Ikhtisar POLA PENGUASAAN LAHAN

jumlah anggota setiap keluarga bisa banyak dan lahan yang dimiliki diwariskan kepada anak-anaknya yang jumlahnya banyak sehingga setiap anak yang mendapatkan warisan memiliki lahan yang kecil dibagi rata. Kebanyakan dari warga kampung yang mendapatkan warisan lahan sawah maupun kebun cenderung menjualnya dikarenakan ingin membangun rumah, memperbaiki rumah maupun dengan alasan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Akibatnya, mereka kehilangan akses terhadap lahan yang dimiliki. Tanah yang dimiliki warga didapat dari warisan nantinya pun akan mereka bagikan kepada anak-anaknya sehingga akses tanah semakin menyempit karena tanah diturunkan secara turun-menurun terhadap generasi berikutnya. Jika tidak ada hubungan keluarga inti maka mereka tidak dapat mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol kecuali mereka memiliki modal untuk membeli lahan tersebut. Warga yang ada di Kampung Cijengkol merupakan penduduk asli, jadi tidak heran mereka yang memiliki akses terhadap lahan lebih besar daripada warga pendatang walaupun lahan tersebut tidaklah luas. Jumlah penduduk di Kampung ini cukup padat, sehingga lahan-lahan yang diusahakan pun menjadi makin sedikit. Lahan-lahan tersebut dijadikan rumah untuk bermukim warga. Faktor lain yang menyebabkan warga kampung sulit mengakses lahan adalah tidak adanya modal untuk memiliki lahan dan juga untuk menggarapnya. Modal biasanya menjadi penghalang bagi pendatang dalam mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol karena kebanyakan lahan yang ada merupakan lahan turun-menurun. Sedangkan untuk warga kampung asli modal juga merupakan faktor penghambat dalam menggarap lahan, karena jika tidak ada modal mereka tidak bisa membeli bibit padi dan membeli pupuk.

5.5 Ikhtisar

Lahan pertanian merupakan lahan yang dianggap besar manfaatnya bagi petani di pedesaan Jawa sehingga penguasaan lahan sangatlah penting demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dirasakan pula oleh warga Kampung Cijengkol yang sebagian besar penduduknya memenuhi kebutuhan hidup dari lahan pertanian baik hasil dari sawah maupun kebun. Namun kenyataannya, lahan pertanian yang warga akses makin kecil sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan yang makin lama makin besar dan tidak jarang warga yang didesak oleh kebutuhan menjual lahan mereka untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pola penguasaan lahan di Kampung Cijengkol cenderung lebih kearah pemilikan perorangan. Kebanyakan dari warga kampung memiliki dan menggarap sendiri lahan yang mereka miliki. Struktur agraria yang terdapat di Kampung Cijengkol lebih ke arah hubungan antar manusia dengan tanah secara teknis lebih terlihat dibandingkan hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung yang terlibat dalam proses produksi. Tidak dipungkiri juga bahwa hubungan sewa antara pemilik dan penggarap dan pengupahan buruh tani terlihat juga walaupun tidak banyak. Bentuk hubungan yang terlihat di Kampung Cijengkol adalah pemilik-penggarap, pemilik-bukan penggarap, dan bukan pemilik-penggarap. Bentuk yang paling banyak dari ketiga bentuk hubungan yang terdapat di Kampung Cijengkol yaitu pemilik-penggarap. Mayoritas warga kampung memiliki akses terhadap lahan pertanian dan menggarap lahan sendiri sawah dan kebun, walaupun terkadang mereka juga menggarap lahan milik orang lain. Hasil dari lahan sawah dan kebun mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Lahan yang digarap oleh warga Kampung Cijengkol mereka bukanlah semata-mata diberikannya akses lahan oleh Pemerintah Desa dengan kondisi setengah dari wilayah desa di kuasai oleh PTPN VII Nasional. Namun kontribusinya tidak sampai kepada pembebasan lahan seluas sekian hektar kepada masyarakat Desa Cigudeg terutama warga Kampung Cijengkol. Dahulu warga meperoleh lahan pertanian sawah dan kebun dari hasil membuka lahan, dan lalu dibagikan kepada generasi berikutnya yang menjadi hak waris sistem bagi waris. Selain membuka lahan sendiri dan sistem bagi waris, ada juga warga yang menguasai lahan dengan cara bagi hasil, gadai, dan jual-beli. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan yaitu adanya sistem bagi waris dan modal. Sistem ini sebenarnya akan lama mengalami penyempitan akses lahan jika satu keluarga memiliki anak satu atau dua. Namun berbeda dengan kenyataannya, jumlah anggota setiap keluarga yang terdapat di Kampung ini cukup banyak sehingga lahan yang diwariskan kepada anak-anaknya menjadi kecil dibagi samarata kepada setiap hak waris. Terkadang lahan warisan yang didapat mereka jual karena kebutuhan mendesak sehingga mereka kehilangan akses terhadap lahan. Adapun jumlah penduduk yang memadati kampung cukup banyak, sehingga ketersediaan lahan yang ada tidak mampu mendukung kebutuhan hidup dengan jumlah penduduk yang makin besar. Faktor lain yang mempengaruhi akses warga terhadap lahan pertanian adalah modal. Modal yang kuat dapat mempengaruhi akses warga terhadap lahan sehingga warga dapat membeli lahan dan menggarapnya. Modal juga menjadi penghalang bagi warga pendatang dalam mengakses lahan. Jika pendatang memiliki modal maka mereka dapat membeli lahan atau menyewa lahan pertanian untuk digarapnya, untuk warga asli yang memiliki modal mereka bisa membeli bibit dan pupuk untuk ditanam di sawah sehingga tidak perlu menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP

TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

6.1 Keragaman Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat menggembala ternak dan sebagainya. Penguasaan tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Mengambil pemikiran Wiradi 1990:5 pola pengaturan sumberdaya agraria yang ada berdasarkan pada UUPA Tahun 1960 yang secara hukum adalah 1 “peruntukan” mana untuk keperluan Negara, mana untuk keperluan masyarakat dan mana untuk perorangan, 2 cara memperoleh, 3 hak penguasaan, dan 4 masalah penggunaannya. Kelembagaan agraria menjelaskan bagaimana mengatur sumber-sumber agraria yang ada dan melihat hubungan yang saling tergantung interdependensi antara manusia dan manusia terhadap tanah serta hubungan manusia dengan tanah yang berkaitan dengan sumber utama pendapatan masyarakat yang di peroleh dari penguasaan lahan. Penguasaan lahan merupakan faktor penentu bagi pendapatan masyarakat desa khususnya petani. Lahan bagi masyarakat desa sangat penting karena mereka tergantung pada lahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebabkan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah-tanah yang mereka miliki. Hal ini karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan dan terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani