commit to user
171
d. Latar atau
Setting
Latar cerita secara garis besar dibedakan menjadi tiga yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
1 Novel
LP
a Latar Tempat Latar tempat terjadinya kisah ini adalah di pulau Belitong, Sumatera
Selatan yakni di sebuah komunitas Melayu Belitong. Berdasarkan penelitian, tidak disebutkan nama kampung tempat Ikal dan kawan-kawan bersekolah atau
bertempat tinggal. Pengarang hanya menyebutkan tempat tinggal anggota Laskar pelangi di kampung yang tidak jauh dari Gedong, yakni tempat para petinggi PN
Timah hidup dalam kemewahan. Satu-satunya nama tempat tinggal anggota Laskar Pelangi yang disebut oleh Pengarang adalah desa tempat tinggal Lintang,
yaitu Tanjong Kelumpang. Dalam cerita ini juga dikisahkan suata kawasan yang disebut Gedong.
Gedong merupakan sebuah kawasan eksklusif yang dihuni oleh kaum borjuis penguasa PN Timah. Di dalam kawasan ini penuh dengan fasilitas mewah dan
serba lengkap. Rumah-rumahnya mewah bergaya Victorian dengan sarana dan prasarana yang superlengkap. Sangat mencolok mata jika dibandingkan dengan
keadaan di luar Gedong. Diceritakan pula mengenai Sekolah PN. Sekolah PN merupakan sekolah
yang berada di kawasan Gedong, dengan kualitas terbaik di seantero Belitong. Sekolah ini didukung sepenuhnya oleh PN Timah. Sekolah ini berdiri megah
dengan fasilitas yang super lengkap. Sebuah institusi pendidikan yang sangat modern dan hendaknya dijadikan percontohan. Yang bisa bersekolah di sini
hanyalah orang-orang borjuis saja, yakni petinggi-petinggi di PN Timah. Salah satu setting tempat yang mendapat porsi besar yakni Sekolah
Muhammadiyah. Di sekolah ini kesepuluh anggota Laskar pelangi menjalani pendidikannya dari SD hingga SMP. Sekolah sebagai tempat berlangsungnya
pembelajaran bagi kesepuluh siswa miskin ini. Dari segi fisik, bangunan sekolah Muhammadiyah kondisinya sangat menyedihkan. Sekolah ini merupakan sekolah
islam pertama di Belitong, mungkin juga di Sumatera Selatan. Merupakan sekolah
commit to user
172
miskin, tanpa fasilitas, kondisinya sangat memprihatinkan seperti layaknya gudang kopra. Kosen pintu yang miring karena seluruh bangunan sekolah sudah
doyong seolah akan roboh. Sarana dan prasarananya pun tidak pantas disebut sebagai sebuah sekolah.
Di sekolah tempat kesepuluh anggota Laskar pelangi menuntut ilmu tidak terdapat gantungan-gantungan gambar apa pun. Misalnya kalender pendidikan, papan
absensi siswa, poster operasi hitung, lambang negara atau gambar presiden dan wakil presiden. Satu-satunya gambar yang menempel di dinding hanyalah gambar
seorang pria berjenggot lebat, yakni Rhoma Irama. Di halaman sekolah Muhammadiyah tumbuh pohon Filicium. Di bawah
pohon ini biasanya kesepuluh anggota Laskar Pelangi menghabiskan waktu di sela-sela belajarnya. Bermain, bercanda, bercerita, mengadakan diskusi,
bertengkar dan lain-lain. Satu hal yang menarik, mereka biasa memanjat pohon ini untuk melihat pelangi seusai hujan turun di siang hari.
Selain itu ada juga latar tempat di Toko Sinar Harapan tempat sekolah biasa membeli kapur tulis, sekaligus menjadi tempat bertemunya Ikal dengan cinta
pertamanya yakni A Ling. Pulau Lanun yang merupakan tempat tinggal sang dukun sakti mandraguna yakni Tuk Bayan Tula yang dipercaya bisa menerawang
kejadian yang akan terjadi maupun masa lampau. Gunung Selumar dan pantai Pangkalan Punai, tempat biasa anggota Laskar Pelangi berlibur. Halaman
kelenteng yang menjadi tempat bertemunya Ikal dengan A Ling. Tempat lomba kecerdasasan yang menjadi latar ketika sekolah Muhammadiyah mengikuti
perlombaan adu kecerdasan. Zaal Batu, rumah sakit jiwa di mana Trapani dan ibunya dirawat karena menderita penyakit mother complex. Bogor yang menjadi
latar tempat ketika Ikal dewasa dan menjadi pegawai kantor pos. b Latar Waktu
Dalam cerita ini, pengarang tidak secara eksplisit menyebut kapan tahun terjadinya peristiwa. Akan tetapi di dalam novel ini disinggung-singgung
mengenai masa pemerintahan presiden Soeharto dan ada beberapa bagian yang juga menyebut tahun yakni tahun 1987 dan tahun 1991. Jadi hal ini bisa dijadikan
commit to user
173
petunjuk bahwa kisah ini mengambil latar waktu pada masa itu, yakni masa pemerintahan Seharto yaitu kurun waktu 1966 – 1998.
Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa- peristiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang,
menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro 2005: 227 yang
menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi, siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah
umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul jam tertentu.
c Latar Sosial Latar sosial meliputi kepercayaanadat istiadat, bahasa, kebiasaan, dan
pandangan hidup tokoh 1 KepercayaanAdat Istiadat
Latar belakang sosial budaya novel LP adalah sebuah kehidupan masyarakat yang ada di Belitong, dengan kesederhanaan masyarakat dan
heterogennya suku bangsa yang tinggal. Masyarakat dalam novel ini dikisahkan sebagai masyarakat yang miskin, penuh dengan keterbatasan ekonomi.
Masyarakat Belitong kebanyakan berasal dari suku Melayu, Sawang, dan keturunan Cina Hokian. Karena ada berbagai suku bangsa yang tinggal di
Belitong, maka percampuran budaya tidak terhindarkan, baik itu adat istiadat kepercayaan, sikap hidup, dan bahasa yang dipakai.
Adat istiadat Melayu terlihat pada kegemaran masyarakatnya pada irama semenanjung, dentuman rebana, dan pantun yang sambut-menyambut. Mengenai
kepercayaan, masyarakat Pulau Belitong percaya terhadap seekor burung yang disebut burung Pelintang Pulau. Menurut kepercayaan masyarakat ini, apabila
burung Pelintang Pulau singgah di kampung mereka, maka di tengah laut sedang terjadi badai atau angin puting beliung yang ganas.
Kepercayaan lain yang juga tumbuh di Belitong adalah tentang adanya penganut ilmu buaya. Menurut kepercayaan masyarakat Belitong, para penganut
commit to user
174
ilmu buaya apabila mati maka akan menjadi buaya. Salah satu penganut ilmu ini adalah Bodengan dan ayahnya.
Selain itu, masyarakat Belitong juga mempercayai adanya seorang dukun yang sakti mandraguna, yang dipercaya bisa mengabulkan permintaan apa saja
dan dapat dimintai petunjuk. Dalam cerita ini sang dukun bernama Tuk Bayan Tula yang hidup di pulau terpencil di Belitong yakni di pulau Lanun.
Selain adat istiadat Melayu, ada juga adat istiadat Tionghoa yang mewarnai novel ini, yaitu terlihat ketika peristiwa perjumpaan Ikal dan A Ling
pada waktu upacara sembahyang rebut atau Chiong Si Ku di Kelenteng. 2 Bahasa
Cerita dalam novel ini mengambil latar di Indonesia, yakni di Pulau Belitong. Pulau ini mayoritas didiami oleh suku bangsa Melayu, tetapi ada juga
sebagian bangsa keturunan Tionghoa. Maka tak heran dalam novel ini selain menggunakan bahasa Indonesia, juga kental diwarnai oleh dialek Melayu, Cina,
bahasa Kek campur Melayu, dan bahasa Belanda. 3 Kebiasaan
Dilihat dari kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dalam masyarakat Belitong, di mana masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah para buruh yang
bekerja di tambang timah milik PN Timah. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka mayoritas hidup sebagai buruh kasar di PN Timah, tak
terkecuali orang tua anggota Laskar Pelangi. Karena orang tua mereka bekerja sebagai buruh kasar di PN Timah, maka kebiasaan dan pola hidupnya pun banyak
dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan itu. Selain itu, anggota Laskar Pelangi juga punya kebiasaan tersendiri.
Mereka punya kebiasaan unik yaitu suka menyaksikan pelangi secara beramai- ramai dengan memanjat pohon filicium. Oleh karena kebiasaan unik ini, maka Bu
Mus memberi julukan kepada mereka “Laskar Pelangi”. 4 Pandangan Hidup Tokoh
Setiap manusia tidak mungkin hidup sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial pasti senantiasa bergaul dengan sesamanya di masyarakat. Dalam bergaulan
itu sedikit banyak mempengaruhi bagaimana seseorang memandang kehidupan
commit to user
175
ini. Setidaknya begitulah yang tampak di dalam novel ini seperti dilukiskan melalui tokoh utamanya, yakni Ikal.
Masyarakat yang menjadi latar cerita ini adalah masyarakat yang hidup dalam cengkeraman kemiskinan. Pendidikan bagi mereka adalah barang mewah.
Banyak anak-anak yang terpaksa tidak bisa mengenyam pendidikan karena ketiadaan biaya. Seperti contohnya Lintang. Ia adalah anak super jenius yang
terpaksa putus sekolah karena harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi pandangan hidup Ikal.
Tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Salah satu tekadnya adalah ia
ingin belajar setinggi-tingginya untuk menjadi orang pintar untuk menebus cita- cita Lintang yang gagal untuk mendapat pendidikan gara-gara keadaan yang
mengharuskannya seperti itu. Ia bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Ia melakukan apa saja agar cita-citanya ini dapat tercapai.
Ia juga digambarkan sebagai sosok yang perhatian. Peduli dan memikirkan keadaan temannya. Di dalam cerita ini ia digambarkan sangat peduli dengan
Lintang. Ia merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan anak tidak mampu, namun di tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak yang super jenius. Ia
juga memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah karena ayahnya meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk mencari nafkah
menghidupi keluarga. Ia sangat menyayangkan kejadian ini. Seorang anak yang super jenius harus memupus cita-cita karena keadaan yang tidak memungkinkan.
2 Novel
OMDS
a Latar Tempat Secara umum novel OMDS berlatar tempat di Semarang, Jawa Tengah.
Kejadian dalam novel ini, mulai dari bab pertama sampai terakhir bertempat di Semarang. Lebih khusus lagi latar tempatnya berada di sebuah kampung di
Semarang, yakni kampung Genteng, di mana sang tokoh Faisal, Mat Karmin, dan Pak Cokro tinggal. Di kampung ini pula rumah baca milik Pak Cokro didirikan.
Tak jauh dari kampung Genteng terdapat tempat yang bernama Gedong Sapi, di mana Anak Alam tinggal.
commit to user
176
Cerita dalam novel ini pun mengambil latar di SD Kartini. Di sekolah inilah tokoh utama menuntut ilmu. SD Kartini digambarkan sebagai sekolah
sederhana dengan kondisi fisiknya yang sudah mulai rapuh, seperti eternit yang jebol, cat yang mulai mengelupas, lantai dari ubin teraso yang sebagian lapisan
semen di pinggirannya terkelupas. Selain di Kampung Genteng dan Gedong Sapi, cerita ini juga mengambil
latar tempat di Gogik, Ungaran yakni sebuah daerah di bawah kaki gunung ungaran. Di Gogik ini Ki Hajar Ladunni tinggal. Di tempat ini tokoh utama
belajar membuat layang-layang pada Ki Hajar Ladunni. b Latar Waktu
Latar waktu kisah dalam novel ini tidak secara langsung dijelaskan oleh pengarang. Setting waktu dalam kisah ini dikaitkan dengan peristiwa reformasi
1998, yakni setelah peristiwa reformasi terjadi. Informasi ini didapat dari kisah Yok Bek yang merasa tidak senang melihat Anak Alam bersekolah serta sikap
warga Kampung Genteng yang mulai berani melawannya setelah reformasi 1998. Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang, menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan
kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro 2005: 227 yang menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi,
siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul
jam tertentu. c Latar Sosial
1 Adat Istiadat dan Kepercayaan Adat istiadat yang menjadi latar novel OMDS yaitu adat istiadat
masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dikenal sebagi masyarakat yang menjunjung tinggi adab kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan bertingkah laku yang
halus, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Selain berlatarkan masyarakat Jawa, pengarang juga memberikan sentuhan
lain dalam novelnya, yakni pemunculan budaya orang Cina pinggiran yang
commit to user
177
diwakili oleh tokoh Yok Bek, yang dalam novel ini digambarkan manjaga jarak dengan warga pribumi, tidak mau membaur dengan masyarakat lainnya.
Masyarakat Cina yang minoritas tinggal bersama masyarakat Jawa yang mayoritas. Masyarakat Cina cenderung terkesan hanya mau bergaul dengan
sesama orang Cina dan memisahkan diri dengan warga pribumi. Tidak ada sifat keterbukaan layaknya masyarakat Jawa.
2 Bahasa Novel OMDS mengambil latar tempat di Indonesia, tepatnya di Semarang,
Jawa Tengah. Selain itu pengarangnya pun juga asli orang Semarang. Maka tidak heran apabila novel ini selain menggunakan bahasa Indonesia sebagai media
penceritaannya, juga banyak diwarnai istilah-istilah bahasa Jawa. Hampir di setiap bab dijumpai kata-kata dalam bahasa Jawa. Selain dijumpai istilah dalam bahasa
Jawa, di dalam novel ini juga dijumpai kata-kata dalam bahasa Cina. Istilah-istilah dalam bahasa Cina ini dipergunakan oleh tokoh Yok Bek yang notabene
merupakan keturan Cina. 3 Kebiasaan
Dilihat dari segi kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dan masyarakat Jawa pada umumnya yang tidak terlepas dari keadaan sosial dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah masyarakat marjinal, yakni kaum buruh, yang untuk bisa makan sesuap nasi harus bekerja keras
setengah mati. Orang tua ketiga Anak Alam setiap hari bekerja sebagai buruh di
peternakan sapi milik Yok Bek. Kegiatan ketiga orang tua ini adalah mengurus sapi-sapi milik Yok Bek, yaitu membersihkan kandang, memandikan sapi,
mencari rumput,dan masih banyak lagi. Penghasilan dari hasil bekerja mengurus sapi ini hanya cukup untuk makan saja, sehingga biaya sekolah ketiga Anak Alam
harus diusahakan sendiri. Pambudi menjual Koran, Yudi membuat dan menjual pisang goreng, sedangkan Pepeng menjadi tukang becak mengangkuti kelapa dari
pelabuhan ke pasar-pasar kecil. Begitulah kebiasaan hidup mereka setiap harinya. Tidak ada hari tanpa bekerja keras. Semua ini mereka lakukan untuk bisa tetap
bersekolah meraih cita-cita.
commit to user
178
4 Pandangan Hidup Tokoh Kehidupan yang terjadi di masyarakat, keadaan sosial ekonomi, pribadi
orang-orang dekat biasanya dapat mempengaruhi bagaimana seseorang mamandang kehidupan ini. Setidaknya begitulah yang tampak di dalam novel ini
seperti dilukiskan melalui tokoh utama novel ini, yakni Faisal. Sebagai seorang pribadi yang sedang mempersiapkan masa depannya, ia
memiliki pandangan hidup yang progresif, berkemauan keras, dan berjiwa sosial tinggi. Hal ini tampak pada kemauan kerasnya untuk dapat mewujudkan cita-cita.
Melalui pandangan hidup tokohnya, novel OMDS memberikan motivasi kepada siapa saja untuk maju mengejar cita-cita.
Sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang
hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia juga berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam
mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani kehidupan ini. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya yang
masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung memberikan pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta huruf. Ia ingin
menjadikan Kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi Kampung Genteng yang melek huruf.
Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap orang miskin. Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan
pekerjanya semena-mena. Ia juga memberikan label untuk orang kaya, yaitu orang kaya itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati.
e. Alur