Analisis Struktur Biaya Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan

Tabel 6.5 Hasil uji beda total biaya usaha tempe per kg output menurut skala usaha di Kelurahan Kedung Badak tahun 2015 Perbandingan Skala Usaha Mean Difference Std. Error Sig. Total Biaya Anggota Skala II Skala I -42.933 63.619 0.780 Skala III -287.833 39.834 0.000 Skala III Skala I 244.900 50.011 0.001 Total Biaya Non Anggota Skala II Skala I -184.908 78.632 0.072 Skala III -360.625 76.481 0.001 Skala III Skala I 175.717 80.695 0.100 Total Biaya Secara Keseluruhan Skala II Skala I -120.438 52.481 0.066 Skala III -363.294 58.326 0.000 Skala III Skala I 242.856 64.647 0.003 Keterangan: s ignifikan pada taraf nyata α 10 persen si gnifikan pada taraf nyata α 1 persen Sumber: Data Primer, 2015 Diolah Berdasarkan Tabel 6.5, total biaya per kilogram tempe pada usaha tempe anggota skala I dengan skala III dan skala II dengan skala III berbeda signifikan secara statistik pada taraf nyata 1 persen sig.  0.01, sementara skala I dengan skala II tidak berbeda signifikan secara statistik. Total biaya per kilogram tempe pada usaha tempe non anggota skala II dengan skala III berbeda signifikan secara statistik pada taraf nyata 1 persen sig.  0.01, sementara skala I dengan skala II dan skala I dengan skala III berbeda signifikan secara statistik pada taraf nyata 10 persen sig.  0.1. Total biaya per kilogram tempe pada usaha tempe secara keseluruhan berbeda signifikan secara statistik. Nilai perbedaan rata-rata mean difference menunjukkan bahwa usaha tempe skala II memiliki rata-rata total biaya terkecil dibandingkan skala I dan III karena perbedaan rata-rata mean difference bertanda negatif saat dibandingkan dengan skala I dan skala III. Semakin besar skala usaha total biaya per kilogram tempe tidak semakin rendah. Hal tersebut disebabkan pada skala III terdapat biaya yang besar untuk kendaraan guna mengangkut tempe yang harus menggunakan mobil pick up dengan jumlah keranjang container yang lebih banyak dibanding skala II yang juga menggunakan pick up. Skala I dan sebagian skala II masih dapat menggunakan motor. Kapasitas kendaraan yang digunakan pada skala III belum optimal, sehingga menghasilkan biaya yang besar untuk sewa kendaraan per kilogram tempe yang dihasilkan. Biaya atas penggunaan kendaraan untuk mengangkut tempe secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2 untuk motor dan Lampiran 3 untuk mobil pick up. Jika dilihat dari besaran biaya dan hasil uji beda statistik, usaha tempe pengrajin anggota pada skala II yang memiliki total biaya terkecil. Dengan kata lain, usaha tempe tersebut yang paling efisien dari besaran biaya yang dikelurarkan. Besaran biaya saja tidak cukup untuk menyimpulkan usaha tempe manakah yang paling efisien. Untuk itu, selain mengetahui struktur biaya, perlu juga menganalisis penerimaan dan pendapatan dari usaha tempe sehingga usaha rumah tangga yang dijalankan dapat menyejahterakan keluarga.

6.2. Analisis Pendapatan Usaha Tempe

Struktur biaya usaha tempe telah diketahui, maka selanjutnya perlu diketahui komponen penerimaan sebelum menghitung dan menganalisis pendapatan dari usaha tempe yang dijalankan. Pendapatan dihasilkan dari total penerimaan dikurangi total biaya. Penerimaan usaha tempe di Kelurahan Kedung Badak terdiri dari penerimaan dari produksi tempe, penerimaan dari keanggotaan pengrajin terhadap Primkopti Kota Bogor, dan penerimaan lain. Penerimaan dari produksi tempe terdiri dari hasil penjualan tempe itu sendiri. Penerimaan dari keanggotaan pengrajin terhadap Primkopti Kota Bogor terdiri dari SHU yang diterima pengrajin anggota Primkopti Kota Bogor setiap tahunnya dan simpanan pengrajin anggota Primkopti Kota Bogor yang melakukan simpanan dan simpanan tersebut diakumulasikan dalam satu tahun. Penerimaan lain terdiri dari penjualan ampas kulit kedelai yang masih dapat dijual kepada peternak untuk tambahan pakan ternaknya. Oleh karena terdapat komponen penerimaan berdasarkan keanggotaan pengrajin terhadap Primkopti Kota Bogor, sedangkan tidak semua pengrajin di Kelurahan Kedung Badak menjadi anggota Primkopti Kota Bogor, maka penerimaan antara pengrajin anggota dan pengrajin non anggota berbeda. Pengrajin anggota Primkopti Kota Bogor memiliki tambahan penerimaan dari keanggotaannya terhadap Primkopti, yaitu SHU dan simpanan. Penerimaan pengrajin non anggota Primkopti hanya dari penjualan tempe dan penjualan ampas kulit kedelai. Oleh karena itu, pengrajin anggota dengan pengrajin non anggota memiliki rata-rata pendapatan yang berbeda. Selain analisis pendapatan, dengan menggunakan besaran biaya dan penerimaan, dapat juga dilakukan perhitungan rasio RC untuk mengetahui apakah usaha tempe yang dijalankan menguntungkan, merugikan, atau dalam kondisi impas, yaitu tidak untung tidak rugi. Selain itu rasio RC juga dapat digunakan untuk menentukan usaha tempe manakah yang paling efisien dari segi biaya dan pendapatan sehingga penelitian ini dapat memberikan rekomendasi usaha tempe yang sebaliknya dijalankan.

6.2.1. Analisis Pendapatan Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala

Usaha Analisis pendapatan usaha tempe dalam penelitian ini menggunakan komponen total penerimaan, total biaya tunai, dan biaya total secara keseluruhan. Besaran yang digunakan untuk ketiga komponen tersebut adalah besaran per hari per kilogram tempe yang dihasilkan. Besarnya pendapatan dihitung dengan dua cara, yaitu mengurangi total penerimaan dengan total biaya tunai dan mengurangi total penerimaan dengan biaya total secara keseluruhan. Oleh karena itu, akan didapatkan dua nilai pendapatan, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Tentunya kedua jenis pendapatan tersebut akan menghasilkan nilai yang berbeda. Sama halnya dengan perhitungan pendapatan, rasio RC juga dihitung dengan dua cara, yaitu membagi total penerimaan dengan total biaya tunai dan membagi total penerimaan dengan biaya total secara keseluruhan. Nilai rasio RC yang didapatkan terdapat dua besaran nilai, yaitu rasio RC atas biaya tunai dan rasio RC atas biaya total. Kedua jenis rasio RC tersebut akan menghasilkan nilai yang berbeda. Setiap pengrajin memproduksi tempe dengan takaran dan jumlah kemasan yang berbeda, sehingga perhitungan penerimaan tempe, terutama penerimaan dari penjualan tempe, dilakukan dengan menghitung penerimaan masing-masing pengrajin per skala usaha kemudian dirata-ratakan. Penerimaan dari penjualan tempe per hari per pengrajin secara rinci terdapat pada Lampiran 6. Tabel 6.6 menyajikan data penerimaan, biaya tunai, dan biaya total rata- rata per kilogram tempe yang dihasilkan per pengrajin anggota maupun non anggota untuk setiap skala usaha. Nilai-nilai tersebut kemudian digunakan untuk menghitung pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas biaya total, rasio RC atas biaya tunai, dan rasio RC atas biaya total. Tabel 6.6 Rata-rata pendapatan dan rasio RC usaha tempe berdasarkan keanggotaan Primkopti dan skala usaha di Kelurahan Kedung Badak tahun 2015 Uraian Anggota Non Anggota Skala I Skala II Skala III Skala I Skala II Skala III Penerimaan a. Penjualan Tempe 8 673 8 783 8 712 8 800 8 750 8 721 b. Sisa Hasil Usaha 5 6 7 c. Jasa Simpanan 9 13 15 d. Penjualan Ampas Kulit Kedelai 68 55 38 72 47 27 Total Penerimaan 8 755 8 857 8 772 8 872 8 797 8 748 Biaya a. Tunai 6 581 6 789 7 329 6 753 6 909 7 560 b. Tidak Tunai 830 578 330 856 516 225 Total Biaya 7 411 7 367 7 659 7 609 7 425 7 785 Pendapatan a. Atas Biaya Tunai 2 174 2 068 1 443 2 119 1 888 1 187 b. Atas Biaya Total 1 345 1 489 1 113 1 262 1 372 962 Rasio RC a. Atas Biaya Tunai 1.33 1.31 1.2 1.32 1.27 1.16 b. Atas Biaya Total 1.18 1.2 1.15 1.17 1.19 1.12 Keterangan: RpHariKg Tempe Sumber: Data Primer, 2015 Diolah Berdasarkan Tabel 6.6, total penerimaan per kilogram tempe yang dihasilkan pada skala I lebih besar pada pengrajin non anggota yaitu sebesar Rp 8 872 per hari dibandingkan pengrajin anggota yaitu sebesar Rp 8 755 per hari. Skala II dan III total penerimaan lebih besar pada pengrajin anggota yaitu sebesar Rp 8 857 per hari dan Rp 8 772 per hari dibandingkan pengrajin non anggota yaitu sebesar Rp 8 797 per hari dan Rp 8 748 per hari. Berbeda dengan biaya, pada total penerimaan per kilogram tempe ini, semakin besar skala usaha total penerimaan tidak semakin besar. Hal tersebut dikarenakan total penerimaan per kilogram tempe ditentukan dari bagaimana pengrajin memberikan harga jual terhadap tempe yang dihasilkan yang dikemas dalam berbagai ukuran kemasan. Perbedaan total peneriman per kilogram tempe yang dihasilkan antara pengrajin anggota dan non anggota dipengraruhi oleh adanya tambahan penerimaan yang dirterima oleh pengrajin anggota yang berasal dari simpanan dan SHU yang diterima dari Primkopti. Oleh karena itu, pada skala II dan III total penerimaan pengrajin anggota lebih besar dari pada pengrajin non anggota. Tabel 6.6 juga menyajikan besaran pendapatan dan nilai rasio RC untuk pengrajin anggota dan non anggota di setiap skala usaha. Terlihat bahwa pendapatan dan rasio RC atas biaya tunai lebih besar dibanding pendapatan dan rasio RC atas biaya total. Pada umumnya pengrajin hanya menghitung pendapatan dari usaha tempe yang dijalankan atas biaya tunai. Pendapatan atas biaya tunai tersebut terlihat lebih besar, namun pada kenyataannya terdapat biaya- biaya yang tidak secara langsung dikeluarkan tetapi sebaiknya dihitung ke dalam total biaya. Pendapatan atas biaya tunai dan atas biaya total per kilogram tempe pada skala I, II, dan III lebih besar pada pengrajin anggota dibandingkan dengan pengrajin non anggota. Hal tersebut disebabkan oleh biaya yang dikeluarkan pengrajin anggota pada tiap skala lebih kecil dibandingkan pengrajin non anggota. Selain itu, penerimaan yang diperoleh juga cenderung lebih besar pengrajin anggota dibandingkan pengrajin non anggota. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengrajin anggota mengeluarkan total biaya yang lebih rendah untuk setiap kilogram tempe yang dihasilkan karena kedelai dan ragi yang dibeli di Primkopti lebih murah dan mudah mendapatkannya serta terdapat tambahan penerimaan dari keanggotaan terhadap Primkopti sehingga total pendapatan pengrajin anggota jika dibandingkan antar skala usaha lebih besar jika dibandingkan dengan pengrajin non anggota. Pendapatan atas biaya tunai paling besar secara keseluruhan terdapat pada usaha tempe anggota skala I, karena pada skala I biaya tunai yang dikeluarkan cenderung lebih kecil karena masih banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Pendapatan atas biaya total secara keseluruhan terbesar terdapat pada usaha tempe anggota skala II. Hal tersebut dikarenakan total biaya paling kecil juga terdapat pada pengrajin anggota skala II. Oleh karena itu, usaha tempe di Kelurahan Kedung Badak tahun 2015 ini menunjukkan bahwa dengan meningkatkan skala usaha dari skala I ke skala II dapat menurunkan total biaya dan meningkatkan pendapatan atas biaya total per kilogram tempe, namun jika