untuk menghidupi keluarganya tetapi bukan pemilik yang sebenarnya. Mereka yang bukan pemilik-penggarap berstatus lahan sebagai penyewa, gadai, dan bagi
hasil. Sedikit warga yang memiliki status lahan sebagai penyewa, gadai dan bagi hasil yang ditemukan di lokasi penelitian. Kebanyakan pola bagi hasil dilakukan
warga kampung terhadap lahan sawahnya dikarenakan warga tersebut sudah tidak sanggup untuk mengolah sawah karena fisiknya yang tidak kuat, ataupun mereka
adalah janda. Seperti yang dikatakan Ibu MMY 30 tahun warga RT 01 kampung Cijengkol yaitu:
“Saya teh gaduh sawah alit, pamasihan kolot warisan kitu neng, ku saya di maparo keun ka batur. Mun ku nyalira mah teu tiasa deui,
kan bapak teh tos lami teu damang”. Ibu Mmy 30 tahun mengatakan bahwa beliau memiliki sawah walaupun
sedikit. Sawah tersebut dikasih dari orang tuanya sebagai warisan. Namun, sawah tersebut di bagi hasil dengan orang karena jika digarap sendiri sudah tidak bias
karena suaminya sudah lama sakit. Memang tidak banyak yang melakukan bagi hasil seperti Ibu Mmy 30 tahun ini, karena warga lebih memilih untuk
menggarapnya sendiri dengan luas lahan relatif kecil yang mereka miliki dan masih bisa dijangkau oleh mereka untuk penggarapannya.
c. Pemilik-bukan penggarap
Bentuk penguasaan seperti ini terdapat juga di Kampung Cijengkol, namun tidaklah banyak seperti bentuk penguasaan pemilik-sekaligus penggarap. Hal ini
dikarenakan warga kampung menganggap bahwa lahan digarap sendiri dan hasilnya juga untuk sendiri dan tidak berkurang karena pembagian kecuali
hasilnya berkurang karena iklim sehingga hasilnya tidak maksimal. Beberapa warga kampung menilai bahwa lahan sangatlah penting untuk status sosial dan
untuk masa depan. Namun untuk pemilik lahan-bukan penggarap, mereka bukanlah menyewakan lahan mereka kepada orang lain melainkan lahan tersebut
dibiarkan saja tidak digarap lahan tidur. Lahan tersebut biasanya adalah kebun warga yang letaknya jauh dari rumah mereka. Dari 46 responden tidak semuanya
menggantungkan hidupnya dari usahatani, walaupun mereka menguasai sebagian lahan pertanian. Salah satunya yaitu Bapak Dusun 9 Kampung Cijengkol yaitu
Bapak JJT 37 tahun memiliki pekerjaan sebagai Guru Agama di salah satu sekolah swasta. Beliau tidak menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian.
Lahan yang dikuasainya pun tidak digarap. Pernyataan langsung dari beliau yaitu; “saya punya kebun, tapi gak punya sawah. Kebun pun tidak
digarap, dibiarkan begitu saja. Kebun itu saya beli bukan didapat dari warisan, dan itu saya anggap sebagai investasi saya saja”.
Pemilik-bukan penggarap bukan hanya seseorang yang memiliki, menguasai lahan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya kepada orang lain
melainkan lahan yang sengaja tidak digarap oleh pemiliknya sendiri. Hanya sebagian kecil warga Kampung Cijengkol yang membiarkan lahannya tidak
digarap olehnya ataupun orang lain.
5.3 Cara Warga Kampung Cijengkol Memperoleh Lahan Garapan
Lahan yang digarap oleh warga kampung tidaklah semata-mata Pemerintah Desa memberikan akses terhadap lahan. Setengah dari wilayah desa
pun di kuasai oleh PTPN VII1 Nasional, namun kontribusinya tidak sampai kepada pemberian lahan atau pembebasan lahan Hak Guna Usaha HGU seluas
sekian hektar kepada masyarakat Desa Cigudeg. Terdapat beberapa cara perolehan lahan garapan yang umum ditemukan yaitu buka sendiri, warisan, ganti rugi, bagi
hasil, gadai, dan jual beli. Warga desa khususnya di kampung Cijengkol memperoleh lahan garapan dengan cara buka sendiri, warisan, bagi hasil, gadai,
dan jual beli.
5.3.1 Buka sendiri
Dahulu warga Kampung Cijengkol memperoleh lahan garapan dengan pembukaan lahan. Pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon di kawasan hutan
sekitar Gunung Si Gelap. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dengan usahatani yang dilakukan oleh warga setempat dan pada saat itu jumlah
penduduk kampung masih sedikit. Sesuai dengan pernyataan dari mantan Kepala Dusun 9 Kampung Cijengkol yaitu Bapak MYS 50 tahun seperti di bawah ini:
“Mungkin dulunya tanah-tanah seperti sawah dan kebun yang sekarang warga miliki yang didapat dari orang tuanya dahulu hasil
dari ngebuka lahan hutan. Saya kurang tahu jelasnya tapi kemungkinan seperti
itu”. Kemungkinan asal-usul lahan baik sawah maupun kebun yang warga
miliki hasil dari nenek moyang mereka dengan cara membuka lahan hutan di sekitar Gunung Si Gelap. Warga pun tidak mengetahui dengan jelas bagaimana
sejarah lahan garapan yang sebenarnya.
5.3.2 Warisan
Mayoritas lahan garapan sawah maupun kebun yang diperoleh oleh warga Kampung Cijengkol berasal dari warisan orangtua yang diwariskan kegenerasi
berikutnya. Sistem bagi waris yang berlaku di Kampung Cijengkol tidak mengikuti aturan agama seperti yang telah dijelaskan dalam agama Islam.
Pembagian warisan disamaratakan baik laki-laki maupun perempuan. Ada juga beberapa warga yang diwarisi lahan dengan tidak ditujukan kepada salah satu
anaknya melainkan digarap secara bergantian oleh siapa saja anaknya yang mau menggarap. Jika tidak bergantian, maka salah satu anaknya yang mampu untuk
menggarap lahan tersebut dipersilahkan untuk menggarapnya. Namun, hasil dari lahan tersebut dibagikan kepada anak-anak lainnya saudaranya dengan
pembagian yang sedikit.
5.3.3 Bagi Hasil
Sistem bagi hasil tidak banyak digunakan oleh warga Kampung Cijengkol. Hasil panen yang minim menyebabkan warga enggan untuk melakukan bagi hasil. Ada
sebagian kecil warga yang melakukan bagi hasil antara keluarga saja dikarenakan ketidakmampuan pemilik lahan untuk menggarap lahannya akibat faktor usia yang
sudah tua atau keluarga tersebut tidak memilki akses terhadap lahan tidak mampu sehingga melakukan bagi hasil untuk membantu keluarga tersebut.
Kebanyakan warga melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan yang berasal dari kampung lain yang masih satu wilayah Desa Cigudeg. Pembagian dari bagi hasil
tersebut disebut maparo, dimana hasil panen dibagi dua antara pemilik dengan penggarap sama besar atau dengan perhitungan yang sudah dikurangi modal awal
seperti bibit atau pupuk.
5.3.4 Gadai
Sistem gadai ini merupakan sistem yang jarang digunakan oleh warga Kampung Cijengkol meskipun ada beberapa warga yang melakukan sistem ini. Sistem Gadai
ini biasanya dilakukan oleh warga yang membutuhkan uang untuk keperluaannya sehingga menggadaikan lahan sawah maupun kebun kepada orang lain. Status
lahan tersebut tetaplah dipegang oleh yang menggadaikan lahan, namun untuk penguasaannya seperti halnya memanfaatkan dan memperoleh keuntungan dari
lahan tersebut adalah orang yang menerima gadaian. Kemudian jika orang tersebut tidak bisa mengembalikan uang yang didapat dari hasil gadai maka tanah
tersebut tetap di garap oleh orang yang menerima gadai. Namun, jika orang yang menerima gadai ingin memiliki lahan tersebut sedangkan pemiliknya belum bisa
mengembalikan uang yang dipinjami, maka orang yang menerima gadai akan memberikan uang sebesar harga lahan tersebut sebagai syarat pembelian jual beli
tanah. Bedanya uang yang dibayarkan tidak utuh karena yang menggadaikan belum bisa mengembalikan uang gadai.
5.3.5 Jual Beli
Sistem jual beli lahan garapan banyak terjadi di Kampung Cijengkol terutama lahan yang statusnya warisan. Hal ini warga lakukan karena kebutuhan hidup
yang mendesak mereka untuk menjual warisan tersebut. Tidak jarang mereka melakukannya untuk membangun rumah atau memperbaiki rumah, atau membeli
barang-barang seperti motor, televisi, dan lain sebagainya. Meski warisan tersebut sebenarnya tidak boleh diperjualbelikan, namun ada saja warga yang menjual
warisan tersebut. Hasilnya mereka tidak memiliki lagi lahan untuk digarap sehingga terkadang mereka rela melakukan apa saja untuk dapat memenuhi
kebutuhan keluarganya seperti menjadi buruhserabutan. Selain kelima sistem tersebut, sebenarnya masih ada sistem lain yang
berkaitan dengan cara perolehan lahan garapan di Kampung Cijengkol. Sistem lainnya yaitu bawon yang artinya numpang tanam baik padi atau tanaman lain
pada lahan garapan milik orang lain. Hal ini dilakukan warga yang tidak dapat mengakses lahan walaupun hanya sebagian kecil warga yang melakukan sistem
tersebut juga sistem tukar dimana lahan yang dimiliki seseorang yang
jangkauannya jauh ditukar dengan lahan yang dekat dari rumahnya. Salah satu contoh yang ditemukan pada saat berada di lokasi penelitian adalah tukar sejenis
yaitu kebun. Kebun yang dimiliki oleh salah seorang responden merupakan hasil dari sistem tukar dengan warga lainnya dengan luas yang dipertukarkan sama.
5.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan yang terjadi sering menimbulkan ketimpangan akses terhadap lahan di masyarat desa. Ketimpangan distribusi lahan dan penguasaannya akan
berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari pertanian. Ketimpangan akses terhadap lahan tidak dipungkiri disebabkan oleh
faktor-faktor yang mendukung terjadinya ketimpangan tersebut dalam masyarakat desa khususnya petani. Laju penyusutan lahan pertanian di Indonesia pun sangat
cepat disebabkan adanya penyusutan kepemilikan lahan pertanian sebagai dampak sistem bagi waris dan alih fungsi lahan. Besarnya tekanan populasi penduduk
mengakibatkan besar pula ketidaksetaraan dalam hal akses terhadap lahan. Seperti halnya sistem bagi waris menjadikan lahan petani dari generasi satu ke
generasi berikutnya semakin sempit sehingga terjadinya marginalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit.
Zaman pra-kolonial, distribusi tanah di Pulau Jawa dengan penduduk yang padat terjadi tidak merata. Namun, dibandingkan dengan beberapa Negara lain,
ketidakmerataan distribusi tanah di Jawa masih dalam skala kecil Wiradi dan White 2009. Dahulu raja dan kaum elit mengklaim mengenai pajak dari
kepemilikan tanah sementara petani menganggap tanah sebagai milik mereka karena mereka yang membuka lahan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang
berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Munculnya pengakuan atau klaim Negara atas lahan tersebut menyebabkan terjadinya landreform yaitu
pengurangan hak dan kepemilikan tanah petani Kepemilikan lahan di Kampung Cijengkol cenderung makin kesini makin
ke arah penyempitan warga dalam mengakses lahan pertanian. Akses warga kampung terhadap lahan sangatlah kecil dikarenakan adanya sistem bagi waris.
Sistem ini sebenarnya akan lama mengalami penyempitan akses lahan jika satu keluarga memiliki anak satu atau dua. Namun berbeda dengan kenyataannya,
jumlah anggota setiap keluarga bisa banyak dan lahan yang dimiliki diwariskan kepada anak-anaknya yang jumlahnya banyak sehingga setiap anak yang
mendapatkan warisan memiliki lahan yang kecil dibagi rata. Kebanyakan dari warga kampung yang mendapatkan warisan lahan
sawah maupun kebun cenderung menjualnya dikarenakan ingin membangun rumah, memperbaiki rumah maupun dengan alasan kebutuhan ekonomi yang
mendesak. Akibatnya, mereka kehilangan akses terhadap lahan yang dimiliki. Tanah yang dimiliki warga didapat dari warisan nantinya pun akan mereka
bagikan kepada anak-anaknya sehingga akses tanah semakin menyempit karena tanah diturunkan secara turun-menurun terhadap generasi berikutnya. Jika tidak
ada hubungan keluarga inti maka mereka tidak dapat mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol kecuali mereka memiliki modal untuk membeli lahan
tersebut. Warga yang ada di Kampung Cijengkol merupakan penduduk asli, jadi tidak heran mereka yang memiliki akses terhadap lahan lebih besar daripada
warga pendatang walaupun lahan tersebut tidaklah luas. Jumlah penduduk di Kampung ini cukup padat, sehingga lahan-lahan yang
diusahakan pun menjadi makin sedikit. Lahan-lahan tersebut dijadikan rumah untuk bermukim warga. Faktor lain yang menyebabkan warga kampung sulit
mengakses lahan adalah tidak adanya modal untuk memiliki lahan dan juga untuk menggarapnya. Modal biasanya menjadi penghalang bagi pendatang dalam
mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol karena kebanyakan lahan yang ada merupakan lahan turun-menurun. Sedangkan untuk warga kampung asli
modal juga merupakan faktor penghambat dalam menggarap lahan, karena jika tidak ada modal mereka tidak bisa membeli bibit padi dan membeli pupuk.
5.5 Ikhtisar