dari ngebuka lahan hutan. Saya kurang tahu jelasnya tapi kemungkinan seperti
itu”. Kemungkinan asal-usul lahan baik sawah maupun kebun yang warga
miliki hasil dari nenek moyang mereka dengan cara membuka lahan hutan di sekitar Gunung Si Gelap. Warga pun tidak mengetahui dengan jelas bagaimana
sejarah lahan garapan yang sebenarnya.
5.3.2 Warisan
Mayoritas lahan garapan sawah maupun kebun yang diperoleh oleh warga Kampung Cijengkol berasal dari warisan orangtua yang diwariskan kegenerasi
berikutnya. Sistem bagi waris yang berlaku di Kampung Cijengkol tidak mengikuti aturan agama seperti yang telah dijelaskan dalam agama Islam.
Pembagian warisan disamaratakan baik laki-laki maupun perempuan. Ada juga beberapa warga yang diwarisi lahan dengan tidak ditujukan kepada salah satu
anaknya melainkan digarap secara bergantian oleh siapa saja anaknya yang mau menggarap. Jika tidak bergantian, maka salah satu anaknya yang mampu untuk
menggarap lahan tersebut dipersilahkan untuk menggarapnya. Namun, hasil dari lahan tersebut dibagikan kepada anak-anak lainnya saudaranya dengan
pembagian yang sedikit.
5.3.3 Bagi Hasil
Sistem bagi hasil tidak banyak digunakan oleh warga Kampung Cijengkol. Hasil panen yang minim menyebabkan warga enggan untuk melakukan bagi hasil. Ada
sebagian kecil warga yang melakukan bagi hasil antara keluarga saja dikarenakan ketidakmampuan pemilik lahan untuk menggarap lahannya akibat faktor usia yang
sudah tua atau keluarga tersebut tidak memilki akses terhadap lahan tidak mampu sehingga melakukan bagi hasil untuk membantu keluarga tersebut.
Kebanyakan warga melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan yang berasal dari kampung lain yang masih satu wilayah Desa Cigudeg. Pembagian dari bagi hasil
tersebut disebut maparo, dimana hasil panen dibagi dua antara pemilik dengan penggarap sama besar atau dengan perhitungan yang sudah dikurangi modal awal
seperti bibit atau pupuk.
5.3.4 Gadai
Sistem gadai ini merupakan sistem yang jarang digunakan oleh warga Kampung Cijengkol meskipun ada beberapa warga yang melakukan sistem ini. Sistem Gadai
ini biasanya dilakukan oleh warga yang membutuhkan uang untuk keperluaannya sehingga menggadaikan lahan sawah maupun kebun kepada orang lain. Status
lahan tersebut tetaplah dipegang oleh yang menggadaikan lahan, namun untuk penguasaannya seperti halnya memanfaatkan dan memperoleh keuntungan dari
lahan tersebut adalah orang yang menerima gadaian. Kemudian jika orang tersebut tidak bisa mengembalikan uang yang didapat dari hasil gadai maka tanah
tersebut tetap di garap oleh orang yang menerima gadai. Namun, jika orang yang menerima gadai ingin memiliki lahan tersebut sedangkan pemiliknya belum bisa
mengembalikan uang yang dipinjami, maka orang yang menerima gadai akan memberikan uang sebesar harga lahan tersebut sebagai syarat pembelian jual beli
tanah. Bedanya uang yang dibayarkan tidak utuh karena yang menggadaikan belum bisa mengembalikan uang gadai.
5.3.5 Jual Beli
Sistem jual beli lahan garapan banyak terjadi di Kampung Cijengkol terutama lahan yang statusnya warisan. Hal ini warga lakukan karena kebutuhan hidup
yang mendesak mereka untuk menjual warisan tersebut. Tidak jarang mereka melakukannya untuk membangun rumah atau memperbaiki rumah, atau membeli
barang-barang seperti motor, televisi, dan lain sebagainya. Meski warisan tersebut sebenarnya tidak boleh diperjualbelikan, namun ada saja warga yang menjual
warisan tersebut. Hasilnya mereka tidak memiliki lagi lahan untuk digarap sehingga terkadang mereka rela melakukan apa saja untuk dapat memenuhi
kebutuhan keluarganya seperti menjadi buruhserabutan. Selain kelima sistem tersebut, sebenarnya masih ada sistem lain yang
berkaitan dengan cara perolehan lahan garapan di Kampung Cijengkol. Sistem lainnya yaitu bawon yang artinya numpang tanam baik padi atau tanaman lain
pada lahan garapan milik orang lain. Hal ini dilakukan warga yang tidak dapat mengakses lahan walaupun hanya sebagian kecil warga yang melakukan sistem
tersebut juga sistem tukar dimana lahan yang dimiliki seseorang yang