menentu.
3
Dari hal yang dikatakan di atas jelaslah bahwa penguasaan atas tanah bagi setiap orang merupakan hal yang mutlak adanya baik dalam nama, jenis,
jumlah maupun intensitasnya. Berkaitan dengan intensitas, hak menguasai dapat bergerak mulai dari kadar yang paling lemah hingga kepada bobot yang paling
kuat, seperti
hak pakai,
memetik kemudian
menikmati hasil,
hak memeliharamengelolamengurus, hak memiliki sampai kepada hak mengasingkan
dalam segala bentuk. Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebabkan
kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup
sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual
tanah yang mereka miliki. Hal ini mereka lakukan karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mereka terpaksa menjadi
buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi
kaum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya.
2.1.2.2 Pola Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah yang dimaksud adalah tanah yang berada dipermukaan bumi
atau bidang tanah yang diukur dalam meter persegi dan dipergunakan di tempat tanah itu berada atau disebut terplaatse Sayogyo 1982 yang merupakan sumber
hidup dan kehidupan manusia baik tanah sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat mengembala ternak dan sebagainya.
4
Penguasaan tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak
milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Pola pengaturan adalah suatu
perangkat norma yang mengatur praktek ideal kehidupan masyarakat. Aturan- aturan tersebut menentukan tata cara kerjasama dan koordinasi anggota
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya serta membantu dalam menentukan
3
ibid, h.41
4
Ilyas Abd Hamid dan Usuluddin Tadorante, op.cit, h .30
hak serta kewajiban masing-masing Hayami dan Kikuchi, 1982 dalam Kasryno 1984 dalam Joula 2002.
Mengambil pemikiran Wiradi bahwa pola pengaturan sumberdaya agraria yang ada berdasarkan pada UUPA tahun 1960 yang secara hukum adalah 1
“peruntukan” mana untuk keperluan negara, mana untuk masyarakat, mana untuk perorangan, 2 cara memperoleh, 3 hak penguasaan, 4 masalah
pengguanaannya. Dapat dilihat bahwa kelembagaan agraria merupakan suatu bentuk kegiatan mengatur sumber-sumber agraria yang ada dan melihat hubungan
yang saling tergantung interdependensi antara manusia dan manusia terhadap tanah serta hubungan manusia dengan tanah.
Masyarakat Jawa yang agraris tanah merupakan sumber utama pendapatan. Menurut tradisi, Raja adalah pemilik tanah satu-satunya yang secara
teoritis berkuasa atas tanah. Pangeran dan priyayi diberi lungguh apanage atau tanah gaji untuk keperluan sendiri yang biaya kegiatan yang dilakukan. Namun,
lungguh ini akan dikembalikan kepada raja apabila pemegangnya meninggal dunia atau dipecat. Dengan pemilikan oleh raja atas seluruh tanah serta
penggunaannya mencegah tumbuhnya kaum ningrat penguasa tanah yang kokoh. Lungguh tersebut tidak dihitung berdasarkan luas dalam hektar tetapi menurut
jumlah penduduknya cacah. Ada faktor yang mencegah berkembangnya pengertian yang kuat mengenai hak milik atas tanah diantara kaum priyayi yaitu
agar dapat menguasai kaum elit, raja mengatur supaya cacah pengikut seorang pemegang lungguh tercerai-berai tinggalnya sehingga memudahkan raja untuk
melaksanakan kebijaksanaannya dan mencegah seorang lungguh mempunyai suatu kesatuan tanah yang besar tempat seluruh pengikutnya berkumpul.
Kaum elite terpisah jauh dari produksi dan tidak menghargai tanah namun tidak demikian dengan para petani. seorang petani penggarap tanah dan
penghidupan utamanya diperoleh dari tanah. Perbedaan kelas antara kaum petani berdasarkan atas cara dia menguasai tanah. Petani penguasa tanah disebut sikep
mereka yang menanggung beban tanah mempunyai numpang tanggungan juga belum menikah bujang yang merupakan lapisan terendah dalam lingkungan
desa. Makanan dan tempat tinggal petani numpang tergantung kepada sikep kepada siapa dia mempersembahkan seluruh pekerjaannya. Disamping sikep yang
elite di antara kaum petani dan numpang ada golongan petani menengah. Petani numpang yang menikah dan telah cukup lama melayani sikepnya diberi
pembagian dari tanah desa atau persekutuan. Namun, pembagian tanah persekutuan tidak dikuasai secara tetap oleh petani menengah melainkan
digilirkan diantara petani-petani menengah lainnya. Dapat kita lihat pada Tabel 12 bentuk penguasaan tanah pertanian dan penyebarannya di Jawa dan Madura.
Tabel 2. Penyebaran Tanah Pertanian di Jawa Tahun 1984
Karesidenan Jumlah desa
disurvei
Desa tanpa
sawah
Desa tanpa
tegalan Banten
Karawang Kabupaten
Priangan Cirebon
56 10
105 53
1 1
1 4
15 15
Tegal Banyumas
Pekalongan Bagelen
Semarang Jepara
32 40
26 50
50 34
1 1
3 2
18 8
13 5
25 22
Rembang Madiun
Kediri Surabaya
Pasuruan Probolinggo
Besuki Banyuwangi
Madura 54
63 59
56 44
26 36
6 6
2 2
9 3
3 4
17 38
22 33
17
6 5
1
Sumber: Hiroyoshi Kano. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.Yayasan Obor Indonesia.1984, h.43
Pola penguasaan tanah orang jawa cenderung berada diantara dua kutub yang berlawanan yaitu antara pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat dan
pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Akibat adanya tekanan penduduk yang besar dan tidak ada cadangan tanah baru yang dibuka
menjadi tanah pertanian, pola-pola penguasaan perorangan semakin bertambah banyak dengan mengorbankan pengawasan komunal yang dulu pernah ada.
Bentuk bentuk penyakapan tanah dan bagi hasil menunjukkan banyak ragam
kelenturan dan strata sosial tradisional masyarakat telah terganggu dan apa yang disebut kesetiaan “fungsional” baru menjadi nyata di masyarakat desa, terutama di
kalangan proletariat pedesaan. Penguasaan lahan di daerah Jawa lebih besar diakibatkan kebijakan
pembangunan pada masa lalu yang mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan Jawa daripada di luar Jawa. Kebijakan pembangunan tersebut dilatarbelakangi
oleh tiga faktor yaitu 1 sumberdaya lahan di Jawa dapat dijadikan sawah lebih tersedia dibandingkan diluar Jawa, 2 anggaran atau biaya pencetakan sawah di
Jawa lebih murah, dan 3 masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga diprioritaskan di Jawa karena secara langsung hal itu akan mengurangi
masalah pangan tersebut. Bentuk tradisional yang paling umum di Jawa adalah hak penguasaan
secara komunal. Dengan adanya sistem ini maka semua tanah baik yang dapat ditanami maupun yang merupakan tanah cadangan, dan petani penggarap
menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa.
Bentuk ini tidak menutup adanya hak atas tanah yang dikuasai seorang desa
sebagai bagian dari tanah komunal. Dengan bentuk ini, seorang tersebut dapat menggunakan terus-menerus sebidang tanah yang cukup luas untuk menghidupi
dirinya dan keluarga. Tanah tersebut pun dapat diwariskan kepada ahli warisnya untuk dimanfaatkan, walaupun pengalihan hak alienation keluar desa tidak
mungkin. Namun, semakin lama penguasaan atas tanah di Jawa semakin meningkat hak-hak pribadi atas tanah sehingga mengakibatkan melemahnya
pengawasan komunal. Tahun 1927 Poertjaja Gadroen dan Vink di daerah Jawa Timur menemukan bentuk-bentuk pemilikan tanah sebagai berikut:
5
1. pemilikan tanah komunal dengan penggarap secara bergiliran dan luas tanah garapan berbeda ukuran. Dewan desa mempunyai wewenang untuk
memperbanyak jumlah penggarap yang ikut serta; 2. pemilikan tanah komunal, tetapi dengan jumlah penggarap terbatas;
3. pemilikan tanah komunal dengan penggarap bergiliran, tetapi dengan tanah garapan yang luasnya tetap;
5
Justus M van der Kroef. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.Yayasan Obor Indonesia.1984, h.148
4. pemilikan tanah komunal dengan hak-hak perorangan tetentu. Hak-hak tersebut tidak pasti dapat diwariskan. Dewan desa harus menentukan siapa
yang akan mendapatkan tanah tersebut setelah penggarap sebelumnya meninggal;
5. seperti pada no.4 tetapi dengan kepastian hak waris; 6. seperti pada no.5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah yang bersangkutan
kepada penduduk lain sedesa; 7. seperti pada no.5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah menjual sebagian
tanah kepada orang bukan penduduk sedesa, asalkan kewajiban kerja untuk desa dapat dipenuhi oleh pembelian bukan sedesa tersebut;
8. pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan, tetapi dibatasi kewajiban partisipasi dalam pekerjaan komunal;
9. pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan tanpa kewajiban kerja komunal selama sebagian tanah garapan lainnya tetap tunduk kepada aturan kewajiban
kerja komunal; dan 10. pemilikan tanah pribadi bercorak barat dan dapat digadaikan dihipotekkan.
2.1.3 Pemilikan Tanah dan Pelapisan Masyarakat Desa 2.1.3.1 Pengertian Diferensiasi dan Statifikasi
Diferensiasi terutama digunakan dalam teori perubahan sosial serta merupakan konsep penting dalam menganalisa perubahan sosial dan dalam membandingkan
masyarakat desa. Diferensiasi merujuk pada proses dimana seperangkat aktivitas sosial yang dibentuk oleh sebuah institusi sosial yang terbagi di antara institusi
sosial yang berbeda-beda. Diferensiasi juga menggambarkan terjadinya peningkatan spesialisasi bagian-bagian masyarakat yang diikuti terjadinya
peningkatan heterogenitas di dalam masyarakat desa. Berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria, diferensiasi sosial masyarakat
pedesaan masyarakat agraris yang berlangsung akan menunjuk pada gejala terjadinya penambahan kelas-kelas petani. Diferensiasi tersebut kemudian akan
membentuk struktur sosial masyarakat agraris yang semakin berlapis terstratifikasi atau struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi.
Suatu struktur sosial masyarakat agraris bukanlah suatu struktur yang tetap sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur sosial masyarakat tersebut akan
berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlangsungnya transformasi moda produksi dan transformasi struktur agraria
yang dijalankan kaum tani. Pada kasus masyarakat agraris, Hayami dan Kikuchi 1987 dalam Fadjar 2009 mengartikan stratifikasi sebagai proses perkembangan
ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas masyarakat agraris dalam rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai tuan tanah yang tidak
mengusahakan sendiri tanahnya. Sementara itu, polarisasi diartikan sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat agraris menjadi
hanya dua lapisan, yakni lapisan “petani luas komersial yang kaya” dan lapisan “buruh tani tunakisma yang miskin”.
6
Pendapat lain mengenai pengertian startifikasi dikemukakan oleh Sorokin dalam Soekanto 1982 Sistem lapisan
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification.
Social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke daalm kelas-kelas secara bertingkat Hierarkis. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi
dan kelas yang rendah. Sorokin pun mengatakan bahwa dasar dan inti lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan
kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.
Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut:
1. ukuran kekayaan: seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk lapisan teratas. Kekayaan tersebut dapat dilihat dari bentuk rumah yang
bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara berpakaian serta bahan pakaian yang dipakai, kebiasaan berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya;
2. ukuran kekuasaan: Seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan teratas;
3. ukuran kehormatan: ukuran kehormatan tersebut terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan danatau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati
6
Undang Fadjar. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani Disertasi.2009, h. 33
mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat tradisional; dan
4. ukuran ilmu pengetahuan: ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Namun ukuran tersebut
terkadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran tetapi gelar kesarjanaannya.
2.1.3.2 Struktur Pelapisan Masyarakat