Proses Perumusan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan

keberlanjutan usahanya. Sebagai solusi dibutuhkan usaha untuk menjaga kelestarian hulu DAS Cidanau yang jasa lingkungannya dimanfaatkan untuk bahan baku usaha. Kesadaran ini yang mendorong PT. KTI bersedia menjadi buyer dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan.

6.2. Proses Perumusan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan erat kaitannya dengan transaksi antara penyedia jasa lingkungan sebagai seller dan pemanfaat jasa lingkungan sebagai buyer. Di dalam transaksi diperlukan adanya besaran nilai yang akan dibayarkan oleh buyer maupun yang ingin diterima oleh seller. Penentuan besaran nilai transaksi dalam implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau, dilakukan dengan jalan negosiasi yang prosesnya dilakukan oleh tim Ad Hoc kepada seller dan buyer. Tim Ad Hoc adalah lembaga yang dibentuk oleh Ketua Pelaksana Harian FKDC dan terdiri dari wakil pemerintah kota, kabupaten dan provinsi, PT. KTI, dan masyarakat yang dalam proses negosiasi bertindak sebagai wakil dari FKDC 6 .

1. Negosiasi di Tingkat Pemanfaat Jasa Lingkungan ’Buyer’

Proses negosiasi di tingkat pemanfaat jasa lingkungan membahas hal mengenai dasar penentuan besaran nilai uang untuk transaksi PT. KTI dan bagaimana mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang akan dilakukan PT. KTI dalam transaksi. Penentuan besaran nilai yang harus dibayarkan buyer mengadopsi pada biaya kehutanan dalam membuat hutan rakyat pada program Pembangunan dan Pengembangan Hutan Rakyat P2HR dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan 6 Hasil wawancara dengan Sekjen FKDC, Nana P.R pada tanggal 27 Maret 2009 Lahan GNRHL. Besaran uang tersebut yaitu Rp 3.500.000,00ha. Sehingga untuk 50 ha lokasi model penyedia jasa lingkungan, PT. KTI membayar jasa lingkungan sebesar Rp 175.000.000,00. Mengenai mekanisme transaksi jasa lingkungan, tim Ad Hoc menawarkan dua pilihan kepada PT. KTI. Pilihan tersebut yaitu melakukan transaksi secara langsung direct payment kepada penyedia jasa lingkungan di hulu atau dilakukan secara tidak langsung indirect payment. PT. KTI memilih pelaksanaan transaksi kepada penyedia jasa lingkungan dilakukan secara tidak langsung dengan menempatkan FKDC sebagai mediator transaksi. Berikut hasil negosiasi yang dicapai antara PT. KTI dan FKDC FKDC, 2007: 1 PT. KTI tidak bersedia untuk membayar jasa lingkungan secara langsung kepada penyedia jasa lingkungan dan meminta FKDC bertindak sebagai perantara yang menghubungkan kepentingan PT. KTI dengan penyedia jasa di hulu. 2 PT. KTI setuju membayar jasa lingkungan selama lima tahun, dengan ketentuan: a. Sebesar Rp 175.000.000,00 per tahun untuk dua tahun berturut-turut. b. Nilai transaksi untuk tahun ketiga sampai dengan kelima dinegosiasi ulang. c. Realisasi transaksi dilakukan dalam tiga tahapan transaksi . d. Nilai transaksi jasa lingkungan yang diterima dan dikelola oleh FKDC dibebankan pajak penghasilan sebesar 6. Dari besarnya nilai yang dibayarkan PT. KTI dibuat kesepakatan oleh tim Ad Hoc bahwa 15 dari dana yang dikelola selama satu tahun dikenai biaya pengelolaan jasa lingkungan. Biaya ini digunakan untuk keperluan: 1 Perjalanan dinas 2 Insentif tim Ad Hoc 3 Laporan, dokumentasi dan publikasi 4 Rapat 5 Alat tulis kantor. Dapat dilihat bahwa terjadi dua kali pemotongan terhadap uang dibayarkan oleh PT. KTI, yaitu 6 untuk pajak penghasilan dan 15 untuk biaya administratif. Setelah melalui pemotongan tersebut, maka jumlah yang diterima FKDC untuk disalurkan kepada seller sebesar Rp 276.500.000,00. Besaran nilai tersebut digunakan untuk pembayaran dua tahun berturut-turut. Sehingga setiap tahunnya seller berhak mendapat pembayaran sebesar Rp. 2.765.000,00 per ha per tahun. Sejak awal kontrak, PT. KTI konsisten dengan hasil kesepakatan yang telah dibuat. Besarnya pembayaran konsisten dengan hasil kesepakatan, namun pada tahun 2008 terjadi peningkatan jumlah pembayaran menjadi Rp 200.000.000,00. Peningkatan nilai pembayaran ini diduga terjadi akibat kepercayaan yang tinggi dari buyer kepada FKDC yang menjamin bahwa pengelolaan dana pembayaran jasa lingkungan didasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparan, professional dan pemanfaatan dana yang sesuai dan tepat dengan sasaran. Selain itu, diduga bahwa biaya produksi PT. KTI menjadi berkurang akibat terjaganya kelestarian hulu DAS Cidanau dan sikap penyedia jasa lingkungan yang kooperatif terhadap program.

2. Negosiasi di Tingkat Penyedia Jasa Lingkungan ’Seller’

Proses negosiasi di tingkat penyedia jasa lingkungan membahas jumlah transaksi yang akan diterima, jadwal penerimaan transaksi, dan persyaratan-persyaratan lain yang harus dipenuhi berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Di Citaman, negosiasi besarnya jumlah transaksi yang akan diterima penyedia dilakukan dengan jalan musyawarah antara tim Ad Hoc dengan anggota Kelompok Tani Karya Muda. Jalannya negosiasi dipimpin oleh perwakilan dari tim Ad Hoc. Keputusan akhir masyarakat terhadap besar nilai pembayaran yang diinginkan diwakili oleh satu suara, yaitu suara ketua kelompok tani. Awal proses negosiasi, tim Ad Hoc membuka penawaran kepada masyarakat sebesar Rp 750.000,00 per ha per tahun. Masyarakat merasa nilai tersebut terlalu kecil untuk pembayaran satu hektar lahan miliknya yang dikontrak. Selama proses negosiasi, permintaan dari anggota kelompok akan besarnya nilai yang ingin diterima semakin beragam. Mulai dari kisaran Rp 2.500.000,00 per ha per tahun hingga Rp 5.000.000,00 per ha per tahun 7 . Proses tawar-menawar antara tim Ad Hoc dan kelompok tani mengalami titik temu pada nilai Rp 1.200.000,00. Tetapi timbul rasa keterpaksaan dari ketua kelompok sebagai pemegang keputusan untuk menerima pembayaran sebesar Rp 1.200.000,00 per ha per tahun 8 . Anggota kelompok berharap minimal 7 Hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Karya Muda II, Bachrani pada tanggal 21 Maret 2009 8 Hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Karya Muda II, Bachrani pada tanggal 21 Maret 2009 pembayaran yang diterima sebesar Rp. 2.500.000,per ha per tahun, namun tim Ad Hoc tetap bertahan di nilai tersebut. Dengan alasan dapat sedikit memberikan pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membantu meringankan biaya sekolah, akhirnya kelompok tani memutuskan untuk menerima pembayaran sebesar Rp 1.200.000,00 per ha. Keputusan tim Ad Hoc untuk menetapkan besarnya pembayaran di harga Rp 1.200.000,00 per ha per tahun terasa janggal karena uang yang seharusnya disalurkan oleh FKDC kepada seller sebesar Rp. 2.765.000 per ha per tahun. Keputusan tersebut ternyata diambil karena faktor ketidakpercayaan tim kepada komitmen buyer untuk meneruskan pembayaran di tahun ketiga hingga kelima, sementara kontrak yang telah dibuat dengan seller selama lima tahun 9 . Ketidakpercayaan itu membuat tim berinisiatif merancang besarnya nilai pembayaran berdasarkan perhitungan kasar. Perhitungan dilakukan dengan membagi rata uang yang diterima di tahun pertama untuk 50 ha lahan selama lima tahun. Uang yang diterima di tahun pertama sebesar Rp 300.000.000,00, setelah diperkirakan mengalami penyusutan akibat biaya administrasi sebesar Rp 50.000.000,00 dari nilai awal Rp 350.000.000,00. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh nilai pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 1.200.000,00 per ha. Nilai ini yang sampai sekarang dipertahankan oleh FKDC sebagai nilai pembayaran jasa lingkungan kepada seller . 9 Hasil wawancara dengan Koordinator Jasa Lingkungan FKDC, Hardono pada tanggal 23 Maret 2009 Selisih nilai transaksi pembelian dari buyer ke FKDC dan transaksi pembayaran dari FKDC kepada seller disimpan oleh Bendahara Koordinator Jasa Lingkungan. Uang ini akan dipakai untuk transaksi pembayaran kepada Desa Citaman hingga tahun 2009, Desa Cikumbueun dan Kadu Agung hingga tahun 2012 10 . Perjanjian di awal dengan PT. KTI, model pembayaran jasa lingkungan yang akan mendapat pembayaran sebenarnya hanya seluas 50 ha. Pada kenyataannya forum menambah luasan lahan lokasi penyedia jasa lingkungan sebesar 50 ha di tahun 2008 setelah kontrak dengan Cibojong diputus, sehingga total luasan lahan yang mendapat pembayaran saat ini seluas 75 ha. Berikut hasil negosiasi yang dicapai Kelompok Tani Karya Muda dan FKDC FKDC, 2007: 1 Penyedia jasa menerima untuk dibayar sebesar Rp 1.200.000,00 per ha per tahun 2 Jangka waktu perjanjian transaksi jasa lingkungan antara FKDC dengan penyedia selama lima tahun 3 Realisasi transaksi jasa lingkungan akan diterima penyedia dalam tiga tahapan dengan ketentuan sebagai berikut: a. 30 dari jumlah transaksi yang akan diterima penyedia dalam satu tahun pada saat penandatanganan kontrak, b. 30 dari jumlah transaksi yang akan diterima penyedia dalam satu tahun pada bulan ke enam setelah penandatanganan kontrak, c. 40 dari jumlah transaksi yang akan diterima penyedia dalam satu 10 Hasil wawancara dengan Sekjen FKDC, Nana P.R pada tanggal 17 Maret 2009 tahun pada bulan ke-12 setelah penandatanganan kontrak Selain kesepakatan di atas, Kelompok Tani Karya Muda II sepakat untuk 5 dari nilai pembayaran jasa lingkungan disisihkan untuk kas kelompok. Dana tersebut digunakan kelompok untuk membangun bisnis kelompok dan membenahi fasilitas air bersih.

6.3. Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan yang Sedang Berjalan

Dokumen yang terkait

JUDUL INDONESIA: KESEDIAAN MENERIMA PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR SUB DAS WAY BETUNG HULU OLEH MASYARAKAT KAWASAN HUTAN REGISTER 19 (Studi Kasus di Desa Talang Mulya Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran) JUDUL INGGRIS: WILLINGNESS TO ACCEPT PAYMEN

1 11 61

Penentuan Dasar Biaya Kompensasi untuk Pembayaran Jasa Lingkungan dengan Memanfaatkan Teknologi Inderaja (Studi Kasus : DAS Cidanau, Banten)

0 3 106

Analisis willingness to pay dan willingness to accept masyarakat terhadap tempat pembuangan akhir sampah Pondok Rajeg Kabupaten Bogor

3 16 155

Analisis nilai ekonomi lahan sebagai dasar bagi upaya peningkatan nilai pembayaran jasa lingkungan (kasus desa Citaman DAS Cidanau)

1 20 137

Analisis Willingness To Pay Masyarakat terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan Mata Air Cirahab (Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten)

2 19 126

Analisis Willingness To Accept Masyarakat Akibat Eksternalitas Negatif Kegiatan Penambangan Batu Gamping (Studi Kasus Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor)

1 15 213

Analisis willingness to accept masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan DAS Brantas

4 18 166

Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai Cidanau Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Citaman, Serang

0 11 84

Peran pembayaran jasa lingkungan (PJL) hutan terhadap sifat hidrologi lahan di DAS Cidanau, Banten

0 3 34

Penentuan Dasar Biaya Kompensasi untuk Pembayaran Jasa Lingkungan dengan Memanfaatkan Teknologi Inderaja (Studi Kasus DAS Cidanau, Banten)

0 2 96