Kegiatan Pelatihan Kelompok Karawitan

103 103 yang sekaligus menjadi pengikat orientasi dalam melaksanakan hajatan apitan di tempat masing-masing. Beberapa cerita yang pernah dipentaskan dalam pergelaran wayang kulit tersebut antara lain; Sesaji Raja Suya, Wahyu Mahkuta Rama, Gathotkaca Winisuda, Petruk Gugat, dll; dan beberapa dalang yang pernah mayang di wilayah tersebut antara lain: Alm. Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, Ki Joko Edan, Ki Agus Tri Bojo dan kebetulan di wilayah Kembangarum sendiri terdapat dua dalang yang relatif sering digunakan pada akhir-akhir ini; yaitu Ki Surata dan Ki Rusmanto. Selain untuk keperluan ritual apitan, pertunjukan wayang dilakukan juga oleh warga masyarakat tertentu yang kebetulan punya hajat perkawinan putranya dan kebetulan juga memiliki dana cukup untuk penyelenggaraan itu; paling tidak dalam waktu lima tahun terakhir telah dua kali diselenggarakan kegiatan wayangan atas nama pribadi di wilayah tersebut. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan apitan yang ditandai dengan pergelaran kesenian wayang kulit pada dasarnya memberi konstribusi besar bagi tetap lestarinya kebudayaan Jawa di wilayah Mayangsari dan sekitarnya dan dapat dikatakan sebagai upaya taktis dalam rangka proses inkulturasi nilai budaya tersebut kepada anak-anak dan masyarakat lebih luas.

5.2.4 Kegiatan Pelatihan Kelompok Karawitan

104 104 Suatu malam ketika penulis diantar oleh seorang tokoh masyarakat yang tinggal di wilayah Kembangarum untuk menyaksikan latihan karawitan yang dilakukan oleh warga masyarakat di wilayah Ringintelu dan Kembangarum, sayup terdengar tetabuhan dari instrumen gamelan, dari jarak yang relatif jauh irama itu merayap ketelinga penulis, dan pelan-pelan penulis mencoba mengenali irama itu; dan ternyata alunan Ladrang Slamet. Yang partiturnya sebagai berikut: Balungan Gendhing Ladrang Slamet, Sl. My Bk. 1 3 2 6 1 2 3 1 1 3 2 . 1 2 6 A : 2 1 2 3 2 1 2 6 3 3 - - 6 5 3 2 5 6 5 3 2 1 2 6 2 1 2 3 2 1 2 6 B : 6 6 - - 1 5 1 6 3 5 6 1 6 5 3 2 6 6 - - 1 5 1 6 1 1 3 2 - 1 2 6 Cakepan gerongan Salisir Parabe sang Smara Bangun Sepat domba kali oya Aja dolan lan wong priyo Gerameh nora prasaja 105 105 Ladrang Slamet, merupakan jenis irama tetabuhan gamelan yang boleh dikatakan sebagai tetabuhan wajib yang harus dikuasai oleh seseorang yang belajar gamelan sebelum mengenal jenis gendhing gendhing yang lain. Menurut penuturan salah satu tokoh yang dituakan dalam kelompok tersebut, ‘Ladrang Slamet’ biasanya diperdengarkan awal sebagai pembuka mereka melakukan latihan atau sebelum gendhing-gendhing yang lain mengalun. Ladrang Slamet tersebut diposisikan sebagai doa, semoga keselamatan diberikan Tuhan selama mereka melakukan aktivitasnya. Tiap malam Kamis di atas pukul 20.00 Wib, telinga warga masyarakat Mayangsari, Ringintelu dan Kembangarum dibuai dengan alunan tetabuhan gamelan tersebut. Alunan musik gamelan Jawa tersebut sudah barang tentu akan berdampak pula bagi apresiasi para anak-anak mereka terhadap jenis musik tersebut. Walau sejauh ini belum ada upaya konkrit untuk melibatkan anak-anak pada proses latihan tersebut, namun atmosfer yang dibangun dari bunyi tetabuhan tersebut akan menggetarkan relung apresiasi bagi siapa saja tak terkecuali anak- anak. Di Sekitar Wilayah Mayangsari terdapat dua titik tempat kegiatan latihan karawitan, yaitu di Kampung Panjangan dan di Ringintelu. Kegiatan latihan karawitan di Kampung Panjangan, untuk sementara waktu berhenti, namun berdasarkan informasi dari salah satu tokoh di antra mereka, bahwa telah disiapkan perencanaan ke depan latihan karawitan di tempat tersebut salah satu agenda kegiatan latihannya diperuntukkan bagi anak-anak. Bagi warga masyarakat di wilayah tersebut pada dasarnya mereka menaruh simpati yang 106 106 tinggi terhadap keberadaan tempat latihan karawitan tersebut, dan dipandang menjadi salah satu cara efektif dalam rangka mentradisikan seni budaya Jawa, dan harapannya akan berdampak pula bagi terbumikannya nilai tradisi Jawa dalam kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Kegiatan pelatihan kelompok karawitan di Kampung Ringintelu berlangsung secara kontinyu pada perkembangan terakhir telah berlangsung semenjak tahun 1998. Ketika dikorek informasi tentang motivasi para peserta mengikuti kegiatan tersebut, sebagian besar menyatakan untuk cegah lek menahan kantuk; dan ada yang menyatakan sebagai upaya untuk nguri-uri kabudayan Jawa melestarikan budaya Jawa. Konsep tentang cegah lek dalam kultur Jawa pada dasarnya adalah sebuah tindakan spiritual yang dilakukan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Dalam laku cegah lek tersebut terdapat sikap prehatin dan laku konteplasi yang mengedepankan olah rasa yang dapat menajamkan panca indra dan perasaannya. Perolehan dari proses laku cegah lek tersebut, yang dalam hal ini dilaksanakan dengan media berlatih karawitan, mereka berharap akan mendapatkan kualitas spiritual yang memadahi. Sebab dalam kultur Jawa, karawitan dipandang sebagai ekspresi estetis dari karakteristik seni yang bersifat ngrawit, atau rumit, sebagai refleksi dari cita rasa kehalusan budi; dengan terbiasa melakukan asah kehalusan budi tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi manusia Jawa yang berkualitas. Ungkapan tentang perlunya cegah lek tersebut, diekspresikan dalam salah satu pada tembang Asmarandana dengan lirik sebagai berikut: Aja turu sore kaki Ana Dewa nganglang jagad 107 107 Nyangking bokor kencanane Isine donga tetulak Sandang kelawan pangan Ya iku bagianipun Wong melek sabar narima. Dijelaskan pada teks tembang Asmarandana tersebut bahwa laku melek atau menahan tidur adalah menjadi laku spiritual bagi orang Jawa agar bisa mendapatkan kesejahteraan hidup. Disebutkan bahwa Para Dewa akan memberikan sandang dan pangan hanya kepada orang yang mau menahan untuk tidak tidur di sore hari dan yang bisa berlaku sabar dan mau menerima keadaan. Pada suatu kesempatan Tetua dari kelompok karawitan tersebut melantunkan tembang untuk penulis, keinginannya adalah berupaya menjelaskan bagaimana manusia Jawa harus bersikap dalam menentukan orientasi kehidupannya. Melalui untaian lirik tembang tersebut sungguh dapat dipahami konstruksi nilai ideal yang digunakan sebagai referensi dalam menata kehidupan mereka pula. Lirik tembang tersebut adalah sebagai berikut: Poma-poma wekas mami Anak putu aja lena Aja ketungkul uripe Lan aja duwe kareman Marang pepaesing donya Siang dalu dipun emut Yen urip manggih antaka. Hampir seluruh lirik tembang yang dilantunkan dalam kegiatan karawitan tersebut pada dasarnya sarat dengan ajaran budi pekerti, tak terkecuali yang terdapat pada lirik tembang Asmarandana di Atas. Melalui tembang tersebut mereka berpesan pada anak-anak mereka betapa kehidupan dunia sesungguhnya hanya bersifat semu, dengan begitu jangan sampai terlena dan terlalu mencintai 108 108 keindahan dunia. Dan hendaknya diingat di setiap saat, bahwa kehidupan yang sesungguhnya dan bersifnya abadi adalah kelak jika sudah berada di akherat; dan ingat bahwa hidup akan mati. Begitu pekatnya kesadaran pada orientasi spiritual dalam kelompok karawitan ini. Sekilas kelompok anggota masyarakat tersbut sedang berada pada buaian suasana yang menghibur dan dengan canda tawa, namun sesungguhnya mereka sedang merajut nilai dan mencoba menerapkan rajutan tersebut dalam laku kehidupannya.

5.3. Proses Enkulturasi Budaya Jawa Di Sekolah