleh
pengarang. W. H. Hudson dalam Herman J. Waluyo menyatakan bahwa pada novel,
latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut
2002: 198. Ia juga menyatakan bahwa latar adalah keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan dan pandangan hidup tokohnya serta
selalu berkaitan dengan waktu, tempat penceritaan, tempat terjadinya cerita, misalnya siang, malam atau pagi, hari, bulan atau tahun, di desa, kota, atau
wilayah tertentu, di pantai, gunung, danau, sungai atau lingkungan masyarakat tertentu dan sebagainya.
Menurut Burhan Nurgiyantoro 2005: 227 – 235 “latar dalam novel menyangkut keterangan mengenai sosial budaya, tempat dan waktu di mana
peristiwa itu terjadi”. Unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut, walaupun masing-masing
menawarkan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan
yang lain. 1 Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-
tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki
karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.
commit to user
23
2 Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan
dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat
menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren
dengan unsur cerita yang lain. 3 Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
Latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial
masyarakat. Selain itu dapat pula berupa penggunaan bahasa daerah atau dialek- dialek tertentu. Di samping penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh
dalam banyak hal juga berhubungan dengan latar sosial. Walaupun latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang
tergambar dalam cerita, keberadaan elemen latar hakikatnya tidaklah hanya menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung.
Zainuddin Fananie berpendapat bahwa selain menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, latar berkaitan juga dengan gambaran
tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis 2000: 97 – 98. Mengacu pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa dari
kajian mengenai latar akan dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi
commit to user
24
antara perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan pandangan masyarakatnya. Di samping itu, kondisi wilayah, letak geografi,
struktur sosial juga akan menentukan watak-watak atau karakter tokoh-tokoh tertentu. Karena itu fungsi latar dalam sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari
masalah yang lain seperti tema, tokoh, bahasa, medium sastra yang dipakai, dan persoalan-persoalan yang muncul yang kesemuanya merupakan satu bagian yang
tidak terpisahkan. Hal ini diperkuat oleh Montaque dan Henshaw dalam Herman J. Waluyo yang menyatakan tiga fungsi latar, yaitu: mempertegas watak para
pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang disampaikan 2002: 198.
Kenney dalam Herman J. Waluyo, 2002: 198. juga menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu: sebagai metafora, sebagai atmosphere, dan sebagai unsur
dominan yang mendukung plot dan perwatakan. 1 Sebagai metafora setting spiritual yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita.
Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi; 2 Sebagai atmosphere atau kreasi, yang lebih memberi kesan dan tidak hanya
memberi tekanan kepada sesuatu; 3 setting sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa latar atau setting adalah keseluruhan lingkungan cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi
baik itu lingkungan tempat, waktu, sosial maupun segala sesuatu yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa. Di mana kesemuanya mempunyai peran
tersendiri dalam mendukung struktur utuh cerita. e. Alur atau Plot
Alur merupakan bagian penting dalam suatu fiksi. Ia adalah penghubung suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Siti Sundari dalam Zainuddin Fananie,
2000: 93. memberikan batasan mengenai alur, “alur merupakan keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita”. Stanton dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 113. mengemukakan ”plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”.
commit to user
25
Senada dengan Stanton, Atar Semi juga menyatakan bahwa alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi 1993: 43. Alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang
merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya. Alur memegang peranan penting dalam sebuah cerita
rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan. Mengacu
beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa alur adalah keseluruhan rangkaian kejadian dan tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut
tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro 2005: 153 – 163 mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan
waktu, jumlah, kepadatan, dan isi. Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kronologis dan tak kronologis. Kategori
kronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau progresif, sedang kategori tak kronologis disebut sebagai plot sorot balik; mundur; flash-back; atau regresif.
Alur maju atau progresif, terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa; alur mundur atau regresif atau flash back, alur ini terjadi
jika dalam cerita tersebut dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita.
Istilah plot tunggal dan subplot digunakan untuk menilik plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan
sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun sebuah fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang
dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu
menandakan adanya sub-subplot. Burhan Nurgiyantoro 2005: 160 juga membagi alur berdasarkan
kepadatannya menjadi dua, yaitu: alur padat dan alur longgar. Alur padat yaitu
commit to user
26
cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi secara susul menyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga apabila ada salah satu cerita dihilangkan, maka cerita
tersebut tidak dapat dipahami hubungan sebab akibatnya. Sedangkan alur longgar adalah alur yang peristiwa demi peristiwanya berlangsung dengan lambat.
Sedangkan menurut Herman J. Waluyo 2002: 153 – 156 menyatakan beberapa teknik penyusunan alur, yaitu teknik progresif, teknik umpan balik, dan
teknik compound plot. Teknik progresif atau kronologis, artinya cerita berurutan dari awal hingga akhir. Teknik umpan balik atau flash back, artinya cerita yang
seharusnya ada pada bagian akhir diletakkan di depan. Teknik compound plot atau alur majemuk, artinya di samping mengandung alur utama juga terdapat alur
bawahan, yakni cerita tambahan yang dikisahkan pengarang untuk memberikan latar belakang dan kesinambungan.
Secara teoretis plot dapat diurutkan atau dikembangkan ke dalam tahap- tahap tertentu secara kronologis. Burhan Nurgiyantoro 2005: 142 – 146
membagi alur menjadi tiga tahap, yakni tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahap Awal, biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada
umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal
atau: pembukaan sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
Tahap Tengah, yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap
sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik pertentangan
yang terjadi antara tokoh-tokoh cerita. Tahap Akhir, atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
Jadi bagian ini berisi bagaiman kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita.
Herman J. Waluyo 2002: 147-148 membagi alur cerita menjadi tujuh bagian, yaitu Eksposisi, Inciting Moment, Rising Action, Complication, Climax,
commit to user
27
Falling Action, dan Denouement. Ketujuh alur cerita tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1 Eksposisi artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang
sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman. 2 Inciting Moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai
ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. 3 Rising Action adalah penanjakan konflik, selanjutnya terus terjadi peningkatan
konflik. 4 Complication adalah konflik yang semakin ruwet.
5 Climax adalah puncak penggawatan, klimaks cerita harus merupakan puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisahperistiwa sebelumnya ditahan untuk
dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. 6 Falling Action adalah konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah
mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang. 7 Denouement artinya penyelesaian, unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang
dapat juga oleh pembaca, karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita.
Lubis dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149 – 150 membagi plot menjadi lima bagian, meliputi: 1 Situation tahap penyituasian; 2 Generating
Circumstance tahap pemunculan konflik; 3 Rising Action tahap peningkatan konflik; 4 Climax tahap klimaks; 5 Denouement tahap penyelesaian.
Berdasarkan beberapa pandapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa plot adalah urutan atau rangkaian kejadian dan peristiwa dalam suatu karya fiksi
yang memiliki tahapan-tahapan tertentu secara kronologis untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Ragam plot ada berbagai macam tergantung
pengarang ingin menyuguhkan cerita yang seperti apa kepada pembacanya. Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita sedangkan kesederhanaan plot berarti
kemudahan cerita untuk dipahami. Sebaliknya, sebuah fiksi yang rumit, komplit, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antarperistiwanya akan sulit untuk dicerna
dan dipahami oleh pembaca.
commit to user
28
f. Amanat Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh
penulis. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto 1986: 10 amanat atau pesan yang dalam bahasa Inggris disebut message adalah pesan yang ingin disampaikan
oleh pengarang lewat karyanya cerpen atau novel kepada pembaca atau pendengar.
Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Hal baik itu dapat berupa pengajaran tentang moral. Hal ini sesuai dengan pendapat Panuti Sudjiman 1984:
57 yang menyatakan “amanat adalah suatu pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang”. Mengacu pendapat di atas, wujud amanat dapat berwujud kata-
kata mutiara, nasihat, firman Tuhan sebagai petunjuk untuk memberikan nasihat dari tindakan tokoh cerita. Jadi amanat adalah pesan yang disampaikan penulis
yang berupa nasihat Esten dalam Sangidu mengemukakan bahwa pemecahan masalah yang
dihadapi dan pemberian jalan keluar di dalam sebuah karya sastra yang diberikan oleh si pengarang terhadap tema yang dikemukakan disebut amanat 1995: 154.
Amanat adalah hal tersirat atau tersurat dalam suatu cerita, sebuah amanat dalam cerita meskipun ada yang diungkapkan secara terang-terangan tetapi jarang
terjadi. Amanat merupakan pemecahan suatu tema. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. A. Teeuw 1984: 27 menyatakan
“amanat berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang khas, umum, subjektif, sehingga harus dilakukan dengan penafsiran”.
Burhan Nurgiyantoro menyamakan amanat dengan moral. “Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan,
message. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya
karya sastra sebagai pendukung pesan. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi
tentulah berbeda efeknya dibanding yang lewat tulisan non fiksi” 2005: 321.
Sudjiman dalam Panuti Sudjiman, 1984: 57 menyatakan bahwa amanat
atau hikmah cerita dapat disajikan secara eksplisit dan implisit. mengatakan, implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh
commit to user
29
menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan
sebagainya. Amanat dapat ditangkap langsung melalui dialog antartokoh. Amanat yang disampaikan secara langsung ini mudah ditangkap. Sebaliknya, amanat
kadang-kadang dapat ditangkap melalui perenungan atau pemikiran atas apa yang terjadi dalam cerita. Seorang pembaca atau pendengan sastra harus menemukan
hikmah, pesan, atau ajaran di balik kejadian-kejadian atau perilaku para tokohnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang
ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Di dalam amanat akan terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang yang disajikan secara implisit
dan eksplisit. Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis, karena amanat
merupakan pemecahan suatu tema.
2. Hakikat Pendekatan Struktural