32 Waduk Cirata adalah salah satu sentra perikanan Jawa Barat. Hasil
budidaya perikanan air tawar dari Waduk Cirata menyuplai sekitar 30 kebutuhan ikan air tawar Jawa Barat. Oleh karena itu, meskipun kegiatan
budidaya perikanan memicu banyak masalah lingkungan yang berdampak pada KJA itu sendiri, budidaya perikanan KJA merupakan hal yang penting bagi
wilayah Jawa Barat. Hasil dari budidaya perikanan KJA ini biasanya dijual ke pengumpul atau bandar yang sudah menjadi pelanggan tetap atau dipasarkan
secara mandiri oleh pembudidaya ikan ke pasar atau langsung kepada konsumen. Usaha perikanan tangkap juga berkembang di Waduk Cirata disamping
adanya usaha budidaya perikanan. Umumnya, para nelayan perikanan tangkap adalah masyarakat yang tidak memiliki cukup modal untuk membuat usaha
budidaya perikanan KJA. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem Waduk Cirata, dilakukan restocking ikan: bandeng, mola, graskap, dan nilem jenis ikan
herbivora, pemakan plankton, dan mampu hidup di kedalaman. Tujuannya adalah untuk menurunkan tingkat kesuburan perairan sehingga dapat memperbaiki
kualitas lingkungan perairan waduk. Perairan yang terlalu subur tidak terlalu baik bagi kehidupan akuatik di perairan BPWC, 2013.
Pemanfaat utama dari Waduk Cirata adalah PT. PJB UP Cirata sebagai pengelola PLTA Cirata. Sebagaimana tujuan utama dari pembangungan Waduk
Cirata, maka prioritas dari PT. PJB UP Cirata dan BPWC adalah mempertahankan umur layanan waduk selama mungkin untuk kepentingan PLTA. Usaha-usaha
yang dilakukan oleh kedua pihak tersebut adalah menekan sedimentasi yang terjadi di Waduk Cirata seminimal mungkin sebab proses sedimentasi sangat
krusial bagi keberlangsungan PLTA Cirata. Selain itu, korosi juga menjadi masalah bagi operasi PLTA. Adanya cemaran logam berat membuat air waduk
semakin korosif terhadap peralatan-peralatan metal PLTA. Akibatnya, intensitas perawatan menjadi meningkat sehingga biaya operasional pun menjadi semakin
tinggi.
5.4 Kondisi Air di Waduk Cirata
Pemantauan kondisi air di Waduk Cirata dilakukan oleh BPWC setiap tiga bulan sekali secara berkala. Tingginya kandungan unsur hara nitrogen dan materi
33 organik BOD di semua stratifikasi kedalaman Waduk Cirata menyebabkan
Waduk Cirata mengalami keadaan eutrofik, yaitu keadaan perairan yang mengalami kesuburan berlebih. Materi organik tersebut sebagian besar berasal
dari sisa pakan dan kotoran ikan yang masuk ke perairan Waduk Cirata. Pakan yang diberikan sebanyak 60,00 akan dikonsumsi oleh ikan mas, 35,00
dikonsumsi oleh ikan nila, dan sisa 5,00 pakan akan terbuang ke perairan waduk. Probabilitas perlakuan sisa pakan ikan tersebut di perairan: dimakan oleh ikan di
luar KJA, terlarut, terdekomposisi, dan tersedimentasi. Jika terlarut, terdekomposisi, dan tersedimentasi, maka hal tersebut meningkatkan kesuburan
perairan waduk eutrofikasi. Eutrofikasi dapat menyebabkan blooming algae, plankton, virus, dan bakteri; penurunan oksigen terlarut; dan penurunan kualitas
air BPWC, 2011. Sisa pakan yang tidak dimakan ikan dalam KJA dan feses ikan
menyebabkan sedimentasi di dasar waduk sehingga mengancam masa layanan waduk menjadi lebih pendek dari rancangan awal pembangunan. Berdasarkan
pemantauan BPWC pada tahun 2007, diperoleh bahwa usia layanan waduk diperkirakan telah hilang sebanyak 20 tahun. Pada tahun tersebut pula,
diperkirakan volume sedimen yang ada di dasar Waduk Cirata mencapai 143 juta m
3
dengan rata-rata laju sedimentasi selama 20 tahun terakhir adalah 3,96 mmtahun desain 1,2 mmtahun Gambar 3.
Sumber : BPWC 2011
Gambar 3 Pengukuran Sedimentasi Waduk Cirata Tahun 1987-2007
34 Pencemaran air di Waduk Cirata menyebabkan kerugian bagi para
pemanfaatnya. Pembudidaya ikan KJA mengalami kerugian dengan adanya kematian ikan massal akibat upwelling dan serangan koi herpesvirus KHV yang
spesifik menyerang ikan mas. Pada umumnya, perairan yang dalam dengan arus yang cenderung tenang memiliki stratifikasi suhu mulai dari lapisan suhu yang
rendah hingga lapisan suhu yang tinggi. Jika terjadi penurunan suhu yang mendadak di permukaan air, maka akan terjadi penurunan suhu pula sampai ke
kedalaman tertentu. Kondisi seperti itu memicu terjadinya pembalikan massa air, yaitu massa air bagian atas bergerak ke bawah dan massa air bagian bawah
bergerak ke atas. Pada kasus Waduk Cirata, segala materi nutrien hasil dekomposisi dari sisa pakan dan kotoran ikan yang berada di dasar waduk, seperti
NH
3
dan H
2
S, teraduk dan terbawa arus massa air ke atas sehingga ikan di dalam KJA menjadi teracuni. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak ikan yang mati
secara bersamaan setelah terjadi proses yang dikenal dengan sebutan arus balik atau umbalan tersebut. Keberadaan angin dapat mempercepat terjadinya arus balik.
Upwelling mulai terjadi pada tahun 2002 hingga sekarang dan biasanya terjadi di awal musim penghujan Bulan November hingga Februari.
Kasus KHV mulai dikenal di Indonesia tahun 2002 pada saat kontes ikan hias di Blitar yang kemudian mulai menyebar ke berbagai daerah lain di Indonesia.
Virus ini menyerang ikan mas dan ikan koi serta sangat mematikan karena menimbulkan potensi kematian hingga 80-95 Sunarto et al., 2005 dalam
Soraya, 2013. KHV sangat menular dan dapat menginfeksi semua stadia dengan masa inkubasi selama 1-7 hari. Infeksi KHV ditimbulkan oleh terjadinya
penurunan suhu lingkungan perairan antara 18-24
ᵒ
C. Penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran air menyebabkan daya tahan ikan menjadi
menurun sehingga membuat ikan lebih mudah terserang penyakit. Ikan yang terserang virus ini akan mengalami gangguan saraf yang ditandai dengan gerakan
ikan yang tidak terkoordinasi dan berenang tidak beraturan. Virus ini merusak insang dan ginjal ikan yang menyebabkan inflamasi pada renal tubuh ginjal dan
hiperplasia pada epitel insang Hutoran et al., 2005 dalam Soraya, 2013. Bangunan KJA yang sudah tidak terpakai juga menjadi sumber
pencemaran di Waduk Cirata. Berdasarkan sensus tahun 2011, jumlah KJA yang
35 sudah tidak aktif mencapai 4.374 petak yang tersebar di ketiga zona. Di
Kabupaten Cianjur sendiri terdapat sekitar 2.517 petak KJA yang tidak aktif 11,90 dan jumlah tersebut adalah yang paling besar dibandingkan dua zona
lainnya. KJA yang sudah tidak terpakai dihimbau untuk ditarik ke darat secara mandiri oleh pembudidaya ikan KJA adalah tanggung jawab masing-masing
pemilik atau ditarik oleh petugas atas kesediaan pemilik BPWC, 2011. Akan tetapi, karena biaya penarikan KJA ke daratan cukup mahal yaitu Rp 3.000.000,00
sampai Rp 5.000.000,00petak, maka pembudidaya ikan yang sudah tidak beroperasi lagi cenderung hanya meninggalkan KJA miliknya di waduk sehingga
KJA tidak aktif tersebut menjadi sampah di Waduk Cirata Staf Ahli Tata Air dan Lingkungan BPWC, 2013.
Kondisi pencemaran air dan sedimentasi di Waduk Cirata diperparah dengan rusaknya daerah DAS Citarum. Banyaknya penebangan pohon di DAS
dan daerah sekeliling waduk serta alih fungsi lahan membuat tingkat erosi pada musim penghujan cenderung tinggi sehingga meningkatkan endapan sedimen di
waduk. Selain itu, pencemaran dari limbah rumahtangga dan pabrik di sepanjang Sungai Citarum yang menghasilkan limbah logam berat ikut berperan dalam
penurunan kualitas air di Waduk Cirata. Cemaran logam berat selain memicu peningkatan jumlah kematian ikan, hal ini juga mengakibatkan peningkatan laju
korosi pada peralatan PLTA sehingga meningkatkan biaya operasional dan pengelolaan PLTA.
Meskipun Waduk Cirata masih berstatus baik sekali untuk operasi PLTA, tetapi banyaknya masalah yang timbul akibat penurunan kualitas air menunjukkan
bahwa perlu dilakukan usaha-usaha perbaikan kualitas lingkungan. Usaha-usaha yang telah dilakukan antara lain: penghijauan di daerah hulu, restocking ikan,
pembersihan sampah styrofoam, sosialisasi kepada masyarakat, dan pemanfaatan limbah styrofoam dan drum. Untuk mengatasi korosi pada turbin dan alat-alat
PLTA berbahan metal lainnya, dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan metal antikorosi, melakukan aerasi pada daerah intake untuk menciptakan kondisi
aerob sehingga agen pemicu korosi H
2
S dapat diturunkan, dan memberikan perlakuan dengan antibiotik secara berkala untuk mencegah tumbuhnya perifiton
yang dapat mempercepat korosi pada logam BPWC, 2011.