Program pembayaran jasa lingkungan di Desa Citaman telah berlangsung selama lima tahun. Tahun 2009 merupakan tahun terakhir kontrak pembayaran jasa
lingkungan. Terkait rencana akan dilanjutkannya program pembayaran jasa lingkungan di lokasi model Desa Citaman, maka diperlukan perbaikan di segala
bidang. Salah satunya adalah penentuan besarnya nilai pembayaran yang selama ini dirasa sebagai suatu kelemahan dalam program.
Berdasarkan keadaan tersebut, peneliti menganggap perlu adanya studi yang mengkaji tentang besarnya nilai pembayaran yang bersedia diterima oleh masyarakat
sebagai penyedia jasa lingkungan, terkait dengan konsep WTA masing-masing kepala keluarga. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Contingent
Valuation Method CVM, salah satu metode ekonomi yang digunakan untuk
menentukan nilai atau harga dari suatu barang lingkungan. Penggunaan metode tersebut akan memberikan informasi mengenai nilai ekonomi dari perbaikan kualitas
jasa lingkungan hutan terhadap perlindungan tata hidrologi dengan didasarkan pada besarnya jumlah nominal yang bersedia diterima masyarakat sebagai nilai
pembayaran akibat adanya upaya konservasi hutan.
1.2. Perumusan Masalah
Model hubungan hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan payment environment services di DAS Cidanau dilaksanakan terhitung sejak tahun
2005. Diperlukan waktu sekitar tiga tahun untuk membangun dan mengembangkan model hubungan hulu-hilir FKDC, 2007. Proses pembangunan dan pengembangan
model hubungan hulu-hilir ini banyak dibantu oleh keberadaan Forum Komunikasi
DAS Cidanau FKDC, organisasi yang dibangun untuk tujuan pelestarian DAS Cidanau.
Komponen penting dalam implementasi model hubungan hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, yaitu adanya penyedia jasa lingkungan
seller dan pemanfaat jasa lingkungan buyer. Hasil identifikasi awal menetapkan bahwa Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang dan Desa Cibojong,
Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang sebagai penyedia jasa lingkungan. Luas lahan yang mendapat pembayaran jasa lingkungan masing-masing sebesar 25 ha.
Namun, pada tahun 2008 kontrak terhadap Desa Cibojong dicabut dan digantikan oleh dua desa, yaitu Desa Cikumbueun, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten
Pandeglang dan Desa Kadu Agung, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Serang. Pemanfaat jasa lingkungan dalam mekanisme ini adalah PT. Krakatau Tirta Industri
PT. KTI. Nilai pembayaran jasa lingkungan yang dibayarkan oleh PT. KTI adalah
sebesar Rp 175.000.000,00 untuk 25 ha per tahun. Di sisi lain dana kompensasi yang diterima oleh masyarakat hanya Rp 1.200.000,00 ha per tahun setara dengan nilai Rp.
2.400,00 per pohon per tahun mengacu pada persyaratan PJL bahwa lahan masyarakat yang berhak menerima PJL memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari
500 batang pohon pada tahun pertama. Nilai pembayaran jasa lingkungan kepada penyedia jasa lingkungan ditentukan dengan proses tawar-menawar antara penyedia
jasa lingkungan dengan FKDC. Proses ini terjadi di awal tahun implementasi pembayaran jasa lingkungan dan penyedia jasa lingkungan yang terlibat adalah
masyarakat Desa Citaman dan Desa Cibojong.
Nilai hasil negosiasi yang hingga kini digunakan sebagai dasar nilai pembayaran jasa lingkungan dirasa terlalu kecil under estimate bila dibandingkan
dengan fungsi ekologis serta hidrologi yang dihasilkan dari upaya masyarakat untuk mengkonservasi DAS Cidanau. Penetapan nilai kompensasi yang pada prosesnya
hanya diwakili oleh tokoh masyarakat, boleh jadi tidak betul-betul mencerminkan keinginan masyarakat untuk menerima kompensasi akibat diharuskannya upaya
konservasi terhadap lahan mereka. Upaya konservasi memberikan konsekuensi bagi masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas ekonomi yang mengancam
keberlangsungan fungsi pohon, seperti menebang pohon. Nilai yang tidak mencerminkan keinginan masyarakat untuk menerima
kompensasi dikhawatirkan akan memicu kemungkinan masyarakat kembali menebang pohon di atas lahan miliknya karena nilai ekonomi kayu lebih besar dari
nilai kompensasi yang diberikan. Disadari atau tidak, mungkin faktor ini juga yang salah satunya melatar belakangi tindakan masyarakat Desa Cibojong untuk
menebang pohon di atas lahan miliknya. Keuntungan yang diperoleh dari menebang pohon mungkin dirasa lebih besar daripada nilai kompensasi yang diterima, sehingga
pada akhirnya memberikan insentif kepada masyarakat untuk kembali menebang pohon daripada melakukan upaya konservasi.
Selain itu, Desa Citaman yang telah menjalani kontrak pembayaran jasa lingkungan selama lima tahun telah mencapai akhir kontraknya di tahun ini. Terkait
hal tersebut, pengelola FKDC merasa perlu adanya perpanjangan kontrak pembayaran jasa lingkungan untuk Desa Citaman. Hal ini disebabkan pihak pengelola
merasa bahwa Kelompok Tani Karya Muda II yang merupakan masyarakat penyedia
jasa sangat kooperatif terhadap program Rencana ini disambut baik oleh masyarakat penyedia jasa, namun dibutuhkan perumusan nilai pembayaran baru untuk program.
Hal ini karena ketidakpuasan masyarakat akan nilai pembayaran sebelumnya dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Hal tersebut disadari pula oleh pengelola, dan
karenanya pengelola berencana untuk meningkatkan nilai pembayaran. Rencana tersebut terganjal oleh masalah berapa besar nilai pembayaran yang sesuai dan
diinginkan oleh masyarakat untuk perpanjangan kontrak agar masyarakat terus bersedia melakukan usaha konservasi di atas lahan miliknya.
Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian meliputi:
1. Bagaimana mekanisme pembayaran jasa lingkungan payment environment
services di DAS Cidanau?
2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap program pembayaran jasa lingkungan
yang telah berjalan di DAS Cidanau? 3.
Bagaimana kesediaan atau ketidaksediaan masyarakat dalam menerima dana kompensasi sesuai skenario yang diusulkan dalam pasar hipotetis?
4. Berapa besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat WTA
serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?
1.3. Tujuan Penelitian