Teori Fenomenologi LANDASAN TEORI

16

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Teori Fenomenologi

Hassan 2004 menjelaskan bahwa fenomenologi secara umum adalah studi tentang kenyataan sebagaimana tampilnya. Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phenomenon berarti penampilan. Bagi Edmund Husserl 1859- 1938 fenomenon adalah sesuatu objek sebagaimna kita alami dan menghadirkan diri kedalam kesadaran kita. Maka fenomenologi menurut Husserl ialah cara pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu objek sebagaimana tampilnya dan menjadi pengalaman kesadaran kita. Metode yang digunakan dalam pendekatan fenomenologi terdiri dari tahap intuisi, analisis serta deskripsi dan yang hasil keseluruhannya berupa deskripsi. Intuisi timbul secara langsung direct dan tanpa antara immediate dari pemusatan perhatian terhadap fenomena dan analisis dilakukan terhadap unsur-unsur fenomena yang bersangkutan. Sedangkan deskripsi ialah penjabaran dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Husserl menambahkan perlunya pembebasan diri dari segala praduga pre-judgement sebelum melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin kita ketahui atau pelajari; maka objek yang bersangkutan harus seolah- olah dikurung bracketing, sehingga segala praduga dan praanggapan objek itu tidak mempengaruhi yang akan kita peroleh tentang objek itu. Proses tersebut 17 17 disebut epoche atau ‘membisukan suara’ yang mungkin pernah mempengaruhi pengetahuan kita terhadap objek yang bersangkutan. Misiak dan Sexton 1988: 10 menjelaskan metode fenomenologi terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologi bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran – yakni, umpamanya segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau diisukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Selanjutnya dijelaskan, bahwa ada tujuh langkah dalam terminologi Spiegelberg yang terdapat dalam metode fenomenologi. Yang paling mendasar dan digunakan secara luas adalah deskripsi fenomenologis. Deskripsi fenomenologis bisa dibedakan ke dalam tiga fase: mengintuisi, menganalisis dan menjabarkan secara fenomenologis. Mengintuisi artinya mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena. Menganalisis adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya. Menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain. Dijelaskan pula bahwa ada langkah lain dari metode fenomenologis adalah pemahaman terhadap esensi- esensi’ insight of essences, pengalaman atau kognisi tentang esensi-esensi experience or cognition of essences, Langkah tersebut disebut dengan istilah Wessenschau. Spielgelberg menerjemahkan istilah tersebut menjadi pengintuisian esensi-esensi intuiting of essences. Istilah pengintuisian digunakan untuk menghindari kesamaran serta konotasi mistik yang mungkin timbul dari 18 18 penggunaan istilah intuisi. Pengintuisian esensi-esensi disebut juga pengintuisian eidetic eidetic intuiting. Kata eidetic berasal dari eidos, yang berarti esensi. Pengintuisian eidetic itu adalah untuk menangkap atau mencapai esensi-esensi berbagai hal melalui fenomena. Dan pencapaian esensi biasanya menyertakan survey atas sesuatu yang memperluasnya menjadi lebih umum. Bogden Taylor dalam Sutopo 1994 lihat juga Mulyana 2001, menjelaskan bahwa perspektif fenomenologi menempati posisi sentral di dalam metodologi penelitian kualitatif. Apa ang dicari peneliti di dalam kegiatan risetnya, bagaimana melaksanakannya dalam situasi riset, dan bagaimna peneliti melakukan tafsir pada hasil risetnya, semuanya tergantung pada perspektif teoritis yang digunakannya. teori fenomenologis memandang perilaku manusia, apa yang mereka katakan dan mereka lakukan adalah sebagai produk bagaimana orang melakukan tafsir terhadap dunia mereka sendiri. Kehadiran sebuah karya seni dan interaksinya dalam situasi yang khusus adalah merupakan gejala yang dapat diinterpretasi dan dipahami maknanya. Tugas peneliti kualitatif adalah menangkap proses tersebut, untuk itu diperlukan pemahaman empatik dengan kemapuan untuk mereproduksi diri di dalam ikiran orang lain, perasaan, dan motif, yang menjadi latar belakang kegiatannya. Dari pikiran-pikiran di atas dapat disimpulkan bahwa riset dengan perspektif fenomenologis berusaha memahami makna berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus. Peneliti harus bersikap terbuka dan siap siap menerima segala kemungkinan dari apa yang sedang dipelajari. Cara fenomenologis menekankan berbagai aspek subjektif perilaku manusia, supaya 19 19 dapat memahami bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Langkah penting dalam tahapan kegiatan tersebut adalah melakukan deskripsi fenomenologis, atau mendeskripsikan menganalisis dan menjabarkan fenomena yang digunakan sebagai objek riset. Studi kasus pada penelitian ini penulis berusaha untuk menganalisis gejala yang ada pada gambar wayang buatan anak-anak SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang dengan menggunakan kerangka acuan kebudayaan Jawa sebagai motif untuk memahami fenomena tersebut. Dengan begitu maka relasi antara fenomena yang manifestasinya adalah gambar-gambar wayang tersebut akan dapat diketahui bagaimana relasinya terhadap kondisi kultural masyarakatnya, yang dalam hal ini adalah kelompok masyarakat yang diasumsikan masih cukup kuat memegang nilai-nilai tradisi budaya Jawa.

2.1. Kebudayaan