Karakterstik Responden Kampung Cijengkol

Tabel 8. Diferensiasi Hubungan Sosial Sumberdaya Agraria berdasarkan Hasil Sensus Tahun 2011 Hubungan sosial dengan lahan Jumlah Hubungan sosial dengan lahan Jumlah Sawah Kebun Pemilik-penggarap 48 70,73 Pemilik-penggarap 55 84,61 Pemilik-bukan Penggarap 7 13,60 Pemilik-bukan Penggarap 8 12,31 Bukan pemilik Penggarap 11 15,67 Bukan pemilik Penggarap 2 3,08 Total 66 100,00 Total 65 100,00 Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa diferensiasi hubungan sosial sumberdaya agraria lahan sawah dan kebun yang terdapat di Kampung Cijengkol yaitu pemilik-penggarap sebesar 70,73 dari lahan sawah dan 84,61 dari lahan kebun. Ketiga kategori hubungan sosial dengan lahan muncul di Kampung Cijengkol dan yang mendominasi hubungan tersebut yaitu pemilik- penggarap karena mayoritas warga kampung memiliki akses lahan yang didapat dari warisan sehingga mereka menggarap lahan yang mereka miliki sendiri.

4.4 Karakterstik Responden Kampung Cijengkol

Pendidikan merupakan salah unsur penting dalam melihat kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat. Pendidikan yang terdapat di Kampung Cijengkol dengan ditunjang sarana pendidikan oleh Desa Cigudeg mengharuskan warganya dapat sekolah hingga ke jenjang yang lebih baik seperti SMA karena akses warga kampung untuk sekolah SMA tersedia di Desa Cigudeg yang berjarak 1 km dari kampung ke arah sekolah tersebut. Namun kenyataannya tidak seperti itu, kesadaran pentingnya sekolah tidak terdapat pada warga kampung ini. Kemauan anak yang ingin sekolah tidak didukung dengan biaya yang dimiliki oleh orangtua untuk sekolah sehingga terpaksa tidak bersekolah. Kebalikan dari itu, ada orangtua yang mampu untuk menyekolahkan anaknya, namun dari anaknya yang tidak mau sekolah sehingga orangtua mengikuti kemauan anak dan tidak mendorong anaknya untuk bersekolah. Dapat dilihat pada Tabel 9 sebagai berikut. Tabel 9. Pendidikan Responden di Kampung Cijengkol, Tahun 2011 Kategori Jumlah Responden Persentase KB 22 41,30 B 19 47,83 SB 5 10,87 Total 46 100,00 Keterangan:KB = kurang berpendidikan B = berpendidikan SB = sangat berpendidikan Berdasarkan Tabel 9 menggambarkan bahwa dari 46 responden sebanyak 22 responden atau 41,30 ada pada kategori kurang berpendidikan. Kurang berpendidikan yang dimaksud disini yaitu warga yang hanya bersekolah lulus SD ataupun tidak lulus SD tetapi pernah bersekolah SD. Kategori berpendidikan dan sangat berpendidikan sebanyak 19 responden dan 5 responden dari jumlah responden 46. Kategori berpendidikan dilihat dari tamatan SMP dan tamatan SMA, sedangkan kategori sangat berpendidikan dilihat dari Perguruan Tinggi baik DI, DII, DIII dan seterusnya. Mayoritas warga Kampung Cijengkol menguasai lahan pertanian sawah maupun kebun yang berada di kampung tersebut. Jumlah warga kampung RW 18 yaitu dari 130 KK, yang menguasai lahan pertanian sebanyak 84 KK. Namun untuk sebaran pekerjaan yang terdapat di kampung ini di dapat dari pekerjaan di luar sektor pertanian. Dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut. Tabel 10. Pekerjaan Responden di Kampung Cijengkol, Tahun 2011 Jenis Pekerjaan Jumlah Pedagangpetani 11 23,91 Petani 21 45,65 PNS 2 4,35 IRT 1 2,18 Buruh 6 13,04 Swasta 4 8,69 Wirausaha 1 2,18 Jumlah 46 100,00 Berdasarkan Tabel 10 menggambarkan bahwa responden yang menguasai lahan sebanyak 46 tidak bekerja sebagai petani saja melainkan mereka ada yang bekerja di luar sektor pertanian seperti wirausaha, swasta, buruh, pedagang, dan PNS. Dapat dilihat pula pada Tabel 11 mengenai tingkat ketergantungan terhadap lahan pertanian. Tabel 11. Sebaran Responden Tingkat Ketergantungan pada Lahan Pertanian Tahun 2011 Tingkat Ketergantungan pada Lahan Jumlah Tinggi 0-1 18 39,13 Rendah 2 28 60,87 Total 46 100,00 Tingkat ketergantungan pada lahan pertanian yang terdapat di Kampung Cijengkol dapat disimpulkan bahwa tingkat ketergantungannya rendah sebanyak 28 responden atau 60,87 yang menyatakan bahwa warga tidak tergantung pada lahan pertanian dan mereka memiliki sumber penghasilan selain dari lahan pertanian. Warga menganggap bahwa penghasilan yang didapat dari lahan pertanian tidak mencukupi kebutuhan yang makin hari makin besar. Maka dari itu, warga melakukan strategi nafkah ganda yaitu sumber penghasilan yang didapat dari lahan pertanian digunakan untuk konsumsi sedangkan pendapatan yang dihasilkan selain dari lahan digunakan untuk keperluan lain seperti biaya untuk anak dan lain-lain.

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN

DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

5.1 Penguasaan Lahan Pertanian

Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga lahan pertanian dapat dikatakan sebagai pemasukan yang penting untuk proses keberlanjutan produksi, juga eksistensi lahan terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan budayanya Darwis 2009. Namun, di Indonesia distribusi lahan pertanian tidaklah merata terutama di desa jawa karena penduduknya yang padat. Dua konsep tradisional mengenai hak atas tanah yang saling berkaitan yaitu raja atau kaum elit yang mengklaim mengenai pajak dan kepemilikan tanah sementara petani menganggap tanah sebagai milik mereka kerena mereka yang membuka lahan dan menjadikannya sesuatu yang berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Ketimpangan lahan menjadikan pemerintah memperhatikan keadaan yang merugikan petani sehingga usaha pemerintah Indonesia dalam membangun sosial- ekonomi difokuskan pada pembangunan pertanian. Hal ini terlihat dari adanya kebijakan yang merencanakan peningkatan produksi beras untuk mencapai swasembada. Namun kebijakan ini dianggap telah gagal karena hanya mencakup petani bersawah yang mendapat kredit dalam program tersebut, sedangkan syarat untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin terutama di desa adalah dengan mengikutsertakan petani gurem dan petani tak bertanah ke dalam reforma agraria. Redistribusi lahan dilaksanakan karena adanya kebijakan UUPA tahun 1960 yang berpihak kepada petani gurem dan petani tak bertanah. Namun, di awal tahun tersebut banyak pemilik tanah yang ketakutan akan peraturan landreform sehingga mereka menyerahkan tanah kepada penggarap dan meninggalkan praktik pertanian bagi hasil dan beralih ke penggunaan buruh upahan. Hal ini dilakukan karena dianggap lebih ekonomis dibandingkan dengan mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap tanah mereka.