jangkauannya jauh ditukar dengan lahan yang dekat dari rumahnya. Salah satu contoh yang ditemukan pada saat berada di lokasi penelitian adalah tukar sejenis
yaitu kebun. Kebun yang dimiliki oleh salah seorang responden merupakan hasil dari sistem tukar dengan warga lainnya dengan luas yang dipertukarkan sama.
5.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan yang terjadi sering menimbulkan ketimpangan akses terhadap lahan di masyarat desa. Ketimpangan distribusi lahan dan penguasaannya akan
berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari pertanian. Ketimpangan akses terhadap lahan tidak dipungkiri disebabkan oleh
faktor-faktor yang mendukung terjadinya ketimpangan tersebut dalam masyarakat desa khususnya petani. Laju penyusutan lahan pertanian di Indonesia pun sangat
cepat disebabkan adanya penyusutan kepemilikan lahan pertanian sebagai dampak sistem bagi waris dan alih fungsi lahan. Besarnya tekanan populasi penduduk
mengakibatkan besar pula ketidaksetaraan dalam hal akses terhadap lahan. Seperti halnya sistem bagi waris menjadikan lahan petani dari generasi satu ke
generasi berikutnya semakin sempit sehingga terjadinya marginalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit.
Zaman pra-kolonial, distribusi tanah di Pulau Jawa dengan penduduk yang padat terjadi tidak merata. Namun, dibandingkan dengan beberapa Negara lain,
ketidakmerataan distribusi tanah di Jawa masih dalam skala kecil Wiradi dan White 2009. Dahulu raja dan kaum elit mengklaim mengenai pajak dari
kepemilikan tanah sementara petani menganggap tanah sebagai milik mereka karena mereka yang membuka lahan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang
berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Munculnya pengakuan atau klaim Negara atas lahan tersebut menyebabkan terjadinya landreform yaitu
pengurangan hak dan kepemilikan tanah petani Kepemilikan lahan di Kampung Cijengkol cenderung makin kesini makin
ke arah penyempitan warga dalam mengakses lahan pertanian. Akses warga kampung terhadap lahan sangatlah kecil dikarenakan adanya sistem bagi waris.
Sistem ini sebenarnya akan lama mengalami penyempitan akses lahan jika satu keluarga memiliki anak satu atau dua. Namun berbeda dengan kenyataannya,
jumlah anggota setiap keluarga bisa banyak dan lahan yang dimiliki diwariskan kepada anak-anaknya yang jumlahnya banyak sehingga setiap anak yang
mendapatkan warisan memiliki lahan yang kecil dibagi rata. Kebanyakan dari warga kampung yang mendapatkan warisan lahan
sawah maupun kebun cenderung menjualnya dikarenakan ingin membangun rumah, memperbaiki rumah maupun dengan alasan kebutuhan ekonomi yang
mendesak. Akibatnya, mereka kehilangan akses terhadap lahan yang dimiliki. Tanah yang dimiliki warga didapat dari warisan nantinya pun akan mereka
bagikan kepada anak-anaknya sehingga akses tanah semakin menyempit karena tanah diturunkan secara turun-menurun terhadap generasi berikutnya. Jika tidak
ada hubungan keluarga inti maka mereka tidak dapat mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol kecuali mereka memiliki modal untuk membeli lahan
tersebut. Warga yang ada di Kampung Cijengkol merupakan penduduk asli, jadi tidak heran mereka yang memiliki akses terhadap lahan lebih besar daripada
warga pendatang walaupun lahan tersebut tidaklah luas. Jumlah penduduk di Kampung ini cukup padat, sehingga lahan-lahan yang
diusahakan pun menjadi makin sedikit. Lahan-lahan tersebut dijadikan rumah untuk bermukim warga. Faktor lain yang menyebabkan warga kampung sulit
mengakses lahan adalah tidak adanya modal untuk memiliki lahan dan juga untuk menggarapnya. Modal biasanya menjadi penghalang bagi pendatang dalam
mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol karena kebanyakan lahan yang ada merupakan lahan turun-menurun. Sedangkan untuk warga kampung asli
modal juga merupakan faktor penghambat dalam menggarap lahan, karena jika tidak ada modal mereka tidak bisa membeli bibit padi dan membeli pupuk.
5.5 Ikhtisar
Lahan pertanian merupakan lahan yang dianggap besar manfaatnya bagi petani di pedesaan Jawa sehingga penguasaan lahan sangatlah penting demi
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dirasakan pula oleh warga Kampung Cijengkol yang sebagian besar penduduknya memenuhi kebutuhan
hidup dari lahan pertanian baik hasil dari sawah maupun kebun. Namun kenyataannya, lahan pertanian yang warga akses makin kecil sehingga tidak dapat