perlakuan pencelupan pemasakan-tanpa secang berkisar antara 9,36 hingga 14,79, perlakuan pencelupan pemasakan-ditambah secang berkisar antara 10,31 hingga
15,45, perlakuan pemasakan pencelupan-tanpa secang berkisar antara 14,85 hingga 18,36, dan perlakuan pemasakan pencelupan-ditambah secang berkisar
antara 17,74 hingga 19,62. Seiring dengan lama penyimpanan menyebabkan nilai a menjadi semakin menurun.
Hasil analisis ragam nilai a pada Lampiran 8 menunjukkan pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan
memberikan pengaruh yang nyata p0,05 terhadap nilai a udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang
ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Tahapan pencelupan pemasakan RM dengan pemasakan pencelupan MR juga
menunjukkan adanya pengaruh yang nyata selama penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating surimi memiliki kemampuan untuk
mempertahankan warna merah udang rebus selama penyimpanan.
Gambar 24 Nilai b udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5
o
C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan-ditambah
secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang.
Nilai b udang rebus cenderung semakin menurun dengan semakin lamanya penyimpanan berdasarkan Gambar 24 di atas. Udang rebus yang tidak
diberi edible coating mengalami penurunan nilai b yang sangat pesat
10 20
30 40
50 60
70
1 2
3 4
5 6
7 8
N il
a i
b
Waktu penyimpanan Hari
dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi. Nilai b udang rebus pada perlakuan pencelupan pemakasakan-tanpa secang berkisar
antara 42,85 hingga 51,56, perlakuan pencelupan pemasakan-ditambah secang berkisar antara 39,17 hingga 47,84, perlakuan pemasakan pencelupan-tanpa
secang berkisar antara 52,16 hingga 57,58, dan perlakuan pemasakan pencelupan- ditambah secang berkisar antara 53,63 hingga 56,74. Seiring dengan lama
penyimpanan menyebabkan nilai b menjadi semakin menurun. Hasil analisis ragam nilai b pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa
pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata p0,05 terhadap nilai b udang
rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh
yang nyata. Tahapan pencelupan pemasakan RM dengan pemasakan pencelupan MR juga menunjukkan adanya pengaruh yang nyata selama penyimpanan. Hal
ini menunjukkan bahwa edible coating surimi memiliki kemampuan untuk mempertahankan warna kuning udang rebus selama penyimpanan.
Berdasarkan nilai L, a, dan b udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan cenderung mengalami penurunan. Nilai L, a dan b
mengalami penurunan karena selama proses penyimpanan udang rebus terjadi oksidasi lemak yang menyebabkan warna semakin menurun. Oksidasi astaxanthin
selama penyimpanan udang menyebabkan memudarnya warna astaxanthin merah dan kuning. Perubahan warna pada udang rebus juga terjadi karena isomerasi
astaxanthin yang terjadi secara simultan dengan oksidasi astaxanthin, sehingga menyebabkan hilangnya warna yang dominan merah dan kuning yang terdapat
dalam karotenoid. Penurunan warna merah dan kuning udang rebus berhubungan dengan hilangnya astaxanthin selama penyimpanan Niamnuy et al. 2008
.
Nilai L, a, dan b pada perlakuan pencelupan sebelum pemasakan memiliki nilai di bawah perlakuan pencelupan setelah pemasakan. Udang rebus
yang tidak diberi edible coating surimi kontrol memiliki nilai yang terendah dibandingkan dengan semua perlakuan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
oksidasi lemak dan astaxanthin yang berlangsung lebih cepat sebagai akibat dari tidak terlindunginya permukaan udang rebus. Pelapisan udang rebus oleh edible
coating surimi dapat mempengaruhi terhadap kandungan oksigen yang terdapat pada produk. Udang rebus yang terlindungi oleh edible coating surimi dengan
sempurna dapat mengurangi kontak dengan oksigen sehingga proses oksidasi menjadi terhambat. Edible coating surimi mampu menghambat terjadinya oksidasi
lemak dan astaxanthin, sehingga perubahan warna berlangsung dengan lambat. Terutama pada udang rebus yang dilapisi edible coating dengan penambahan
ekstrak secang, mampu menghambat terjadinya oksidasi karena selain berperan sebagai pewarna alami secang juga berperan sebagai antioksidan. Pewarna alami
selain berfungsi untuk mewarnai produk juga memiliki fungsi flavor, antioksidan, anti mikroba dan fungsi-fungsi lainnya Winarno 2008.
Warna merah pada udang merupakan atribut sensori yang mempengaruhi terhadap kualitas dan penerimaan produk pangan. Ekstrak secang yang
ditambahkan pada edible coating mampu mempertahankan warna udang rebus dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan perubahan warna yang terjadi pada
perlakuan pemasakan, pencelupan-ditambah secang yang berlangsung dengan lambat. Pengukuran nilai warna merah yang dilakukan dengan menggunakan
chromameter, menunjukkan hasil plot nilai a berada pada kisaran warna merah yaitu dilihat dari nilai a positif yang menunjukkan kecenderungan warna merah.
Berdasarkan pengamatan warna merah pada udang rebus, terlihat jelas bahwa udang rebus yang diberi edible coating surimi dengan ekstrak secang,
dengan tahapan proses pemasakan pencelupan memiliki warna merah yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Warna merah ini kemungkinan besar
merupakan peran dari brazilein. Terjadinya warna merah disebabkan oleh terbentuknya brazilein Kim et al. 1997. Brazilein juga memiliki aktivitas
antioksidan selain dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami,. Minuman berbasis kayu secang yang mengandung brazilein memiliki aktivitas antioksidan yang
cukup tinggi Yingming 2004. Aktivitas antioksidan tertinggi pada ekstrak secang yaitu pada konsentrasi 25 mg10 ml Weningtyas 2009. Kondisi keasaman
atau pH sangat mempengaruhi stabilitas warna pigmen brazilein, pada pH 6-7 berwarna merah Adawiyah dan Indriati 2003. Suhu dan pemanasan, sinar
ultraviolet, adanya oksidator dan reduktor serta penambahan metal mempengaruhi stabilitas dan mengakibatkan terjadinya degradasi pada pigmen brazilein. Aplikasi
edible coating dan secang pada udang rebus dapat melindungi produk dari perubahan mutu dan mampu memperpanjang masa simpan udang rebus
4.2.5.4 Nilai pH
Derajat keasaman atau pH merupakan suatu kondisi lingkungan pada setiap mikroorganisme dimana masih memungkinkan untuk tumbuh. Umumnya
setiap mikroorganisme memiliki kisaran pH optimum untuk pertumbuhannya. pH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri berkisar antara 6,5 dan 7,5
Winarno 2008. Nilai pH udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan disajikan pada Gambar 25.
Gambar 25 Nilai pH udang masak yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5
o
C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan-ditambah
secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang.
Nilai pH udang rebus cenderung semakin meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan. Udang rebus yang tidak diberi edible coating mengalami
peningkatan nilai pH yang sangat pesat dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi. Nilai pH udang rebus pada perlakuan pencelupan
pemasakan-tanpa secang berkisar antara 7,1-7,39, perlakuan pencelupan pemasakan-ditambah secang berkisar antara 7,08-7,35, perlakuan pemasakan
pencelupan-tanpa secang berkisar antara 7,02-7,23, dan perlakuan pemasakan
6,8 6,9
7 7,1
7,2 7,3
7,4 7,5
1 2
3 4
5 6
7 8
N il
a i
p H
Waktu penyimpanan Hari
pencelupan-ditambah secang berkisar antara7,03-7,20. Seiring dengan lama penyimpanan menyebabkan nilai pH menjadi semakin meningkat. Peningkatan
nilai pH selama penyimpanan akibat dari degradasi protein dan derivatnya oleh mikroorganisme yang menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti
amoniak, trimetilamin dan senyawa biogenik amin lainnya. Hasil analisis ragam nilai pH pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa
pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata p0,05 terhadap nilai pH udang
rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh
yang nyata. Tahapan pelapisan pemasakan RM dengan pemasakan pelapisan MR menunjukkan adanya pengaruh yang nyata selama penyimpanan pada suhu
1-5
o
C. Uji lanjut Tukey untuk penyimpanan, menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 dan ke-1 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH,
sedangkan pada penyimpanan hari ke-2 hingga akhir penyimpanan menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Selama proses penyimpanan udang rebus, nilai pH
mengalami peningkatan. Peningkatan nilai pH pada udang rebus yang dilapisi edible coating setelah proses pemasakan menunjukkan peningkatan nilai pH yang
lebih lambat dibandingkan dengan udang rebus yang dilapisi edible coating sebelum proses pemasakan.
Derajat keasaman atau pH mempengaruhi kekuatan gel surimi yang membentuk edible coating. Kekuatan gel tinggi apabila pH berkisar antara 6-7
karena protein miosin mudah larut pada pH tersebut. Diluar kisaran pH tersebut baik asam atau basa, kekuatan gel akan lebih rendah atau turun. Nilai pH lebih
dari 7 dapat melemahkan gel karena terjadi hidrasi protein, sedangkan pH kurang dari 6 menyebabkan ketidakstabilan protein miofibril dalam daging dan
mengindikasikan penurunan kemampuan pembentukan gel Suzuki 1981. Berdasarkan hal tersebut, udang rebus yang dilapisi edible coating setelah proses
pemasakan menunjukkan peningkatan nilai pH yang lebih lambat karena udang rebus terlindungi edible coating surimi dengan gel yang stabil, sehingga proses
degradasi protein menjadi lambat. Degradasi protein akan menghasilkan senyawa-
senyawa nitrogen yang lebih sederhana, diantaranya adalah basa-basa nitrogen yang menguap, yaitu trimetilamin, dimetilamin, dan amonia Howgate 2010.
4.2.5.5 Kadar air
Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability , kesegaran dan daya tahan
bahan makanan tersebut Winarno 2008. Kadar air produk berhubungan erat dengan kelembaban ruang penyimpanan. Transfer kelembaban menjadi suatu
faktor yang sangat penting yang secara serius mempengaruhi terhadap kualitas, stabilitas, dan keamanan selama penyimpanan pada udang Kanatt et al. 2006.
Kadar air udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan disajikan pada Gambar 26.
Gambar 26 Kadar air udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5
o
C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan-ditambah
secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang.
Kadar air udang rebus cenderung semakin menurun dengan semakin lamanya penyimpanan, hal ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar 26. Udang
rebus yang tidak diberi edible coating mengalami penurunan kadar air yang cukup tajam dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi. Kadar
air udang rebus pada perlakuan pencelupan pemasakan-tanpa secang berkisar antara 65,48 hingga 68,56, perlakuan pencelupan pemasakan-ditambah secang
63 64
65 66
67 68
69
1 2
3 4
5 6
7 8
K a
d a
r a
ir
Waktu penyimpanan Hari
berkisar antara 65,56 hingga 68,35, perlakuan pemasakan pencelupan-tanpa secang berkisar antara 66,32 hingga 68,47, dan perlakuan pemasakan
pencelupan-ditambah secang berkisar antara66,47 hingga 68,32. Hasil analisis ragam kadar air pada Lampiran 11 menunjukkan bahwa
pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata p0,05 terhadap kadar air
udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya
pengaruh yang nyata. Kadar air udang rebus cenderung menurun pada setiap perlakuan selama
penyimpanan. Penurunan kadar air pada udang rebus selama penyimpanan disebabkan oleh hilangnya sebagian air produk karena dehidrasi pada suhu ruang
penyimpanan. Penurunan kadar air pada udang rebus yang dilapisi edible coating setelah proses pemasakan memiliki kandungan air yang lebih tinggi selama
penyimpanan dibandingkan perlakuan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating surimi yang menyelimuti permukaan udang rebus mampu
menghambat hilangnya uap air dari udang rebus selama proses penyimpanan. Relatif tingginya kadar air udang rebus yang dilapisi edible coating disebabkan
oleh kemampuan edible coating dalam menghambat laju transmisi uap air Julikartika 2003. Edible coating berfungsi sebagai pembatas barrier
kelembaban, oksigen, flavor, aroma dan atau minyak untuk memperbaiki kualitas pangan, selain itu dapat memberikan perlindungan mekanis pada pangan,
mengurangi kerusakan dan memperbaiki keutuhan pangan Krochta 2002.
4.2.5.6 Nilai aktivitas air a
w
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan nilai a
w
yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya Winarno 2008. Nilai a
w
udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan disajikan pada Gambar 27.
Gambar 27 Nilai aktivitas air a
w
udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5
o
C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan,
pemasakan-ditambah secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang.
Berdasarkan Gambar 27 nilai a
w
udang rebus cenderung semakin menurun dengan semakin lamanya penyimpanan. Udang rebus yang tidak diberi edible
coating dan udang rebus yang diberi edible coating sebelum proses pemasakan mengalami penurunan nilai a
w
yang cukup tajam dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi setelah proses pemasakan. Nilai a
w
udang rebus pada perlakuan pencelupan pemasakan-tanpa secang berkisar antara 0,877
hingga 0,957, perlakuan pencelupan pemasakan-ditambah secang berkisar antara 0,892 hingga 0,956, perlakuan pemasakan pencelupan-tanpa secang berkisar
antara 0,921 hingga 0,942, dan perlakuan pemasakan pencelupan-ditambah secang berkisar antara 0,927 hingga 0,940.
Hasil analisis ragam nilai a
w
pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama
penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata p0,05 terhadap nilai a
w
udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible
coating yang ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh yang nyata.
0,8 0,82
0,84 0,86
0,88 0,9
0,92 0,94
0,96 0,98
1 2
3 4
5 6
7 8
N il
a i
a
w
Waktu penyimpanan Hari
Proses penyimpanan udang rebus menyebabkan nilai a
w
menjadi semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh hilangnya sebagaian air produk karena
terjadinya dehidrasi selama penyimpanan. Nilai a
w
udang rebus yang dilapisi
edible coating setelah proses pemasakan mengalami penurunan yang sangat lambat, bahkan cenderung stagnan hingga akhir penyimpanan. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa edible coating surimi memiliki kemampuan melindungi udang rebus dari dehidrasi selama penyimpanan. Selama penyimpanan,
kandungan air dalam bahan pangan dapat berubah akibat perbedaan kelembaban dengan lingkungan. Apabila bahan pangan disimpan pada tempat yang lebih
lembab, maka bahan pangan tersebut akan menyerap air. Sebaliknya, bila disimpan pada ruang yang lebih kering, maka akan menguapkan sebagian airnya
Syarief dan Halid 1992. 4.2.5.7 Nilai
water holding capacity WHC
Water Holding Capacity WHC atau daya ikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air, baik yang berasal dari daging itu sendiri maupun yang
berasal dari luar. Prinsip penghitungan WHC adalah dengan menghitung luasan air bebas yang berbanding terbalik dengan WHC Faridah et al. 2006. Nilai
WHC udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28 Nilai WHC udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5
o
C. kontrol, pencelupan, pemasakan-tanpa secang, pencelupan, pemasakan-ditambah
secang, pemasakan, pencelupan-tanpa secang, pemasakan, pencelupan-ditambah secang.
60 62
64 66
68 70
72 74
1 2
3 4
5 6
7 8
WH C
Waktu penyimpanan Hari
Nilai WHC udang rebus cenderung semakin menurun dengan semakin lamanya penyimpanan, seperti ditunjukkan pada Gambar 28. Udang rebus yang
tidak diberi edible coating dan udang rebus yang diberi edible coating sebelum proses pemasakan mengalami penurunan nilai WHC yang cukup tajam
dibandingkan dengan udang rebus yang diberi edible coating surimi setelah proses pemasakan. Nilai WHC udang rebus pada perlakuan pencelupan pemasakan-tanpa
secang berkisar antara 65,35 hingga 72,08, perlakuan pencelupan pemasakan- ditambah secang berkisar antara 66,56 hingga 72,45, perlakuan pemasakan
pencelupan-tanpa secang berkisar antara 68,28 hingga 72,98, dan perlakuan pemasakan pencelupan-ditambah secang berkisar antara 69,53 hingga 73,18.
Hasil analisis ragam nilai WHC pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa pemberian edible coating dari surimi terhadap udang rebus dan lama
penyimpanan berpengaruh nyata p0,05 terhadap nilai WHC udang rebus. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa antara udang rebus dengan edible coating yang
ditambah secang dan tanpa secang menunjukkan adanya pengaruh yang nyata. Interaksi antara penyimpanan juga menunjukkan pengaruh yang nyata.
Penyimpanan udang rebus menyebabkan kadar WHC menjadi semakin turun. Penurunan kadar WHC sebagai akibat dari berkurangnya kemampuan
protein untuk mengikat air pada bahan, sehingga air tersebut menjadi bebas. Perlakuan udang rebus yang diberi edible coating sebelum proses pemasakan
menunjukkan penurunan yang cukup cepat, hal ini terjadi sebagai akibat telah terjadinya kerusakan yang cepat dalam udang rebus, sehingga menyebabkan
menurunnya kemampuan protein udang rebus dalam mengikat air. Lemak akan mengalami kerusakan selama penyimpanan berupa hidrolisis sehingga
menghasilkan asam-asam lemak dan pH daging menurun mencapai kisaran pH isoelektrik aktomiosin dan menyebabkan daya ikat air menurun Wahyuni 1992.
Udang rebus yang diberi edible coating setelah proses pemasakan memperlihatkan penurunan nilai WHC yang lambat, terutama pada udang rebus yang dilapisi
edible coating dengan penambahan ekstrak secang. Hal ini menunjukkan bahwa edible coating surimi mampu menghambat perubahan proses kimia pada udang
rebus selama penyimpanan pada suhu 1-5
o
C, sehingga daya ikat air dapat dipertahankan dengan baik.
5 SIMPULAN
5.1 Simpulan
Edible coating dapat terbentuk dari surimi yang dibuat dari daging limbah filet ikan kakap merah. Edible coating yang terbentuk dapat melarutkan ekstrak
secang yang berfungsi sebagai pewarna alami pada tahap aplikasi terhadap udang rebus. Semakin tinggi konsentrasi surimi, maka semakin tinggi juga nilai
viskositas, kecerahan serta warna udang rebus menjadi lebih baik. Berdasarkan uji hedonik dan uji warna, diperoleh hasil bahwa konsentrasi surimi pada edible
coating yang paling banyak disukai oleh panelis dan menghasilkan tingkat kecerahan dan warna yang paling tinggi adalah sebesar 14. Dengan demikian,
untuk tahap penelitian terhadap kemunduran mutu udang rebus konsentrasi surimi yang digunakan adalah 14.
Tahapan aplikasi edible coating surimi terhadap udang rebus yang memberikan hasil yang baik adalah proses pemasakan terlebih dahulu kemudian
proses pelapisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang rebus yang dilapisi edible coating yang ditambah dengan ekstrak secang, dengan tahapan proses
pemasakan-pencelupan dapat mempertahankan masa simpan udang rebus dari 2 hari menjadi 6 hari selama penyimpanan pada suhu 1-5
o
C. Kriteria mutu udang rebus dengan masa simpan selama 6 hari tersebut adalah TPC 4,1 x 10
5
unit kolonigram, nilai TVB 10,79 mg N100g, nilai L 73,04, nilai a 18,14, nilai b
54,31, nilai pH 7,17, kadar air 67,12, aktivitas air 0,931, dan WHC sebesar 70,86. Ekstrak kayu secang yang dikombinasikan dengan edible coating surimi
ketika diaplikasikan pada udang rebus dapat memperbaiki kenampakan dan warna produk dan relatif stabil selama penyimpanan serta dapat memperpanjang umur
simpan.
5.2 Saran
Pencampuran ekstrak secang ke dalam edible coating surimi disarankan setelah edible coating surimi terbentuk dan masih dalam keadaan hangat suhu 50-
55
o
C supaya dapat larut dengan baik. Aktivitas antioksidan dan antibakteri yang terkandung dalam edible coating surimi yang diberi ekstrak secang disarankan
penelitian lebih lanjut, untuk meningkatkan fungsi edible coating surimi terhadap mutu udang rebus selama penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez OM, Caballero MEL, Guillen MC, Montero P. 2009. The effect of several cooking treatments on subsequent chilled storage of thawed deepwater pink
shrimp Parapenaeus longirostris treated with different melanosis-inhibiting formulas. LWT-Food Sci Tech. 42: 1335-1344.
[AOAC]. Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist 18
th
Edition. Gaithersburg, USA: AOAC International.
Adawiyah DR dan Indriati. 2003. Color stability of natural pigment from secang woods Caesalpinia sappan L.. Proceeding of The 8
th
Asean Food Conference; Hanoi: 8-11 Okt 2003.
Bottino NR, Lilly ML, Finne G. 1979. Fatty acid stability of Gulf of Mexico brown shrimp Penaues aztecus held on ice in frozen storage. J Food Sci.
44: 1778-1779. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. Udang Beku. SNI 01-2705-1992.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Surimi Beku-Bagian 1: Spesifikasi.
SNI 01-2694.1-2006. Diunduh dari www.bsn.go.id. Tanggal akses 19 Mei 2010.
Caballero L, Mateos MEP, Borderıas JA, dan Montero P. 2000. Extension of
shelf-life of prawns Penaeus japonicus by vacuumhigh-pressure treatment. J Food Protect. 63: 1381–1388.
Cagri A, Zeynep U, dan Elliot T R. 2004. Antimicrobial edible films and coatings. J Food Protect. 67 : 833-848.
Chen HH. 1995. Thermal stability and gel forming ability of shark muscle as related to ionic strength. J Food Sci. 60: 1237-1240.
Chinabhark K, Benjakul S, Prodpran T. 2007. Effect of pH on the properties of protein-based film from bigeye snapper Priacanthus tayenus surimi.
Bioresource Tech. 98: 221-225 Delgado F, Paredes VO, dan Lopez. 2003. Natural Colorant for Food and
Nutraceutical Uses. Boca Raton: CRC Press LLC. Departemen Kesehatan. 1998. Materi medika Indonesia I. J Wrt Tumb Indonesia
4: 17-18. Ditjen Perikanan. 1990. Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta:
Direktorat Jenderal perikanan.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Bantuan Teknis untuk Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah di Indonesia. Jakarta: DKP-
JICA. Donhowe IG, Fennema OR. 1994. Edible Films and Coatings : Characteristics
Formation, Definitions and Testing Methods. Di dalam: Krochta JM, Baldwin EA, dan Carriedo M MON, editor . Edible Coating and Film to
Improve Food Quality. Lancaster, Pensylvania: Technomic Publishing Company, Inc.
Erdogdu F, Balaban MO, Otwell WS, Garrido L. 2004. Cook-related yield loss for pasific white Penaeus vannamei shrimp previously treated with phosphates:
effects of shrimp size and internal temperature distribution. J Food Eng. 64 : 297-300.
Falguera A, Quintero JP, Jimenez A, Munoz JA, dan Ibarz A. 2011. Edible films and coatings: structures, active functions and trends in their use. Article in
Press. J Trends in Food Sci Tech. 20: 1-12. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Quality Changes in
Fresh Fish. Rome: FAO Fisheries Technical. Farber L. 1965. Freshness Test. Di dalam Borgstorm G, editor. Fish As Food.
New York: Academic Press. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasari D. 2006. Penuntun
Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Gennadios A, Hanna MA, dan Kurth LB. 1997. Application of edible coating on meats, poultry and seafoods: A Review. LWT 30: 337-350.
Globefish. 2005. Shrimp Market Report: May 2005. http:www.globefish.org. Tanggal akses 12 April 2009.
Gontard N, Guilbert S. 1994. Bio-Packaging: Technology and Properties of Edible Film andor Biodegradable Material of Agricultureal Orgin. Di dalam:
Mathlouthi, editor. Food Packaging and Preservation. Glasgow, UK: Blackie Academic and Profesional.
Goodwin TW. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigment II. London: Academic Press.
Haard NF, Simpson BK and Pan BS. 1994. Sarcoplasmic Proteins and Other Nitrogenous Compounds. Di dalam: Sikorski ZE, editor. Seafood Proteins.
New York: Chapman and Hall.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Yogyakarta: Liberty.
Haetami RR. 2008. Karakteristik surimi hasil pengkomposisian tetelan ikan kakap merah Lutjanus sp. dan ikan layang Decapterus sp. pada penyimpanan
beku [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and fish mince products. Di dalam: Hall GM, editor. Fish Processing and Technology. New York: Blackie Academic and
Professional. Hasseine A, Meniai AH, Korichi M. 2009. Salting-out effect of single salts NaCl
and KCl on the LLE of the system water + toluene + acetone, water + cyclohexane + 2-propanol and water + xylene + methanol. J Desalination
242: 264-276.
Heruwati ES, Murtini JT, Rahayu S dan Suherman. 1995. Pengaruh jenis ikan dan zat penambah terhadap elastisitas surimi ikan air tawar. J Penltn Perik
Indonesia 1: 12-17. Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Terjemahan Badan Litbang
Kehutanan Jakarta. Di dalam : J Wrt Tumb Obat Indonesia 1998. 4: 3, 17-18. Holinesti R. 2007. Studi pemanfaatan pigmen brazilein kayu secang Caesalpinia
sappan L. sebagai pewarna alami serta stabilitasnya pada model pangan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Howgate P. 2010. A critical review of total volatile bases and trimethylamine as indices of freshness of fish, part 2, formation of the bases and application in
quality assurance. Electrn J Envirnmt Agric Food Chem. 9: 58-88. Hultin HO. 1985. Characteristic of muscle tissue. Di dalam: Fennema OR, editor.
Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc. Ismudiyati N. 2003. Studi awal pengaruh penggunaan kappa karagenan semi
refine sebagai edible coating terhadap laju kemunduran mutu filet ikan patin [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Iwata K, Khizaki S, Handa A, Tanaka M. 2003. Effect of surimi quality on properties of edible films based on alaska pollack. J Food Sci. 86 : 493-499.
Jacoeb AM, Hamdani M, dan Nurjanah. 2008. Perubahan komposisi kimia dan vitamin daging udang ronggeng Harpiosquilla raphidea akibat perebusan.
Bul Tek Hsl Perik. 11: 76-88. Julikartika EP. 2003. Karakterisasi edible coating dari alginat hasil ekstraksi
rumput laut Sargassum sp. untuk pelapis udang [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kanatt SR, Chawla SP, Chander R, Sharma A. 2006. Development of shelf-stable, Ready-to-eat RTE shrimps Penaeus indicus using gradiation as one of the
hurdles. J LWT 39: 621-626. Kato H, Rhue MR, Nishimura T. 1989. Role of free amino acids and peptides in
food test. Di dalam: Teranishi R, editor. Flavor chemistry; trends and developments. Di dalam: Wongso S, Yamanaka H. 1998. Extractive
components of the adductor muscle of Japanese baking scallop and changes during refrigerated storage. J Food Sci. 63: 772-776.
Kilincceker O, Dodan IS, dan Kucukoner E. 2009. Effect of edible coating on quality of frozen fish fillets. Food Sci Tech. 42 : 868-873.
Kim DS, Baek NI, Oh SR, Jun KY, Lee IS, Lee HK. 1997. NMR assignment of brazilin. J Phytochem. 46: 177-178
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2008. Jakarta : Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Kristie A. 2008. Efek encampuran ekstrak zat warna kayu secang dengan beberapa sumber antosianin terhadap kualitas warna merah dan sifat
antimikrobanya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Krochta JM. 1992. Control of Mass Transfer in Food with Edible Coating and Film. Dalam: Singh RP Ed Advance Food Engineering. Boca Raton: CRC
Press. Krochta JM, Johnston CDM. 1997. Edible and biodegradable polymer films:
challenges and opportunisties. J Food Tech. 51: 61-74. Krochta JM. 2002. Protein as Raw Material for Films and Coatings : Definitions
Current Status, and Opportunities. Di dalam: Gennadios A, editor. Protein- Based Films and Coating. Washington DC: CRC Press.
Lanier T.C. 2000. Surimi Gelation Chemistry. Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. New York: Marcel Dekker, Inc.
Lee CM. 1984. Surimi process technology. J Food Tech. 38: 69-80. Lemmens RHMJ, Soetjipto NW. 1992. Plant resources of South East Asia, dye
and tannin producing plants. Netherlands: Prosea. Lim MY, Ju HJ, Eun YJ, Chi HL, Hoi SL. 2007. Antimicrobial activity of
5-hydroxy-1,4-naphtoquinone isolated from Caesalpinia sappan toward intestinal bacteria. J Food Chem. 100: 1254-1258.
Liu X, Gong J, Pan K, Benjakul S, Zhou A. 2005. Cryoprotective effect of trehalose and sodium lactate on tilapia Sarotherodon nilotica surimi during
frozen storage. J Food Chem. 96 :96-103.
Mackie IM. 1992. Surimi from fish. Di dalam: Johnston DE, Knight MK, Ledward DA, editor. The Chemistry of Muscle-based Food. United Kingdom: Royal
Society of Chemistry. Mastromatteo M, Danza A, Conte A, Muratore G, Matteo Nobile MAD. 2010.
Shelf life of ready to use peeled shrimps as affected by thymol essential oil and modified atmosphere packaging. Int J Food Microbiol. 144: 250–256
Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1992. Cryostabilization of protein in surimi. Di dalam: Lanier TC dan Lee CM, editor. Surimi Technology. New York:
Marcel Dekker Inc. Micthell, C. 1986. Surimi The American Experience. Technology of Surimi
Manufacturing . Info Fish Marketing Digest: 20-24 Neviana Y. 2007. Edible film berbahan dasar protein surimi ikan rucah [skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Niamnuy C, Devahastin S, Soponronnarit S, Raghavan GSV. 2008. Kinetics of
astaxanthin degradation and color changes of dried shrimp during storage. J Food Eng. 87: 591–600.
Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Di dalam: Lanier TC dan Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.
Okada M. 1992. History of surimi technology in Japan. Di dalam: Lanier TC danLee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.
Oliveira LFC, Edwads HGM, Velozo ES, dan Nesbitt M. 2002. Vibrational spectroscopic study of brazilin and brazilein, the main constituent of
brazilwood from brazil. J Vibrational Sperctroscopy 28: 243-249. Ouattara B, Sabato SF, dan Lacroix M. 2002. Use of gamma-irradiation
technology in combination with edible coating to produce shelf-stable foods. J Radiation Phys Chem. 63: 305–310.
Ozogul F dan Ozogul Y. 2000. Comparison of methods used for determination of total volatile base nitrogen TVB-N in rainbow trout Onchorhynchus
mykiss. Turk J Zoo. 24: 113-120. Park JW dan Morissey, T. 2000. Manufacturing of Surimi from Light Muscle
Fish. Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. New York: Marcel Dekker, Inc. p. 23-58.
Park JW dan Lin TMJ. 2005. Surimi : Manufacturing and Evaluation. Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. Second Edition. New York:
Taylor and Francis Group. Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan
Surimi. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi.
[PLI] Promolux Lighting International. 2000. Temperature of Seafood Displays in Commercial Merchandisers. http:www.promolux.com. Tanggal akses 12
April 2009. Purwaningsih, Sri. 1995. Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta: Penebar
Swadaya. Riyanto B. 2006. Pengembangan pelapis edible dari isinglass dan aplikasinya
untuk mempertahankan mutu udang masak [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bandung: Bina Cipta.
Santoso J, Trilaksani W, Nurjana, Nurhayati T. 1997. Perbaikan mutu gel ikan mas Cyprinus carpio melalui modifikasi proses [laporan penelitian]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sanusi M. 1989. Isolasi dan Identifikasi Zat Warna Kayu Sappang. Ujung
Pandang: Balai Industri Ujung Pandang. Sanusi M. 1993. Isolasi dan identifikasi zat warna dari Caesalpinia lignum.
Majalah Kimia 49 : 57-68. Di dalam: J Wrt Tumb Obat Indonesia 1998, 43 : 17-18.
Schiedt K, Bischof S, Glinz E. 1993. Metabolism of carotenoids and in vivo racemization of 3S, 3’S-astaxanthin in the crustacean Penaeus. Meth
Enzymol 214:148-168. Serdarog
lu M Felekog˘lu E. 2001. The packaging under modified atmosphere of seafood. Du¨nya G
ıda 4 : 73–77. Siamcanadian. 2004. Cooked Shrimp. Siamcanadian Foods Co., Ltd. Diunduh dari
www.siamcanadian.comcooked-shrimp. 15 April 2010. Siebert KJ, Troukhanova NV, Lynn PY. 1996. Nature of polyphenol-protein
interaction. J Agric Food Chem. 44: 80-85. Simson BK., Nayeri G, Yaylayan V, dan Ashie INA. 1998. Enzymatic hydrolysis
of shrimp meat. J Food Chem. 61: 131-138. Shiku Y, Hamaguchi PY, Benjakul S, Visessanguan W, Tanaka M. 2004. Effect
of surimi quality on properties of edible film based on Alaska pollack. J Food Chem. 86 : 493-499.
Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. 1992. Surimi production from fatty and dark- fleshed fish species. Di dalam: Surimi Technology. Lanier TC dan Lee CM,
editor. New York : Marcel Dekker. Sobral PJA, Garcia FT. 2002. Effect of thermal treatment of the filmogenic
solution on the mechanical properties, color and opacity of film based on muscle protein of two varieties of tilapia, J Food Sci. 38 : 289-296.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik. Jakarta: Bina Aksara. Sriket P, Benjakul S, Visessanguan W, Kijroongrojana K. 2007. Comparative
studies on composition and thermal properties of black tiger shrimp Penaeus monodon and white shrimp Penaeus vannamei meats. J Food chem.
103: 1199-1207.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Soemantri B, Penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suntoro SH. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein, Processing Technology. London: Applied
Science Publ.Ltd. Syarief R dan Halid H. 1992. Teknologi penyimpanan pangan. Jakarta: Penerbit
Arcan. Tan SM, Chung NM, Fujiwara T, Kuang HK, dan Hasegawa. 1987. Handbook on
The Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Product in Southeast Asia. Singapore: MFRD-SEAFDEC.
Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Tokyo: Koseisha Koseikaku Co. Ltd.
Venugopal V, Doke SN, Nair PM. 1994. Gelation of Shark Myofibrillar Protein by Weak Organic Acids. Food Chem. 50: 185-190.
Wahyuni M. 1992. Sifat kimia dan fungsional ikan hiu lanyam Charcarinus limbatus serta penggunaannya dalam pembuatan sosis [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Weningtyas H. 2009. Efek pencampuran pigmen kayu secang Caesalpinia
sappan L. dengan beberapa sumber antosianin terhadap kualitas warna merah dan sifat antioksidannya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Wilson NRP, Dyett EJ, Hughes RB, Jonas CRV. 1981. Meat and Meat Products. London: Applied Science Publishing. Ltd.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winarti C dan Sembiring BS. 1998. Pengaruh cara dan lama ekstraksi terhadap kadar tanin ekstrak kayu secang Caesalpinia sappan L. J Wrt Tumb Obat
Indonesia 4: 17-18. Yanar, Yasemen., Mehmet C. Elik., dan Mahmut Yanar. 2004. Seasonal changes
in total carotenoid contents of wild marine shrimps Penaeus semisulcatus and Metapenaeus monoceros inhabiting the eastern Mediterranean.
J Food Chem. 88,267–269.