melakukan pekerjaan lain yang juga menyita waktu sehari-hari. Pekerjaan lain selain usaha tempe yang dijalankan seperti membuka warung makan atau warung
jajanan dilakukan oleh istri untuk menambah pendapatan keluarga.
5.2.2. Karakteristik Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Pengrajin
Tempe Terhadap Primkopti Kota Bogor dan Skala Usaha 5.2.2.1.Karakteristik Bangunan
Proses produksi tempe pada usaha tempe rumah tangga di Kelurahan Kedung Badak tahun 2015 dilakukan di bangunan yang menyatu dengan tempat
tinggal sehari-hari. Pengrajin tidak mengeluarkan biaya untuk bangunan yang secara khusus hanya diperuntukan untk proses produksi tempe, namun jika tidak
memiliki tempat tinggal pun pengrajin tidak dapat memproduksi tempe. Oleh karena itu, pengrajin tetap membutuhkan bangunan untuk tempat tinggal sekaligus
untuk produksi tempe baik milik sendiri maupun sewa kontrak rumah. Tempat produksi tempe yang menyatu dengan bangunan tempat tinggal
menjadikan luas tempat produksi tempe di dalam rumah tersebut hanya membutuhkan sekitar ¼ bagian dari bangunan rumah. Bentuk bangunan tersebut
merupakan bangunan permanen dengan dinding tembok, lantai semen atau keramik, dan atap genteng.
Oleh karena bangunan permanen tidak memiliki umur ekonomis atau dengan kata lain dapat selalu digunakan, maka biaya yang dihitung dari bangunan
pada usaha tempe ini adalah biaya Pajak Bumi dan Bangunan PBB bagi pengrajin yang memiliki rumah sendiri atau biaya sewa bangunan bagi pengrajin
yang tidak memiliki rumah sendiri. Biaya yang dikeluarkan untuk bangunan ini yakni biaya PBB atau biaya sewa termasuk ke dalam biaya tetap dan biaya tunai.
Rincian dari biaya PBB atau biaya sewa bangunan per pengrajin disajikan dalam Lampiran 3.
5.2.2.2.Karakteristik Peralatan Produksi
Berbagai macam peralatan produksi digunakan oleh pengrajin di Kelurahan Kedung Badak untuk menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik.
peralatan produksi tersebut adalah alat pemecah kacang, rak, kompor, ember,
pompa air, drum, ayakan, serta keranjang dan kendaraan bermotor untuk memasarkan hasil produksi yaitu tempe itu sendiri.
Alat pemecah kacang digunakan untuk memecahkan kacang kedelai sekaligus mengupas kulitnya. Kacang kedelai yang telah pecah atau terbelah
membuat kulit kacang pun mudah lepas, sehingga memudahkan para pengrajin dalam mengupas kacang kedelai karena dalam memproduksi tempe kulit kacang
kedelai harus terkelupas seluruhnya. Di sisi lain tidak semua pengrajin tempe menggunakan alat pemecah kacang mengingat harganya yang mahal, yakni Rp 2
500 000 Rp 4 500 000. Umumnya pengrajin skala I yang tidak memiliki alat
pemecah kacang, pemecahan kacang dilakukan dengan memasukkan kacang kedelai ke karung goni kemudian diinjak dengan kaki secara manual. Pengrajin II
dan III mayoritas menggunakan alat pemecah kacang karena banyaknya kedelai yang digunakan sehingga memudahkan dan dapat menghemat tenaga pengrajin.
Rak digunakan dalam proses fermentasi yang berlangsung selama dua malam. Setelah kedelai diberi ragi kemudian dimasukan ke dalam plastik
pembungkus. Lalu kedelai yang telah dibungkus tersebut ditata di rak fermentasi. Semakin banyak kedelai yang digunakan dalam proses produksi, maka semakin
banyak pula rak yang digunakan. Kompor digunakan oleh pengrajin yang menggunakan tabung gas dalam
proses perebusan kacang kedelai. Hal tersebut disebabkan terdapat pengrajin yang masih menggunakan kayu bakar, sehingga tidak menggunakan kompor. Pengrajin
yang menggunakan kayu bakar tersebut menggunakan drum logam sebagai wadah kacang kedelai untuk direbus. Sementara pengrajin yang menggunakan kompor
dan tabung gas menggunakan drum stainless steel yang harganya lebih mahal dari drum logam dan mayoritas digunakan oleh pengrajin skala II dan III. Selain itu
juga terdapat drum plastik yang digunakan oleh semua pengrajin untuk mencuci kacang kedelai.
Air yang digunakan oleh pengrajin untuk mencuci dan merebus kacang kedelai adalah air sumur, maka pengrajin menggunakan pompa air untuk
mendapatkan air tersebut. Oleh karena itu, dalam biaya produksi tempe terdapat biaya untuk listrik. Pengrajin mencuci kedelai dan memastikan seluruh kulit
kedelai terbuang pengrajin menggunakan ayakan.
Dalam memasarkan tempe yang siap dijual, pengrajin menggunakan keranjang yang dibawa dengan menggunakan kendaraan bermotor. Terdapat dua
macam keranjang yang digunakan pengrajin di Kelurahan Kedung Badak tahun 2015, yaitu keranjang bambu dan keranjang container. Keranjang bambu
umumnya digunakan oleh pengrajin skala I dan sebagain skala II yang menggunakan motor dalam memasarkan tempe yang dihasilkan. Keranjang
container digunakan oleh sebagian pengrajin skala II dan pengrajin skala III. Oleh karena banyaknya tempe yang dihasilkan oleh sebagian pengrajin skala II dan III,
maka tidak cukup jika menggunakan keranjang bambu dan motor, sehingga sebagian pengrajin skala II dan III menggunakan keranjang container dan mobil
pick up. Biaya untuk peralatan produksi tersebut termasuk ke dalam biaya
penyusutan dalam usaha tempe yang bersifat tetap dan tunai. Biaya penyusutan tersebut disajikan secara rinci dalam Lampiran 2. Gambar peralatan produksi yang
digunakan oleh pengrajin tempe di Kelurahan Kedung Badak sebagian dapat dilihat pada Lampiran 27.
5.2.2.3.Input Produksi
Input produksi yang digunakan dalam usaha tempe ini adalah kacang kedelai, ragi, plastik, daun pisang, listrik untuk mendapatkan air dengan
menggunakan pompa air, gas atau kayu bakar, tenaga kerja baik dalam keluarga maupun luar keluarga, dan bahan bakar untuk transportasi mengangkut tempe
untuk dijual. Rata-rata penggunaan input produksi yang digunakan per hari dalam usaha tempe di Kelurahan Kedung Badak tahun 2015 ini dapat dilihat pada Tabel
5.3. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata penggunaan input produksi pada
pengrajin anggota maupun non anggota Primkopti pada setiap skala usaha bervariasi Jumlah input produksi yang digunakan setiap harinya berbeda antar
skala usaha. Hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah kedelai yang digunakan. Semakin banyak kedelai yang digunakan, maka semakin banyak jumlah input
produksi yang digunakan setiap harinya.
Tabel 5.3 Rata-rata penggunaan input produksi usaha tempe berdasarkan keanggotaan Primkopti dan skala usaha di Kelurahan Kedung Badak
tahun 2015 jumlahsatuanhari
No. Input Produksi
Satuan Anggota
Non Anggota Skala I Skala II Skala III
Skala I Skala II
Skala III 1. Kedelai
Kg 47.7
80.8 110
47 93.8
176.3 2. Ragi
Gr 71.2
119.6 166.3
69.3 133.4
235.2 3. Plastik
Kg 1.0
1.7 2
1.0 1.9
2.9 4. Daun Pisang
Ikat 2.1
4.0 5
2 4
6.5 5. Listrik
- -
- -
- -
- 6. Gas 3 Kg
Tabung 1.5
2.4 3.4
1.4 2.9
4.5 Kayu Bakar
- -
- -
- -
- 7. Tenaga Kerja
Dalam Keluarga HOK
1.1 1.3
1 1.1
1.4 1
8. Tenaga Kerja Luar Keluarga
HOK 1
1 1
1.38 9. Bahan Bakar
Transportasi Liter
1.8 3.7
6 2
4.4 10.38
Sumber: Data Primer, 2015 Diolah
Penggunaan kedelai pada pengrajin anggota dan non anggota skala I tidak berbeda jauh, namun pada skala II dan III sedikit jauh berbeda. Hal tersebut
dikarenakan rata-rata penggunaan kedelai pada pengrajin non anggota lebih besar dibandingkan pengrajin anggota. Pengrajin anggota ada yang hingga 230 kg
kedelai tiap kali memproduksi tempe, sementara pengrajin anggota penggunaan kedelai paling besar sebanyak 110 kg. Input produksi yang lain seperti ragi,
plastik, daun pisang, listrik, kayu bakar atau tabung gas, TKDK, TKLK, dan bahan bakar transportasi banyak atau tidak penggunaannya mengikuti banyak atau
tidaknya penggunaan kedelai. Terdapat perbedaan dalam hal bahan pembungkus kedelai hingga menjadi
tempe. Terdapat pengrajin yang dari proses fermentasi hingga menjadi tempe siap jual menggunakan plastik saja, namun ada juga pengrajin yang mengganti plastik
dengan daun pisang pada saat tempe masih setengah jadi. Selain itu juga terdapat perbedaan dalam bahan bakar untuk merebus kedelai. Ada pengrajin yang
menggunakan kayu bakar, namun ada juga pengrajin yang menggunakan gas 3 kg. Oleh karena itu, perhitungan rata-rata total biaya input produksi yang dikeluarkan
per pengrajin tidak dapat dilakukan dengan menjumlahkan biaya rata-rata dari masing-masing input produksi yang digunakan, namun dihitung berdasarkan total
biaya input produksi yang dikeluarkan oleh setiap pengrajin kemudian dirata- ratakan seperti yang disajikan dalam Lampiran 4.
5.2.2.4.Karakteristik Produksi
Karakteristik produksi dari usaha tempe di Kelurahan Kedung Badak tahun 2015 ini homogen, yakni produksi yang dilakukan dengan cara tradisional.
Pengrajin anggota dan non anggota memiliki proses produksi tempe yang sama, yaitu sebagai berikut:
1. Proses sortasi
Proses sortasi ini dilakukan dengan membersihkan kedelai kering dari sampah-sampah ringan seperti kulit kedelai, ranting-ranting, bebatuan, biji
jagung, atau kedelai busuk yang kering. Proses ini penting karena sampah- sampah ringan tersebut akan mengganggu hasil akhir tempe.
2. Proses pencucian
Proses pencucian ini bertujuan untuk kembali membersihkan kedelai dari sampah kering yang masih tersisa. Kedelai dicuci dengan menggunakan
air bersih, kemudian dilakukan pengadukan dengan tangan sehingga sampah-sampah kering yang masih bersisa tersebut akan timbul atau
terapung. Sisa-sisa sampah kering yang telah terapung tersebut diambil dengan cara disaring dengan ayakan.
3. Proses perebusan
Proses perebusan ini bertujuan agar kedelai lebih lunak dan kulit kedelai mudah terlepas, serta untuk menghilangkan bau langu dari kedelai. Proses
perebusan dilakukan dengan air mendidih selama kurang lebih 45 menit. 4.
Proses perendaman Proses perendaman ini berlangsung selama kurang lebih 24 jam setelah
proses perebusan selesai dan didiamkan pada suhu ruangan. Air rendaman akan terlihat seperti berbuih dan sedikit kental setelah 24 jam.
5. Proses pengupasan kulit kedelai
Kedelai yang telah direbus dan direndam akan menyebabkan kulit kedelai lebih mudah untuk dilepaskan. Oleh karena itu, proses pengupasan ini
dapat dilakukan dengan tangan dengan cara diremas-remas sebelum air rendaman dibuang. Mayoritas pengrajin menggunakan alat pemecah dan
pengupas kulit kedelai atau dengan cara menginjakkan kaki ke atas kedelai