Buka sendiri Warisan Bagi Hasil

Bapak JJT 37 tahun memiliki pekerjaan sebagai Guru Agama di salah satu sekolah swasta. Beliau tidak menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian. Lahan yang dikuasainya pun tidak digarap. Pernyataan langsung dari beliau yaitu; “saya punya kebun, tapi gak punya sawah. Kebun pun tidak digarap, dibiarkan begitu saja. Kebun itu saya beli bukan didapat dari warisan, dan itu saya anggap sebagai investasi saya saja”. Pemilik-bukan penggarap bukan hanya seseorang yang memiliki, menguasai lahan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya kepada orang lain melainkan lahan yang sengaja tidak digarap oleh pemiliknya sendiri. Hanya sebagian kecil warga Kampung Cijengkol yang membiarkan lahannya tidak digarap olehnya ataupun orang lain.

5.3 Cara Warga Kampung Cijengkol Memperoleh Lahan Garapan

Lahan yang digarap oleh warga kampung tidaklah semata-mata Pemerintah Desa memberikan akses terhadap lahan. Setengah dari wilayah desa pun di kuasai oleh PTPN VII1 Nasional, namun kontribusinya tidak sampai kepada pemberian lahan atau pembebasan lahan Hak Guna Usaha HGU seluas sekian hektar kepada masyarakat Desa Cigudeg. Terdapat beberapa cara perolehan lahan garapan yang umum ditemukan yaitu buka sendiri, warisan, ganti rugi, bagi hasil, gadai, dan jual beli. Warga desa khususnya di kampung Cijengkol memperoleh lahan garapan dengan cara buka sendiri, warisan, bagi hasil, gadai, dan jual beli.

5.3.1 Buka sendiri

Dahulu warga Kampung Cijengkol memperoleh lahan garapan dengan pembukaan lahan. Pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon di kawasan hutan sekitar Gunung Si Gelap. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dengan usahatani yang dilakukan oleh warga setempat dan pada saat itu jumlah penduduk kampung masih sedikit. Sesuai dengan pernyataan dari mantan Kepala Dusun 9 Kampung Cijengkol yaitu Bapak MYS 50 tahun seperti di bawah ini: “Mungkin dulunya tanah-tanah seperti sawah dan kebun yang sekarang warga miliki yang didapat dari orang tuanya dahulu hasil dari ngebuka lahan hutan. Saya kurang tahu jelasnya tapi kemungkinan seperti itu”. Kemungkinan asal-usul lahan baik sawah maupun kebun yang warga miliki hasil dari nenek moyang mereka dengan cara membuka lahan hutan di sekitar Gunung Si Gelap. Warga pun tidak mengetahui dengan jelas bagaimana sejarah lahan garapan yang sebenarnya.

5.3.2 Warisan

Mayoritas lahan garapan sawah maupun kebun yang diperoleh oleh warga Kampung Cijengkol berasal dari warisan orangtua yang diwariskan kegenerasi berikutnya. Sistem bagi waris yang berlaku di Kampung Cijengkol tidak mengikuti aturan agama seperti yang telah dijelaskan dalam agama Islam. Pembagian warisan disamaratakan baik laki-laki maupun perempuan. Ada juga beberapa warga yang diwarisi lahan dengan tidak ditujukan kepada salah satu anaknya melainkan digarap secara bergantian oleh siapa saja anaknya yang mau menggarap. Jika tidak bergantian, maka salah satu anaknya yang mampu untuk menggarap lahan tersebut dipersilahkan untuk menggarapnya. Namun, hasil dari lahan tersebut dibagikan kepada anak-anak lainnya saudaranya dengan pembagian yang sedikit.

5.3.3 Bagi Hasil

Sistem bagi hasil tidak banyak digunakan oleh warga Kampung Cijengkol. Hasil panen yang minim menyebabkan warga enggan untuk melakukan bagi hasil. Ada sebagian kecil warga yang melakukan bagi hasil antara keluarga saja dikarenakan ketidakmampuan pemilik lahan untuk menggarap lahannya akibat faktor usia yang sudah tua atau keluarga tersebut tidak memilki akses terhadap lahan tidak mampu sehingga melakukan bagi hasil untuk membantu keluarga tersebut. Kebanyakan warga melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan yang berasal dari kampung lain yang masih satu wilayah Desa Cigudeg. Pembagian dari bagi hasil tersebut disebut maparo, dimana hasil panen dibagi dua antara pemilik dengan penggarap sama besar atau dengan perhitungan yang sudah dikurangi modal awal seperti bibit atau pupuk.

5.3.4 Gadai