4.3 Agraria Lokal Kampung Cijengkol
Proses penguasaan lahan yang terdapat di Kampung Cijengkol berawal dari pembukaan lahan hutan yang dijadikan lahan garapan oleh warga yang hidup pada
jaman Belanda dan dilakukan untuk kegiatan pertanian. Lahan garapan yang dibuka berada di sekitar Gunung Si Gelap yang mengitari kampung ini. Warga
yang membuka lahan akan menandakan agar tidak diakui oleh warga lainnya atau lahan tersebut di patok dengan menggunakan bambu atau kayu untuk batas-batas
kepemilikan lahan. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan yaitu kegiatan menyawah sawah dan berkebun.
Penandaan kepemilikan lahan yang sebelumnya hanya menggunakan tanda kini berkembang menjadi surat girik yang dikeluarkan oleh desa dan makin
berkembang dengan adanya pencatatan status tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pajak dan dilegitimasi oleh pihak desa dengan nama Surat Pemberitahuan Pajak
TerutangSPPT. Saat ini, SPPT dianggap oleh warga kampung sebagai bukti kepemilikan lahan yang sah karena dengan memiliki SPPT mereka juga
membayar kewajiban pajak atas lahan-lahan yang mereka miliki, baik lahan sawah maupun lahan kebun. Lahan-lahan yang dimiliki warga Kampung
Cijengkol berdasarkan hasil sensus awal penelitian pada tahun 2011 terlihat pada Tabel 6 sebagai berikut.
Tabel 6. Kepemilikan Lahan Sawah dan Kebun berdasarkan Hasil Sensus Tahun 2011
Kepemilikan lahan Jumlah
Memiliki sawah 19
14,62
Memiliki kebun 18
13,85
Memiliki sawah dan kebun 47
36,15
Tidak memiliki keduanya 46
35,38
Total 130
100,00
Berdasarkan Tabel 6 di atas menggambarkan bahwa dari satu RW yaitu RW 18 di Kampung Cijengkol, Warga yang memiliki sawah sebesar 19 orang
atau 14,62 dan warga yang memiliki kebun sebesar 18 orang atau 13,85 . Warga yang memiliki lahan sawah dan kebun sebesar 47 orang atau 36,15 dan
yang tidak memiliki keduanya sekitar 46 orang atau 35,38 . Kepemilikan lahan
sawah maupun kebun didapatkan warga dari hasil sesepuh mereka dengan cara membuka lahan. Lahan-lahan tersebut hampir semuanya hanya memiliki SPPT
dan tidak didukung dengan adanya sertifikat lahan. Menurut mereka, dengan adanya sertifikat maka kekuatan kepemilikan terhadap lahan-lahan yang mereka
miliki menjadi makin kuat secara hukum. Namun, mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan sertifikasi lahan membuat warga kampung
Cijengkol belum melakukan proses tersebut. Status kepemilikan lahan di Kampung Cijengkol sebagian mengalami
peralihan kepada orang lain yang tidak lain adalah terhadap generasi berikutnya keturunannya. Adapun peralihan kepemilikan terjadi kepada warga antar
kampung atau di luar desa. Hingga saat ini peralihan kepemilikan di Kampung Cijengkol hanya terjadi di dalam kampung, baik yang pendatang di kampung ini
maupun warga asli kampung. Proses peralihan status kepemilikan lahan dari warga Kampung Cijengkol ke warga lain di luar kampung ini pada umumnya
didasarkan pada hubungan kekeluargaan di tingkat mereka. Menurut Wardini 2010 status kepemilikan lahan jika ditinjau dari proses
mendapatkannya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu 1 kepemilikan lahan karena proses warisan keluarga, dan 2 Kepemilikan lahan karena proses jual-beli.
Kampung Cijengkol merupakan salah satu kampung yang status kepemilikan lahannya didapat dari waris dan jual-beli. Namun, penguasaan lahan yang
terdapat di kampung ini diperoleh dari beberapa cara memperoleh akses terhadap lahan yang dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini sebagai berikut.
Tabel 7. Status Lahan berdasarkan Hasil Sensus Awal Penelitian Tahun 2011
Status lahan Jumlah
Status lahan Jumlah
Sawah Kebun
Warisan 43
65,15 Warisan
51 78,46
Beli 12
18,18 Beli
13 20,00
Gadai 3
4,55 Gadai
1 1,54
Bagi hasil 6
9,09 Bagi hasil
Menyewa 2
3,03 Menyewa
Total 66
100,00 Total
65 100,00
Berdasarkan Tabel 7 menggambarkan bahwa perolehan akses lahan baik lahan sawah maupun lahan kebun dilihat dari status lahan pada Kampung
Cijengkol lebih didominasi oleh cara perolehan dari warisan
10
. Berbeda dengan Tabel 5 yaitu irisan mengenai kepemilikan lahan dari sawah dan kebun sedangkan
Tabel 6 menjelaskan masing-masing lahan sawah dan kebun dalam status lahan. Sebesar 65,15 atau 43 orang memiliki lahan sawah yang didapat dari warisan
dan 78,46 atau 51 orang yang memiliki lahan kebun yang didapat dari warisan. Hal ini karena sistem peralihan kepemilikan lahan yang terdapat di kampung ini
menggunakan sistem bagi waris sehingga akses warga terhadap lahan pun disebabkan adanya sistem tersebut. Cara perolehan lahan yang didapat dari cara
lain seperti beli, bagi hasil, gadai, dan menyewa hanya sedikit yang ditemukan di kampung ini.
Menurut Sanderson 2003 dalam Fadjar 2009, masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik
lahan maupun bukan pemilik lahan tunakisma. Sumberdaya agraria lahan digunakan secara berkesinambungan, oleh sebab itu gambaran struktur sosial
masyarakat agraris merujuk kepada peta hubungan sosial dikalangan anggota masyarakat agraris yang bertumpu pada posisi petani dalam penguasaan
sumberdaya agraria, baik melalui mekanisme penguasaan tetap pemilikan maupun penguasaan sementara seperti bagi hasil. Lalu, diferensiasi sosial
masyarakat agraris menunjukkan pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria yang tidak
sama. Penguasaan lahan perorangan yang terjadi di Kampung Cijengkol
mengalami ketidakmerataan akses di antara warga kampung dalam penguasaan sumberdaya agraria lahan. Ketidakmerataan akses lahan di kampung
menyebabkan warga kampung menjadi terdiferensiasi. Berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria penguasaan tetap dan penguasaan
sementara, hasil sensus terhadap seluruh rumahtangga petani di Kampung Cijengkol menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat agraris yang muncul
saat ini terdiferensiasi dalam banyak lapisan yang dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini sebagai berikut.
10
Sistem waris warisan yang terdapat di Kampung Cijengkol adalah sistem waris yang pembagian kepada hak waris yang samarata baik untuk hak waris laki-laki maupun hak waris
perempuan. Sistem waris ini tidak mengikuti sebagaimana yang diajarkan di Agam Islam.
Tabel 8. Diferensiasi Hubungan Sosial Sumberdaya Agraria berdasarkan Hasil Sensus Tahun 2011
Hubungan sosial dengan lahan
Jumlah Hubungan sosial
dengan lahan Jumlah
Sawah Kebun
Pemilik-penggarap 48
70,73 Pemilik-penggarap
55 84,61
Pemilik-bukan Penggarap
7 13,60
Pemilik-bukan Penggarap
8 12,31
Bukan pemilik Penggarap
11 15,67
Bukan pemilik Penggarap
2 3,08
Total 66
100,00 Total
65 100,00
Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa diferensiasi hubungan sosial sumberdaya agraria lahan sawah dan kebun yang terdapat di Kampung
Cijengkol yaitu pemilik-penggarap sebesar 70,73 dari lahan sawah dan 84,61 dari lahan kebun. Ketiga kategori hubungan sosial dengan lahan muncul di
Kampung Cijengkol dan yang mendominasi hubungan tersebut yaitu pemilik- penggarap karena mayoritas warga kampung memiliki akses lahan yang didapat
dari warisan sehingga mereka menggarap lahan yang mereka miliki sendiri.
4.4 Karakterstik Responden Kampung Cijengkol