117
117 lakukan sudah barang tentu akan berbenturan dengan nilai-nilai baru yang
ditawarkan oleh kehidupan kini. Berbagai media penawaran nilai baru tersebut antara lain:
6.1.1 Media Televisi.
Walaupun upaya yang dilakukan oleh masyarakat Mayangsari dan sekitarnya telah cukup maksimal, berkenaan dengan keinginan membumikan
nilai-nilai budaya tradisi Jawa dalam kehidupan mereka, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan, namun pada kenyataannya masih belum sebanding
dengan derasnya pengaruh budaya ‘baru’ yang ditawarkan oleh masmedia khususnya televisi. Berdasarkan observasi di lapangan, waktu di luar kegiatan
sekolah bagi anak-anak yang tinggal di wilayah tersebut sebagian besar dihabiskan di depan televisi atau jika dirata-rata mereka lebih dari 4 jam berada
di depan televisi . Sebagaimana khalayak memaklumi bahwa tidak semua acara televisi bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak; bahkan cenderung
menawarkan pengaruh yang dapat mereduksi nilai-nilai mapan dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari tawaran iklan yang cenderung menggiring pada
terbentuknya budaya konsumtif, tayangan sinetron ‘cengeng’ cenderung menguras air mata dan tak kunjung selesai, lawakan dan komedi-komedi konyol dengan
materi lawakkan yang cenderung mengeksploitir kata-kata tak senonoh, infotaimen seputar kehidupan para sebriti hampir setiap hari di semua stasiun
televisi yang cenderung menyoal kebobrokan hidup rumah tangga mereka dan gaya didup Hight class yang tak terjangkau publik, tayangan musik-musik
dangdut yang cenderung mengumbar erotisme, dan tayangan berita di setiap
118
118 waktu yang senantiasa tak luput memberitakan konflik-konflik sosial,
demonstrasi, korupsi, pembunuhan, dan berbagai penyelewengan dalam berbagai lini kehidupan.
Lebih khusus lagi dapat disimpulkan bahwa siaran televisi yang disaksikan oleh masyarakat khususnya anak-anak pada kenyataannya berada pada
kondisi yang kontradiksi terhadap esensi budaya tradisi Jawa yang semestinya.
6.1.2 Tarik Menarik Antara Budaya Tradisi Dengan Budaya Kota
Keberadaan wilayah Mayangsari dan sekitarnya walaupun masih relatif dapat mempertahankan suasana pedesaannya, namun karena berada diwilayah
kota Semarang dengan segala hingar-bingarnya kehidupan kota yang ditawarkan, praktis tidak dapat mengisolir diri dari kemungkinan terjadinya pergesekan-
pergesekan dan ‘tarik tambang’ dalam perebutan pengaruh. Orientasi kehidupan masyarakat termasuk didalamnya adalah para anak-anak pada kenyataannya akan
cenderung memilih pada hal-hal yang lebih dapat memberi kepuasan pada kebutuhan kehidupan mereka. Kepuasan tersebut berkenaan dengan upaya
memenuhi kebutuhan materialnya dan kebutuhan spiritual mereka, termasuk di dalamnya adalah kebutuhan estetisnya. Cita rasa karya seni kitsch atau ‘seni
massa’ atau seni populer yang komersial lebih gampang singgah dalam relung apresiasi mereka.
Akibat gesekan pengaruh budaya kota yang cenderung agresif menawarkan perubahan-perubahan tersebut, bisa dibayangkan jika kelekatan nilai
119
119 budaya tradisi akan demikian cepat terkelupas dalam kehidupan masyarakat
tersebut. Kecenderungan terjadinya pergeseran nilai dalam kehidupan anak-anak
pada dasarnya terjadi pada: 6.1.2.1 Cita Rasa dalam Memilih Makanan
Anak-anak di wilayah tersebut lebih cenderung suka mengonsumsi makanan yang bersifat instan, khususnya produk berbagai mie, ketimbang jenis
masakan yang diproses dalam waktu lama apalagi jenis masakan yang telah disimpan beberapa hari . Jenis jajanan yang cenderung dipilih merekapun adalah
jajanan yang cenderung hanya menawarkan rasa dan kemasan modern, yang cenderung rendah nutrisi, bahkan bisa berdampak negatif bagi pertumbuhan anak
jika mengonsumsi berlebihan. Jenis makanan tradisional yang selama ini menjadi milik kebudayaannya, telah relatif tidak begitu dikenal nama-namanya oleh
mereka dan bahkan lidah merekapun sudah tidak lagi menyukainya. Jenis-jenis masakan seperti, hawuk-hawuk, lemper, jadah, wajik, nagasari,. klepon, senteling,
bol jaran, cucur, tiwul, lopis, grontol, cetot, madu mangsa, gethuk dll. telah menjadi jenis jajanan yang cenderung telah berjarak dengan kehidupan anak-anak,
namun produk-produk ‘chikie’, jenis snack ringan, dan minuman-minuman kemasan yang demikian banyak dijajakan di pasaran saat ini justru telah berhasil
merebut hati anak-anak. Kondisi demikian pada dasarnya telah disadari oleh masyarakat, dan sedikit banyak mereka meresahkannya, namun lagi-lagi
kenyataan tersebut membuat mereka tidak berdaya. 6.1.2.2 Cita Rasa dalam Memilih Jenis Mainan.
120
120 Produk mainan pabrikan aneka mobil-mobilan, aneka robot-robotan, dan
aneka mainan yang dapat bekerja secara mekanis dengan tenaga bateray yang cenderung menawarkan kecanggihan teknologi saat ini, pada dasarnya lelah
menggeser peran mainan tradisional milik masyarakat. Pada kenyataan saat ini di wilayah tersebut telah sangat jarang terlihat anak-anak merakit mobil sendiri
dengan bahan seadanya yang ada di lingkungannya, kemudian mereka bisa mendapatkan keasyikan dengan usahanya itu. Anak-anak begitu gampang untuk
mendapatkan fasilitas mainannya dengan cara cukup membeli di toko-toko yang dapat dijangkau dengan cara yang gampang. Mainan tempo dulu seperti, othok-
othok, mobil-mobilan dari kulit jeruk yang diberi roda dari buah luwing-luwingan, mainan kuda-kudaan dari pelepah pisang, gasing dari kayu sawo yang dibikin
sendiri, dll. Telah relatif tidak dikenal lagi oleh anak-anak. Sesekali mereka masih bisa mendapatkan jenis mainan-mainan tradisional termasuk wayang-wayang
kardus yang dapat mereka beli ketika ada pertunjukan wayang di kampungnya, namun kesempatan tersebut relatif jarang dibanding dengan dorongan dan
kebutuhan bermain bagi anak-anak yang terus menerus dan setiap hari. 6.1.2.3 Cita Rasa dalam Memilih Permainan.
Pada kenyataan di lapangan saat ini anak-anak telah menjadi demikian miskin dengan jenis permainan yang dapat dilakunan oleh mereka saat
berinteraksi dengan teman-temannya. Jenis permainan yang banyak dilakukan di wiayah tersebut cenderung anak-anak memilih jenis permainan olah raga yang
bersifat formal, seperti sepak bola, badminton, dll, namun sesekali pada musim kemarau masih terlihat di antara mereka masih ada yang menyukai bermain
121
121 layang-layang. Jenis permainan tradisional seperti : gatheng, gobaksodor,
jamuran, engklek, cirak karet, dll sudah tidak tampak dimainkan lagi oleh anak- anak. Kecenderungan anak-anak meninggalkan jenis permainan tersebut
dikarenakan interaksi dalam kegiatan mereka berkomunal pada saat ini, menggunakan waktu yang relatif pendek. Ikatan emosional antar mereka
cenderung menipis; hal demikian diakibatkan oleh kepentingan individual mereka yang telah cukup sibuk dalam menghadapi kegiatan sekolah masing-masing;
sementara sisa waktu senggang mereka pada kenyataan lebih cenderung memilih dihabiskan di depan televisi.
6.1.2.4 Cita Rasa dalam Memilih Lagu Jenis musik ‘kitch’ : dangdut, pop, lebih gampang menyentuh apresiasi
anak-anak, di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, dibanding jenis musik tradisional. Pada kenyataannya saat ini mereka begitu gampang menghapal lirik
lagu milik ‘Petherpan’, ‘Ungu’, ‘Raja’, atau ‘Chankuters’ dll. Dibanding likrik tembang-tembang tradisional milik tradisinya.
Ketika penulis sajikan tembang anak-anak yang menurut para orang tua mereka, tembang tersebut populer ditembangkan oleh anak-anak pada tahun 70 an,
ternyata telah menjadi demikian asing bagi telinga anak-anak pada saat ini. Lirik tembang tersebut adalah:
Candrane adhiku Sriwidada Njoget mendhek-mendhek neng pendhapa
Mlaku themlek-themlek kaya Nrada Candrane anggepe kaya Raden Gathotkaca
122
122 Barangkali demikian gampang dipahami mengapa lirik tembang tersebut tidak
dikenal lagi oleh anak-anak, karena memang tidak pernah dikenalkan lagi; dan mengapa lagu-lagu kelompok musik pop yang menjamur saat ini begitu gampang
akrab dengan mereka, karena hampir setiap waktu telinga mereka mendengar jenis irama musik tersebut. Dengan begitu maka berlakulah pepatah ‘Tak kenal maka
tak sayang’ , sebuah ungkapan yang patut direnungkan bagi siapa saja yang masih berkeinginan menaruh perhatian demi lestarinya budaya Jawa.
6.1.2.5 Cita Rasa dalam Memilih Bahasa Komunikasi Interaksi keseharian baik para orang tua demikian juga para anak-anak di
wilayah Mayangsari dan sekitarnya sebagian besar cenderung menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi. Pada dasarnya mereka lebih merasa
nyaman berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian, dengan alasan tidak merasa ribet harus mempertimbangkan penggunaan bahasa
yang bertingkat, sebagaimana yang ada dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa krama yang di dalamnya memiliki ekspresi kesantunan sebagaimana yang dikehendaki
oleh kultur Jawa telah demikian jarang digunakan dalam keseharian ketika anak- anak saling berinteraksi. Jenis bahasa Jawa yang digunakan anak-anak lebih
cenderung ngoko dengan aksen Semarangan. Dan jika anak-anak dipaksakan untuk diajak bertutur dengan bahasa Jawa krama yang baik pada kenyataannya
justru mereka menjadi gagap dan merasa asing dengan kosa kata-kosa kata bahasa Jawa krama tersebut; yang sebenarnya adalah bahasanya sendiri. Pengaruh budaya
kota yang cenderung menawarkan kehidupan budaya yang praktis, cepat,
123
123 dinamis, trend tertentu, materialis, massa, dan seragam, telah berpengaruh besar
pada kehidupan anak-anak dengan segala aspeknya. Pengaruh tersebut sudah barang tentu berada pada kondisin tarik-menarik dengan upaya membumikan
nilai-nilai tradisi bagi sekelompok masyarakat yang masih peduli untuk melestarikan kebudayaan tradisinya melalui berbagai cara.
6.2 Faktor Pendukung