antara pemilik dan penggarap dan pengupahan buruh tani terlihat juga di kampung ini walaupun tidak banyak. Bentuk hubungan yang sering ada di
kampung Cijengkol adalah pemilik-sekaligus penggarap, bukan pemilik- penggarap, pemilik-bukan penggarap. Tiga bentuk hubungan tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Pemilik-sekaligus penggarap
Bentuk penguasaan seperti ini adalah yang paling banyak terdapat di Kampung Cijengkol. Warga kampung ini sebagian besar memiliki sawah dan
kebun dan mereka menggarapnya sendiri. Lahan sawah digunakan untuk menanam padi dan biasanya di sisi sawah ditanam pohon pisang atau cabai.
Namun tidak semua orang memanfaatkan sisi sawah dengan menanam pohon buah atau cabai. Masa panen padi di kampung ini tiga kali dalam setahun namum
tidak serempak karena pada saat musim tanam pun waktunya tidak sama. Sesuai dengan apa yang dikatakan Bapak SBI 39 tahun warga RT 01 yaitu;
“Untuk musim panen disini mah tidak bareng seperti yang terjadi di daerah Karawang atau Cianjur. Wargapun disini bukan petani
yang benar-benar petani. Mereka bisa bertani secara otodidak saja. Cara nanamnya pun tidak sesuai dengan cara nanam yang baik,
hanya sekedar nanam tanpa diperhatikan jarak tanamnya. Makanya walaupun sawahnya luas namun cara tanamnya tidak baik akan
mempengaruhi hasilnya. Misalnya saja hasilnya jadi tidak memuaskan dan tidak banyak tidak seperti yang seharunya
dihasilkan dengan luas sawah yang dimiliki”. Kebun yang warga miliki lebih sering ditanami kayu jenjeng atau warga
sering menyebutnya kayu ki ambon walaupun ada beberapa orang yang ditanami buah-buahan atau sayur-sayuran. Kebun yang dimiliki warga letaknya di gunung
dan mereka pun tidak menanam sayur-sayuran atau buah-buahan karena sering dimakan oleh binatang seperti monyet dan babi hutan. Oleh karena itu, lebih aman
untuk mereka tanam kayu dibandingkan buah-buahan atau sayuran karena kayu tidak akan di makan oleh binatang tersebut.
b. Bukan pemilik-penggarap
Bentuk penguasaan seperti ini terdapat juga di kampung Cijengkol walaupun tidak banyak. Sebagian kecil warga ada yang menggarap lahan sawah maupun kebun
untuk menghidupi keluarganya tetapi bukan pemilik yang sebenarnya. Mereka yang bukan pemilik-penggarap berstatus lahan sebagai penyewa, gadai, dan bagi
hasil. Sedikit warga yang memiliki status lahan sebagai penyewa, gadai dan bagi hasil yang ditemukan di lokasi penelitian. Kebanyakan pola bagi hasil dilakukan
warga kampung terhadap lahan sawahnya dikarenakan warga tersebut sudah tidak sanggup untuk mengolah sawah karena fisiknya yang tidak kuat, ataupun mereka
adalah janda. Seperti yang dikatakan Ibu MMY 30 tahun warga RT 01 kampung Cijengkol yaitu:
“Saya teh gaduh sawah alit, pamasihan kolot warisan kitu neng, ku saya di maparo keun ka batur. Mun ku nyalira mah teu tiasa deui,
kan bapak teh tos lami teu damang”. Ibu Mmy 30 tahun mengatakan bahwa beliau memiliki sawah walaupun
sedikit. Sawah tersebut dikasih dari orang tuanya sebagai warisan. Namun, sawah tersebut di bagi hasil dengan orang karena jika digarap sendiri sudah tidak bias
karena suaminya sudah lama sakit. Memang tidak banyak yang melakukan bagi hasil seperti Ibu Mmy 30 tahun ini, karena warga lebih memilih untuk
menggarapnya sendiri dengan luas lahan relatif kecil yang mereka miliki dan masih bisa dijangkau oleh mereka untuk penggarapannya.
c. Pemilik-bukan penggarap