BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP
TINGKAT PENGUASAAN LAHAN
6.1 Keragaman Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah
sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat menggembala ternak dan sebagainya. Penguasaan tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur,
mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun
peraturan lainnya. Mengambil pemikiran Wiradi 1990:5 pola pengaturan sumberdaya agraria yang ada berdasarkan pada UUPA Tahun 1960 yang secara
hukum adalah 1 “peruntukan” mana untuk keperluan Negara, mana untuk keperluan masyarakat dan mana untuk perorangan, 2 cara memperoleh, 3 hak
penguasaan, dan 4 masalah penggunaannya. Kelembagaan agraria menjelaskan bagaimana mengatur sumber-sumber agraria yang ada dan melihat hubungan yang
saling tergantung interdependensi antara manusia dan manusia terhadap tanah serta hubungan manusia dengan tanah yang berkaitan dengan sumber utama
pendapatan masyarakat yang di peroleh dari penguasaan lahan. Penguasaan lahan merupakan faktor penentu bagi pendapatan masyarakat
desa khususnya petani. Lahan bagi masyarakat desa sangat penting karena mereka tergantung pada lahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketidakmerataan
penguasaan atas tanah pertanian menyebabkan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah-tanah yang mereka miliki. Hal ini karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi
kebutuhan dan terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani
tidak bertanah dan mengakibatkan posisi kaum petani termarginalisasi dari kehidupan sosialnya. Ketidakmerataan atau sering disebut dengan ketimpangan
penguasaan lahan telah terjadi dari masa sebelum penjajahan. Penguasaan lahan sebagai faktor penentu pendapatan dialami juga oleh
warga Kampung Cijengkol. Warga memahami bahwa lahan sangat penting bagi mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun penguasaan lahan yang
mereka miliki saat ini didapat secara turun-temurun untuk penduduk asli kampung warisan dari orangtua. Penguasaan yang terjadi di kampung ini
mengakibatkan akses warga terhadap lahan menjadi sempit. Padatnya penduduk kampung mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan pertanian. Selain itu,
modal yang kuat akan mempengaruhi akses warga terhadap lahan. Misalnya, untuk warga pendatang maupun warga asli kampung jika memiliki modal yang
kuat dapat membeli lahan untuk digarap. Maka dari itu, modal dikatakan sebagai salah satu penentu warga untuk dapat mengakses lahan garapan. Penguasaan lahan
yang terjadi di Kampung Cijengkol dapat dilihat pada Tabel 13 sebagai berikut: Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Tahun
2011
Kategori Jumlah
Persentase Gadai
1 1,96
Menyewa 1
1,96
Bagi hasil 4
7,84
Milik sendiri warisan 45
88,24
Jumlah 51
100,00
Keragaman penguasaan lahan di Kampung Cijengkol yaitu Gadai, Menyewa, Bagi Hasil dan Milik Sendiri. Kebanyakan status kepemilikan lahan
yang terdapat di Kampung Cijengkol adalah milik sendiri warisan. Hampir 88,24 atau 45 orang dari jumlah responden 46 status kepemilikannya berasal
dari warisan yang lainnya hanya 7,84 bagi hasil dan 1,96 untuk gadai dan menyewa. Namun, dari data pada Tabel 7 warga tidak hanya memiliki warisan
dari lahan yang digarapnya terkadang mereka pun menggunakan sistem bagi hasil untuk menguasai lahan garapan. Misalnya, seseorang memiliki lahan sawah yang
didapat dari warisan dengan luas sekitar 0,05 ha. Namun dengan luas sawah yang kecil maka seseorang itupun melakukan sistem bagi hasil dengan sawah milik
orang lain orang lain. Kasus seperti ini dijumpai di Kampung Cijengkol, tidak hanya sistem bagi hasil saja yang digunakan melainkan gadai dan menyewa pun
mereka lakukan walaupun mereka memiliki lahan garapan dengan luas lahan yang kecil. Hal ini mereka lakukan demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari
walaupun banyak juga warga yang mencari tambahan di luar pertanian.
6.2 Tingkat Penguasaan Lahan