Kerugian Ekonomi pada Budidaya Perikanan Keramba Jaring

57 BOD merupakan bagian dari COD. Biological oxygen demand BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan organik dalam sejumlah volume air tertentu untuk terurai, sedangkan chemical oxygen demand COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan organik dalam sejumlah volume air tertentu untuk dioksidasi secara kimia menjadi CO 2 dan H 2 O oleh oksidan yang kuat, seperti permanganat dan dikromat. Air dengan populasi mikroba dan kadar BOD yang tinggi dapat terkuras kandungan oksigennya dan tidak mampu untuk mendukung kehidupan akuatik sehingga membutuhkan pengisian kembali oksigen terlarut. COD kadang-kadang digunakan sebagai pengukur polusi secara umum. COD menganalisis bahan organik teroksidasi baik teroksidasi secara kimia maupun biologi Weiner, 2000. Kondisi air di Waduk Cirata yang tergolong sedang bagi peruntukan perikanan berdasarkan pemantauan BPWC tahun 2011 BPWC, 2011, tetapi berubah menjadi buruk pada tahun 2013 Lampiran 2. Kadar DO sudah hampir mencapai ambang batas minimum berdasarkan Keputusan Gubernur No.39 Tahun 2000, yakni 3,08 mgliter dari batas 3 mgliter, sedangkan BOD dan COD sudah melebihi batas maksimum yang direkomendasikan pada akhir tahun 2010 Gambar 4. Hal tersebut menunjukkan bahwa memang terjadi pencemaran air di Waduk Cirata sehingga ikan yang dibudidayakan atau hidup liar di Waduk Cirata menjadi terganggu. Kasus yang paling sering menyebabkan penurunan produksi ikan budidaya adalah upwelling atau umbalan dan serangan penyakit ikan koi herpesvirus KHV. Keduanya menjadi ancaman bagi pembudidaya ikan KJA karena menyebabkan kematian massal pada ikan. Upwelling terjadi karena proses alami saat pergantian musim dari musim kemarau ke musim penghujan. Oleh karena itu, kejadiannya bisa diprediksi sehingga pembudidaya ikan KJA bisa menekan kerugian yang dialaminya. Upwelling biasanya bersifat lokal dan waktunya berbeda-beda, tidak terjadi pada keseluruhan bagian ekosistem waduk sekaligus. Hal ini dikarenakan berbedanya asal aliran air hujan penyebab arus balik massa air, kedalaman air saat itu, dan keberadaan angin Kepala UPTD Perikanan Cianjur, 2013. Apabila suatu daerah menerima aliran air permukaan dari hujan, kondisi air waduk surut, dan KJA berjarak cukup dekat dengan tumpukan material organik di dasar, maka 58 lokasi dimana KJA tersebut berada akan berpotensi mengalami upwelling. Selain itu, proses upwelling akan terjadi semakin cepat jika ada angin. Saat ini, penyebab kerugian yang lebih mengkhawatirkan bagi pembudidaya ikan KJA adalah serangan KHV yang frekuensinya semakin meningkat setiap tahun, bahkan bisa 3 hingga 5 kali dalam satu tahun. Kejadiannya tidak dapat diprediksi. Beberapa pembudidaya ikan hanya berusaha menekan kerugian dengan memberikan vitamin kepada ikan mas yang dibesarkan. Akan tetapi, hal tersebut juga belum menunjukkan hasil yang nyata karena belum ada petani yang benar-benar terhindar dari kerugian akibat serangan KHV. Tindakan lain untuk menekan kerugian akibat KHV adalah dengan mengurangi pemberian pakan pada ikan mas yang sudah terinfeksi agar kerugian dari sisi biaya pakan dapat ditekan. Kerugian ekonomi pada budidaya perikanan KJA dihitung menggunakan persamaan 1. Kerugian ekonomi diperoleh dari adanya penurunan produksi akibat pencemaran air. Selain ada penurunan produksi, juga terdapat penurunan frekuensi panen per tahun karena dalam kondisi air yang tercemar pertumbuhan ikan menjadi lebih lambat. Asumsinya, kerugian karena adanya penurunan frekuensi panen sudah termasuk dalam penurunan produksi. Detil penurunan produksi ikan mas dan nila pada tahun 2013 disajikan di Lampiran 3. Penghitungan kerugian dilakukan pada dua jenis ikan yang dominan dibudidayakan di Waduk Cirata, yaitu ikan mas dan nila. Jumlah rata-rata penurunan produksi ikan mas PP sebesar 528 kgpanenpetak dari tahun 2012 ke tahun 2013. Jumlah kolam ikan mas di Kabupaten Cianjur tahun 2013 sebanyak 21.500 petak. Akan tetapi, menurut Staf Ahli Tata Air dan Lingkungan BPWC 2013, jumlah KJA yang sudah tidak produktif di Waduk Cirata diperkirakan sekitar 30,00. Asumsinya, proporsi yang sama juga berlaku di Waduk Cirata wilayah Kabupaten Cianjur sehingga jumlah kolam ikan mas yang aktif L adalah 15.050 petak. Harga ikan mas tahun 2013 h sebesar Rp 16.000,00kg. Frekuensi panen ikan mas pada 2013 N t sebanyak 3 panentahun. Maka, kerugian ikan mas adalah sebagai berikut : 59 Kerugian ekonomi ikan mas TKK = PP x L x h x N t = 528kgpanenpetak x 15.050 petak x Rp16.000,00kg x 3 panentahun = Rp 381.427.200.000,00tahun …………………….……………….7 Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh estimasi kerugian ekonomi ikan mas sebesar Rp 381.427.200.000,00. Kerugian ini sangat besar karena ikan mas adalah ikan yang paling banyak dihasilkan di Waduk Cirata. Jika dibandingkan dengan jumlah kolam ikan mas aktif yang ada di Kabupaten Cianjur, maka diperoleh estimasi kerugian per petak sebesar Rp 25.344.000,00tahun. Komoditas kedua yang dominan dibudidayakan di Waduk Cirata adalah ikan nila. Pada jenis ikan nila, jumlah rata-rata penurunan produksi ikan nila PP dari tahun 2012 ke tahun 2013 sebesar 266,67 kgpanenpetak. Jumlah kolam ikan nila L di Kabupaten Cianjur tahun 2013 adalah setengah dari jumlah kolam ikan mas aktif, yaitu 7.525 petak. Harga ikan nila tahun 2013 h sebesar Rp 11.500,00kg. Frekuensi panen ikan nila pada tahun 2013 N t sebanyak 2 panentahun. Maka, kerugian ekonomi ikan nila adalah sebagai berikut : Kerugian ekonomi ikan nila TKK = PP x L x h x N t = 266,67kgpanenpetak x 7.525 petak x Rp 11.500,00kg x 2 panentahun = Rp 46.153.910.250,00tahun ……………………………………….8 Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh estimasi kerugian ekonomi ikan nila sebesar Rp 46.153.910.250,00. Kerugian pada ikan nila lebih sedikit dibandingkan dengan ikan mas karena terdapat perbedaan konstruksi petak tempat pembesarannya. Dengan konstruksi kolor, yaitu dua petak KJA ikan mas menjadi satu petak KJA untuk ikan nila, maka jumlah petak pembesaran ikan nila menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan ikan mas sehingga kerugiannya pun lebih kecil. Jika dibagi dengan jumlah kolor yang ada, maka estimasi kerugian ikan nila per kolor adalah Rp 6.133.410,00tahun. 60 Setelah memperoleh kerugian ekonomi dari masing-masing jenis ikan, maka untuk memperoleh kerugian ekonomi total pemanfaatan budidaya perikanan, kedua nilai tersebut dijumlahkan sebagai berikut : Total estimasi kerugian budidaya perikanan di Waduk Cirata tahun 2013 TKK = Kerugian ekonomi ikan mas + Kerugian ekonomi ikan nila = Rp 381.427.200.000,00tahun + Rp 46.153.910.250,00tahun = Rp 427.581.110.250,00tahun ……………………………..………9 Berdasarkan estimasi menggunakan pendekatan perubahan produktivitas, diperoleh kerugian ekonomi ikan mas sebesar Rp 381.427.200.000,00 dan kerugian ekonomi ikan nila sebesar Rp 46.153.910.250,00. Keduanya kemudian dijumlahkan sebagai estimasi kerugian budidaya perikanan KJA di Waduk Cirata tahun 2013 dan diperoleh nilai sebesar Rp 427.581.110.250,00. Salah satu penyebab kerugian ini adalah upwelling. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi upwelling. Berdasarkan tulisan dalam website resmi Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan 2011, yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak upwelling adalah sebagai berikut : a. Sistem peringatan dini Sistem ini dirancang oleh peneliti BPPT dan diuji coba melalui kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mencegah kematian ikan massal di waduk. Cara kerjanya adalah dengan memantau arus balik dari dasar danau dan eutrofikasi yang menjadi penyebab kematian ikan massal. Dengan adanya alat ini, memungkinkan pemilik KJA untuk mengantisipasi kerugian akibat upwelling dengan memanen ikan lebih awal; b. Keramba berlapis KJA lapis ganda Teknik ini sudah diterapkan di Waduk Cirata. Konstruksi seperti ini adalah upaya untuk mengurangi racun di dasar danau yang disebabkan oleh endapan sisa pakan dan feses ikan dan merupakan teknik budidaya KJA yang efisien dengan produktivitas yang tinggi Kartamihardja, 1997; c. Penggunaan KJA terhadap daya dukung perairan waduk i. Menurut Soemarwoto 1991, luas areal perairan waduk yang aman untuk dilakukan budidaya perikanan adalah seluas 1 dari luas total perairan yang ada; 61 ii. Menurut Rochdianto 2000, jarak ideal antar KJA adalah 10-30 m karena memungkinkan arus air leluasa membawa air yang segar ke dalam keramba-keramba. Schmittou 1991 menjelaskan bahwa tiap satu KJA memerlukan lahan perairan seluas 75 m 2 termasuk jarak antar unit KJA dan titian; iii. Mengatur musim tanam dan panen serta mengurangi padat tebar ikan agar ikan cukup oksigen untuk tumbuh; d. Pengendalian atau pengurangan jumlah KJA yang beroperasi. Namun, hal ini harus dilakukan secara bertahap dan bijaksana untuk meminimalkan dampak sosial ekonomi yang timbul pada penduduk sekitar waduk; e. Pemindahan KJA ke lokasi perairan yang lebih dalam ketika terjadi upwelling; f. Mengganti jenis ikan yang dibudidayakan dengan ikan yang mampu bertahan pada konsentrasi DO oksigen yang rendah, seperti ikan patin, lele, dan betutu untuk menghindari kematian ikan.

6.4 Kerugian Ekonomi Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap berkembang sebagai salah satu mata pencaharian bagi masyarakat di sekitar Waduk Cirata selain budidaya perikanan KJA, baik yang terelokasi maupun yang tidak. Akan tetapi, nelayan perikanan tangkap yang berusaha di Waduk Cirata masih belum terkoordinir dengan baik dan tidak ada regulasi khusus yang berlaku terhadap profesi ini, misalnya surat izin penangkapan ikan. Tidak seperti pembudidaya ikan KJA, nelayan perikanan tangkap tidak membutuhkan modal sebesar pembudidaya ikan KJA untuk menekuni profesinya. Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa responden nelayan perikanan tangkap juga merasakan adanya pencemaran air di Waduk Cirata dan dalam jangka panjang juga merasakan dampak dari pencemaran tersebut. Dampak dari pencemaran air di Waduk Cirata bagi responden nelayan perikanan tangkap di wilayah Kabupaten Cianjur adalah menurunnya jumlah tangkapan yang berakibat pada menurunnya keuntungan yang diperoleh. Penurunan keuntungan ini diperhitungkan sebagai kerugian ekonomi akibat pencemaran air di Waduk Cirata yang diderita oleh nelayan perikanan tangkap. 62 Kerugian ekonomi pada perikanan tangkap diestimasi menggunakan persamaan 2, 3, dan 4. Rincian penurunan produksi tangkapan ikan disampaikan pada Lampiran 4. Mula-mula menghitung rente perikanan pada tahun 2012. Jumlah rata-rata tangkapan ikan responden nelayan perikanan tangkap pada tahun 2012 P sebesar 12,27 kgtrip. Harga ikan pada tingkat pengumpul tahun 2012 H adalah Rp 9.000,00kg. Jumlah rata-rata trip yang dilakukan oleh responden nelayan perikanan tangkap pada tahun 2012 M sebanyak 301,6 triptahun. Jumlah pendapatan per trip mengalikan P dengan H rata-rata sebesar Rp 110.400,00. Rata-rata biaya C yang dikeluarkan untuk sekali trip sebesar Rp 20.210,65. Karena pendapatan dan biaya tersebut diperoleh dan dikeluarkan pada tahun 2012, maka harus di-discounting ke tahun 2013 karena terdapat perbedaan preferensi waktu. Discount rate yang digunakan adalah suku bunga nominal tahun 2013 yang dikonversi menjadi suku bunga riil agar mendekati nilai yang sesungguhnya. Suku bunga nominal tahun 2013 sebesar 12,4 dan tingkat inflasi tahun 2013 adalah 9,15. Setelah dikonversi, diperoleh nilai suku bunga riil sebesar 2,978 sebagai discount rate. Present value dari pendapatan P x H sebesar Rp 113.687,22 dan biaya pada tahun 2012 C sebesar Rp 20.812,43trip. Rente perikanan pada tahun 2012 R adalah sebagai berikut : Rente tahun 2012 R = P x H x M – C x M = Rp 113.687,22 x 301,6 triptahun – Rp 20.812,43trip x 301,6 triptahun = Rp 28.011.036,66tahun …….…………………….10 Rente perikanan pada tahun 2012 di Waduk Cirata yang diperoleh dari perhitungan di atas adalah Rp 28.011.036,66. Selanjutnya, menghitung rente perikanan pada tahun 2013. Jumlah rata-rata tangkapan ikan responden nelayan pada tahun 2013 P 1 sebesar 7,8 kgtrip. Rata-rata harga ikan pada tingkat pengumpul H 1 adalah Rp 10.000,00kg. Jumlah rata-rata trip yang dilakukan oleh responden nelayan pada tahun 2013 M 1 sebanyak 301,6 triptahun. Rata- rata biaya yang dikeluarkan untuk sekali trip C 1 sebesar Rp 27.771,46, maka rente perikanan pada tahun 2013 R 1 adalah sebagai berikut : 63 Rente tahun 2013 R 1 = P 1 x H 1 x M 1 – C 1 x M 1 = 7,8 kgtrip x Rp 10.000,00kg x 301,6 triptahun – Rp 27.771,46 x 301,6 triptahun = Rp 15.148.927,66tahun ………………………….11 Rente perikanan pada tahun 2013 di Waduk Cirata dari perhitungan di atas didapatkan sebesar Rp 15.148.927,66. Kemudian, dilakukan estimasi total kerugian dengan mencari selisih rente dan diakhiri dengan mengalikan dengan jumlah nelayan perikanan tangkap yang ada di Waduk Cirata wilayah Kabupaten Cianjur, yaitu sejumlah 169 orang N. Perhitungannya adalah sebagai berikut : Kerugian perikanan tangkap TKN = PR x N = R 1 – R x N = Rp 15.148.927,66 – Rp 28.011.036,66 x 169 orang = Rp 12.862.109,00 x 169 orang = Rp 2.176.696.421,00 ………..…………………………..12 Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh bahwa estimasi kerugian perikanan tangkap di Waduk Cirata wilayah Kabupaten Cianjur pada tahun 2013 adalah Rp 2.176.696.421,00. Tanda kurung menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh negatif atau mengalami kerugian. Dibandingkan dengan kerugian budidaya perikanan KJA, kerugian perikanan tangkap relatif jauh lebih kecil. Hal ini karena rente dari usaha perikanan tangkap sendiri relatif tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan budidaya perikanan KJA dan jumlah nelayan perikanan tangkap yang lebih sedikit. Akan tetapi, jumlah nelayan perikanan tangkap yang dihitung adalah jumlah nelayan yang telah terdaftar dalam Kelompok Usaha Bersama KUB yang merupakan kelompok-kelompok kecil terdiri atas 10 sampai 20 orang sesuai wilayah daerah tangkapan. Asumsinya, nelayan perikanan tangkap yang telah terdaftar adalah nelayan perikanan tangkap yang aktif. Pada penjelasan sebelumnya telah dinyatakan bahwa mayoritas responden nelayan perikanan tangkap berpendapat jumlah KJA yang ada di Waduk Cirata sudah berlebihan dan menyebabkan pencemaran air. Pencemaran air tersebut berdampak pada nelayan perikanan tangkap berupa adanya penurunan rente yang didapatkan. Hal tersebut menunjukkan, meskipun nelayan perikanan tangkap tidak 64 berkontribusi besar terhadap pencemaran air di Waduk Cirata, tetapi nelayan juga ikut merasakan dampak dari pencemaran tersebut. Dampak jangka pendek adalah tangkapan cenderung ikut menurun ketika terjadi upwelling, sedangkan dalam jangka panjang, kondisi perairan waduk yang semakin memburuk cenderung terus menurunkan hasil tangkapan dari waktu ke waktu. Jika tidak ada tindakan penanganan, maka kondisi lingkungan perairan waduk akan semakin memburuk dan mengancam keberlangsungan baik usaha budidaya perikanan KJA maupun perikanan tangkap yang ada.

6.4 Kerugian Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA Cirata

PLTA Cirata merupakan pemasok listrik utama bagi wilayah Jawa dan Bali. Keberadaan PLTA ini sangat penting bagi suplai energi di Indonesia. PLTA Cirata memiliki beberapa bangunan utama, yaitu bendungan, bangunan pengambil air, pusat pengendali, saluran tekan, tangki pendatar pipa, pipa pesat, dan gedung pusat pembangkit. Jumlah pembangkit yang ada di PLTA Cirata ada 8 buah dengan daya terpasang 1.008 MW. Dalam setahun, PLTA Cirata dapat menghasilkan energi sebesar 1.426 GWH dengan hanya beroperasi 5 jamhari BPWC, 2013. Pemanfaat Waduk Cirata selain pembudidaya ikan KJA dan nelayan perikanan tangkap adalah PT. PJB UP Cirata sebagai pengelola PLTA. PLTA merupakan pemanfaatan utama dari Waduk Cirata sehingga pemanfaatan untuk PLTA merupakan prioritas utama. Pencemaran air di Waduk Cirata juga menyebabkan kerugian bagi pengelola. Kerugian tersebut disebabkan meningkatnya intensitas perawatan PLTA. Banyaknya sampah yang mengapung di permukaan air waduk kadang terbawa hingga ke bendungan dan mengganggu kinerja turbin. Cemaran logam berat di Waduk Cirata menyebabkan tingkat korosi pada komponen-komponen PLTA yang terbuat dari logam semakin tinggi, sehingga meningkatkan intensitas perawatan PLTA. Peningkatan intensitas perawatan PLTA menyebabkan peningkatan pada biaya pengelolaan dan operasional bagi PLTA yang dikeluarkan oleh PT. PJB UP Cirata. Biaya operasional meliputi: pemeliharaan saluran, pemeliharaan saluran air, pemeliharaan instalasi, pemeliharaan unit umum, dan pemeliharaan unit bisnis.