Berdasarkan Tabel 14 bahwa penguasaan lahan yang terjadi di Kampung Cijengkol ada dalam kategori luas lahan yang sempit. Dapat dilihat sekitar 78,26
atau 36 orang memiliki lahan hanya seluas kurang dari 0,5 ha. Kategori lahan luas hanya sekitar 10,64 atau 4 orang yang memiliki luas lahan diatas atau lebih
besar dari 1 ha, sedangkan untuk luas lahan kategori sedang hanya 11,10 atau 5 orang yang memiliki luas lahan antara 0,5-1 ha. Kemungkinan ini tejadi
dikarenakan sistem bagi waris yang terdapat di kampung ini. Penduduk asli kampung memiliki akses lebih besar terhadap lahan pertanian dibandingkan
dengan pendatang. Namun luas akses terhadap lahan tidaklah luas karena warisan lahan yang warga kampung miliki warga asli samarata dengan kakak atau adik
mereka yang mendapat hak waris sehingga lahan dengan luas tertentu dibagi samarata kepada hak waris sesuai dengan jumlah anggota keluarga anak.
Akibatnya, pembagian lahan terjadi dengan luas yang kecil untuk seluruh jumlah anggota keluarga yang mempunyai hak waris.
6.3 Hubungan Faktor-Faktor Penguasaan Lahan Dengan Tingkat
Penguasaan Lahan Wiradi 2009 menjelaskan bahwa hakikat struktur agraria merupakan
masalah yang menyangkut susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusi tanah yang pada akhirnya menyangkut hubungan kerja dan proses produksi.
Struktur agraria perlu memperhatikan dan membedakan antara istilah pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah. Penguasaan merupakan penguasaan yang
menunjuk kepada penguasaan efektif, misalnya sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah secara efektif menguasainya. Penguasaan sangat
jelas menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Lahan memiliki arti lebih luas daripada makna tanah dan tanah
merupakan salah satu aspek dari lahan. Pemanfaatan lahan cenderung mendekati pola kearah pendayagunaan dan pengaturan fungsi ketatalaksanaan lahan.
Menurut Bappenas-PSE-KP 2006 dalam Darwis 2009, pemanfaatan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor yang menentukan
keputusan baik perorangan dan kelompok maupun pemerintah.
Penguasaan lahan merupakan faktor penentu pendapatan pertanian masyarakat desa. Namun, penguasaan lahan yang terjadi di Jawa tidaklah merata.
Ketimpangan penguasaan lahan mengakibatkan kemiskinan di pedesaan Jawa. Ketimpangan penguasaan lahan tidaklah terjadi begitu saja karena faktor-faktor
yang mempengaruhi penguasaan lahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan akan mempengaruhi terhadap tingkat penguasaan lahan.
Tingkat penguasaan lahan merupakan ukuran dimana seseorang menguasai memanfaatkan, mengelola, dan memperoleh keuntungan dari sekian hektar
lahan garapan. Tingkat penguasaan lahan dapat dilihat dari luasan lahan yang dikuasai dan status kepemilikan lahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penguasaan lahan berpengaruh terhadap luas lahan yang dikuasai dan status kepemilikan lahan. Luas lahan yang dikuasai dibagi menjadi tiga kategori yaitu
luas, sedang, dan sempit. Sedangkan untuk status kepemilikan lahan yang dikuasai dilihat dari lahan yang digarapnya merupakan lahan sendiri milik
sendiri, menyewa, gadai, warisan, beli dan bagi hasil. Ketimpangan penguasaan lahan terjadi di Kampung Cijengkol yang
mayoritas penduduknya bergantung pada lahan pertanian. Ketimpangan ini disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan. Faktor-faktor
tersebut yaitu adanya sistem bagi waris, penduduk yang padat dan modal yang dapat mempengaruhi penguasaan lahan. Sistem bagi waris mengakibatkan lahan
yang diwariskan kepada hak waris semakin sedikit, sehingga akses warga terhadap lahan pun dibatasi. Jumlah penduduk Kampung Cijengkol terbilang
padat dan merupakan kendala bagi warga dalam hal akses terhadap lahan karena mereka menempati lahan yang tadinya lahan pertanian untuk bermukim. Jumlah
keluarga yang banyak lebih dari program pemerintah mengakibatkan pembagian warisan kepada anak-anaknya atau hak waris menjadi saling sedikit dibagi
samarata. Sistem waris ini menjadikan warga yang mendapatkan hak waris dengan luas lahan yang didapat adalah kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Faktor lain yang mempengaruhi penguasaan lahan adalah faktor modal.
Modal merupakan salah satu faktor yang kuat untuk dapat mengakses lahan pertanian. Lahan akan menghasilkan manfaat jika di garap, dan lahan yang
digarap membutuhkan modal. Bagi warga yang memiliki lahan dan modal yang kuat mereka dapat menggarap tanah, mengelola, memanfaatkan dan memperoleh
hasil dari lahan yang digarap. Namun, bagi warga yang tidak mempunyai lahan mereka akan melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan yang mereka garap
ataupun mereka akan menyewa sebidang tanah ataupun gadai tanah orang lain. Bagi penduduk yang belum memiliki akses terhadap lahan modal menjadi penting
karena mereka dapat membeli sebidang tanah dan dapat mengelola, memanfaatkan dan memperoleh hasil dari lahan tersebut. Dapat terjadi jika modal
yang dimiliki besar dan cukup untuk membeli tanah dan menggarapnya. Namun kenyataannya, hanya sedikit warga Kampung Cijengkol yang memiliki modal
yang besar sehingga bisa memperluas lahan. Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki hubungan dengan
tingkat penguasaan lahan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi bagaimana penguasaan lahan warga Kampung Cijengkol dari luas lahan yang dimiliki dan
status kepemilikannya. Kebanyakan warga Kampung Cijengkol menggunakan sistem bagi waris dengan jumlah anggota rumah tangga yang banyak sehingga
luas lahan yang diwariskan pun luasnya menjadi sedikit dibagi samarata. Kuatnya modal yang dimiliki sedikitnya warga kampung pun mempengaruhi tingkat
penguasaan lahan. Berdasarkan olah data yang dibuat peneliti menunjukkan bahwa faktor-faktor penguasaan lahan akan mempengaruhi tingkat penguasaan
lahan baik dari segi luas lahan maupun status kepemilikan lahan warga Kampung Cijengkol. Maka dari itu, faktor-faktor tersebut mempengaruhi tingkat penguasaan
lahan yang terjadi di Kampung Cijengkol.
6.4 Ikhtisar