Tingkat Penguasaan Lahan HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP

orang lain orang lain. Kasus seperti ini dijumpai di Kampung Cijengkol, tidak hanya sistem bagi hasil saja yang digunakan melainkan gadai dan menyewa pun mereka lakukan walaupun mereka memiliki lahan garapan dengan luas lahan yang kecil. Hal ini mereka lakukan demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari walaupun banyak juga warga yang mencari tambahan di luar pertanian.

6.2 Tingkat Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan di daerah Jawa lebih besar dibandingkan di daerah Luar Jawa. Hal ini karena adanya kebijakan pembangunan pada masa lalu yang mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan Jawa. Kebijakan pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu 1 sumberdaya lahan di Jawa dapat dijadikan sawah lebih tersedia dibandingkan di Luar Jawa, 2 anggaran atau pencetakan sawah di Jawa lebih murah, dan 3 masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga diprioritaskan di Jawa karena secara langsung hal itu akan mengurangi masalah pangan tersebut. Namun, kepadatan penduduk di Jawa menjadikan akses mereka terhadap lahan menjadi semakin sempit. Luas lahan yang tetap dan jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan daya dukung tanah tidak dapat mencukupi kebutuhan manusia dalam jumlah besar. Maka dari itu, terjadi ketidakmerataan akses terhadap lahan di pedesaan Jawa. Pendapatan rumah tangga sebagian besar diperoleh dari kegiatan usahatani yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama. Bagi masyarakat desa, luas kepemilikan lahan mencerminkan kesejahteraan mereka. Peran lahan sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat desa karena identik dengan status sosial rumah tangga. Ketimpangan distribusi lahan dan penguasaan lahan akan berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari usaha pertanian. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya sistem bagi waris dimana lahan yang diwariskan dibagikan kepada pihak yang mempunyai hak waris. Sistem tersebut menjadikan lahan petani menjadi semakin sempit dan terjadi marginalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit. Sempitnya lahan yang dikuasai mengakibatkan pendapatan yang diperoleh dari lahan tersebut tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga petani sehingga mereka terpaksa menjual lahannya. Tanah yang dimiliki warga Kampung Cijengkol termasuk kedalam dua kelompok nilai tanah menurut Chapin dalam Johara 1992 yaitu nilai keuntungan dan nilai sosial. Nilai keuntungan adalah yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah dipasaran. Maksud dari nilai keuntungan yang terdapat di kampung Cijengkol adalah warga dapat menggarap lahan yang mereka miliki dengan menanam padi di sawah dan pohon jengjeng ataupun pohon buah di kebun. Hasil dari penanaman padi dan pohon buah dinikmati oleh sendiri, terkadang untuk buah misalnya pisang dapat mereka jual di pasar sehingga mereka mendapat keuntungan ekonomi. Nilai sosial adalah hal yang mendasar bagi kehidupan misalnya sebidang tanah yang diperihara, peninggalan, pustaka dan sebagainya dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya. Maksud dari nilai sosial kampung ini adalah lahan dianggap penting dan dapat mencerminkan status sosial dan berkaitan dengan kesejahteraan warga. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan dialami oleh warga Kampung Cijengkol yang mayoritas penduduknya bergantung pada lahan pertanian. Ketimpangan pemilikan yang terjadi dikarenakan adanya sistem bagi waris yang kental di kalangan warga kampung dan modal. Akibatnya, akses warga menjadi sempit terhadap lahan pertanian sawah dan kebun. Lahan diwariskan dari generasi satu ke generasi berikutnya yang penduduknya semakin bertambah sehingga mereka mendapatkan lahan yang luasnya sedikit. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya mengakses lahan pertanian adalah modal. Modal dianggap warga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi dalam akses terhadap lahan. Tabel 10 di bawah ini merupakan sebaran responden menurut luas lahan yang dikuasai berdasarkan tiga kategori luas, sedang dan sempit. Tabel 14. Sebaran Responden menurut Luas Lahan yang Dikuasai Tahun 2011 Kategori Luas Lahan ha Jumlah Persentase Luas 1 4 10,64 Sedang 0,5-1 5 11,10 Sempit 0,5 37 78,26 Jumlah 46 100,00 Berdasarkan Tabel 14 bahwa penguasaan lahan yang terjadi di Kampung Cijengkol ada dalam kategori luas lahan yang sempit. Dapat dilihat sekitar 78,26 atau 36 orang memiliki lahan hanya seluas kurang dari 0,5 ha. Kategori lahan luas hanya sekitar 10,64 atau 4 orang yang memiliki luas lahan diatas atau lebih besar dari 1 ha, sedangkan untuk luas lahan kategori sedang hanya 11,10 atau 5 orang yang memiliki luas lahan antara 0,5-1 ha. Kemungkinan ini tejadi dikarenakan sistem bagi waris yang terdapat di kampung ini. Penduduk asli kampung memiliki akses lebih besar terhadap lahan pertanian dibandingkan dengan pendatang. Namun luas akses terhadap lahan tidaklah luas karena warisan lahan yang warga kampung miliki warga asli samarata dengan kakak atau adik mereka yang mendapat hak waris sehingga lahan dengan luas tertentu dibagi samarata kepada hak waris sesuai dengan jumlah anggota keluarga anak. Akibatnya, pembagian lahan terjadi dengan luas yang kecil untuk seluruh jumlah anggota keluarga yang mempunyai hak waris.

6.3 Hubungan Faktor-Faktor Penguasaan Lahan Dengan Tingkat