Ruang Lingkup Penelitian Struktur Biaya Dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota Dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)

tempe sebagai sumber protein nabati setara dengan sumber protein hewani dan dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti protein hewani. Tempe sebagai sumber protein dan mengandung zat besi yang diperlukan dalam pembentukan kadar hemoglobin Astuti, Aminah, dan Syamsianah, 2014. Oleh karena itu, jika tempe dikonsumsi secara teratur, maka seseorang dapat terhindar dari anemia akibat kekurangan zat besi, mencegah terbentuknya radikal bebas dan proses penuaan secara dini karena terdapat kandungan antioksidan, serta serat pada tempe dapat mencegah penyakit-penyakit saluran pencernaan.

2.2. Usaha Pembuatan Tempe

Berbagai macam olahan kedelai, terutama tempe, kini sudah banyak tersedia, baik di pasar tradisional maupun pasar modern. Hotelrestoran juga telah menyajikan tempe sebagai salah satu menu utama. Tempe sudah banyak diolah menjadi makanan cepat saji seperti burger tempe dan camilan seperti keripik tempe. Banyaknya olahan tempe tersebut menunjukkan banyaknya masyarakat Indonesia yang bergelut di bidang usaha pembuatan tempe. Pembuatan tempe tidak sulit dan dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang biasa terdapat di rumah tangga, sehingga usaha pembuatan tempe banyak dilakukan dengan skala kecil atau rumah tangga. Usaha kecil di Indonesia berkembang karena adanya latar belakang ekonomi yang menjadi alasan utama dalam melakukan usaha, yaitu untuk memperoleh perbaikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Selain itu juga karena melihat prospek usaha ke depan dengan adanya peluang usaha dan pangsa pasar yang aman dengan kendala modal yang terbatas. Beberapa pengusaha kecil berusaha dengan alasan utamanya karena faktor keturunanwarisan, dibekali keahlian, dan membuka lapangan kerja baru bagi warga setempat Tambunan, 2009. Tempe yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri berwarna putih bersih dan merata pada permukaannya, struktur yang homogen dan kompak, serta memiliki rasa, bau, dan aroma khas tempe. Sementara tempe yang berkualitas buruk memiliki ciri-ciri permukaan basah, struktur tidak kompak, terdapat bercak hitam, adanya bau amoniak dan alcohol, serta beracun. Menurut Warisno dan Dahana 2010 cara pembuatan tempe untuk menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik sebagai berikut: 1. Perebusan dan perendaman Rebus kedelai hingga mendidih. Setelah mendidih, angkat kedelai dan rendam dalam air bersih hingga air menjadi berlendir. Buang air rendaman dan cuci kedelai hingga bersih dan lendirnya hilang. 2. Pembelahan biji dan pembuangan kulit Biji kedelai dimasukkan ke dalam karung goni lalu injak-injak hingga biji kedelai terbelah. Selain itu dapat juga dilakukan dengan mesin pembelah biji. Tahap selanjutnya rendam biji kedelai di dalam air sambil diremas hingga kulit terlepas, buang kulit biji kedelai tersebut. 3. Pencucian dan perebusan biji tanpa kulit Cuci biji yang telah terlepas dari kulitnya hingga bersih, lalu rebus kembali biji kedelai hingga lunak atau selama 20  30 menit. 4. Pemberian ragi tempe inokulasi dengan cara menaburkan ragi tempe. Jumlah ragi yang digunakan tergantung pada jenis ragi yang digunakan. 5. Pembungkusan biji kedelai dengan plastik atau daun pisang. Masing- masing pengrajin biasanya memiliki cara membungkus yang berbeda-beda dengan berbagai ukuran. 6. Fermentasi dilakukan dengan meletakkan bakal tempe di rak kayu atau bambu selama 1.5  2 hari. Salah satu faktor pendukung berhasilnya suatu usaha kecil atau rumah tangga dalam pembuatan tempe adalah pemasaran yang dilaksanakan dengan baik. Pemasaran yang baik akan menentukan tingkat keuntungan yang diperoleh. Pemasaran yang baik dan efisien terjadi apabila tepat guna, waktu, bentuk, dan kepemilikan, serta biaya pemasaran yang rendah Ramadhani, 2012. Menurut Sarwono 2002, dalam hal pemasaran, usaha tempe pada skala kecil atau rumah tangga memungkinkan terjadinya pemasaran secara langsung. Pasalnya usaha ini berada di sekitar lingkungan warga sehingga warga dapat membeli tempe langsung ke tempat pengrajin atau pengrajin dapat menjualnya dari rumah ke rumah dengan sepedasepeda motor. Selain itu, pengrajin dapat langsung menjualnya ke pasar tradisional ke para pedagang pengecer atau membuka kios sendiri. Pengrajin juga dapat menjalin kerja sama dengan warung yang ada di sekitar tempat produksi.

2.3. Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Pembuatan Tempe

Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tempe umumnya meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya bangunan, drum besi, drum plastik, ember, alat pengupas kulit kedelai, bak air, tampah, pompa air listrik, sumur pantek atau sumur bor, dan kompor gas, serta biaya penyusutan peralatan yang termasuk dalam biaya tetap. Sementara biaya variabel terdiri dari kedelai sebagai bahan baku utama, ragi tempe, plastik, daun pisang, tabung gas, tenaga kerja, dan listrik. Penerimaan dari produksi tempe per bulan didapatkan dari hasil penjualan tempe dalam satuan bungkus atau kilogram dikali dengan harga per satuannya. Keuntungan dari usaha pembuatan tempe ini didapatkan setelah total penerimaan dikurang total biaya. Setelah itu dapat ditentukan rasio RC, BEP harga produksi, dan BEP volume produksi Warisno dan Dahana, 2010. Menurut Anggraeny, Husinsyah, dan Maryam 2011, permasalahan yang terjadi pasa usaha tempe adalah kurangnya pengetahuan pengrajin mengenai pengelolaan dan penggunaan modalnya, sehingga pengrajin kurang mengetahui apakah mendapatkan keuntungan atau kerugian. Oleh karena itu, perlu diketahui usaha tempe yang dijalankan mendapat keuntungan, kerugian, atau tidak mengalami kerugian impas dengan analisis titik impas break even point.

2.4. Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Primkopti

Koperasi didefinisikan sebagai organisasi yang didirikan dengan tujuan utama untuk menunjang kepentingan ekonomi para anggotanya melalui suatu perusahaan bersama. Sejarah berdirinya koperasi di Indonesia dimulai pada masa penjajahan saat diberlakukan culture stelsel yang mengakibatkan penderitaan bagi rakyat, terutama para petani dan golongan bawah, menimbulkan gagasan dari seorang Patih Purwokerto, yaitu Raden Ario Wiraatmadja untuk menolong pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen Spaaren Landbouwcrediet serta rumah-rumah gadai, lumbung desa, dan bank-bank desa. Pada tahun 1908