19
c. Uji Organoleptik Adawiyah dan Waysima, 2008
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating hedonik pada atribut warna, rasa, tekstur, dan kelengketan di mulut. Skala yang digunakan berkisar antara 1 hingga 5
1 = sangat tidak suka, hingga 5 = sangat suka. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan
ANOVA dengan α=0.05 dan uji lanjut DUNCAN.
d. Uji Aktivitas Antioksidan Kubo et al., 2002
Sampel sejumlah 5 g dihancurkan dengan waring blender. Lalu sampel tersebut dilarutkan dalam methanol PA dengan perbandingan 1:4. Kemudian campuran
dimaserasi selama 2 jam pada suhu 37
o
C. Selanjutnya campuran disaring dengan bantuan kertas saring untuk mendapatkan larutan sampel. Metanol PA sebanyak 2.8 ml;
buffer asetat pH = 5.5 1.5 ml; dan larutan DPPH 250 µl dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu dikocok kuat vortex. Larutan sampel sebanyak 45 µl ditambahkan ke
dalam tabung reaksi lalu dikocok kuat vortex. Selanjutnya tabung reaksi tersebut diinkubasi di ruang gelap selama 20 menit. Setelah inkubasi selesai, absorbansi larutan
sampel diukur pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas antioksidan diperoleh dari hasil pengukuran absorbansi sampel dibandingkan dengan kurva standar aktivitas
antioksidan vitamin C asam askorbat yang dibuat.
4. Pemilihan Produk Terbaik dan Analisis Kimia
a. Pemilihan Produk Terbaik
Produk terbaik dipilih berdasarkan hasil uji organoleptik dan aktivitas antioksidan. Ekstrudat yang terbaik memiliki kombinasi antara tingkat kesukaan panelis
dan kadar antioksidan yang paling tinggi.
b. Analisis Kimia Produk Terbaik
Produk terbaik dianalisis sifat kimianya. Sifat kimia yang dianalisis yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, karbohidrat, serat pangan, dan juga mineral Ca,
Fe, dan Zn.
1 Kadar Air Metode Oven AOAC, 1995
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta sampel
dikeringkan di dalam oven bersuhu 100 ⁰C, didinginkan dalam desikator, dan
ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus:
Kadar air berat basah = x 100
Keterangan: a = berat cawan dan sampel akhir g b = berat cawan g
c = berat sampel awal g
20
2 Kadar Abu AOAC, 1995
Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak 3 g sampai
5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipanaskan di atas hot plate sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan
pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 ⁰C-600⁰C selama 4 -6 jam atau
sampai terbentuk abu berwarna putih, dinginkan dan selanjutnya ditimbang. Kadar abu berat basah:
x 100 Keterangan:
a = berat cawan dan sampel akhir g b = berat cawan g
c = berat sampel awal g
3 Kadar Lemak Metode Soxhlet AOAC, 1995
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan ke dalam oven bersuhu 100°C-110ºC selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, dan
ditimbang. Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 g, bungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet yang telah
berisi pelarut heksana. Refluks dilakukan selama 6 jam dan pelarut yang ada di dalam labu lemak
didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven bersuhu 100ºC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator,
dan ditimbang. Kadar lemak berat basah =
x 100 Keterangan:
a = berat labu dan sampel akhir g b = berat labu kosong g
c = berat sampel awal g
4 Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal AOAC, 1995
Sejumlah kecil sampel sekitar 0.1 g ditimbang dan diletakkan ke dalam labu Kjeldhal. kemudian ditambahkan 1 g K
2
SO
4
, 40 mg HgO, dan 2 ml H
2
SO
4
. Jika bobot sampel lebih dari 15 mg, ditambahkan 0.1 ml H
2
SO
4
untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg sampel didihkan sampai cairan menjadi jernih.
Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 8 ml larutan NaOH-Na
2
S
2
O
3
. Gas NH
3
yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H
3
BO
3
dalam Erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator campuran 2 bagian merah metil 0.2 dalam
alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2 dalam alkohol. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H
3
BO
3
. Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan
warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung
dengan menggunakan rumus:
21
Kadar N= Kadar Protein berat basah = N x faktor konversi 6,25
5 Kadar Karbohidrat by difference
Kadar karbohidrat ekstrudat diukur secara by difference. Metode ini didasarkan pada kadar karbohidrat sebagai kandungan bahan pangan selain
protein, lemak, abu dan air. Kadar karbohidrat berat basah = 100 - P+KA+A+L
Keterangan: P
= kadar protein KA
= kadar air A
= kadar abu L = kadar lemak
6 Kadar Serat Pangan Muchtadi et al., 1992
Sebanyak 1 g sampel yang telah bebas lemak dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian, ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6.0 dan
disuspensikan. Termamyl sebanyak 100 µl ditambahkan. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada penangas air mendidih selama 15 menit dan sekali-kali diaduk.
Setelah itu, diangkat dan didinginkan. Sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan dan pH-nya diatur dengan HCl sampai pH 1.5. Kemudian, sebanyak 100 mg
pepsin ditambahkan. Erlenmeyer diinkubasikan kembali pada suhu 40°C dan diagitasi selama 60 menit. Setelah itu, sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan
kembali dan pH-nya diatur menjadi pH 6.8 dengan NaOH. Sebanyak 100 mg pankreatin lalu ditambahkan. Kemudian erlenmeyer diinkubasi pada suhu 40ºC
dan diagitasi selama 60 menit. Setelah itu, pHnya diatur kembali menjadi 4.5 dengan penambahan HCl. Saring melalui kertas saring kering berat tepat
diketahui. Lalu, cuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Setelah kertas saring dicuci dengan air destilata, dilanjutkan dicuci dengan
2 x 10 ml etanol 95 dan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring dikeringkan pada suhu 105ºC sampai berat tetap sekitar 12 jam. Kemudian, ditimbang setelah
didinginkan dalam desikator D1. Kertas saring lalu diabukan dalam tanur 150ºC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam
desikator I1. Filtrat yang diperoleh pada penyaringan pertama dan setelah dicuci air
destilata, diatur volumenya hingga 100 ml. Kemudian etanol 95 hangat 60ºC sebanyak 400 ml ditambahkan. Setelah itu, disaring dengan menggunakan kertas
saring kering yang telah diketahui beratnya. Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78, 2 x 10 ml etanol 95, dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian, ditimbang setelah
didinginkan dalam desikator D2. Kertas saring lalu diabukan dalam tanur 150ºC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam
desikator I2.
22
Blanko untuk serat pangan tidak larut dan larut diperoleh dengan cara yang sama, tetapi tanpa sampel B1 dan B2.
IDF = D1-I1-B1 x 100 W
SDF = D2-I2-B2 x 100 W
Total dietary fiber = IDF + SDF
7 Kadar Mineral Ca, Fe, dan Zn Faridah et al., 2009
Analisis komposisi mineral dilakukan dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer. Sampel sebanyak 1-2 g untuk blanko tidak
ditambahkan sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin ukuran 50 ml yang telah dikeringkan 100°C, 15 menit dan telah didinginkan. Selanjutnya sampel
dibakar atau dioven 250°C sampai asapnya habis 2 jam dan diletakkan dalam tanur pengabuan 550°C selama 6 jam. Apabila sampel tetap berwarna hitam
ditambahkan 1 ml air destilata bebas ion dan 1 ml HNO
3
pekat. Kemudian diuapkan sampai kering 110-150°C dan diabukan lagi pada 350°C selama 30
menit. Setelah semua sampel telah menjadi abu berwarna putih, ditambahkan 5
– 6 ml HCl pekat dan dipanaskan di hot plate dengan suhu rendah sampai kering.
Kemudian ditambahkan 15 ml HCl encer HCL: air = 1:1 dan dipanaskan kembali sampai mulai mendidih, dan didinginkan. Larutan abu dituangkan ke dalam labu
takar melalui kertas saring. Cawan dibilas dengan HCl encer 10 ml dan dipanaskan sampai mulai mendidih. Setelah didinginkan larutan dituang kembali melalui
kertas saring ke dalam labu takar. Selanjutnya cawan dibilas dengan air destilata bebas ion minimal 3 kali, dan air bekas pembilasan juga dituang melalui kertas
saring ke dalam labu takar. Labu takar ditepatkan dengan air destilata, lalu dianalisis dengan Atomic Absorption Spectrophotometer.
Kadar mineral mgl = Keterangan: a = konsentrasi sampel dari kurva standar mgL
FP = faktor pengenceran W = berat sampel g
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN
ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK
Pengukuran kadar air menir jewawut dimaksudkan untuk melihat apakah kadar air dari menir jewawut termasuk dalam kisaran kadar air yang baik untuk produk ekstrusi atau tidak.
Kadar air yang baik untuk produk ekstrusi adalah 11-14 Trisnamurti,1980. Dari hasil pengukuran diperoleh kadar air menir jewawut sosoh, yaitu 13.05 dan kadar air menir jewawut
tidak sosoh yaitu sebesar 12.96. Sehingga diketahui bahwa kadar air menir jewawut masih dalam jumlah yang sesuai dengan persyaratan kadar air yang baik.
Parameter produk ekstrusi yang ditentukan pada penelitian kali ini, yaitu kadar air dan penyosohan bahan serta suhu dan kecepatan ulir ekstruder. Kadar air yang digunakan, yaitu 13,
15 , dan 16 . Kadar air ini digunakan untuk melihat apakah proses ekstrusi akan berjalan lebih lancar dengan adanya penambahan air dan untuk mencegah kemungkinan ekstruder macet
pada kondisi kadar air bahan secara alami ±13. Menurut Huber 2001, air dapat membantu bahan melalui ekstruder dengan lebih cepat karena air dapat mengurangi gesekan di dalam
ekstruder. Biji jewawut yang digunakan dibedakan menjadi dua perlakuan sebelum ditepungkan,
yaitu yang mengalami penyosohan dan yang tidak mengalami penyosohan. Penyosohan yang dilakukan adalah penyosohan selama 100 detik. Waktu 100 detik digunakan karena menurut
Yanuwar 2009, waktu tersebut merupakan waktu yang paling optimum untuk menghasilkan produk dengan rasa yang diterima konsumen dengan baik dan juga masih mengandung senyawa
bioaktif, termasuk antioksidan. Menurut Harper 1981, kondisi paling optimum untuk bahan pati-patian, yaitu pada suhu
170ºC. Namun kondisi dan tipe ekstruder yang beragam seperti jumlah ulir, dan bentuk ulir yang beragam menyebabkan suhu tersebut tidak digunakan pada penelitian ini. Suhu proses yang diuji
yaitu 130ºC, 140ºC dan 150ºC. Suhu ini diambil berdasarkan penelitian Apriani 2009 yang menggunakan suhu tertentu untuk menghasilkan produk komersial dari jagung dengan
menggunakan ekstruder ulir ganda. Menurutnya suhu optimum tersebut adalah 119ºC-129ºC. Untuk melihat pengaruh suhu terhadap karakteristik produk ekstrusi yang dihasilkan dilakukan
penambahan variasi suhu diatas suhu optimum tersebut. Hasil proses ekstrusi pada suhu 130ºC dengan menggunakan variasi kadar air, kecepatan
ulir, dan pengaruh penyosohan dapat dilihat pada Tabel 4. Pada suhu 130°C, ekstruder tidak dapat menghasilkan produk yang baik pada semua perlakuan yang diujikan. Hal ini dapat
disebabkan oleh suhu yang masih terlalu rendah sehingga energi panas yang diperlukan untuk perubahan fisik dan kimia bahan belum tercapai. Pada kondisi ekstrusi yang memiliki
kelembaban yang rendah, gelatinisasi hanya terjadi sebagian. Selebihnya proses yang terjadi adalah peleburan pati Muchtadi, et al.,1988. Jika proses perubahan tersebut tidak dapat terjadi
maka bahan akan sulit keluar dari ekstruder, sehingga die tersumbat dan selanjutnya mengakibatkan ekstruder macet. Kadar air yang lebih tinggi 15 dan 16 dan kecepatan ulir
yang lebih tinggi 25 Hz menyebabkan bahan dapat keluar dari ekstruder, namun ekstrudat yang dihasilkan tidak mengembang dan basah. Ekstruder menjadi macet setelah mengeluarkan sedikit
produk pada kondisi tersebut. Hal ini juga disebabkan adanya penyumbatan oleh bahan yang belum berada di kondisi optimum untuk proses ekstrusi. Hal ini mengakibatkan penumpukan