The improvement of cooked shrimp’s surimi based edible coating from red snapper fillet waste (Lutjanus sp.)

(1)

IIS ROSTINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Edible Coating pada Udang Rebus Berbahan Dasar Surimi Limbah Filet Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2011 Iis Rostini


(3)

(4)

IIS ROSTINI. The improvement of cooked shrimp’s surimi based edible coating from red snapper fillet waste (Lutjanus sp.). Under direction of BUSTAMI IBRAHIM and WINI TRILAKSANI

Cooked shrimp is a value added product with high protein content, specific taste, ready to eat, and have an interested colour for consumers. Cooked shrimp must be protected from quality deterioration during storage. The purpose of this study was to determined physical characteristics of edible coating made from meat of red snapper fillet waste; examined the effectivity of surimi edible coating protection towards physic, chemistry and microbiology damage indicators; learned surimi edible coating application to inhibit the quality deterioration of cooked shrimp during storage at 1-5 oC. Surimi concentration that used as edible coating were 2, 6, 10, and 14% (w/v), each edible coating treated with two treatments, which were without and added by secang extract. Peeled undevined (PUD) vannamei (Litopenaeus vannamei) with size 60-70 was used as object. Application of surimi edible coating on cooked shrimp was comprised boiled then coated and coated then boiled. Quality of cooked shrimp alteration was determined everyday, including total plate count (TPC), total volatile base (TVB), pH, water content, aw, water holding capacity (WHC), and colour exchange. The treatments giving best result were edible coating with 14% surimi concentration, added by secang extract, and processed with boiling then coating. Surimi edible coating combined with secang extract effectively protect cooked shrimp towards physic, chemistry, and microbiology damage, improved cooked shrimp appearance, stabilized colour during storage, and extended the shelf life until 6 days.


(5)

(6)

Dasar Surimi Limbah Filet Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.). Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan WINI TRILAKSANI.

Udang rebus menjadi produk yang memiliki nilai tambah karena memiliki citarasa yang khas, warna yang menarik, dan praktis untuk disajikan. Hal tersebut menyebabkan permintaan terhadap udang rebus menjadi tinggi. Warna udang rebus merupakan karakteristik utama yang menarik minat konsumen. Hal yang menjadi permasalahan pada udang rebus adalah terjadinya perubahan warna, denaturasi protein, peningkatan volatile base nitrogen, perubahan tekstur, penurunan daya ikat air, dan keluarnya cairan yang mengandung padatan daging udang. Bertolak dari hal tersebut maka udang rebus perlu dilindungi dengan kemasan edible coating. Surimi dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat edible coating berbasis protein, dan untuk mempertahankan warna udang rebus maka edible coating juga dapat dikombinasikan dengan pewarna alami dari ekstrak secang (Caesalpinia sappan L). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisik edible coating berbahan dasar surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah, menguji efektivitas perlindungan surimi sebagai edible coating terhadap indikator kerusakan fisik, kimia, dan mikrobiologis, dan mempelajari aplikasi surimi dari limbah filet ikan kakap merah sebagai edible coating yang dikombinasikan dengan ekstrak secang (Caesalpinia sappan L.) untuk menghambat kemunduran mutu udang rebus selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC.

Penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu tahap pembuatan surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah (Lutjanus sp.), pembuatan dan karakterisasi edible coating, ekstraksi secang (Caesalpinia sappan L.), dan aplikasi edible coating terhadap udang rebus. Edible coating surimi terdiri dari dua perlakuan, yaitu tanpa ekstrak secang dan ditambah ekstrak secang. Aplikasi edible coating surimi terhadap udang meliputi dua tahap perlakuan, yaitu pelapisan terlebih dahulu kemudian pemasakan dan pemasakan terlebih dahulu kemudian pelapisan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor dan tiga kali pengulangan.

Edible coating dibuat dari surimi dengan berbagai konsentrasi yaitu 2, 6, 10, dan 14%. Edible coating yang terbentuk berwarna bening, semakin tinggi konsentrasinya maka kenampakannya menjadi semakin keruh. Penambahan secang ke dalam edible coating menghasilkan warna merah tua, warna tersebut dihasilkan karena coating memiliki pH mendekati basa yaitu 7,8±0,04. Semakin besar konsentrasi surimi juga menyebabkan nilai viskositas edible coating menjadi meningkat.

Aplikasi edible coating surimi terhadap udang rebus, berdasarkan hasil uji hedonik dan uji warna, diperoleh hasil bahwa konsentrasi surimi 14% pada edible coating paling banyak disukai oleh panelis dan menghasilkan warna udang yang paling tinggi. Dengan demikian, tahap penelitian terhadap kemunduran mutu udang rebus konsentrasi surimi yang digunakan adalah 14%.


(7)

penambahan ekstrak secang, menunjukkan tingkat pertumbuhan bakteri, peningkatan nilai TVB dan nilai pH yang paling lambat, sedangkan nilai warna, kadar air, aktivitas air, dan water holding capacity (WHC) udang rebus cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC. Penurunan nilai tersebut terjadi pada setiap perlakuan, tetapi pada perlakuan pelapisan edible coating surimi setelah proses pemasakan mengalami laju penurunan yang lebih lambat dibandingkan dengan yang lainnya terutama pada edible coating surimi yang dikombinasikan dengan ekstrak secang.

Edible coating surimi memiliki kemampuan perlindungan pada udang rebus secara efektif terhadap indikator kerusakan fisik, kimia, dan mikrobiologis. Tahapan aplikasi edible coating surimi terhadap udang rebus yang memberikan hasil yang baik adalah proses pemasakan terlebih dahulu kemudian pelapisan. Edible coating surimi yang dikombinasikan dengan ekstrak secang, ketika diaplikasikan pada udang rebus dapat memperbaiki kenampakan dan warna udang rebus relatif stabil selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC, serta dapat memperpanjang umur simpan hingga 6 hari.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

(10)

IIS ROSTINI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(11)

(12)

NRP : C351080081

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(13)

(14)

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 ini ialah edible coating, dengan judul Pengembangan Edible Coating pada Udang Rebus Berbahan Dasar Surimi Limbah Filet Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. dan Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. selaku pembimbing yang telah membimbing, memberi arahan dan masukan dalam menyelesaikan tesis ini, Bapak Bambang Riyanto, S.Pi., M.Si. sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran, serta Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan atas dukungan dan kemudahan yang diberikan selama studi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Eddy Afrianto, M.Si. dan Ibu Ir. Evi Liviawaty, M.Si. selaku Kepala Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Universitas Padjadjaran yang telah memberikan saran, arahan, dan motivasi kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, mamah, suami (Waldi Gumilar), dan seluruh keluarga, serta rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana IPB atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2011


(15)

(16)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 7 Juli 1980 dari ayah Dadang Koswara dan Ibu Nunung Rukmini. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 11 Bandung dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Universitas Padjadjaran. Penulis memilih jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Pascasarjana IPB pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional (BPPS).

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran sejak tahun 2006 di Bandung.


(17)

(18)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 4

1.4 Hipotesis ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) ... 9

2.2 Limbah Filet Ikan Kakap Merah ... 11

2.3 Protein Ikan ... 12

2.3.1 Protein miofibril ... 12

2.3.2 Protein sarkoplasma ... 13

2.3.2 Protein stroma ... 14

2.4 Surimi ... 14

2.4.1 Mutu surimi ... 15

2.4.2 Pembentukan gel surimi ... 16

2.4.3 Cryoprotectant... 18

2.5 Edible Coating ... 18

2.6 Udang dan Komponen Udang ... 20

2.7 Udang Rebus (Cooked Shrimp) ... 24

2.8 Secang (Caesalpinia sappan L) ... 25

3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat ... 27

3.2 Bahan dan Alat ... 27

3.3 Metode Penelitian ... 27

3.3.1 Pembuatan surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah . 28

3.3.2 Ekstraksi secang (Caesalpinia sappan L) ... 30

3.3.3 Pembuatan edible coating surimi ... 31

3.3.4 Proses pembuatan udang rebus ... 31


(19)

3.4 Prosedur Analisis ... 34

3.5 Rancangan Percobaan ... 40

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan ... 43

4.1.1 Pengujian bahan baku (limbah filet ikan kakap merah) ... 43

4.1.2 Bahan pewarna alami dari secang ... 44

4.2 Penelitian Utama ... 45

4.2.1 Mutu surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah ... 45

4.2.2 Pembuatan dan karakterisasi edible coating dari surimi ... 46

4.2.3 Aplikasi edible coating pada udang rebus ... 48

4.2.4 Visualisasi aplikasi edible coating surimi terhadap udang rebus ... 57

4.2.5 Kemunduran mutu udang rebus yang diberi edible coating surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC ... 61

5 SIMPULAN 5.1 Simpulan ... 79

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(20)

Halaman

1 Komposisi kimia ikan kakap merah (Lutjanus sp.) ... 10

2 Produksi ikan kakap merah Indonesia Tahun 2001-2005 ... 10

3 Volume ekspor filet ikan laut Indonesia tahun 2004-2007 ... 11

4 Syarat mutu dan keamanan pangan surimi beku ... 16

5 Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus vannamei) segar ... 21

6 Komposisi asam amino udang vannamei (Litopenaeus vannamei) ... 22


(21)

(22)

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 7 2 Ikan kakap merah (Lutjanus sp.) ... 10 3 Struktur anatomi udang ... 20 4 Secang (Caesalpinia sappan Linn.) ... 25 5 Diagram alir pembuatan surimi dari daging limbah filet ikan kakap

merah ... 29 6 Skema proses ekstraksi secang (Caesalpinia sappan L.) ... 30 7 Diagram alir pembuatan dan aplikasi edible coating surimi ikan

kakap merah ... 33 8 Daging limbah filet ikan kakap merah beku ... 43 9 Ekstraksi secang (Caesalpinia sappan L.) ... 44 10 Edible coating dari surimi limbah filet kakap merah pada berbagai

konsentrasi ... 46 11 Edible coating dari surimi limbah filet kakap merah pada berbagai

konsentrasi dengan penambahan secang sebanyak 2,5 mg/ml ... 46 12 Nilai rataan viskositas edible coating dari surimi daging limbah filet

ikan kakap merah ... 47 13 Hasil uji hedonik terhadap udang rebus yang dilapisi edible coating

surimi ... 48 14 Hasil uji hedonik terhadap udang rebus yang dilapisi edible coating

surimi ditambah secang sebanyak 2,5 mg/ml ... 48 15 Nilai L* udang rebus yang dilapisi edible coating dengan berbagai

konsentrasi surimi ... 54 16 Nilai a* udang rebus yang dilapisi edible coating dengan berbagai

konsentrasi surimi ... 55 17 Nilai b* udang rebus yang dilapisi edible coating dengan berbagai

konsentrasi surimi ... 57 18 Penampang melintang udang rebus pada berbagai perlakuan edible

coating surimi ... 59 19 Permukaan udang rebus yang diberi edible coating surimi diamati

secara mikroskopis ... 60 20 Nilai TPC udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi


(23)

penyimpanan pada suhu 1-5 oC ... 67 23 Nilai a* udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama

selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC ... 68 24 Nilai b* udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi selama

penyimpanan pada suhu 1-5 oC ... 69 25 Nilai pH udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi

selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC ... 72 26 Kadar air udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi

selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC ... 74 27 Nilai aktivitas air (aw) udang rebus yang dilapisi edible coating dari

surimi selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC ... 76 28 Nilai WHC (%) udang rebus yang dilapisi edible coating dari surimi

selama penyimpanan pada suhu 1-5 oC ... 77


(24)

Halaman

1 Lembar penilaian uji hedonik ... 91 2 Analisis ragam viskositas edible coating dari surimi daging limbah

filet ikan kakap merah ... 92 3 Analisis ragam uji hedonik terhadap udang rebus ... 94 4 Analisis ragam nilai warna udang rebus yang dilapisi edible coating

dengan berbagai konsentrasi surimi ... 104 5 Analisis ragam nilai log TPC udang rebus yang dilapisi edible

coating ... 110 6 Analisis ragam nilai TVB udang rebus yang dilapisi edible coating ... 115 7 Analisis ragam nilai L* udang rebus yang dilapisi edible coating ... 119 8 Analisis ragam nilai a* udang rebus yang dilapisi edible coating ... 123 9 Analisis ragam nilai b* udang rebus yang dilapisi edible coating ... 127 10 Analisis ragam nilai pH udang rebus yang dilapisi edible coating ... 131 11 Analisis ragam kadar air udang rebus yang dilapisi edible coating ... 135 12 Analisis ragam nilai aw udang rebus yang dilapisi edible coating ... 139 13 Analisis ragam nilai water holding capacity (WHC) udang rebus yang

dilapisi edible coating ... 142 14 Ekstraksi kayu secang (Caesalpinia sappan L.) ... 146 15 Pembuatan surimi dari limbah filet ikan kakap merah (Lutjanus sp.) .... 147 16 Edible coating dari surimi limbah filet ikan kakap merah (Lutjanus sp.) ... 148 17 Proses pelapisan udang dengan edible coating surimi ... 149 18 Pengemasan dan penyimpanan udang rebus yang telah dilapisi edible


(25)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditi hasil perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga merupakan sumber protein hewani. Kandungan protein udang vannamei (Litopenaeus vannamei) yang dimasak melalui proses perebusan adalah 23,25%. Udang telah diolah dalam berbagai variasi, diantaranya adalah dikeringkan, dibekukan dalam bentuk whole fresh (utuh), head-off tail on (tanpa kepala tetapi terdapat ekor), peeled (udang kupas) dan udang rebus.

Udang rebus menjadi produk yang mempunyai nilai tambah karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya yaitu warna yang menarik, citarasa yang khas, serta praktis untuk disajikan. Citarasa udang rebus yang khas menyebabkan permintaan terhadap udang rebus menjadi tinggi. Udang rebus merupakan seafood yang digemari oleh masyarakat Amerika, karena dapat disajikan secara cepat (Siamcanadian 2004) dan sangat disukai di negara-negara maju lainnya khususnya Eropa dan Jepang (Globefish 2005). Warna udang rebus merupakan karakteristik utama yang menarik minat konsumen. Warna daging udang akan mengalami perubahan selama proses pemasakan, daging menjadi berwarna merah atau orange, warna tersebut timbul akibat terjadinya perubahan pigmen karotenoid astaxanthin. Protein terdenaturasi dan mengakibatkan astaxanthin merah dilepaskan selama proses pemasakan udang, sehingga warna udang menjadi merah (Alvarez et al. 2009).

Udang rebus pada umumnya dijual di supermarket dengan dikemas dan disajikan pada display makanan berpendingin yang dilengkapi dengan lampu. Kondisi tersebut menyebabkan suhu ruang display menjadi naik sebesar 10 oC dari suhu awal ruang display (-1,6) oC, dengan demikian produk yang disajikan mengalami kemunduran mutu (Promolux Lighting International 2000). Hal yang menjadi permasalahan pada udang rebus juga adalah terjadinya perubahan warna, denaturasi protein, peningkatan volatile base nitrogen, perubahan tekstur, penurunan daya ikat air, dan keluarnya cairan yang mengandung padatan daging udang yang dikenal dengan istilah drip (Erdogdu et al. 2004). Mikroorganisme


(26)

akan mengubah struktur protein daging selama penyimpanan dan akan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan (Serdaroglu dan Felekoglu 2001).

Upaya yang dilakukan untuk melindungi udang dari kerusakan selama penyimpanan, pada umumnya dilakukan glazing atau pemberian lapisan tipis air (Bottino et al. 1979). Glazing ini dapat menyebabkan terjadinya kristalisasi air yang terdapat pada produk saat penyimpanan, kemudian beberapa komponen termasuk warna akan larut ketika dilakukan thawing. Menurut Kilincceker et al. (2009), untuk memperpanjang masa simpan dan menjaga kualitas produk dapat digunakan edible coating. Edible coating ini penting untuk produk makanan yang mudah mengalami kerusakan contohnya seafood. Edible coating juga dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada permukaan produk olahan segar (Cagri et al. 2004).

Edible coating dapat berbasis hidrokoloid (protein, polisakarida), lipid (asam lemak, acil gliserol, wax atau lilin) dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid) (Donhowe dan Fennema 1994). Surimi dalam industri pangan dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat kemasan edible atau lebih dikenal dalam bentuk edible film dan edible coating berbasis protein (Shiku et al. 2004). Edible film dan coating potensial digunakan sebagai bahan kemasan karena dapat mempengaruhi kualitas makanan, keamanan pangan, dan masa simpan produk. Edible film dan coating selain berperan sebagai penghambat difusi massa (kelembaban, gas, volatile), juga berperan sebagai carrier bahan makanan dan aditif termasuk flavor, antioksidan, vitamin dan pewarna (Cagri et al. 2004), serta untuk meningkatkan penanganan pangan (Krochta dan Johnston 1997).

Edible film dan coating yang berbahan dasar protein (protein-based film and coating) memiliki daya hambat dan mekanis lebih unggul dibandingkan dengan yang berbahan dasar polisakarida. Keunggulan ini disebabkan protein mengandung 20 jenis asam amino yang berbeda dan mempunyai ciri-ciri khusus sehingga menghasilkan karakteristik fungsional lebih bervariasi jika dibandingkan dengan polisakarida yang digunakan sebagai bahan dalam pembuatan edible film dan coating yang kebanyakan homopolimer (Iwata et al. 2003).

Warna udang rebus merupakan salah satu atribut sensori utama yang mempengaruhi kualitas dan penerimaan produk. Kemampuan edible coating


(27)

dalam mempertahankan warna udang rebus dapat diaplikasikan dengan bahan pewarna alami secang (Caesalpinia sappan L) yang bersifat antioksidan dan antimikroba, sehingga dapat menghasilkan produk dengan warna dan kualitas yang lebih baik. Edible coating dan zat antimikroba dapat digabungkan selama proses pembuatan film untuk meningkatkan keamanan dan masa simpan makanan ready-to-eat (Cagri et al. 2004).

Daging ikan yang tersisa di tulang dari limbah filet selama ini kurang termanfaatkan, biasanya dikumpulkan dan dijual ke pasar tradisional untuk dikonsumsi atau digiling menjadi tepung ikan. Peningkatan nilai tambah dapat dilakukan terhadap daging sisa filet ikan yaitu sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi. Upaya untuk memproduksi surimi dengan kualitas yang baik telah dilakukan melalui berbagai penelitian, namun penelitian mengenai edible film atau edible coating yang berbahan dasar surimi dan aplikasinya di bidang industri perikanan baru sedikit dilakukan. Penelitian tersebut diantaranya adalah edible coating dari surimi ikan alaska pollack (Shiku et al. 2004), edible film berbahan dasar surimi ikan rucah (Neviana 2007), dan edible film dari surimi ikan tuna (Chinabhark et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, maka studi tentang metode pembuatan larutan surimi yang dapat digunakan sebagai edible coating, karakterisasi, dan aplikasinya untuk melindungi udang rebus selama penyimpanan menjadi penting untuk dilakukan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mempelajari karakteristik fisik dan kimia edible coating berbahan dasar surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah.

2. Menguji efektivitas perlindungan surimi sebagai edible coating terhadap indikator kerusakan fisik, kimia, dan mikrobiologis.

3. Mempelajari aplikasi surimi dari limbah filet ikan kakap merah sebagai edible coating untuk menghambat kemunduran mutu udang rebus selama penyimpanan pada suhu rendah.


(28)

1.3 Kerangka Pemikiran

Industri filet ikan kakap merah memiliki prospek yang cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan permintaan pasar lokal maupun ekspor terhadap produk filet ikan kakap merah filet beku maupun filet segar. Adanya permintaan filet yang cukup banyak tersebut akan dihasilkan limbah yang cukup tinggi. Salah satu limbah dari industri filet yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambahnya adalah daging yang masih menempel pada tulang dari limbah filet. Daging ikan kakap merah yang diperoleh dari limbah industri filet memiliki kandungan protein yang tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi yang selanjutnya digunakan untuk bahan edible coating.

Hampir semua sektor industri makanan dapat menggunakan formulasi edible coating pada produknya. Penggunaan edible coating tersebut memiliki banyak manfaat. Menurut Gennadios et al. (1997), manfaat yang potensial dari penggunaan edible coating adalah :

1. mengurangi masalah kehilangan kadar air selama penyimpanan 2. mencegah terjadinya dripping (keluarnya cairan dari produk) 3. mengurangi oksidasi lipid dan oksidasi mioglobin

4. mengurangi jumlah kerusakan dan mikroorganisme patogenik dan sebagian besar dapat menghentikan aktivitas enzim proteolitik pada permukaan produk yang dilapisi

5. melindungi permukaan produk sehingga dapat memperbaiki nilai nutrisi produk.

Protein surimi ikan kakap merah dapat dimanfaatkan sebagai pelapis edible, dalam peranannya tersebut protein surimi ikan kakap harus memiliki kemampuan membentuk gel yang baik dan memiliki warna yang cerah, hal tersebut merupakan kriteria dasar dari suatu pelapis. Tingkat keyakinan yang dapat digunakan adalah dengan mengamati produk yang dilapisi edible coating. Hal ini berhubungan dengan tertutupnya produk secara keseluruhan dan ketebalan lapisan yang menutupi produk tersebut. Ketebalan lapisan dipengaruhi oleh teknik pelapisan dan tingkat kekentalan larutan yang digunakan, sehingga analisis terhadap karakteristik protein surimi sangat penting untuk diketahui.


(29)

Efektivitas aplikasi edible coating dapat didefinisikan sebagai tingkat kemampuan dalam memenuhi fungsinya sebagai artificial barrier untuk menciptakan kondisi dalam memperlambat perubahan mutu produk. Pengukuran efektivitas edible coating dapat dilihat dari berbagai perubahan pada berbagai parameter mutu produk. Perubahan mutu udang rebus dapat ditentukan dengan mengamati perubahan kimia, mikrobiologi, dan sifat fisik.

Indikator mutu produk merupakan petunjuk yang sangat penting dalam menilai tingkat keberhasilan penelitian yang dilakukan. Indikator tersebut dapat berupa penilaian organoleptik terhadap kenampakan, warna, bau, dan rasa. Indikator-indikator yang lebih penting lagi adalah perubahan kimia, mikrobiologi dan fisik yang menunjukkan suatu tingkat kecepatan terjadinya perubahan mutu. Indikator perubahan kimia hasil perikanan segar, termasuk udang segar umumnya dapat berupa perubahan kandungan protein, lemak dan air. Indikator perubahan komposisi protein dapat dilihat dari semakin tingginya nilai Total Volatile Base (TVB) dan pH, yang menunjukkan telah terjadinya perubahan pada protein menjadi komponen-komponen penyusun dan produk lanjutan. Indikator perubahan kimia lainnya adalah semakin menurunnya kadar air dan nilai aw produk.

Indikator mikrobiologis dapat diketahui dengan semakin meningkatnya nilai total koloni bakteri yang diuji dengan metode total plate count (TPC) pada produk. Perubahan fisik dapat ditunjukkan dengan hilangnya kekerasan dari produk atau terjadinya drip (keluarnya cairan dari produk dan biasanya disertai dengan kandungan komponen lainnya). Hal ini dapat diukur dengan melihat kecenderungan penurunan daya ikat air atau water holding capacity (WHC) serta terjadinya perubahan warna, yang diukur secara objektif dengan sistem notasi Hunter (L*a*b*). Mikroorganisme mengubah struktur protein daging selama proses penyimpanan atau tahap pengolahan, yang dapat menghasilkan bau yang tidak diharapkan. Hal tersebut akan mempengaruhi terhadap persepsi dan kepuasan konsumen (Serdaroglu dan Felekoglu 2001).

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah ruang penyimpanan produk. Indikasi yang digunakan yaitu suhu dan kelembaban (Relative Humidity). Faktor lingkungan lain yang dapat mempengaruhi produk adalah kemasan yang


(30)

digunakan. Kemasan ini dapat berupa bahan kemasan beserta karakteristik dan ketebalannya. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa edible coating yang dibuat dari bahan dasar protein dapat menolong untuk memperpanjang masa simpan dan menjaga kualitas dari edible coating sangat penting untuk makanan yang mudah mengalami kerusakan (Osman et al. 2009).

Tingkat kemampuan edible coating sebagai artificial barrier untuk menciptakan kondisi dalam memperlambat perubahan mutu produk dapat dikombinasikan dengan bahan antibakteri dan antioksidan. Bahan edible yang dicampurkan dengan zat antibakteri dapat meningkatkan keamanan pangan dan masa simpan produk makanan (Cagri et al. 2004). Zat antioksidan juga penting pada udang rebus untuk mencegah terjadinya oksidasi sehingga dapat mempertahankan warnanya. Warna merah pada udang rebus merupakan atribut sensori yang mempengaruhi terhadap kualitas dan penerimaan produk pangan. Dengan demikian untuk meningkatkan fungsi edible coating pada udang rebus dikombinasikan dengan pewarna alami yang memiliki sifat antibakteri dan antioksidan.

Pewarna alami selain berfungsi untuk mewarnai produk juga memiliki fungsi sebagai flavor, antioksidan, antimikroba dan fungsi-fungsi lainnya (Winarno 2008). Sumber pewarna merah alami diantaranya dapat diperoleh dari tanaman yaitu kayu secang (Caesalpinia sappan L). Secang dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami karena mengandung pigmen brazilin yang berwarna merah dan bersifat larut dalam air panas (Sanusi 1993). Ekstrak secang selain memiliki pigmen merah, telah terbukti memiliki efek fungsional sebagai antimikroba. Secang juga memiliki aktivitas antioksidan, menurut Yingming et al. (2004), minuman berbasis secang yang mengandung brazilin memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Aplikasi edible coating dan secang pada udang rebus diharapkan dapat melindungi produk dari perubahan mutu dan mampu memperpanjang masa simpan. Edible coating yang dibuat dari surimi limbah filet ikan kakap merah dalam penelitian ini, diharapkan dapat melindungi udang rebus dari perubahan mutu sesuai dengan kerangka pemikiran penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 1.


(31)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

1.4 Hipotesis

1. Surimi pada konsentrasi yang tepat dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible coating dengan karakteristik dan mutu yang baik.

2. Aplikasi surimi sebagai edible coating dapat menghambat kemunduran mutu udang rebus selama penyimpanan pada suhu rendah.

3. Kombinasi surimi sebagai edible coating dengan secang dapat meningkatkan fungsi perlindungan terhadap udang rebus dari perubahan warna dan mutu selama penyimpanan.

Surimi dari limbah filet ikan kakap

merah untuk meningkatkan nilai

tambah produk

Komposisi kimia surimi ikan kakap merah

Edible coating surimi ikan kakap merah

Konsentrasi surimi dalam

edible coating

Kombinasi edible coating

surimi dengan pewarna alami

Viskositas edible coating surimi

Teknik pelapisan (pencelupan)

Aplikasi edible coating terhadap

udang rebus

Fungsi edible coating surimi terhadap udang rebus (indikator fisik, kimia, dan

mikrobiologi) Tingkat efektivitas edible coating

surimi dalam melindungi udang rebus dari berbagai perubahan

mutu selama penyimpanan pada suhu rendah


(32)

(33)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.)

Ikan kakap adalah salah satu jenis ikan konsumsi yang mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan kakap, diantaranya adalah ikan kakap merah (red snapper, Lutjanus sanguine) dan ikan kakap kehijauan gelap yang dikenal dengan sebutan ikan kakap saja (giant seaperch atau seabass, Lates calcarifer). Kakap merah berasal dari suku Lutjanidae, sedangkan ikan kakap dari suku Centropomidae (Saanin 1984).

Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan kakap merah adalah sebagai berikut :

kingdom : Animalia filum : Chordata sub filum : Vertebrata kelas : Pisces sub kelas : Teleostei ordo : Percomorphi sub ordo : Percoidea famili : Lutjanidae genus : Lutjanus spesies : Lutjanus sp.

Ikan kakap merah mempunyai badan yang memanjang, dapat mencapai panjang 200 cm, umumnya 25-100 cm, gepeng, batang sirip ekor lebar, mulut lebar, sedikit serong dan gigi-gigi halus. Bagian bawah pra-penutup insang berduri-duri kuat. Bagian atas penutup insang terdapat cuping bergerigi. Ikan kakap merah termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil dan crustacea. Terdapat di perairan pantai, muara-muara sungai, teluk-teluk dan air payau. Daerah penyebaran ikan kakap yaitu pantai utara Jawa, sepanjang pantai Sumatera, bagian timur Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru Utara, Teluk Benggala, pantai India dan Teluk Siam (Ditjen Perikanan 1990). Gambar ikan kakap merah (Lutjanus sp.) disajikan pada Gambar 2.


(34)

Gambar 2 Ikan kakap merah (Lutjanus sp.) (Sumber: http://fishworld. trademarket.co.htm.).

Ikan kakap merah tergolong ikan demersal yang penangkapannya menggunakan pancing, encircling net dengan rumpon, jaring insang dan trawl (Ditjen Perikanan 1990). Komposisi kimia ikan kakap merah (Lutjanus sp.) ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan kakap merah (Lutjanus sp.)

Komposisi Kimia Berat (%)

Air Protein Lemak Karbohidrat Abu

80,3 18,2 0,4

0 1,1 Sumber: Ditjen Perikanan (1990)

Produksi ikan kakap di Indonesia pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami rata-rata peningkatan sebesar 11,41%. Produksi ikan kakap merah Indonesia tahun 2002-2005 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Produksi ikan kakap merah Indonesia tahun 2001-2005

Tahun Jumlah (ton)

2001 2002 2003 2004 2005

Kenaikan rata-rata 2001-2005

63,485 66,642 74,233 91,339 97,044 11,41 Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Indonesia (2007)


(35)

2.2 Limbah Filet Ikan Kakap Merah

Ikan merupakan sumber protein yang baik jika dibandingkan dengan hasil-hasil hewani lainnya. Ikan dan hasil-hasil perikanan lainnya pada umumnya mengandung protein yang tinggi dan jumlahnya tidak terlalu bervariasi, tetapi kandungan lemaknya dapat bervariasi besar sekali. Komposisi kimia daging ikan bervariasi tergantung kepada spesies, jenis kelamin, habitat, musim dan jenis makanan (Hadiwiyoto 1993).

Ikan kakap merah merupakan salah satu ikan yang megandung protein tinggi. Ikan kakap merah lebih banyak dimanfaatkan dalam bentuk filet dan bagian kepala. Filet diproduksi untuk diekspor dan dijual ke supermarket atau pasar semi modern, sedangkan kepala ikan kakap merah biasanya dijual ke rumah makan padang yang menyediakan masakan gulai kepala kakap, atau dijual ke pelelangan dan pasar tradisional (Haetami 2008). Volume ekspor filet ikan laut segar atau dingin dan dibekukan berfluktuasi dari tahun 2004-2007, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Volume ekspor filet ikan laut Indonesia tahun 2004-2007

Tahun Jumlah (Kg)

Filet beku Filet segar

2004 33.658.152 2.301.714

2005 37.759.020 2.407.866

2006 33.220.595 3.313.445

2007 35.073.673 7.883.452

Sumber : Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) (2009)

Proses pembuatan filet pada industri dihasilkan limbah berupa tulang, daging sisa yang masih menempel di tulang, kepala, dan isi perut. Industri filet juga menghasilkan limbah daging ikan hasil sortir yang tidak memenuhi standar karena rusak, memiliki celah atau rongga diantara otot daging sehingga otot daging ikan menjadi terpisah, kondisi tersebut dikenal dengan istilah gapping.

Berbagai limbah yang diperoleh dari industri filet ikan kakap merah sebenarnya dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai tambah produk. Pemanfaatan daging ikan kakap dari limbah filet biasanya digunakan oleh para pengusaha industri rumah tangga sebagai bahan baku untuk nugget, baso, otak-otak, pempek, dan siomay. Pemanfaatan daging limbah industri filet ikan kakap


(36)

merah dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya, salah satunya adalah dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai edible coating ataupun produk olahan lainnya.

2.3 Protein Ikan

Protein ikan bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan. Larutan protein tersebut apabila diasamkan hingga mencapai pH 4,5-5 akan terjadi pengendapan. Sebaliknya apabila dipanaskan (pemasakan, penggorengan) proteinnya akan menggumpal (koagulasi). Protein juga dapat mengalami denaturasi apabila dilakukan pengurangan air, baik selama pengeringan maupun pembekuan (Zaitsev et al. 1969).

Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya dalam air, lokasi terdapatnya, dan fungsinya. Berdasarkan kelarutannya dalam air, protein ikan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu protein mudah larut dalam air, protein yang tidak larut dalam air dan protein yang sukar larut dalam air setelah diberi garam dalam konsentrasi tertentu (Hadiwiyoto 1993).

Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging ikan, Protein ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein stroma (protein jaringan ikat) dengan komposisi kandungan miofibril 65-75%, sarkoplasma 20-30%, dan stroma 1-3% (Suzuki 1981).

2.3.1 Protein miofibril

Protein miofibril merupakan bagian yang terbesar dan merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan protein regulasi yang merupakan gabungan antara aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin. Golongan protein yang menyusun miofibril pada otot daging merupakan 50% lebih dari seluruh protein daging ikan (Zaitsev et al. 1969). Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi, terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981).

Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat diekstrak dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (> 0,5 M). Penampakan protein miofibril ikan mirip dengan otot hewan mamalia, tetapi lebih mudah


(37)

kehilangan aktivitas ATP-asenya dan laju agregasinya lebih cepat. Protein yang larut dalam larutan garam umumnya efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air (Wilson et al. 1981).

Aktin dan miosin merupakan anggota utama yang termasuk ke dalam golongan protein yang larut dalam larutan garam dengan konsentrasi 0,05 – 0,5%. Jumlah aktin dalam daging ikan kurang lebih 15-25%, miosin kurang lebih 50-60%, dan tropomiosin kira-kira 3-5% dari seluruh protein golongan ini. Aktin dan miosin merupakan protein yang labil sifatnya dan dapat membentuk aktomiosin yang lebih kompleks.

Miosin merupakan komponen protein miofibril terbesar di dalam daging ikan, yaitu sekitar 80% dari total protein miofibril (Shahidi dan Botta 1994). Menurut Chen (1995), miosin merupakan protein terpenting pada gelasi daging selama pemanasan dimana sisi aktifnya mengembang dan tidak menggulung setelah “setting”. Miosin juga merupakan protein yang paling penting dari semua protein otot, selain karena jumlahnya yang besar, miosin juga mempunyai sifat biologi khusus yaitu adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi dapat bergabung dengan aktin membentuk kompleks aktomiosin.

2.3.2 Protein sarkoplasma

Protein sarkoplasma sebagai protein terbesar kedua mengandung bermacam-macam protein yang larut dalam air yang disebut miogen. Kandungan sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi, selain tergantung jenis ikannya juga tergantung habitat ikan tersebut. Ikan pelagis pada umumnya mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Suzuki 1981). Jumlah protein ini tidak banyak, kira-kira 20-25% dari kandungan protein ikan (Lanier 2000).

Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan akan merusaknya, sebagai contoh misalnya beberapa protease yang merusak miofibril (Hall dan Ahmad 1992). Protein sarkoplasma dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan cara mengekstrak daging ikan dengan menggunakan air dingin. Pencucian dengan menggunakan suhu dingin ini


(38)

bertujuan untuk mempertahankan protein khususnya protein miofibril agar tidak mengalami kerusakan seperti denaturasi (Santoso et al. 1997).

2.3.3 Protein stroma

Protein stroma merupakan bagian terkecil yang membentuk jaringan ikat dan tidak dapat diekstrak dengan air, larut asam, larut alkali atau larutan garam pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma ini terdiri dari kolagen dan elastin dan merupakan protein yang terdapat pada bagian luar sel otot. Daging merah ikan pada umumnya mengandung lebih banyak protein stroma tapi lebih sedikit mengandung protein sarkoplasma jika dibandingkan dengan daging putih ikan. Daging merah ini terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat pada hampir seluruh bagian tubuh (Suzuki 1981). Protein ini disusun dari kolagen dan elastin dengan jumlah sekitar 3% dari total protein otot ikan teleostei dan sekitar 10% dalam ikan elasmobranchii, sedangkan pada mamalia sekitar 17%. Protein stroma ini tidak dapat diekstrak oleh larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Selain protein stroma, protein kontraktil seperti konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak (Hultin 1985). Protein stroma dalam pengolahan surimi tidak dihilangkan karena mudah dilarutkan oleh panas (kolagen) dan merupakan komponen netral pada produk akhir (Hall dan Ahmad 1992).

2.4 Surimi

Surimi dapat didefinisikan sebagai bentuk cincang dari daging ikan yang telah mengalami proses penghilangan tulang (deboning), pencucian dan penghilangan sebagian air (dewatering) sehingga dikenal sebagai protein konsentrat basah (wet concentrate protein) dari daging ikan (Okada 1992). Surimi merupakan protein miofibril yang telah distabilkan dan dicampur dengan cryoprotectant bila disimpan dalam keadaan beku (Park dan Lin 2005). Surimi digunakan sebagai bahan dasar pengolahan produk tradisional Jepang “kamabako”. Saat ini surimi dikenal sebagai daging lumat yang telah mengalami proses pencucian. Salah satu keunggulan surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan.


(39)

2.4.1 Mutu surimi

Surimi dengan mutu yang paling bagus adalah surimi dengan derajat putih yang paling tinggi, paling bersih dan kekuatan gelnya paling tinggi (Mitchell 1986). Martin et al. (1982) menambahkan bahwa kriteria penting yang dapat menentukan kualitas surimi adalah kekuatan gel yang dapat dibentuk oleh surimi tersebut. Komponen yang berperan dalam pembentukan gel adalah protein miofibril yang dapat diekstrak dengan larutan garam netral.

Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gelnya dan warna yang sangat tergantung dari faktor-faktor seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode dan pengawasan pengolahan, kadar air, pengawasan suhu pembekuan dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi. Penentuan mutunya dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian organoleptik, uji lipat dan uji gigit (Tan et al. 1987).

Persyaratan bahan baku surimi menurut Badan Standardisasi Nasional (BSN) (2006) yaitu bahan baku surimi beku berasal dari ikan demersal dan ikan pelagis segar yang sudah atau belum disiangi serta berasal dari perairan yang tidak tercemar. Mutu bahan baku surimi adalah sebagai berikut :

1. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.

2. Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran seperti berikut :

- Kenampakan : mata cerah, cemerlang - Bau : segar


(40)

Tabel 4 Syarat mutu dan keamanan pangan surimi beku

Jenis uji Satuan Persyaratan

a Organoleptik angka (1-10) minimal 7

b Cemaran mikroba:

- ALT koloni/gram

- Escherichia coli APM/g maksimal 5,0x105

- Salmonella APM/g negatif

- Vibrio cholera APM/g negatif

- Vibrio parahaemolyticus* APM/g maksimal<3 (kanagawa positif)

c Cemaran kimia

- Raksa (Hg)* mg/kg maksimal 1

- Timbal (Pb)* mg/kg maksimal 0,4

- Histamin* mg/kg maksimal 100

- Cadmium (Cd)* mg/kg maksimal 0,1

d Kadar air % 80-82

e Fisika:

- Suhu pusat oC maksimal -18

f Filth potong 80-82

Catatan* Bila diperlukan

APM = Angka paling memungkinkan Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).

Kriteria yang paling penting dalam menentukan mutu surimi adalah elastisitas produk yang dihasilkan karena hasil pembentukan gel ikan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap elastisitas produk surimi diantaranya jenis ikan, kesegaran ikan, pH, kadar air, pencucian, suhu dan waktu pemasakan dan jumlah zat penambah, seperti garam, gula, polipospat, monosodium glutamat, pati dan putih telur. Perlakuan pencincangan dan penggilingan juga menentukan tekstur (Heruwati et al. 1995).

2.4.2 Pembentukan gel surimi

Pembentukan gel protein daging terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua adalah terjadinya agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi (Niwa 1992). Mackie (1992) menyimpulkan bahwa ada dua hal yang diperlukan untuk menghasilkan produk gel, yaitu: (1) protein miofibril harus dilarutkan dalam larutan garam, dan (2) pemanasan untuk membentuk gel, protein harus terdenaturasi sehingga membentuk struktur jala yang teratur dan mampu menahan


(41)

air yang terdapat dalam surimi. Menurut Venugopal et al. (1994) selain garam, asam lemah (asam asetat dan asam laktat) juga dapat menyebabkan denaturasi protein yang memudahkan proses pembentukan gel yang ditunjukkan dengan meningkatnya viskositas. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya jika yang ditambahkan adalah asam kuat seperti HCl, asam sitrat dan asam tartrat.

Penambahan garam dalam pembuatan surimi dapat memperbaiki sifat gel, dan kekuatan gel optimum tercapai pada konsentrasi garam 2-3%. Konsentrasi garam minimum yang ditambahkan untuk mengekstrak protein miofibril dan jaringan ikan adalah ±2% dari berat daging pada pH 7. Konsentrasi garam yang digunakan menjadi lebih besar jika pH diturunkan (Suzuki 1981).

Pembentukan gel ikan terjadi pada saat penggilingan daging mentah dengan penambahan garam. Aktomiosin (miosin dan aktin) sebagai komponen yang paling penting dalam pembentukan gel akan larut dalam larutan garam, membentuk sol (dispersi partikel padat dalam medium cair) yang sangat adhesif. Bila sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan konstruksi seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Sifat elastis ini disebut ashi atau suwari. Kekuatan ashi merupakan nilai mutu dari produk gel ikan misalnya kamaboko yang kekuatannya berbeda-beda menurut jenis dan kesegaran ikan (Tanikawa 1985).

Menurut Lee (1984), gel suwari terbentuk tidak hanya melalui hidrasi molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik dan molekul protein miofibril. Setting pada suhu rendah akan membentuk ikatan hidrogen dalam gel, sedangkan ikatan hidrofobik akan mendominasi gel yang dibentuk dengan setting pada suhu tinggi.

Konstruksi jala dapat terbentuk dan konjugasi molekul-molekul protein yang diikat oleh suatu jembatan seperti garam, atau ikatan antara karbonil dengan radikal amino pada peptida oleh hidrogen atau oleh radikal disulfida yang terbentuk dan radikal sulfhidril. Pasta daging ikan apabila dibiarkan pada suhu kamar dalam waktu lama, maka sifat elastis akan hilang dan daging menjadi mudah patah, fenomena ini dikenal dengan modori. Fenomena modori ini juga dapat terjadi apabila daging dipanaskan pada suhu rendah dalam jangka waktu yang lama (Tanikawa 1985). Fenomena modori terjadi pada suhu sekitar 60 oC,


(42)

karena pada suhu tersebut protease akan lebih aktif terhadap aktomiosin yang menyebabkan lemahnya gel yang dihasilkan (Haard et al. 1994). Fenomena perubahan elastisitas dapat dijelaskan dengan dispersi molekul-molekul protein (Tanikawa 1985).

2.4.3 Cryoprotectant

Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Fungsi cryoprotectant adalah untuk menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku.

Penambahan zat ini penting untuk menjamin sifat fungsional surimi beku mengingat pembekuan dapat berpengaruh menyebabkan denaturasi dan agregasi. Jumlah yang ditambahkan sekitar 3-5%. Bahan yang sering digunakan sebagai cryoprotectant adalah dari golongan karbohidrat dengan bobot molekul rendah seperti sukrosa. Sorbitol juga umum digunakan dan merupakan cryoprotectant terkuat. Penambahan sukrosa tanpa sorbitol akan mengakibatkan surimi menjadi manis dan warnanya berubah selama pembekuan (Park dan Morrissey 2000).

Cryoprotectant juga dapat meningkatkan kekuatan gel. Sering pula ke dalam surimi ditambahkan bahan lain dengan maksud untuk memperbaiki sifat surimi terutama sifat elastisitas dan kelembutannya, seperti dengan penambahan 0,2-0,3% polifosfat dalam bentuk garam natrium tripolifosfat atau campurannya dengan tetrasodium pyrofosfat (1:1) yang akan bersifat sinergis dengan karbohidrat (Peranginangin et al. 1999).

2.5 Edible Coating

Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying), atau panning ke permukaan dari produk makanan dengan maksud untuk melindungi serta meningkatkan nilai tambah produk (Krochta 2002). Fungsi edible coating adalah untuk melindungi produk dari kerusakan mekanis, fisik, kimia, dan aktivitas mikrobiologi. Edible coating menghasilkan suatu kondisi atmosfir termodifikasi pasif, yang dapat mempengaruhi berbagai perubahan pada produk segar dan bahan


(43)

pangan terolah minimal dalam beberapa hal seperti sifat antioksidan, warna firmness, kualitas sensori, menghambat pertumbuhan mikroba, komponen volatil yang dihasilkam dari proses anaerobik (Falguera et al. 2011).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Riyanto (2006) menunjukkan bahwa dengan pemberian coating dengan isinglass pada produk udang masak mampu mencegah perubahan kimia akibat oksidasi, sehingga mampu mempertahankan perubahan warna produk. Pelapis edible dari isinglass juga mampu melindungi udang masak dari kontaminasi mikroba. Hasil yang sama juga diperoleh pada proses coating yang telah diteliti oleh Ismudiyati (2003) pada filet ikan patin menggunakan coating kappa karagenan semi refine dapat menghambat pertumbuhan mikroba hingga hari ke-10 pada produk yang diberi coating terdapat bakteri sebanyak 1,5 x 106 koloni/g, sedangkan pada produk tanpa coating terdapat bakteri sebanyak 2 x 107 koloni/g. Hasil penelitian Julikartika (2003) melaporkan bahwa udang kupas rebus yang dilapisi edible coating dari natrium alginat mampu menghambat susut bobot sebesar 36%. Selanjutnya, Mastromatteo et al. (2010) menemukan bahwa coating aktif dari minyak thymol pada udang peeled ready to use efektif mengurangi kerusakan kualitas sensori selama penyimpanan refrigerasi dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba terutama pada awal penyimpanan.

Edible film dan coating dalam perkembangannya telah lama digunakan sebagai pelindung produk pangan. Contohnya adalah aplikasi gula dan coklat sebagai coating pada permen, coating lilin pada buah-buahan, lemak cair atau minyak juga sering kali digunakan sebagai coating pada produk pangan. Edible film juga sangat menarik dan seringkali digunakan sebagai parameter terhadap kualitas dan stabilitas beberapa produk pangan (Gontard dan Guilbert 1994).

Menurut Donhowe dan Fennema (1994), terdapat beberapa metode dalam pembuatan edible film dan coating, yaitu :

1. Pencelupan (dipping)

Metode ini merupakan metode aplikasi dari coating, produk yang akan dilapisi dicelupkan dalam larutan yang akan digunakan sebagai bahan coating. Metode ini sudah diaplikasikan sebagai pengemas atau pelapis pada produk daging, ikan, produk ternak, sayur, dan buah-buahan.


(44)

2. Penyemprotan (spraying)

Pada metode ini, larutan bahan yang akan digunakan sebagai coating disemprot, kemudian dikeringkan sehingga lapisan dapat menempel pada produk dengan baik.

3. Pembungkusan (casting)

Pembungkusan atau casting, merupakan metode yang digunakan dalam pembuatan edible film. Metode ini diawali dengan pembuatan larutan bahan pembentuk film, kemudian dituangkan dalam cetakan dengan ketebalan tertentu, dilanjutkan dengan pengeringan. Film yang telah kering diangkat dari cetakan dan siap untuk diaplikasikan. Ketebalan film dapat dikontrol sehingga dihasilkan film dengan ketebalan yang lebih rata.

2.7 Udang dan Komponen Udang

Udang termasuk ke dalam kelompok krustasea. Bagian tubuh udang terdiri dari dua bagian yaitu gabungan antara kepala,dengan dada (chepalothorax) dan perut (abdomen). Udang mempunyai kerangka luar yang keras, sehingga untuk tumbuh menjadi besar udang perlu membuang kulit lama, dan menggantinya dengan kulit baru. Peristiwa dikenal sebagai pergantian kulit (moulting). Struktur anatomi udang disajikan pada Gambar 3.


(45)

Udang vannamei merupakan organisme akuatik asli pantai Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Udang vannamei memiliki nama umum pacific white shrimp, camaron blanco, dan longostino. Udang vannamei juga mempunyai nama FAO yaitu whiteleg shrimp, crevette pattes blanches, dan camaron patiblanco. Komposisi kimia udang tergantung kepada spesies, umur, jenis kelamin dan musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Kandungan protein dan mineral daging udang relatif konstan, tetapi kadar air dan kadar lemak berfluktuasi. Kandungan lemak pada daging semakin besar, maka kandungan air akan semakin kecil dan begitu juga sebaliknya (Simson et al. 1998). Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus vannamei) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus vannamei) segar

Komposisi % Berat Basah

Kadar air 77,21± 0,18

Abu 1,47± 0,10

Protein 18,8± 0,23

Lemak 1,30± 0,09

Sumber: Sriket et al. (2007)

Udang segar memiliki ciri-ciri rupa dan warna bening, spesifik jenis, cemerlang, sambungan antar ruas kokoh, kulit melekat kuat pada daging. Bau segar spesifik menurut jenisnya, jika diamati bentuk dagingnya kompak, elastis, dan rasanya manis. Pembentukan rasa dalam produk hasil perikanan merupakan peranan dari asam amino-asam amino yang dikandungnya. Asam amino-asam amino yang berperan pada umumnya adalah asam glutamat, glisin, alanin, arginin, metionin, valin, dan prolin (Yamaguchi dan Watanabe 1988). Glisin dan alanin berperan pada munculnya rasa manis, prolin pada rasa manis dan pahit, selain itu lisin dan alanin memiliki efek sinergis pada campuran senyawa yang mengandung asam glutamat (Kato et al. 1989). Hidrolisis trypsin dan chymotrypsin pada udang segar dan beku keduanya menghasilkan hidrolisat dengan kandungan asam amino yang tinggi, alanin, prolin, glisin, dan arginin, yang penting dalam flavor krustasea. (Simson et al. 1998). Komposisi asam amino udang segar disajikan pada Tabel 6.


(46)

Tabel 6 Komposisi asam amino udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

Asam amino mg/100 g daging

Asam aspartat+aspargin 1704

Hidroksiprolin 215

Treonin 1129

Serin 1027

Asam glutamat+glutamin 1504

Prolin 3862

Glisin 871

Alanin 1601

Sistein 547

Valin 1078

Metionin 1298

Isoleusin 2411

Leusin 3153

Tirosin 1967

Penilalanin 1967

Lisin 630

Histidin 666

Arginin 3494

Sumber: Sriket et al. (2007)

Udang termasuk komoditas yang cepat rusak dan bahkan lebih cepat dibandingkan dengan komoditas daging hewan lainnya. Kecepatan pembusukan udang setelah ditangkap atau dipanen sangat dipengaruhi oleh teknik penangkapan dan pemanenan, kondisi biologis udang, dan teknik penanganannya. Sehingga setelah udang ditangkap atau dipanen harus segera dilakukan pendinginan atau pembekuan.

Bentuk-bentuk olahan udang yang akan dibekukan tergantung dari jenis udang, mutu bahan baku, dan pesanan dari pihak konsumen. Menurut Purwaningsih (1995), bentuk olahan dari udang beku adalah sebagai berikut: 1. Head On yaitu produk udang beku yang utuh lengkap dengan kepala, badan,

kulit, dan ekor.

2. Headless (HL) yaitu produk udang beku yang diproses dalam bentuk kepala sudah dipotong, tetapi masih memiliki kulit, kaki, dan ekor.

3. Peeled yaitu produk udang beku tanpa kepala, kulit, dan tanpa atau dengan ekor. Peeled terdiri dari:


(47)

a. Peeled tail on (PTO) yaitu produk udang beku tanpa kepala dan kulit dikupas mulai dari ruas pertama sampai ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan.

b. Peeled deveined tail on (PDTO) yaitu produk udang kupas (hampir sama dengan PTO), tetapi pada bagian punggung udang diambil vein (kotoran perutnya).

c. Peeled and deveined (PD) yaitu produk udang yang dikupas seluruh kulit serta ekornya dan bagian punggungnya dibelah untuk mengambil kotoran perut.

d. Peeled undeveined (PUD) yaitu produk udang beku yang dikupas seluruh kulit dan ekor seperti pada produk PD, tetapi tanpa mengambil kotoran ekor.

e. Butterfly yaitu produk udang beku hampir sama dengan produk PDTO dimana kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama sampai ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan. Kemudian bagian punggung dibelah sampai pada bagian perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan kotoran perutnya dibuang.

4. Value Added Product (VAP) yaitu produk udang beku yang mendapat perlakuan tambahan. Udang yang diproduksi sebagai produk VAP adalah udang ukuran 21 dan 31. Produk VAP ada 2 jenis, yaitu:

a. VAP belly cut (BC) yaitu produk udang beku yang dikupas dan disisakan satu ruas di dekat ekor kemudian dipijit dan diluruskan.

b. VAP non belly cut (NBC) yaitu produk udang beku yang dikupas, tetapi tidak dipijit dan diluruskan, hanya dibuang ususnya.

Bahan pigmen utama udang adalah astaxanthin, satu dari pigmen utama karotenoid. Memberikan warna merah-orange pada jaringan (Yamaguchi 1994 dalam Yanar et al. 2004). Kandungan karotenoid pada udang berbeda-beda, tergantung habitat, pakan, dan musim. Kandungan karotenoid pada udang spesifik pada setiap spesies dan sangat bervariasi dengan daerah geografis walaupun pada spesies yang sama (Yanar et al. 2004). Astaxanthin disusun oleh tiga stereoisomer dalam suatu campuran rasemik membentuk kompleks dengan protein yang terakumulasi dalam eksoskeleton krustasea (Schiedt et al. 1993) Kompleks ini


(48)

dapat berwarna hijau, atau biru dalam hewan hidup, menjadi berwarna merah jika dipanaskan (Britton 1996).

2.8 Udang Rebus (Cooked Shrimp)

Udang sebagai produk perikanan yang mudah mengalami kerusakan, biasanya memiliki nilai komersial yang lebih tinggi jika dijual dalam bentuk udang masak. Udang masak merupakan produk udang yang telah mengalami proses pemasakan baik melalui perebusan maupun pengukusan. Industri pengolahan udang masak pada umumnya dilakukan pada skala besar dalam wadah dengan kuantitas air yang banyak. Ketika udang dimasukkan ke dalam wadah, suhu air akan menurun kemudian akan meningkat kembali sampai suhu 100 oC. Udang selanjutnya direbus dalam air mendidih sesuai dengan waktu yang telah ditentukan untuk memastikan aman dari bakteri dan diperoleh kualitas daging yang optimum (Alvarez et al. 2009).

Udang rebus seperti produk perikanan lainnya, selama proses penanganan, pengolahan, dan penyimpanan akan mengalami kemunduran mutu. Kemunduran mutu ini terjadi karena adanya proses dekomposisi dalam produk. Menurut Food and Drug Administration (FDA) (1998), dekomposisi adalah suatu penguraian oleh bakteri atau akibat perubahan kimia enzimatis pada jaringan produk. Perubahan ini selanjutnya diperlihatkan dengan timbulnya penyimpangan pada kenampakan, warna, rasa, tekstur, dan penyimpangan yang lainnya pada produk.

Udang umumnya mengandung lemak sebesar 1,2%, dimana komponen utama yang paling banyak adalah phospholipid. Adanya cahaya dan oksigen akan menyebabkan asam lemak menjadi teroksidasi. Oksidasi lemak tersebut selanjutnya akan menghasilkan bau seiring dengan semakin lamanya proses penyimpanan produk (Johnston et al. 1983). Oksidasi lemak cenderung terjadi pada saat penyimpanan beku dibandingkan dengan penyimpanan dingin, dan dapat berkaitan dengan enzim maupun non enzim. Enzim-enzim seperti lipoksigenase, peroksidase, dan enzim-enzim mikrosomal dari jaringan otot hewan kemungkinan besar dapat memulai peroksidasi lemak yang menghasilkan hidroperoksida. Terpisahnya hidroperoksida menjadi aldehid, keton, dan alkohol menyebabkan terjadinya perubahan rasa (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008).


(49)

Proses pemasakan pada udang menyebabkan terjadinya denaturasi protein miofibril dan penyusutan kolagen, sehingga akhirnya mengakibatkan mengerasnya daging udang (Erdogdu et al. 2004). Perubahan tersebut akhirnya akan menyebabkan keluarnya cairan yang mengandung protein yang dikenal dengan istilah drip selama pemasakan yang mengakibatkan timbulnya kekosongan antar serabut otot udang. Dengan demikian faktor tersebut akan mempengaruhi terhadap keseluruhan volume dan kepadatan setelah pemasakan udang.

2.9 Secang (Caesalpinia sappan Linn)

Secang (Caesalpinia sappan Linn.) merupakan salah satu jenis tanaman sumber tanin berupa tanaman perdu yang memanjat atau berupa pohon kecil dan duri banyak, yang tingginya dapat mencapai 5-10 meter. Tanaman ini biasanya tumbuh baik di daerah pegunungan yang tidak terlalu dingin (Heyne 1987). Kayu secang ditanam sebagai tanaman pagar dan dapat tumbuh pada berbagai macam tanah pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini diperbanyak dengan biji dan tersebar di India, Malaysia, dan Indonesia (Departemen Kesehatan 1998). Tanaman secang (Caesalpinia sappan Linn.) disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Secang (Caesalpinia sappan Linn.) Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php.

Kayu secang menghasilkan pigmen, tanin, brazilin dan asam galat (Lemmens 1992). Secang dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami karena mengandung brazilein yang berwarna merah dan bersifat larut dalam air panas (Sanusi 1993). Selain sebagai pewarna, brazilin kayu secang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan antibakteri. Menurut Weningtyas (2009), aktivitas antioksidan tertinggi pada ekstrak secang yaitu pada konsentrasi


(50)

2,5 mg/ml. Menurut Lim et al. (2007), ekstrak secang mengandung komponen antimikroba dengan jenis 5-hydroxi-1,4-naptakuinon. Menurut Kristie (2008), konsentrasi secang sebesar 37,5 mg/ml memiliki aktivitas antimikroba yang paling kuat.

Nama senyawa yang mampu diisolasi dari kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.) adalah brazilin (C16H14O5) (Sanusi 1989). Brazilin termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid (Oliveira et al. 2002). Brazilin merupakan kristal berwarna kuning, akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar matahari, dan jika teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein (C16H12O5) yang berwarna merah kecoklatan dan dapat larut dalam air (Kim et al. 1997). Titik leleh dari senyawa brazilein adalah 150 oC, dan suhu penguraiannya lebih besar dari 130 oC (Goodwin 1976).

Stabilitas pigmen brazilein dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi pH, suhu, pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator dan reduktor, serta metal. Kondisi keasaman atau pH larutan sangat mempengaruhi stabilitas warna pigmen brazilein. Pada pH 2-5 pigmen brazilein berwarna kuning, pada pH 6-7 berwarna merah, dan pada pH 8 ke atas berwarna merah keunguan (Adawiyah dan Indriati 2003).


(51)

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Januari 2011 di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging limbah filet ikan kakap merah yang diperoleh dari salah satu industri pengolahan filet kakap merah yang ada di wilayah Muara Angke, Jakarta Utara. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dalam bentuk PUD (peeled undevined) dengan ukuran 60-70 (dalam 1 kg terdapat udang PUD sebanyak 60-70 ekor), secang (Caesalpinia sappan L.), air, garam, es, cryoprotectant (gula), kertas saring, bahan pengemas berupa cling film, styrofoam serta bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis kimia, fisika, dan mikrobiologis.

Alat yang digunakan antara lain berupa peralatan untuk pembuatan surimi berupa pisau, timbangan, nampan plastik, grinder, kain kasa, talenan, cool box, lemari es untuk tempat penyimpanan, wadah untuk pelapisan, serta peralatan untuk analisis proksimat, asam amino, TVB, pH meter, aw meter, TPC, dan viscometer.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi pengujian bahan baku yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan edible coating dan karakterisasi bahan pewarna alami dari secang pada larutan edible coating. Penelitian utama meliputi pembuatan surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah, ekstraksi secang (Caesalpinia sappan L), pembuatan edible coating pada berbagai konsentrasi surimi (2, 6, 10, dan 14%), aplikasi edible coating terhadap udang rebus, serta


(52)

pengamatan kemunduran mutu udang rebus yang dilapisi edible coating surimi selama penyimpanan 8 hari pada suhu 1-5 oC dengan lama pencelupan 30 menit.

3.3.1 Pembuatan surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah (Lutjanus sp.)

Analisis Total Volatile Base (TVB) dan pH untuk mengetahui tingkat kesegaran daging limbah filet ikan kakap merah yang digunakan dalam pembuatan surimi, sebelum diproses dilakukan. Metode pembuatan surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah yang digunakan merupakan modifikasi dari penelitian Suzuki (1981). Daging ikan yang telah dipisahkan dari sisa filet digiling menggunakan grinder agar dihasilkan daging ikan yang halus dan lumat tanpa tulang, duri, dan kotoran. Setelah itu daging ikan dicuci dua kali menggunakan air dingin bersuhu (15±1) oC dan larutan garam 0,3% (b/b). Perendaman dengan air dingin (perbandingan air : daging adalah 3:1) dilakukan selama 10 menit untuk membersihkan kotoran-kotoran yang masih menempel pada daging lumat dan untuk melarutkan protein sarkoplasma. Daging ikan tersebut kemudian diperas dengan menggunakan kain blacu untuk mengeluarkan air.

Perendaman kedua dengan larutan garam 0,3% (b/b) (perbandingan volume larutan garam : daging adalah 3:1) selama 10 menit, selanjutnya disaring kembali dengan menggunakan kain blacu sambil dilakukan pemerasan. Cryprotectant sebanyak 2% (b/b) ditambahkan dan dicampur menggunakan food processor sampai homogen. Penambahan cryoprotectant dilakukan untuk mencegah terjadinya denaturasi protein pada surimi. Surimi yang dihasilkan dimasukkan ke dalam plastik polyethylene dan disimpan dalam freezer pada suhu -15 oC, selanjutnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible coating. Surimi yang dihasilkan dihitung rendemennya sebelum dilakukan penyimpanan. Surimi beku yang digunakan untuk bahan edible coating dianalisis pH dan TVB untuk mengetahui tingkat kesegarannya. Diagram alir pembuatan surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah selengkapnya disajikan pada Gambar 5.


(53)

Gambar 5 Diagram alir pembuatan surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah (Modifikasi* dari Suzuki 1981).

Limbah filet ikan kakap merah*

Pemisahan daging dari limbah filet

Analisis TVB, pH Daging ikan kakap*

Penggilingan

Daging lumat

Pencucian dan perendaman dalam air dingin (15±1) oC selama 10 menit (ikan : air = 1:3)

Penyaringan dan pemerasan dengan kain blacu

Pencucian dan perendaman dalam air garam dingin (garam 0,3% (b/b)) (15±1) oC selama 10 menit (ikan : air garam = 1:3)

Penyaringan dan pemerasan dengan kain blacu

Rendemen

Cryoprotectant

(sorbitol 2%)*

Surimi

pencampuran

Pencetakan dan pengemasan

Penyimpanan dalam freezer (suhu -15 oC) selama 1 minggu

Analisis TVB dan pH


(54)

3.3.2 Ekstraksi secang (Caesalpinia sappan L.)

Kayu secang kering digiling untuk memperkecil ukuran dengan menggunakan Hammer Mill disaring dengan saringan 40 mesh. Serutan kayu secang digunakan untuk tahap selanjutnya yaitu tahap ekstraksi.

Ekstraksi pigmen kayu secang dilakukan menggunakan metode Ye Min et al. (2006) dengan pelarut air. Bahan (100 g) diekstrak dengan 1 liter air dan dilakukan berulang sebanyak 3 kali selama 30 menit pada suhu 80 oC. Setelah itu disaring dengan penyaring vakum menggunakan kertas Whatman No.1 dan pH filtrat diukur. Ekstrak dipekatkan dengan vacuum evaporator pada suhu 40 oC untuk menghilangkan sisa pelarutnya sehingga diperoleh ekstrak berupa bubuk kering. Serbuk ekstrak secang selanjutnya dicampurkan ke dalam edible coating sebagai pewarna alami untuk udang masak sebanyak 2,5 mg/ml. Ekstrak secang pada konsentrasi tersebut memiliki aktivitas antioksidan tertinggi (Weningtyas 2009), sehingga diharapkan dapat mempertahankan warna udang rebus selama penyimpanan. Skema proses ekstraksi ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Skema proses ekstraksi secang (Caesalpinia sappan L.) (Metode Ye Min et al. 2006).

100 g bubuk kayu secang

Diekstrak dengan 1 L air (80 oC selama 30 menit)  diluang 3 kali

Disaring kasar dengan kain saring

Ampas

Filtrat

Disaring dengan penyaring vakum menggunakan Kertas Whatman No.1

Dipekatkan dengan vacuum evaporator pada suhu 40 oC

Ekstrak secang (serbuk)


(55)

3.3.3 Pembuatan edible coating surimi

Metode pembuatan edible coating berbahan dasar protein surimi dari daging limbah filet ikan kakap merah ini adalah modifikasi dari metode penelitian Shiku et al. (2004), yang menemukan bahwa edible film yang stabil telah berhasil terbentuk dari protein ikan alaska pollack dengan konsentrasi 2%. Hasil penelitian Neviana (2007) menunjukkan bahwa edible film terpilih dari surimi ikan rucah adalah edible dengan penambahan konsentrasi surimi 10%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan kisaran penambahan surimi untuk larutan edible coating adalah 2, 6, 10, dan 14% (b/v). Surimi yang dalam keadaan beku dilakukan thawing terlebih dahulu selama 20 menit. Konsentrasi surimi terpilih diaplikasikan pada udang rebus yang disimpan pada suhu 1-5 oC. Edible coating surimi yang dihasilkan kemudian dianalisis viskositasnya.

3.3.4 Proses pembuatan udang rebus

Udang yang digunakan dalam penelitian adalah jenis udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dalam bentuk PUD (peeled undevine) dengan ukuran 60-70 (dalam 1 kg terdapat udang PUD sebanyak 60-70 ekor). Udang segar dikupas kemudian dicuci dengan menggunakan air dingin. Udang direbus dalam air mendidih selama 5 menit. Penentuan lama perebusan berdasarkan penelitian Julikartika (2003). Setelah masak, udang ditiriskan untuk selanjutnya dicelupkan ke dalam larutan edible coating, dikemas dan disimpan pada suhu rendah.

3.3.5 Aplikasi edible coating terhadap udang rebus

Edible coating berbahan dasar surimi yang telah terbentuk, selanjutnya diaplikasikan sebagai pelapis udang rebus dengan metode celup (30 menit). Penentuan lama pencelupan mengacu pada hasil penelitian Riyanto (2006), yang menyatakan bahwa pencelupan udang rebus selama 30 menit dalam larutan edible coating dapat mempertahankan masa simpan udang rebus. Tahapan aplikasi terdiri dari dua jenis:

(1) udang kupas, direbus, dan dicelupkan ke dalam edible coating (2) udang dikupas, dicelupkan ke dalam edible coating, dan direbus.


(56)

Udang rebus yang telah dilapisi edible coating diamati ketebalan lapisannya menggunakan mikroskop elektron dengan perbesaran 10 kali. Permukaan udang rebus juga diamati menggunakan mikroskop elektron untuk mengetahui kecerahan dan warna permukaannya. Diagram alir pembuatan dan aplikasi edible coating disajikan pada Gambar 7.

3.3.6 Pengemasan udang rebus yang telah dilapisi edible coating

Udang rebus yang telah dilapisi edible coating surimi selanjutnya disusun dalam wadah styrofoam berukuran 12 x 12 cm. Posisi susunan udang tidak saling menempel untuk menjaga keutuhan edible coating pada permukaan udang. Wadah kemudian ditutup menggunakan kemasan plastik wrap hingga menutupi seluruh permukaannya. Plastik wrap merupakan lapisan film plastik yang tipis, berbahan dasar Low Density Polyethilene (LDPE).

3.3.7 Penyimpanan udang rebus yang telah dilapisi edible coating

Udang rebus yang telah dikemas disusun dalam wadah plastik berukuran 28 x 35 cm. Susunan kemasan udang terdiri dari satu lapis, tidak ditumpuk pada wadah untuk menghindari terjadinya kerusakan fisik pada udang rebus.

Udang rebus disimpan pada lemari pendingin dengan suhu penyimpanan 1-5 oC selama 8 hari. Lemari pendingin sebelum digunakan sudah di set dan diukur suhunya. Wadah plastik disusun dalam lemari pendingin dan tidak ditumpuk, hal ini ditujukan supaya semua wadah memperoleh distribusi suhu yang sama selama proses penyimpanan. Perubahan kualitas udang rebus diamati setiap hari selama 8 hari penyimpanan. Analisis meliputi TVB, pH, kadar air, aw, TPC, WHC, dan perubahan warna udang rebus.


(57)

Gambar 7 Diagram alir penelitian dan aplikasi edible coating surimi ikan kakap merah (Modifikasi Shiku et al. 2004*; Julikartika 2003**; Riyanto 2006***; dan Neviana 2007****).

Surimi beku

Pelelehan (thawing) (20 menit)

Penambahan akuades sampai

150 ml dan NaOH 1 M sampai pH 11

Pelarutan surimi (2%*, 6%, 10%****, dan14%)

Pengadukan dan pemanasan (30 menit) suhu 55 oC

Larutan surimi

Penyaringan (nilon 150 mesh)

Penambahan secang

Tanpa secang Edible coating

Udang kupas

Penyiangan

Pelapisan udang dengan pencelupan udang segar ke dalam edible coating surimi

selama 30 menit Perebusan selama 5 menit**

Pelapisan udang dengan pencelupan udang masak ke dalam edible coating surimi

selama 30 menit*** Perebusan selama 5 menit**

Pengemasan dan penyimpanan pada suhu 1-5 oC selama 8 hari

-Lapisan edible coating diamati di bawah mikroskop. -Perubahan kualitas udang masak diamati setiap hari selama 8 hari, meliputi analisis TVB, pH, kadar air, aw, TPC, WHC, dan perubahan warna.


(58)

3.4 Prosedur Analisis

Prosedur analisis dari masing-masing parameter pengamatan adalah sebagai berikut :

1) Kadar air metode oven (AOAC 2005)

Sebanyak 2 g sampel uji dikeringkan pada suhu 95-100 oC hingga berat konstan di bawah tekanan ≤ 100 mm Hg selama kurang lebih 5 jam. Wadah yang digunakan adalah piringan alumunium diameter tutup ≥ 50 mm dan kedalaman 40 mm. Kehilangan dalam pengeringan dilaporkan sebagai perkiraan kandungan kelembaban. Perhitungannya adalah sebagai berikut :

Kadar air %( b/ b) = ber at hilang selama penger ingan ( g)

ber at sampel uji ( g) x 100%

2) Kadar abu (AOAC 2005)

Sampel kering sebanyak 2 gram dipanaskan dalam piringan logam 50-100 mL pada suhu 100 oC hingga kandungan air keluar. Piringan ditempatkan

pada tanur dengan suhu kurang dari 550 oC dan tunggu hingga abu berwarna putih terbentuk. Abu didinginkan lalu lembabkan dengan air, kemudian dikeringkan dalam steam bath dan dalam hot plate. Sampel diabukan kembali pada suhu 525 oC hingga mencapai berat konstan. Jika bahan yang diuji mengandung lemak dalam jumlah banyak maka pengabuan awal perlu dilakukan pada suhu yang serendah mungkin untuk menguapkan lemak tanpa membakarnya. Penentuan kadar abu menggunakan rumus :

Kadar abu ( %) = ber at abu ( g)

ber at sampel ( g) x 100%

3) Kadar protein (AOAC 2005)

Penentuan kadar protein menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,75 g dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 6,25 g K2SO4 dan 0,6225 g CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 ml H2SO4. Jika sampel uji yang digunakan kurang dari 2,2 g, maka jumlah H2SO4 pekat dan 3 ml H2O2 secara perlahan-lahan ditambahkan ke dalam labu dan didiamkan


(59)

selama 10 menit dalam ruang asam. Tahap selanjutnya adalah proses destruksi pada suhu 410oC selama ±2 jam atau hingga diperoleh larutan jernih. Hasil

destruksi didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-75 ml akuades. Erlenmeyer disiapkan dan diisi dengan 25 ml larutan H3BO3

4% yang mengandung indikator (Bromchresol green 0,1% dan methyl red 0,1% (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilata uap dan titambahkan 50 ml NaOH 40% (alkali). Kemudian hasil destilat ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau).

Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N dan dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu. Blanko diberi perlakuan yang sama seperti tahapan sampel. Pengujian dilakukan secara duplo. Kadar protein dihitung dengan rumus:

N ( %) = ( ml HCl – blanko) x N HCl x 14,007

ber at sampel ( mg)x k x 100% Kadar Protein (%) = N (%) x 6,25

4) Kadar lemak (AOAC 2005)

Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105 oC) ditimbang hingga diperoleh berat konstan. Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dengan kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan ke dalam tabung Soxhlet. Sebanyak 150 ml kloroform dimasukkan ke dalam labu lemak. Sampel direfluks selama 8 jam dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak telah terekstrak semua. Pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak lalu labu lemak dikeringkan dengan oven 105 oC selama 30 menit. Labu ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Kadar lemak ditentukan dengan menggunakan rumus:

Kadar lemak ( %) = ( Ber at labu akhir −ber at labu awal)


(1)

Lampiran 14 Eks

ktraksi kayu secang (

Caesalpinia sappan

L.)

digiling disaring

Kayu secang serbuk kasar serbuk halus

(diulang sebanyak t iga kali)

disaring dan dipekat kan


(2)

Lampiran 15 Pembuatan surimi dari limbah filet ikan kakap merah (

Lutjanus

sp.)

Daging limbah filet proses penggilingan daging lumat ikan kakap merah

Penyaringan dan pemerasan dengan kain blacu Pencucian dan perendam an (diulang sebanyak 2 kali)

Surimi pencam puran dengan cryoprot ect ant pencet akan pengemasan


(3)

Lampiran 16

Edible coating

dari surimi limbah filet ikan kakap merah

(

Lutjanus

sp.)

Edible coating

dengan berbagai konsentrasi surimi

Edible coating

ditambah ekstrak secang dengan berbagai konsentrasi surimi


(4)

Lampiran 17 Proses pelapisan udang dengan

edible coating

surimi

Pencelupan_pemasakan

Edible coating

surimi

Edible coating

surimi+ekstrak secang

Pencelupan udang ke dalam

edible coating

Penirisan udang

Proses pemasakan udang pada suhu 100

o

C selama 5 menit

Udang rebus berlapis

udang rebus berlapis


(5)

Pemasakan_pencelupan

Udang kupas segar

Proses pemasakan udang pada suhu 100

o

C selama 5 menit

Proses pencelupan udang rebus

Udang rebus berlapis

udang rebus berlapis


(6)

Lampiran 18 Pengemasan dan penyimpanan udang rebus yang telah dilapisi

edible coating

surimi

Bahan pengemas udang rebus

Udang rebus yang telah dikemas