27
B.  PROSES EKSTRUSI DAN ANALISIS PRODUK EKSTRUSI 1. Proses ekstrusi
Dari  hasil  penentuan  parameter  optimum,  diperoleh  empat  kondisi  optimum  untuk proses ekstrusi jewawut. Produk ekstrusi ekstrudat yang dihasilkan, yaitu:
1. Produk ekstrusi jewawut sosoh dengan kecepatan ulir 22 Hz 2. Produk ekstrusi jewawut sosoh dengan kecepatan ulir 25 Hz
3. Produk ekstrusi jewawut tidak sosoh dengan kecepatan ulir 22 Hz 4. Produk ekstrusi jewawut tidak sosoh dengan kecepatan ulir 25 Hz
Keempat produk tersebut kemudian dianalisis secara fisik, organoleptik, dan dianalisis aktivitas  antioksidannya.  Kemudian  dipilih  satu  produk  terbaik  berdasarkan  hasil  uji
organoleptik  dan  aktivitas  antioksidan  yang  terbaik.  Selanjutnya  produk  terbaik  dianalisis secara kimia.
2. Analisis Fisik
a. Analisis Tekstur Kekerasan Obyektif
Tekstur produk ekstrusi memegang peranan penting bagi penerimaan suatu poduk ekstrusi oleh konsumen.  Dalam mengevaluasi tekstur produk, sering diperlukan korelasi
yang  baik  antara  pengukuran  tekstur  secara  subjektif  dengan  indera  manusia  dengan pengukuran  secara  obyektif  menggunakan  instrumen.  Analisis  tekstur  dengan
menggunakan  alat  akan  menghasilkan  data  yang  lebih  akurat  karena  bersifat  obyektif. Produk  ekstrusi  yang  memiliki  penerimaan  yang  baik  adalah  dari  segi  tekstur  adalah
produk  yang  renyah  dan  tidak  keras.  Hasil  analisis  tekstur  kekerasan  obyektif  dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Tingkat kekerasan ekstrudat jewawut Ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dengan kecepatan ulir 22 Hz memiliki
nilai kekerasan 3.13 kgf. Ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dan kecepatan ulir 22 Hz  memiliki  nilai  kekerasan  2.79  kgf.  Nilai  kekerasan  ekstrudat  yang  berasal  dari
3.13b 2.79a
3.54c 3.30b
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
sosoh 22 Hz sosoh 25 Hz tidak sosoh 22 Hz
tidak sosoh 25 hz
k g
f
Perlakuan
28
jewawut tidak sosoh adalah 3.54 kgf untuk perlakuan kecepatan ulir 22 Hz dan 3.30 kgf untuk  perlakuan  kecepatan  ulir  25  Hz.  Hasil  analisa  menunjukkan  bahwa  produk  yang
memiliki  tingkat  kekerasan  tertinggi,  yaitu  produk  ekstrudat  yang  berasal  dari  jewawut tidak  sosoh  dengan  kecepatan  ulir  22  Hz.  Produk  yang  memiliki  tingkat  kekerasan
terendah,  yaitu  produk  yang  berasal  dari  jewawut  sosoh  dengan  kecepatan  ulir  25  Hz. Semua  nilai  di  atas  menunjukkan  bahwa  kekerasan  dari  produk  ekstrusi  jewawut  sama
seperti produk ekstrusi yang umumnya dibuat  dari jagung. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian  Apriyani  2009  yang  menguji  kekerasan  produk  ekstrusi  yang  dibuatnya
berkisar antara 2.17 hingga 5.89 kgf.
Hasil dari ANOVA Lampiran 7 menunjukkan bahwa penyosohan dan kecepatan
ulir ekstruder memberikan pengaruh terhadap kekerasan dilihat dari  nilai signifikansinya 0.004  yang  lebih  kecil  dari  taraf
α=0.05.  Berdasarkan  uji  lanjut  Duncan,  pada  selang kepercayaan 95, tingkat kekerasan pada ekstrudat jewawut sosoh dengan kecepatan ulir
25  Hz  berbeda  nyata  dengan  ekstrudat  sosoh  22  Hz,  ekstrudat  tidak  sosoh  22  Hz  dan ekstrudat tidak sosoh 25 Hz. Ekstrudat yang berasal dari jewawut sosoh dengan kecepatan
ulir 22 Hz tidak berbeda nyata dengan ekstrudat tidak sosoh 25 Hz, namun berbeda nyata dengan ekstrudat sosoh 22 Hz dan tidak sosoh 22 Hz. Sementara ekstrudat tidak sosoh 22
Hz  berbeda  nyata  dengan  ekstrudat  sosoh  22  Hz,  ekstrudat  sosoh  25  Hz  dan  ekstrudat tidak sosoh 25 Hz.
Produk dengan kecepatan ulir lebih rendah akan memiliki tingkat kekerasan yang lebih  tinggi.  Produk  yang  berasal  dari  jewawut  yang  tidak  disosoh  memiliki  nilai
kekerasan lebih tinggi dibandingkan produk yang berasal dari jewawut yang disosoh. Hal ini  sejalan  dengan  yang  pernyataan  Tripalo  et  al.,    2006  yang  menyebutkan  bahwa
kecepatan  ulir  dan  temperatur  memiliki  efek  negatif  terhadap  kekerasan.  Sehingga menaikkan kecepatan ulir ekstruder akan menurunkan nilai kekerasan produk.
Jewawut  yang  mengalami penyosohan akan  mengalami pengurangan bagian  kulit ari dan embrio. Bagian kulit ari adalah bagian jewawut yang kaya serat, sedangkan bagian
embrio  kaya  akan  protein  dan  asam  lemak  FAO,  1995.  Menurut  Huber  2001,  serat akan  mengurangi  pengembangan  produk  ekstrusi  dan  dapat  bertindak  sebagai  bulking
agent.  Produk  yang  kurang  mengembang  cenderung  lebih  padat  sehingga  memberikan tekstur produk yang lebih keras. Lemak dapat berikatan dengan pati membentuk struktur
baru  Mercier  dan  Feillet,  1975.  Struktur  baru  terbentuk  dengan  adanya  ikatan  antar amilosa  dan  asam  oleat  yang  mampu  menurunkan  swelling  power  dari  pati  Radley,
1976.  Karena  itu,  penggunaan  bahan  baku  jewawut  tidak  sosoh  akan  menghasilkan tekstur produk  yang lebih keras jika dibandingkan produk  yang berbahan dasar jewawut
tidak sosoh pada kondisi yang sama. Semakin tinggi nilai kekerasan maka produk tersebut mempunyai  tekstur  relatif  keras  dan  bersifat  kurang  renyah  dibandingkan  produk  yang
memiliki nilai kekerasan lebih rendah Melianawati, 1998.
b. Uji Rasio Pengembangan