Penelitian Terdahulu Struktur Biaya Dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota Dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)

21 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu lanjutan No. Peneliti Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 5. Raihani Arroyan 2011 Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Sayuran Organik dan Non Organik. 1. Mengkaji struktur biaya usahatani sayuran organik dibandingkan dengan usahatani sayuran non organik. 2. Menganalisis pendapatan usahatani sayuran organik dibandingkan dengan usahatani sayuran non organik. 1. Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya yang terjadi pada sayuran, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. 2. Analisis pendapatan dilakukan dengan analisis pendapatan. 1. Total biaya usahatani sayuran organik lebih tinggi dibandingkan non organik. Komponen biaya usahatani sayuran organik dan non organik tertinggi adalah tenaga kerja dan pupuk. 2. Pendapatan usahatani sayuran organik lebih tinggi dibandingkan non organik. Komoditas yang memiliki pendapatan tertinggi per kg output pada usahatani sayuran organik dan non organik adalah cabai. Pendapatan usahatani sayuran organik dan non organik terdapat perbedaan nyata pada satuan per hektar dan perbedaan tidak nyata pada satuan per petani. 6. Kusaeri Aulani 2014 Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri. 1. Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola mandiri di Desa Cimanggu I. 3. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I. 1. Identifikasi pengusaha tempe dilakukan dengan analisis deskriptif. 2. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh dengan regresi linier berganda dari fungsi produksi Cobb-Douglas beserta ujinya. 3. Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya yang terjadi dan analisis pendapatan dilakukan dengan analisis pendapatan. 1. Karakteristik sosial dilihat dari tingkat usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman usaha pengusaha tempe. Pengusaha pola kemitraan mendapatkan kedelai dari koperasi sedangkan pengusaha pola mandiri dari luar koperasi. Cara pengolahannya pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan cara yang disosialisasikan oleh KOPTI Kabupaten Bogor. 2. Output produksi tempe pengusaha pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air. Sedangkan output produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi kedelai saja. Skala usaha tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri berada pada kondisi decreasing return to scale. 3. Pendapatan total pengusaha tempe pola kemitraan sebesar Rp 105 982 805.97 per tahun, sedangkan pendapatan total pengusaha pola mandiri sebesar Rp 123 524 163.33 per tahun. Selisihnya sebesar Rp 17 541 357.36 per tahun. 22 22 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu lanjutan No. Peneliti Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 7. Agung Prasetio Utomo 2014 Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Petani Anggota dan Non anggota Kelompok Tani di Desa Kopo Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi petani anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Kopo. 2. Membandingkan tingkat pendapatan petani padi anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Kopo. 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukan dengan metode OLS dari fungsi produksi Cobb- Douglas. 2. Analisis pendapatan dilakukan dengan analisis pendapatan dan rasio RC. 1. Terdapat lima variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata 10 persen yaitu benih, pupuk kandang, tenaga kerja wanita dalam keluarga, tenaga kerja wanita luar keluarga dan keanggotaan kelompok tani. 2. Berdasarkan keanggotaan, petani anggota kelompok tani memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan petani non anggota. Berdasarkan status kepemilikan lahan usahatani, petani penyewa lahan memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan petani pemilik lahan. Berdasarkan keanggotaan dan status kepemilikan lahan usahatani, petani anggota kelompok tani dan penyewa lahan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karakteristik responden lainnya. 8. Fuji Lestari 2010 Analisis Produksi dan Pendapatan Usahatani Kangkung Anggota dan Non Anggota Kelompok Tani di Desa Bantarsari Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor. 1. Mengkaji keragaan usahatani kangkung anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Bantarsari. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung di Desa Bantarsari. 3. Membandingkan pendapatan petani kangkung anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Bantarsari. 1. Analisis keragaan usahatani dilakukan dengan statistik deskriptif. 2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung menggunakan model regresi berganda fungsi Cobb-Douglas. 3. Analisis pendapatan menggunakan uji statistik berupa uji-t. 1. Keragaan usahatani dilihat dari luas lahan dan status kepemilikan lahan anggota dan non anggota kelompok tani. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung anggota kelompok tani terdapat dua variabel yang berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, yaitu TKLK dan luas lahan, sedangkan non anggota kelompok tani yang berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, yaitu benih dan luas lahan. 3. Pendapatan usahatani kangkung anggota dan non anggota kelompok tani secara rata-rata berbeda, yaitu sebesar Rp 698 615.42 per usahatani atau Rp 3 870 441.41 per ha. Perbedaan pendapatan tersebut sangat dipengaruhi oleh produksi kangkung yang dihasilkan dan harga yang didapat anggota kelompok tani lebih tinggi dan harga input yang digunakan lebih rendah dibandingkan non anggota kelompok tani. III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis ini akan memberikan gambaran tentang teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori mengenai variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian struktur biaya dan pendapatan usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal terdiri dari struktur biaya, skala usaha, pendapatan, dan titik impas BEP. Kerangka penelitian teoritis ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut.

3.1.1. Analisis Struktur Biaya Usaha

Usaha rumah tangga atau usaha kecil layaknya usaha tani yang memiliki struktur biaya seperti yang diklasifikasikan oleh Soekartawi 1995, yaitu biaya tetap fixed cost dan biaya variabel variable cost. Biaya tetap umumnya diartikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Besarnya biaya tetap ini tidak bergantung pada besar-kecilnya produksi yang diperoleh, contohnya sewa tempat usaha, pajak, penyusutan alat, dan sebagainya. Biaya-biaya tersebut akan tetap dibayar walaupun hasil usaha itu besar atau gagal sekalipun. Biaya variabel umumnya diartikan sebagai biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, contohnya biaya untuk sarana produksi. Jika produksi yang diinginkan tinggi, maka faktor-faktor produksi seperti bahan baku, tenaga kerja, dan sebagainya perlu ditambah, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah tergantung dari besar-kecilnya produksi yang dinginkan. Penjumlahan antara total biaya tetap Total Fixed Cost, TFC dengan total biaya variabel Total Variable Cost, TVC menghasilkan total biaya Total Cost, TC. Soekartawi 1995 merumuskan biaya total TC sebagai berikut: Selain total biaya, total biaya tetap, dan total biaya variabel, masing- masing biaya tersebut dapat ditentukan biaya rata-ratanya. Menurut Shinta 2011, rata-rata biaya tetap Average Fixed Cost, AFC adalah biaya tetap untuk satuan produksi atau output yang dihasilkan. Rata-rata biaya variabel Average Variable Cost, AVC adalah biaya variabel untuk satuan produksi atau output yang dihasilkan. Sama halnya dengan total biaya, rata-rata total biaya Average Total Cost, ATC merupakan penjumlahan antara AFC dengan AVC. Hernanto 1990 merumuskan AFC, AVC, dan ATC secara matematis sebagai berikut: Hernanto 1990 juga mengklasifikasikan struktur biaya menjadi biaya tetap dan biaya variabel seperti Soekartawi 1995 yang telah diuraikan sebelumnya, serta biaya tunai dan biaya tidak tunai diperhitungkan. Dua kategori biaya menurut Hernanto 1990, sebagai berikut: 1. Biaya berdasarkan biaya tetap dan biaya variabel: a. Biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi, antara lain pajak tanah, pajak air, serta penyusutan alat dan bangunan. b. Biaya variabel adalah biaya yang besar-kecilnya sangat tergantung pada skala produksi, antara lain biaya untuk pupuk, bibit, buruh atau tenaga kerja upahan, biaya panen, biaya pengolahan tanah baik yang berupa kontrak maupun upah harian, dan sewa tanah. 2. Biaya berdasarkan biaya tunai dan biaya tidak tunai: a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap antara lain air dan pajak tanah, sedangkan biaya variabel antara lain biaya untuk pemakaian bibit, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja luar keluarga. b. Biaya tidak tunai diperhitungkan adalah biaya tetap dan variabel yang tidak dibayar tunai tetapi diperhitungkan. Biaya tetap antara lain biaya untuk tenaga kerja keluarga dan biaya penyusutan. Biaya variabel antara lain biaya panen dan pengolahan tanah dari keluarga dan jumlah pupuk kandang yang dipakai. Biaya produksi berdasarkan biaya tunai dan tidak tunai secara matematis dapat dirumuskan sebagaimana biaya total TC yang dirumuskan Soekartawi 1995 sebagai berikut:

3.1.2. Analisis Pendapatan Usaha

Menurut Rahim dan Hastuti 2007, pendapatan suatu usaha merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya. Dengan kata lain, pendapatan ini meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Penerimaan kotor atau penerimaan total adalah nilai produksi secara keseluruhan sebelum dikurangi total biaya produksi atau disebut juga dengan total penerimaan Total Revenue, TR. Total penerimaan TR adalah hasil perkalian harga jual Rpunit dengan produksi atau output yang diperoleh unit. Pendapatan bersih adalah nilai produksi secara keseluruhan sesudah dikurangi total biaya produksi Total Cost , TC yang disimbolkan dengan ∏. Menurut Soekartawi 1995, pendapatan usaha ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Sering kali perhitungan pendapatan suatu usaha, terutama usaha kecil atau rumah tangga, tidak memasukkan biaya tenaga kerja keluarga dan penyusutan alat-alat yang digunakan untuk berproduksi. Hal tersebut membuat pendapatan yang diperoleh dapat lebih besar yang pada kenyataannya masih terdapat biaya lain yang belum dihitung dalam usaha tersebut. Menurut Soekartawi 1995, perhitungan analisis pendapatan ini lebih baik dengan menggunakan biaya tunai dan tidak tunai. Pendapatan atas biaya tunai dan biaya tidak tunai dapat secara matematis dapat dirumuskan sebagaimana pendapatan usaha tani yang dirumuskan oleh Soekartawi 1995 sebagai berikut: Selain analisis pendapatan yang dapat menunjukkan besar pendapatan yang diperoleh dari usaha yang dijalalankan, maka terdapat rasio RC yang juga dapat menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan menguntungkan, merugikan, atau impas. Semakin besar nilai rasio RC, maka keuntungan yang diperoleh pengrajin tempe akan semakin besar. Menurut Rahmi dan Hastuti 2007 rasio RC atau RC Ratio adalah perbandingan ratio antara penerimaan revenue dan biaya cost. Seperti pendapatan, perhitungan rasio RC juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu rasio RC atas biaya total dan rasio RC atas biaya tunai. Menurut Soekartawi 1995, rasio RC secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: Dengan kriteria: 1. Rasio RC  1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari satu. Dengan kata lain, usaha tersebut menguntungkan atau lebih efisien. 2. Rasio RC = 1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut akan menghasilkan penerimaan sama dengan satu. Penerimaan yang diperoleh sama dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain, usaha tersebut dalam kondisi break even point BEP, yaitu tidak untung dan tidak rugi. 3. Rasio RC  1, menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut akan menghasilkan penerimaan yang lebih kecil dari satu. Dengan kata lain, usaha tersebut merugikan atau tidak efisien.

3.1.3. Analisis Titik Impas Break Even Point Usaha

Suatu usaha rumah tangga atau usaha kecil dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan, sehingga dalam merencanakan sesuatu diperlukan suatu analisis yang bisa memberikan dasar pada volume produksi atau hasil produksi dalam rupiah berapakah yang harus dihasilkan agar diperoleh pendapatan yang dapat menutupi biaya totalnya agar terhindar dari kerugian Shinta, 2011. Alat analisis yang digunakan dalam hal ini adalah analisis titik impas atau break even point BEP. Analisis BEP adalah suatu teknik atau pendekatan perencanaan keuntungan yang mendasarkan pada hubungan antara biaya cost dengan penerimaan revenue. Salah satu syarat perhitungan analisis BEP adalah bahwa semua biaya yang terkait dengan proses produksi mulai dari setiap jenis barang atau jasa yang dihasilkan, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Shinta 2011, asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis BEP ini adalah sebagai berikut: 1. Biaya dalam usaha dibagi dalam golongan biaya variabel dan biaya tetap. 2. Besarnya biaya variabel secara total berubah-ubah secara proporsional dengan volume produksi atau penjualan. Ini berarti biaya variabel per unitnya adalah tetap sama. 3. Besarnya total biaya tetap tidak berubah meskipun ada perubahan volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya tetap per unitnya berubah-ubah karena adanya perubahan volume produksi. 4. Harga jual per unit tidak berubah selama periode yang dianalisis. 5. Usaha tersebut hanya memproduksi satu macam produk, apabila diproduksi lebih dari satu macam produk pertimbangan penghasilan penjualan antara masing-masing produk adalah tetap konstan. Kurva BEP menggambarkan keterkaitan antara biaya dan pendapatan. Kondisi BEP dapat ditentukan pada titik perpotongan antara garis penerimaan dengan garis biaya total. Soekartawi 1995 menggambarkan kurva BEP sebagaimana yang dapat dilihat dalam Gambar 3.1. Sumber: Soekartawi, 1995 Gambar 3.1 Kurva Titik Impas BEP TR TC TFC TVC X Y Pener im aa n dan Bi ay a R p Volume Produksi kg BEP