GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK SD ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG: EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT JAWA.

(1)

GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK

SD ISLAM SITI SULAECHAH

MAYANGSARI SEMARANG:

EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK

PADA MASYARAKAT JAWA

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh Purwanto NIM: 2001501024

Program Studi Pendidikan Seni

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

MOTTO DAN PERUNTUKAN

Motto

‘Mangkono ngelmu kang nyata Sanyatane mung weh reseping ati

Bungah ingaranan cubluk Sukeng tyas yen den ina

Nora kaya si Pengung anggung gumrunggung Ugungan sadina-dina

Aja mangkana wong urip’

(Wedharaga, R. Ng. Ranggawarsita 1802- 1873)

Peruntukan

Tesis ini kuperuntukan kepada Isteri dan Anak-anakku tercinta


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmatNya sehingga tesis yang berjudul GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK SD ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG: EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK PADA LINGKUNGAN MASYARAKAT JAWA . dapat penulis selesaikan. Tesis ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan, bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.

Untuk menyelesaikan tesis ini banyak terlibat berbagai pihak, mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian, dan penulisannya, maka tidak berlebihan kiranya jika penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Rektor UNNES Semarang, yang telah memberikan kesempatan belajar kepada penulis untuk menyelesaikan jenjang studi S2. 2. Direktur Pascasarjana UNNES, yang telah memberikan ijin dan

kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan studi S2. di Program Pascasarjana UNNES.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana UNNES, yang telah memberikan ijin dan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan studi S2 di Program Pascasarjana UNNES.

4. Bapak Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi.M.A. sebagai pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dengan baik dan penuh kearifan.

5. Dr. Sri Iswidayati. M.Hum. Sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dengan baik dan penuh kearifan.

6. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana UNNES Semarang yang telah memberikan


(4)

ilmunya hingga penulis merasa cukup bekal untuk melakukan penulisan ini.

7. Kepala Sekolah dan seluruh Guru SD Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang yang telah memberi ijin dan membantu pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

8. Bapak Edy Susilo ( Panjangan ) sebagai narasumber yang telah banyak membantu memberikan data penelitian yang sangat bermanfaat bagi penulis.

9. Bapak Rusman ( Kembangarum ), sebagai narasumber yang banyak memberikan data penelitihan berkaitan dengan persoalan teknis dalam pelaksanaan upacara ritual dalam masyarakat, yang bermanfaat besar bagi penyelesaian penulisan ini.

10. Seluruh tokoh dan warga masyarakat Mayangsari dan sekitarnya yang telah penulis wawancarai dan gunakan sebagai informan untuk menjelaskan berbagai hal yang berkenaan dengan penelitian yang penulis lakukan, yang tak dapat disebutkan satu-persatu.

11. Seluruh rekan-rekan Dosen Jurusan Seni Rupa FBS UNNES, yang telah memberikan dorongan moril, hingga penulisan ini dapat terselesaikan.

Dengan doa, semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis tersebut akan dibalas dengan selaksa kebaikan pula oleh Allah SWT.

Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan bagi kehidupan masyarakat luas. Semarang, 9 September 2008


(5)

ABSTRACT

Purwanto, 2008. The Picture of Wayang Made by Children of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang: Cultural Expression in the Javanese Community. The Thesis of Art Education Magister Study Program. Post Graduate Program of Semarang State University.

First Suvervisor : Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A. Second Supervisor: Dr. Sri Iswidayati, M.Hum.

Key wards: Culture, Javanese Culture, wayang, The picture of wayang

Basically, the relationship between people and their environment is a component that cannot be separated. By using their culture, people try to adapt and to use their environment to continue their life. The interaction prosess of people and their enviroment bath phisicaly and sosialy consists of adaptation and self internalization procsses so that culture used in their community covil be implemented in the value of their personal life, conversely, an ideal culture which comes from themsellves as personal potential and as a civilized creative, and make a contribution for the forming of culture chain in the groups of society. Hence, it could be stated that the relationship between people and their evironment goes on integratively, including ways done in fulfilling their aesthetic needs.

The problems discussed in the study is explaining an relation between wayang picture expression made by the student of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School and culture values in the socio cultural life of their community. In this case, Javanese culture values, the problems are cathegorized spesificaly into:

(1) How the process of Javanese culture values enculturation, happening in the life of Mayangsari community and it’s surrounding. (2) What factors influencing the Javanese culture values in the community. (3) How the wayang picture expression made by student of Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang.

To explain the problems presented, especially in interpreting and analysing the aestetical value of wayang picture expression created by the children, as case study with the basis structure of Javanese culture, by giving attention the conceps of culture: Geerts, Suparlan, and Rohidi; viewing a culture as a sistematical and integral web. The expression of wayang picture by childrens become as phenomena in the recant society’s life. The wayang picture created by children living in a certain group of society which is still familiar with the Javanese culture as their basis of their life, could be assumerd that those expressions will reflect the Javanese culture value as well.

The methods used to explain the problems in this thesis is qualitative asseesment by descriptive method to determine the focus of this thesis, the technique used to get the data, source data and the technique of analyzing the data is based on background problem: The prosess of Javanese cultural values enculturation happening in the life of Mayangsari community and it’s surrounding. By understanding the setting of cultural condition, it can be used to explain the aesthetical ezpression needs of community members.

The result of the study shows that the condition of social environment of community has a huge influence for the community life attitude, including in fulfilling their aesthetical needs.


(6)

The social area of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang which has a character as community strongly keeping their Javanese culture, has an effect in the enculturation process to Javanese values in their community life, in household life, school, and community this cultural life atmosphere is found to influence greatly for the wayang picture expressive taste made by their children. The expression of the wayang picture of their children Still reflecting the tendenly of understanding and relation level with the essence of Javanese cultural values. The essence of Javanese cultural values reflected in the wayang picture expression made by those childrend are still easy to identify as the realization of same figure in classical puppet reference. It’s line expression is smooth, firm, sure, and full of convidence. The whole expression of picture expression tends to have the character of being complicated, ngrawit, jlimet, (Java) and involutif; as the characteristic of Javanese culture. Besides, the essenceof the wayang picture expressive form made by those children still preser to soft values are alus as the reflection of the taste of ethical and aesthetical values

Actually, if can be concluded that there is relation which is closed and in an integral relation which is closed and in an integral relation between the wayang picture expression made by the studends of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang, with the values of Javanese culture in their community life.

Many things which have been suggested in the closing of this thesis are based on a concern to give the alms of thoughts for the effarts of conservating traditional values, especially, in Semarang city territory, which might have direct influence for the educational process to children, and if might, more than that, influence the forming of the .community culture image based on the values of Javanes traditional culture.


(7)

SARI

Purwanto,2008. Gambar Wayang Buatan Anak-anak SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang: Ekspresi Kultural Anak-anak pada Lingkungan Masyarakat Jawa. Tesis Program Studi Magister Pendidikan Seni. Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing I Prof. DR. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A.

Dosen Pembimbing II DR. Sri Iswidayati, M.Hum.

Kata kunci: Kebudayaan, Kebudayaan Jawa, wayang, gambar wayang.

Pada dasarnya hubungan manusia dengan lingkungannya merupakan sebuah komponen yang tak dapat dipisahkan. Dengan menggunakan kebudayaannya manusia berusaha beradaptasi dengan lingkungannya dan mendayagunakan lingkungannya untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Proses interaksi manusia dengan lingkungan baik fisik maupun sosial, di dalamnya terdapat proses adaptasi dan internalisasi diri sehingga kebudayaan yang digunakan dalam kehidupan masyarakatnya tersebut dapat terimplementasi dalam tata nilai kehidupan pribadinya, sebaliknya kebudayaan ideal yang berasal dari dirinya sebagai potensi personal sebagai makluk yang berbudaya ikut pula memberi konstribusi bagi pembentukan rajut kebudayaan di kelompok masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan manusia dengan lingkungannya tersebut berlangsung secara integratif, termasuk didalamnya adalah cara-cara yang dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan estetisnya

Permasalahan yang diangkat dalam studi ini adalah menjelaskan relasi yang terjadi antara ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang dengan nilai-nilai kultural dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya dalam hal ini adalah nilai kultural budaya Jawa. Secara spesifik permasalahan tersebut dirumuskan menjadi: (1) Bagaimana proses enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa terjadi dalam kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya. (2) Faktor apasajakah yang mempengaruhi proses enkulturasi nilai budaya Jawa pada masyarakat tersebut. (3) Bagaimanakah ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang.

Untuk menjelaskan masalah yang dikaji, khususnya dalam menginterpretasi dan menganalisis nilai estetis ungkapan gambar wayang buatan anak-anak tersebut digunakan pendekatan studi kasus dengan kerangka acuan kebudayaan Jawa, dengan memperhatikan berbagai konsep-konsep kebudayaan, Geertz, Suparlan, dan Rohidi, yang memandang kebudayaan sebagai sebuah jaringan yang sistemik dan integral. Ungkapan gambar wayang buatan anak-anak, menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat pada konteks kini. Gambar yang dibuat oleh anak-anak yang hidup pada suatu kelompok masyarakat, yang masih pekat menggunakan kebudayaan Jawa sebagai pedoman dalam kehidupannya, akan dapat diasumsikan bahwa ungkapan gambarnya tersebut akan merefleksikan nilai-nilai kebuyaan Jawa pula.

Metodologi yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam kajian ini, sebagai studi kasus, menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Untuk menentukan fokus kajian, teknik yang digunakan untuk mengambil data, sumber data dan teknik analisis data; didasarkan pada latar masalah: proses enkulturasi nilai budaya Jawa yang terjadi pada kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya. Dengan


(8)

memahami kondisi setting kultural tersebut maka dapat digunakan untuk menjelaskan kebutuhan ekspresi estetis anggota masyarakatnya.

Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sosial suatu masyarakat berpengaruh besar bagi perilaku kehidupan masyarakat, termasuk di antaranya adalah dalam pemenuhan kebutuhan estetisnya. Medan sosial Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang yang memiliki karakter sebagai masyarakat yang masih kuat mempertahankan nilai-nilai kultural Jawa, berdampak pada proses enkulturasi terhadap nilai budaya Jawa pada kehidupan masyarakatnya, dalam kehidupan rumahtangga, sekolah dan masyarakat. Atmosfer kehidupan budaya yang demikian ternyata berpengaruh besar bagi cita rasa ungkapan gambar wayang buatan anak-anak mereka. Ungkapan gambar wayang anak-anaknya masih pekat merefleksikan kecenderungan pemahaman dan tingkat kedekatannya dengan esensi nilai-nilai kultural Jawa. Esensi nilai kultural Jawa yang tereflekasi pada ungkapan gambar wayang buatan anak-anak tersebut masih gampang dapat diidentifikasi sebagai perwujudan dari tokoh tertentu dalam referensi wayang klasik. Ungkapan garis-garisnya lancar, tegas, pasti, dan penuh percaya diri. Ekspresi keseluruhan ungkapan gambar cenderung bersifat, rumit, ngrawit, jlimet dan involutif; sebagaimana karakteristik kebudayaan Jawa. Disamping itu esensi bentuk ungkapan gambar wayang butan anak-anak tersebut masih mengedepankan nilai kehalusan atau alus sebagai refleksi cita rasa nilai etis dan estetis.

Dapat disimpulkan sesungguhnya terdapat relasi yang demikian dekat dan dalam hubungan yang integral antara ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang, dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang ada dalam kehidupan masyarakatnya. Berbagai hal yang disarankan pada bagian penutup tulisan ini didasarkan pada kepentingan untuk ikut memberikan sumbangan pikiran bagi upaya pelestarian nilai-nilai tradisional khususnya di wilayah Kota Semarang, yang dimungkinkan akan berdampak langsung bagi proses edukasi terhadap anak-anak, dan lebih dari itu dimungkinkan akan berpengaruh bagi terbentuknya wajah kebudayaan masyarakat kota yang berbasis pada nilai-nilai budaya tradisi Jawa..


(9)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... vi

Abstract ... viii

Sari ... x

Daftar Isi ... xii

Daftar Gambar ... xiv

BAB 1. ... P ENDAHULUAN ... 1

1.1. ... L atar Belakang Masalah ... 1

1.2 Masalah Penelian ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

2. ... L ANDASAN TEORI ... .14

2.1. ... T eori Fenomenologi ... 14

2.2. ... K ebudayaan ... 17

2.3. ... K ebudayaan Jawa ... 19

2.4. ... E stetika Budaya Jawa ... 23

2.5. ... K esenian Wayang Dalam Kebudayaan Jawa ... 26

2.6. ... G ambar Kerangka Berpikir ... 45


(10)

3. ... M ETODOLOGI PENELITIAN ... 46 3.1. ... P

endekatan Dan Metode ... 46 3.2. ... F

okus Penelitian ... 47 3.3. ... M

etode Pengambilan Data ... 49 3.4. ... S

umber Data ... 50 3.5. ... T

eknik Analisis Data ... 51

4. ... G AMBARAN UMUM SEKOLAH DASAR ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG ... 53 4.1. ... L

atar Belakang Berdirinya Sekolah ... 53 4.2. ... V

isi, Misi, dan Rencana Pengembangan Sekolah ... 55 4.3. ... S

arana dan Prasarana Sekolah ... 57 4.4. ... K

eadaan Guru dan Karyawan Sekolah ... 62 4.5. ... S


(11)

5. ... P ROSES ENKULTURASI NILAI BUDAYA JAWA MASYARAKAT MAYANGSARI DAN SEKITARNYA ... 68 5.1. ... P

roses Enkulturasi Budaya Jawa Dalam Keluarga ... 68 5.2. ... P

roses Enkulturasi Budaya Jawa Dalam Masyarakat ... 78 5.3. ... P

roses Enkulturasi Budaya Jawa Di Sekolah ... 99 6. ... F

AKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PROSES ENKULTURASI NILAI BUDAYA JAWA ... 106 6.1. ... F

aktor Penghambat... 106 6.2. ... F

aktor Pendukung ... 112

7. ... U NGKAPAN GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK ... 115 7.1. ... P

emilihan Tokoh Wayang ... 115 7.2. ... K

ehadiran Tokoh Dalam Gambar ... 120 7.3. ... F

ungsi Ornamen pada Gambar Wayang ... 125 7.4. ... K

arakteristik Gambar Wayang Buatan Anak-anak ... 129 7.5. ... A


(12)

8. ... P

ENUTUP ... 218

8.1. ... K esimpulan ... 218

8.2. ... S aran-saran ... 222

9. ... D AFTAR PUSTAKA ... 226

DAFTAR GAMBAR

BAB : 2 Gambar: 1 Profil wayang putren ... 31

Gambar: 2 Dodot wayang putren gaya Surakarta dan Yogyakarta ... 31

Gambar: 3 Berbagai bentuk gelung wayang putren ... 32

Gambar: 4 Dewi Shinta gaya Yogyakarta ... 33

Gambar: 5 Profil wayang alusan ... 34

Gambar: 6 Bentuk bokongan dengan posisi kaki jangkahan alus ... 34

Gambar: 7 Berbagai bentuk tutup kepala tokoh satria alusan ... 35

Gambar: 8 Contoh waaayang satria alusan (Arjuna) ... 36

Gambar: 9 Profil wayang gagahan ... 37

Gambar: 10 Busana dodot wayang gagahan ... 37

Gambar: 11 Berbagai bentuk tutup kepala wayang gagahan ... 38

Gambar: 12 Beberapa tokoh wayang gagahan ... 39

Gambar: 13 Profil wayang tokoh raksasa ... 40

Gambar: 14 Busaana bentuk dodod dan bentuk rapekan tokoh raksasa ... 41

Gambar: 15 Tokoh raksasa Kala Srenggi ... 42

Gambar: 16 Beberapa tokoh raksasa ... 43


(13)

BAB: 4

Gambar: 18 Foto Kepala Sekolah dengan latar berbagai piala penghargaan ... 57

Gambar: 19 Denah bangunan gedung SD Islam Siti Sulaechah ... 58

Gambar: 20 Foto Gedung SD Islam Siti Sulaechah tampak depan ... 59

Gambar: 21 Foto gedung SD Islam Siti Sulaechah tampak bagian lantai atas ... 59

Gambar: 22 Foto fasilitas jalan depan SD Islam Siti Sulaechah ... 60

Gambar: 23 Foto mural pada dinding luar bangunan SD ... 60

Gambar: 24 Gallery board ... 62

Gambar: 25 Denah wilayah Kelurahan Kalipancur Ngaliyan Semarang ... 66

BAB: 5 Gambar: 26 Tokoh wayang Kresna pada lukisan kaca ... 75

Gambar: 27 Tokoh wayang Hanoman ... 76

Gambar: 28 Suasana HUT RI di Kampung Mayangsari ... 90

Gambar: 29 Panembrama ... 90

Gambar: 30 Pentas tari pada malam pentas seni HUT RI ... 91

Gambar: 31 Suasana proses belajar mengajar di kelas ... 100

Gambar: 32 Tokoh Punakawan ... 105

BAB: 7 Gambar: 33 Contoh gambar wayang berwatak baik ... 118

Gambar: 34 Contoh gambar wayang berwatak buruk... 119

Gambar: 35 Tokoh gambar wayang binatang Gajah ... 120

Gambar: 36 Gambar wayang berkelompok, para Punakawan ... 121

Gambar: 37 Gambar wayang berkelompok persahabatan para Satria ... 122

Gambar: 38 Gambar wayang persahabatan Punakawan dengan binatang ... 122

Gambar: 39 Gambar wayang persahabatan Satria dengan Punakawan ... 123

Gambar: 40 Gambar wayang persahabatan tokoh-tokoh jahat ... 124

Gambar: 41 Ornamen berfungsi sebagai hiasan tepi ... 126

Gambar: 42 Fungsi ornamen sebagai representasi ruang ... 127

Gambar: 43 Fungsi ornamen sebagai penghias latar... 128


(14)

Gambar: 45 Bima ... 132

Gambar: 46 Bima ... 134

Gambar: 47 Gathotkaca ... 136

Gambar: 48 Puntadewa dan Arjuna ... 138

Gambar: 49 Puntadewa ... 140

Gambar: 50 Bima ... 142

Gambar: 51 Puntadewa ... 144

Gambar: 52 Bima ... 146

Gambar: 53 Janaka ... 148

Gambar: 54 Bima ... 150

Gambar: 55 Janaka dan Petruk ... 152

Gambar: 56 Buta Cakil dan temannya ... 154

Gambar: 57 Arjuna ... 156

Gambar: 58 Bima ... 158

Gambar: 59 Sadewa ... 160

Gambar: 60 Werkudara ... 161

Gambar: 61Arjuna dan Hanoman ... 164

Gambar: 62 Persahabatan para Raksasa ... 166

Gambar: 63 Satria ... 168

Gambar: 64 Petruk ... 170

Gambar: 65 Bratasena ... 172

Gambar: 66 Kresna ... 174

Gambar: 67 Petruk ... 177

Gambar: 68 Bima ... 179

Gambar: 69 Bima ... 181

Gambar: 70 Batari Durga ... 183

Gambar: 71 Bagong ... 185

Gambar: 72 Srikandhi ... 186

Gambar: 73 Dewi Sinta ... 188

Gambar: 74 Arjuna ... 191


(15)

Gambar: 76 Dewa ... 195

Gambar: 77 Gareng dan Gajah ... 197

Gambar: 78 Punakawan ... 199

Gambar: 79 Bima ... 201

Gambar: 80 Tiga Satria ... 203

Gambar: 81 Tokoh wayang yang relatif sulit diidentifikasi ... 210

Gambar: 82 Perbedaan tokoh wayang baik dan buruk... 213


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Hubungan antara manusia dengan lingkungannya adalah sebuah komponen yang senantiasa tak dapat dipisahkan. Disadari atau tidak, untuk melangsungkan kehidupannya manusia senantiasa berupaya memanfaatkan lingkungan alam di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan kehidupannya. Hubungan tersebut sebenarnya bukan semata-mata sebagai hubungan ketergantungan manusia dengan lingkungannya semata, tetapi juga terjadi hubungan timbal balik bahwa manusia mempengaruhi dan memberi bentuk pada lingkungannya pula. Sebagaimana dikemukakan Suparlan (1980 ), manusia turut menciptakan corak dan bentuk lingkungannya dan dalam lingkungan yang diciptakannya, baik yang nyata dan maupun yang sebagaimana dilihat atau dibayangkannya. Manusia, dari satu segi menjadi sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup adalah sebagian dari dirinya. Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung pada dan merupakan sebagian dari lingkungan fisik dan alamnya adalah kebudayaannya. Demikian juga Forde (dalam Suparlan, 1980) mengemukakan bahwa hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia. Dengan menggunakan kebudayaannya tersebut, maka manusia beruasaha beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam


(17)

proses adaptasi tersebut, manusia mendayagunakan lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya

Merujuk pendapat Forde tersebut, pada dasarnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya, tidak saja hubungan dengan lingkungan fisik semata, tetapi menyangkut pula hubungan dengan lingkungan sosial budaya. Sebagai individu yang berada dalam suatu komunitas masyarakat, untuk tetap survive dan tetap dapat menjaga eksistensinya mau tidak mau manusia harus dapat mengikuti dan memanfaatkan kondisi sosial budayanya, sekaligus berperan ikut mewarnai kehidupan sosial yang ada di lingkungan masyarakatnya. Proses intraksi manusia dengan kondisi lingkungan sosial masyarakatnya itu di dalamnya terdapat proses adaptasi dan internalisasi diri, sehingga kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman dalam perilaku kehidupan masyarakatnya tersebut terimplementasi dalam tata nilai perilaku kehidupan pribadinya pula. Sebaliknya, pola-pola kebudayaan ideal yang berasal dari dirinya, sebagai potensi personal sebagai makluk yang berbudaya, ikut pula memberi konstribusi bagi pembentukan rajutan jaring-jaring kebudayaan yang ada di kelompok masyarakatnya. Atas dasar itu maka ekspresi pikiran, perasaan dan tindakannya senantiasa diwarnai dengan nilai-nilai budaya yang dianutnya; termasuk ekpresi estetisnya.

Dapat ditegaskan ketika manusia telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakatnya maka ungkapan ekspresi estetisnyapun menjadi bagian integral dari kebudayaan yang ada di masyarakatnya. Sejalan dengan pikiran tersebut Khayam (1981: 38) menyatakan bahwa kesenian tidak pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari


(18)

kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Manusia sebagai pribadi bagian integral dari masyarakat dan kebudayaannya mengemban fungsi sebagai penyangga kebudayaan- demikian pula kesenian yang ada di masyarakatnya, di dalamnya ada proses mencipta, memelihara, mewariskan, mengembangkan, yang kemudian membangunnya menjadi kebudayaan baru yang menawarkan nilai-nilai baru yang relatif mampu memenuhi kebutuhan estetisnya dalam konteks sekarang.

Rohendhi (1993: 2) mengatakan bahwa setiap masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar, mengembangkan kesenian sebagai ungkapan pernyataan rasa estetik yang merangsangnya sejalan dengan pandangan, aspirasi, kebutuhan , dan gagasan yang mendominasinya. Cara-cara pemuasan terhadap kebutuhan estetik itu ditentukan secara budaya (seperti aspek-aspek kebudayaan yang lainnya), serta terintegrasi pula aspek-aspek kebudayaan lainnya itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa proses pemuasan kebutuhan estetik tersebut berlangsung dan diatur oleh seperangkat nilai dan asas yang berlaku dalam masyarakat dan oleh karena itu cenderung untuk direalisasikan dan diwariskan pada generasi berikutnya.

Nilai-nilai seni yang mentradisi dalam suatu kelompok masyarakat akan senantiasa menjadi spirit dan karakter masyarakatnya. Semakin kuat proteksinya terhadap nilai- nilai dalam kehidupan budayanya, maka nilai-nilai itu akan menjadi semakin lekat mentradisi dalam kehidupannya. Dorongan untuk mempertahankan dan mentradisikan nilai-nilai itu akan terasa demikian besar, perangkat nilai-nilai itu akan berjalan konstan hingga titik waktu manakala


(19)

orientasi kehidupan pendukung budaya tersebut mengalami perubahan yang diakibatkan oleh suatu hal; yang menjadikan irama kehidupan budayanya sudah tidak selaras lagi dengan tuntutan kehidupannya.

Dalam dinamika perubahan budaya yang sedang berlangsung dewasa ini, yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan orientasi hidup, konstruksi kebudayaan tidak lagi mengenal batas-batas wilayah geografis, hal ini akibat pesatnya arus komunikasi dan transportasi yang menjadikan wilayah-wilayah budaya tradisi semakin berjarak dengan pendukungnya. Disadari atau tidak, seiring bergulirnya waktu, dorongan perenggangan jarak budaya itu pada dasarnya diakibatkan oleh dua faktor yang mempengaruhi, yaitu baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal berupa dorongan potensi kreatif dari masing-masing individu yang pada dasarnya membawa pola kebudayaan ideal yang bersifat personal, dan sementara itu dan potensi itu akan berakumulasi dalam suatu kelompok masyarakat menjelma menjadi spirit bersama untuk melakukan pembaharuan sesuai dengan orientasi kehidupannya kini. Faktor eksternal di antaranya adalah rangsangan, ajakan, rongrongan, hantaman yang berlangsung terus menerus; yang menjadikan bangunan nilai-nilai itu akan terabrasi dan bisa jadi lebur menjelma menjadi delta nilai baru yang kondisinya bisa saja menjadi tercerabut dari tata nilai lama. Nilai-nilai tradisi tersebut yang pada masa sebelumnya pernah menjadi payung mengatur kehidupan idealnya, dipertahankan dan dijaga dalam proses waktu yang cukup lama, dimungkinkan kondisinya kini akan menjadi nilai-nilai ‘asing’ bagi pendukungnya sendiri.


(20)

Fenomena abrasi budaya tersebut, sesungguhnya telah melanda hampir di seluruh wilayah budaya tradisi di Indonesia saat ini, Bahkan jauh sebelumnya Ronggowarsito (1802- 1874), dalam Serat Kalatidha-nya telah memberikan isyarat perubahan itu dengan menyebutnya sebagai jaman edan.. Penyebutan jaman edan tersebut untuk menggambarkan kondisi kehidupan suatu masyarakat (Jawa) yang mengalami kerusakan tatanan, akibat orientasi kehidupan budaya yang berubah, yang berpengaruh besar pada tata perilaku kehidupan masyarakatnya. Salah satu pada tembang dalam Kalatidha tersebut menyebutkan demikian:

Amenangi jaman edan Ewuh aya ing pambudi Melu edan nora tahan Yen tan melu anglakoni Boya kaduman melik Kaliren wekasanipun Dilalah karsa Allah Begja begjaning kang lali

Luwih begja kang eling lawan waspada

Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa moralitas baru sedang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, menggantikan budaya tradisisi yang ada. Peristiwa tersebut akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia. Demikian juga kebutuhan berkesenian masyarakat secara umum. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemikiran dan peradaban terus berkembang untuk mencari dan menemukan kreativitas baru sesuai perkembangan kebudayaan teknologi dan seni. Dikemukakan Kneller (dalam Pidarta, 1997: 160) bahwa dalam pengembangan kebudayaan meliputi tiga unsus yaitu: Originasi, yaitu suatu penemuan baru yang dapat menggeser


(21)

penemuan lama. Difusi yaitu pembentukan budaya baru akibat percampuran budaya baru dengan budaya lama. Reinterpretasi, yaitu perubahan kebudayaan akibat terjadinya modifikasi kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan keadaan jaman.

Menyikapi terjadinya perubahan budaya tersebut banyak kalangan masyarakat yang ketakuan akan kehilangan jati diri kebudayaan tradisinya, dengan pertimbangan itu maka bisa difahami jika banyak kalangan yang melakukan proteksi terhadap kebudayaan tradisinya.

Sebagai salah satu tindakan dalam rangka menyelamatkan terjadinya abrasi budaya Jawa, maka melalui Kongres Bahasa Jawa IV 2006, yang berlangsung pada tanggal 10-14 September 2006 di Semarang, telah ditetapkan beberapa keputusan, diantaranya:

(1). Menekankan kembali berlakunya Keputusan Kongres Bahasa III di Yogyakarta, bahwa mata pelajaran bahasa Jawa wajib diajarkan di Sekolah-sekolah mulai SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA di tiga Propinsi; Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (2). Pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah harus bersifat kontekstual, memanfaatkan teknologi informasi, mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif, serta dapat dimulai dari varian bahasa setempat sebagai titik tolak untuk mengajarkan bahasa Jawa baku.

(3). Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah perlu mengajarkan unggah-ungguh dan bahasa Jawa sinandi untuk menanamkan nilai kesantunan dan budi pekerti.


(22)

(4). Perlu dikembangkan bengkel sastra Jawa sebagai sarana apresiasi dan kreativitas.

(5). Secara bertahap, guru bahasa Jawa harus lulusan lembaga pendidikan formal bahasa dan sastra Jawa. Perlu disiapkan fasilitas pembelajaran khas Jawa yang dapat meningkatkan kompetensi dan ketrampilan berbahasa dan bersastra Jawa.

Melalui keputusan Konggres Bahasa Jawa 2006 tersebut, adalah sebagai sebuah cara bagaimana kebudayaan Jawa diproteksi oleh masyarakatnya. Dengan pemberdayaan bahasa Jawa melalui jalur pendidikan formal diharapkan dapat menjadi media strategis untuk mengendalikan para peserta didik/ para siswa yang menempuh pendidikan formal di tiga propinsi tersebut agar senantiasa berperilaku budaya Jawa. Diyakini bahwa bahasa dan sastra Jawa masih memiliki potensi keunggulan dan peluang untuk tetap hidup, tumbuh, dan berkembang di lingkungan masyarakatnya. Indikator itu paling tidak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa masih menjadi rujukan dalam membina kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, serta dapat memberikan konstribusi untuk membentuk kepribadian bangsa.

Paradigma baru yang mestinya dikembangkan dalam orientasi pendidikan seni saat ini ialah yang bersifat multikultural, hal tersebut didasarkan pada arah kebudayaan yang pluralistik, beragam dalam suatu masyarakat yang diikat oleh satu kesatuan. Paradigma pendidikan seni multikultural ini berkembang seiring dengan hak dan keunikan masing-masing peserta didik sebagai pribadi yang belajar secara bersama-sama; hendaknya dalam proses pendidikan tersebut dapat ditumbuhkan sikap saling menghormati, dan saling toleransi serta saling


(23)

memahami terhadap kepentingan masing-masing. Kemampuan menghargai dan menghormati perbedaan dan keragaman diharapkan akan dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap budayanya dan dimilikinya apresiasi yang baik pula terhadap budaya orang lain. Peran seni yang bersifat multikultural ini dapat dijadikan dasar pemersatu bangsa dengan mengembangkan sikap saling menghormati satu sama lain, menghargai adanya perbedaan dan kesadaran hidup dalam kesetaraan; diharapkan dengan sikap dasar tersebut dapat terwujud suasana kehidupan bermasyarakat yang berkualitas.

Kedudukan kesenian wayang dalam kehidupan budaya Jawa sangat penting, bahkan Mulyono (1979: 14) mengatakan bahwa kesenian wayang adalah ensiklopedi kebudayaan Jawa, sebab di dalam kesenian wayang tersebut terdapat nilai-nilai religi, filsafat, pandangan hidup, tata kehidupan masyarakat, dan nilai estetis, yang digunakan sebagai acuan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Pertunjukan wayang menjadi representasi dari hubungan kosmologi antara manusia (mikro kosmos) dengan alam semesta (macro kosmos ), bagaimana seharusnya manusia dapat memposisikan dirinya secara ideal dalam memerankan kehidupannya; dalam pertunjukan itu terdapat tawaran – tawaran pencitraan perwatakan dan wacana nilai-nilai dimana anggota masyarakat akan memilihnya. Ketika kehidupan difahami bahwa yang baik akan mengalahkan keburukan, kesatriaan akan menghancurkan keangkaramurkaan, keberuntungan akan senantiasa berpihak pada kejujuran, dan sura dira jayaningkang rat lebur dening pangastuti. ; maka pertunjukan wayang berfungsi sebagai media pendidikan nilai-nilai tradisi dalam kehidupan masyarakat jawa. Melalui media


(24)

tersebut anggota masyarakat dituntun kearah kehidupan yang ideal sebagaimana yang diorientasikan oleh kebudayaannya, disisi lain seni tradisi wayang tersebut sekaligus berfungsi sebagai tiyang penyangga berdiritegaknya konstruksi kebudayaan tradisi Jawa.

Sejauh mana efektifitas kesenian wayang tersebut mampu berperan mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakatnya, sudah barang tentu sangat tergantung dari intensitas kedekatan kesenian wayang itu sendiri dengan masyarakatnya. Dengan asumsi bahwa jika pertunjukan wayang dan sosialisasi tentang wayang tersebut dibudayakan menjadi sebuah kebutuhan yang mentradisi dalam suatu kelompok masyarakat, maka dimungkinkan perilaku anggota masyarakat tersebut akan merefleksikan nilai-nilai budaya Jawa yang ideal. Wayang menjadi ikon representasi pribadi-pribadi dalam konteks kehidupan kulturnya, dan wayang menjadi representasi simbol bagi pemenuhan kebutuhan etis dan estetisnya. Dengan begitu maka ungkapan ekspresi estetis anggota masyarakat tersebut sesungguhnya akan menjadi refleksi dari nilai-nilai kultur yang dianutnya.

Melalui penelitian ini peneliti berupaya menjelaskan relasi antara hasil ekspresi estetis bentuk gambar wayang hasil karya sekelompok anggota masyarakat, dengan nilai-nilai kultural Jawa.

Penelitian ini difokuskan pada gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Islam Siti Sulaechah di wilayah Mayangsari Kalipancur Ngaliyan Semarang. Pemilihan wilayah penelitihan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sekolah tersebut berada di kawasan wilayah kultural yang secara intens dan


(25)

terus-menerus melakukan tradisi melestarikan kesenian wayang. Tradisi penyelenggaraan pertunjukan wayang tersebut dilaksanakan setiap tahun sekali, pada bulan Apit atau bulan Dzulkangidah, sebagai ungkapan rasa syukur para anggota masyarakat di wilayah tersebut kepada Tuhan atas kemurahan yang telah diberikanNya. Di sekitar tempat keberadaan sekolah tersebut terdapat tiga titik tempat yang secara rutin menyelenggarakan kegiatan pentas wayang , dengan rentang jarak yang relatif tidak begitu jauh; yaitu di wilayah Panjangan, Kembangarum, dan Kalipancur. Serta di wilayah tersebut terdapat dua tempat untuk berlatih karawitan, yaitu di Panjangan dan Ringintelu; dan hamir tiap seminggu sekali irama gamelan itu membuai telinga warga masyarakatnya termasuk anak-anak yang tinggal di sekitar wilayah itu.

Disisi lain, sekolah tersebut telah melaksanakan dengan baik keputusan Kongres Bahasa Jawa IV 2006, yang diperkuat dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah, untuk melaksanakan pendidikan bahasa Jawa sebagai muatan kurikulumnya. Dengan asumsi, sinergi antara proses enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa yang dilakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat secara intens, dengan intervensi nilai-nilai budaya tersebut melalui pendidikan formal yang berkesinambungan; akan mampu mengoptimalkan pembentukan sikap dan perilaku anak-anak untuk berbudaya tradisi Jawa.

Atas dasar pertimbangan di atas maka ungkapan ekspresi estetis dalam bentuk gambar wayang yang dibuat oleh anak-anak di sekolah tersebut, menjadi gejala yang dapat digunakan untuk menjelaskan indikator nilai-nilai kultural Jawa yang terimplementasi dalam kehidupan mereka saat ini. Dengan kata lain gambar


(26)

wayang buatan mereka tersebut akan dapat digunakan sebagai teks untuk menjelaskan relasinya dengan ekspresi kultural mereka sebagai anak-anak yang hidup pada lingkungan masyarakat Jawa.

1.2. Masalah Penelitian

Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan kehidupan masyarakat yang masih kental melestarikan nilai-nilai tradisi budayanya dalam hal ini budaya Jawa, diharapkan akan senantiasa menjadi pewaris tradisi yang senantiasa mampu mengiplementasikan nilai-nilai kultural tersebut dalam perilaku kehidupannya. Karena keberadaan anak-anak tersebut telah menjadi bagian integral dari kebudayaan yang dianut oleh masyarakatnya, maka dimungkinkan ekspresi estetisnya akan mencerminkan kondisi sosial budayanya pula. Namun seiring dengan perubahan jaman, yang diakibatkan oleh perubahan orientasi pemenuhan kebutuhan masyarakat pendukungnya; nilai-nilai budaya tersebut dimungkinkan akan mengalami pergeseran ke arah tebentuknya pola-pola nilai budaya baru yang diyakini lebih sesuai untuk menjawab kebutuhannya saat ini.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah menjelaskan relasi yang terjadi antara gejala gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Islam Siti Sulaechah, Kalipancur Ngaliyan Semarang dengan nilai-nilai kultural dalam kehidupan sosial budayanya, dalam hal ini keberadaannya sebagai bagian dari komunitas sosial masyarakat Jawa.

Interaksi sosial mereka dalam medan budayanya saat ini dimungkinkan telah mengalami interaksi lintas multi budaya, dengan demikian gejala yang


(27)

muncul pada ungkapan gambar wayangnyapun akan mengalami pergeseran-pergeseran bentuk ungkapan sebagaimana yang mereka interpretasikan sesuai dengan kebutuhannya. Melalui gambar wayang buatan mereka itulah kiranya dapat difahami orientasi kehidupan dan konstruksi nilai-nilai kultural yang diperlukan sebagai bagian dari komunitas kehidupan masyarakat Jawa pada saat ini. Dengan lebih spesifik permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1. Bagaimanakah proses enkulturasi nilai-nilai tradisi Jawa dilakukan dalam kehidupan masyarakat di Kampung Mayangsari dan sekitarnya

1.2.2. Faktor apasajakah yang berpengaruh bagi proses inkulturasi budaya tradisi Jawa dalam kehidupan masyarakat di Kampung Mayangsari dan sekitarnya

1.2.3. Bagaimanakah ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah yang ada di Kampung Mayangsari Semarang.

1.3. Tujuan Penelitian.

Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji relasi antara ungkapan gambar wayang buatan anak-anak dengan nilai-nilai kulturalnya dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa saat ini. Secara khusus memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang bagaimana ekspresi gambar wayang buatan anak-anak Siwa SD Islam Siti Sulaekhah Kalipancur Ngaliyan Semarang, yang dapat dijelaskan dari aspek:

1.3.1 Proses enkulturasi nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat, baik yang dilakukan dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Paparan


(28)

mengenai hal terebut dapat digunakan untuk menjelaskan intensitas perhatian dan kepedulian lingkungan terhadap pelestarian nilai-nilai tradisi bagi anak-anak mereka; yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh bagi perilaku anak-anak, serta tingkat pemahaman mereka terhadap ciri-ciri keseniannya. Tingkat kemampuan pemahaman terhadap kesenian wayang pada anak-anak tersebut indikatornya dapat diketahui dari kemampuan mengungkapkan dalam bentuk gambar, menginterpretasi, dan memahami simbol yang digunakan dalam kerangka kebudayaan masyarakatnya.

1.3.2 Kajian analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada proses enkulturasi nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat, khususnya pada kehidupan anak-anak di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

1.3.3 Ungkapan bentuk tokoh wayang yang digambar oleh anak, yaitu kajian tentang organisasi unsur-unsur visual yang disusun mejadi bangunan makna, sebagai perwujudan tokoh wayang tertentu baik yang merepresentasikan perwujudannya yang klasik maupun segala penambahan dan perubahan yang dilakukan sebagaimana yang diinterpretasikan dalam kebutuhan estetisnya saat ini.

1.4. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, menajamkan pada persoalan bagaimana ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa S D Islam Siti Sulaekhah Kalipancur Ngalian Semarang ini, diharapkan dapat menjadi


(29)

konstribusi pemikiran dan pemahaman terhadap kasus serupa di tempat lain, di wilayah satuan budaya yang sama. Dengan demikian penelitian ini akan bermanfaat:

1.4.1 Bagi para pelaku budaya tradisi Jawa, dapat memperoleh gambaran tentang eksistensi nilai-nilai budaya Jawa tersebut yang terserap dalam pikiran anak-anak. 1.4.2 Bagi para tokoh dan pamong kesenian wayang, akan memperoleh informasi tentang efektivitas proses enkulturasi nilai yang ditanamkan melalui tradisi Apitan, selama ini; informasi tersebut menjadi refleksi dalam rangka mengukur tingkat keberhasilan proses pelestarian nilai seni budaya tradisi yang selama ini diupayakan.

1.4.3 Bagi para Guru di Sekolah Dasar, hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai budaya Jawa melalui Mata Pelajaran Bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah.

1.4.4 Bagi Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, hasil penelitihan ini akandapat menjadi informasi yang berharga untuk menentukan kebijakan-kebijakan lanjut bagi upaya pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat agar tercipta kondisi kehidupan masyarakat yang berbudaya; dengan tetap menjaga jalinan kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang.

1.4.5 Bagi kalangan akademisi dan pengkaji masalah pendidikan seni, secara teoritis tesis ini diharapkan bisa memberi gambaran tentang bagaimana relasi antara ungkapan ekspresi estetis anak-anak dari sebuah kelompok masyarakat dengan kondisi sosial budayanya. Studi kasus ini dimungkinkan dapat digunakan


(30)

untuk menjelaskan kasus yang sama di tempat yang berbeda, atau dapat diproyeksikan untuk menjelaskan gejala yang sama dalam lingkup yang lebih luas. Namun demikian untuk mendapatkan gambaran yang lebih konverhensip kiranya masih diperlukan kajian-kajian lanjutan, agar mendapatkan hasil yang lebih objektif.


(31)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Fenomenologi

Hassan (2004) menjelaskan bahwa fenomenologi secara umum adalah studi tentang kenyataan sebagaimana tampilnya. Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phenomenon berarti penampilan. Bagi Edmund Husserl (1859-1938) fenomenon adalah sesuatu objek sebagaimna kita alami dan menghadirkan diri kedalam kesadaran kita. Maka fenomenologi menurut Husserl ialah cara pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu (objek) sebagaimana tampilnya dan menjadi pengalaman kesadaran kita. Metode yang digunakan dalam pendekatan fenomenologi terdiri dari tahap intuisi, analisis serta deskripsi dan yang hasil keseluruhannya berupa deskripsi. Intuisi timbul secara langsung (direct) dan tanpa antara (immediate) dari pemusatan perhatian terhadap fenomena dan analisis dilakukan terhadap unsur-unsur fenomena yang bersangkutan. Sedangkan deskripsi ialah penjabaran dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Husserl menambahkan perlunya pembebasan diri dari segala praduga (pre-judgement) sebelum melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin kita ketahui atau pelajari; maka objek yang bersangkutan harus seolah-olah dikurung (bracketing), sehingga segala praduga dan praanggapan objek itu tidak mempengaruhi yang akan kita peroleh tentang objek itu. Proses tersebut


(32)

17

disebut epoche atau ‘membisukan suara’ yang mungkin pernah mempengaruhi pengetahuan kita terhadap objek yang bersangkutan.

Misiak dan Sexton (1988: 10) menjelaskan metode fenomenologi terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologi bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran – yakni, umpamanya segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau diisukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Selanjutnya dijelaskan, bahwa ada tujuh langkah (dalam terminologi Spiegelberg) yang terdapat dalam metode fenomenologi. Yang paling mendasar dan digunakan secara luas adalah deskripsi fenomenologis. Deskripsi fenomenologis bisa dibedakan ke dalam tiga fase: mengintuisi, menganalisis dan menjabarkan secara fenomenologis. Mengintuisi artinya mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena. Menganalisis adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya. Menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain. Dijelaskan pula bahwa ada langkah lain dari metode fenomenologis adalah pemahaman terhadap esensi-esensi’ (insight of essences), pengalaman atau kognisi tentang esensi-esensi (experience or cognition of essences), Langkah tersebut disebut dengan istilah Wessenschau. Spielgelberg menerjemahkan istilah tersebut menjadi pengintuisian esensi-esensi (intuiting of essences). Istilah pengintuisian digunakan untuk menghindari kesamaran serta konotasi mistik yang mungkin timbul dari


(33)

18

penggunaan istilah intuisi. Pengintuisian esensi-esensi disebut juga pengintuisian eidetic (eidetic intuiting). Kata eidetic berasal dari eidos, yang berarti esensi. Pengintuisian eidetic itu adalah untuk menangkap atau mencapai esensi-esensi berbagai hal melalui fenomena. Dan pencapaian esensi biasanya menyertakan survey atas sesuatu yang memperluasnya menjadi lebih umum.

Bogden & Taylor dalam Sutopo (1994) lihat juga Mulyana 2001, menjelaskan bahwa perspektif fenomenologi menempati posisi sentral di dalam metodologi penelitian kualitatif. Apa ang dicari peneliti di dalam kegiatan risetnya, bagaimana melaksanakannya dalam situasi riset, dan bagaimna peneliti melakukan tafsir pada hasil risetnya, semuanya tergantung pada perspektif teoritis yang digunakannya. teori fenomenologis memandang perilaku manusia, apa yang mereka katakan dan mereka lakukan adalah sebagai produk bagaimana orang melakukan tafsir terhadap dunia mereka sendiri. Kehadiran sebuah karya seni dan interaksinya dalam situasi yang khusus adalah merupakan gejala yang dapat diinterpretasi dan dipahami maknanya. Tugas peneliti kualitatif adalah menangkap proses tersebut, untuk itu diperlukan pemahaman empatik dengan kemapuan untuk mereproduksi diri di dalam ikiran orang lain, perasaan, dan motif, yang menjadi latar belakang kegiatannya.

Dari pikiran-pikiran di atas dapat disimpulkan bahwa riset dengan perspektif fenomenologis berusaha memahami makna berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus. Peneliti harus bersikap terbuka dan siap siap menerima segala kemungkinan dari apa yang sedang dipelajari. Cara fenomenologis menekankan berbagai aspek subjektif perilaku manusia, supaya


(34)

19

dapat memahami bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Langkah penting dalam tahapan kegiatan tersebut adalah melakukan deskripsi fenomenologis, atau mendeskripsikan ( menganalisis dan menjabarkan) fenomena yang digunakan sebagai objek riset.

Studi kasus pada penelitian ini penulis berusaha untuk menganalisis gejala yang ada pada gambar wayang buatan anak-anak SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang dengan menggunakan kerangka acuan kebudayaan Jawa sebagai motif untuk memahami fenomena tersebut. Dengan begitu maka relasi antara fenomena yang manifestasinya adalah gambar-gambar wayang tersebut akan dapat diketahui bagaimana relasinya terhadap kondisi kultural masyarakatnya, yang dalam hal ini adalah kelompok masyarakat yang diasumsikan masih cukup kuat memegang nilai-nilai tradisi budaya Jawa.

2.1. Kebudayaan

Kebudayaan dalam hal ini diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan kepercayaan, nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan atau sistem –sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Model-model pengetahuan ini digunakan secara selektif oleh warga masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan dan menghubungkan pengetahuan dan bersikap serta bertidak dalam menghadapi


(35)

20

lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya (Geertz, 1973: 89)

Sejalan dengan pengertian kebudayaan tersebut maka dimensi dari kebudayaan tersebut menyiratkan adanya: pertama, merupakan pedoman hidup yang berfungsi sebagai blueprint atau desain menyeluruh bagi kehidupanm warga masyarakat pendukungnya. Kedua, sebagai sistem simbol, pemberian makna, model kognitif yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik. Ketiga, merupakan strategi adaptif untuk melestarikan dan mengembangkan klehidupan dalam menyiasati lingkungan dan sumber daya di sekitarnya.(Rohidi,1993: 7).

Koentjaraningrat (1983) menjelaskan ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistemata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut menjelma dalam wujud kebudayaan yaitu: (1) sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya. (2) sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat, (3) sebagai benda-benda hasil kebudayaan.

Kesenian merupakan salah satu unsur yang senantiasa dalam kebudayaan, keberadaan ini erat kaitannya dengan kebutuhan manusia yang mendasar untuk memenuhi kepuasannya akan keindahan. Rohidi (2000: 207) menjelaskan betapapun sulitnya kehidupan suatu masyarakat , mereka tidak akan menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari makanan dan perlindungan semata. Selanjutnya dijelaskan bahwa kekunoan, kesemestaan, serta kesetiaan seni


(36)

21

menyertai kehidupan manusia sejak kehidupan awalnya telah membuktikan bahwa kesenian bukan sebagai keharusan melainkan sebagai kebutuhan; dan dikatakan sebagai kebutuhan bio-sosiologis.

Pada kesenian melekat ciri-ciri khas suatu kebudayaan, yaitu kesenian milik bersama yang memiliki seperangkat nilai, gagasan, dan unsur daras berpijak bagi perilaku; merupakan acuan bersama yang membuat tindakan individu dipahami, dan begitu pula individu memahami kelompoknya. Ciri Khas berikutnya (atau juga disebarluaskan pada generasi sebaya) melalui proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi. Kebutuhan akan keindahan mungkin juga bersifat biologis- seperti yang dikemukakan di atas sejalan dengan diketahuinya fungsi benak otak sebelah kanan- namun jelas pemuasannya, inspirasi, dan pemerkayaan corak dan wujudnya bersifat budaya. (Rohendi, 2000: 208)

Dari pikiran-pikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan budaya yang digunakan untuk melakukan kajian dalam penelitihan ini, pada dasarnya memandang kehidupan ini sebagai suatu yang sistemik dan integral. Kebudayaan dalam kehidupan manusia sebagai unsur-unsur yang mempunyai fungsi pedoman dan energi timbal balik yang mengatur hubungan integral antara individu, sosial, maupun lingkungannya.

2.2. Kebudayaan Jawa.

Dengan mengikuti pikiran Geertz (1973: 126) yang menunjukkan adanya dua aspek pokok dalam setiap kebudayaan, yaitu aspek moral dan aspek estetis yang sering disebut ethos disatu fihak dan aspek-aspek kognitif dan eksistensial yang sering disebut sebagai pandangan hidup atau world view di pihak lain. Esensi kebudayaan Jawa meliputi kedua-duanya, kedua aspek tersebut terjalin dan tergambar dengan baik dalam pewayangan.


(37)

22

Secara lebih detail esensi budaya Jawa tersebut terimplimentasi dalam kecenderungan manifestasi sikap hidup: religius, non doktriner/ non dogmatis, toleran, akomodatif, dan optimistik (Sujamto, 1992: 33). Rumusan tersebut paling tidak mewarnai baik secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri terhadap pertumbuhan dan perkembangan dari unsur-unsur kebudayaan yang ada. Bahasa dan kesusasteraan, arsitektur, seni pertunjukan, seni rupa, sistem religi dll. Baik langsung maupun tidak langsung merefleksikan ciri-ciri tersebut.

Ciri-ciri utama atau sifat-sifat dasar yang ada dalam perilaku budaya Jawa menurut Sujamto (1992: 144) yaitu:

(1) Percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai sangkan paraning dumadi, dengan segala sifat dan kekuasaanNya. (2) Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat imateriail (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supranatural) dan cenderung ke arah mistik. (3) Lebih mengutamakan hakekat ketimbang segi-segi formal dan ritual. (4) Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. (5) Percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah. (6) Bersifat konvergen (menyatu), dan universal dan terbuka. (7) Momot dan non sektarian. (8) cenderung simbolistik. (9) Interaksi sosial yang cenderung gotong-royong, guyub, rukun dan damai. (10) Cenderung tidak fanatik. (11) Luwes dan lentur. (12) Mengutamakan rasa ketimbang rasio. (13) Altruistis dan filanthropis. (14) Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.

Bagaimana upaya masyarakat Jawa dalam menjaga nilai-nilai kebudayaannya, adalah menjadi tanggung jawab seluruh anggota masyarakat itu sendiri dengan berpedoman pada semboyan Tri Dharma Mangkunegara I, yaitu: (1) Rumangsa melu handarbeni. (2) Wajib melu hangrungkebi. (3) Mulat sarira hangrasa wani. Tri dharma tersebut menunjukkan betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam kerangka memproteksi kebudayaannya, agar nilai-nilai dalam


(38)

23

kebudayaan Jawa tersebut tetap menjadi acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat.

Sikap dasar bagaimana manusia Jawa harus menempatkan diri dalam berinteraksi dengan lingkungannya, senantiasa dituntut untuk menjaga hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang. Kebudayaan Jawa dikonstruksi dari pangkal tolak yang demikian, maka dapat difahami jika sikap hidup untuk rukun, hormat, eling lan waspada menjadi begitu penting dan di kedepankan dalam perilaku kehidupannya. Kalimat: Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, Mangan ora mangan waton kumpul. Mikul duwur mendhem jero, Kurmat karo wong tuwa. Eling marang sangkan paraning dumadi. Sing awas lan waspada. Dll. Adalah ungkapan yang sering digunakan sebagai emplementasi dari nilai-nilai di atas. Magnis Suseno menyatakan (1996: 83):

Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketenteraman, dan keseimbangan batin. Maka pandangan dunia dan kelakuan dalam dunia tidak dapat dipisahkan seluruhnya. Keyakinan-keyakinan deskriptif orang Jawa terasa benar sejauh membantu dia untuk mencapai keadaan batin itu tadi. Bagi orang Jawa suatu pandangan dunia dapat diterima semakin semua unsur-unsurnya mewujudkan suatu kesatuan pengalaman yang harmonis, semakin unsur-unsur itu cocok satu sama lain (sreg). Dan kecocokan itu merupakan suatu kategori psikologis diri dalam tidak adanya ketegangan dan gangguan batin.

Dapat disimpulkan bahwa orientasi kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya cenderung mengejar nilai spriritual ketimbang nilai material. Konsep ideal tentang kebahagiaan kehidupannya cenderung diukur dari rasa, ketenangan, ketenteraman dan keseimbangan batin; dan itu semua diperolehnya manakala interaksi pada jalinan kosmologinya dapat berlangsung dengan harmonis.


(39)

24

Niels Mulder (dalam De Jong, 1976:81) menyatakan bahwa sikap manusia Jawa terhadap dunia sekitarnya pada dasarnya memperlihatkan pola, bahwa masyarakat Jawa tradisional seorang individu tak dapat dipisahkan dari lingkungannya; identitasnya terdapat dalam lingkungannya atau masyarakatnya tersebut. Hubungan sosial tersebut dihayati bertalian dengan alam raya sekitarnya.

Dalam masyarakat tradisional individu-individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungan mereka; mereka hidup baik dalam alam dan dalam masyarakat mereka. Identitas manusia tradisional terutama terletak dalam masyarakat, mereka makluk sosial, yang berhubungan dengan alam secara alamiah, secara langsung. Irama alam, yaitu irama musism-musim, merupakan irama hidup masyarakat pula. Alam individu-individu, dan masyarakat mereka, terikat secara akrab dan ketiga unsur tersebut saling berpartisipasi’ (Niels Mulder dalam De jong, 1976: 81)

Sebagai ciri kehidupan modern pada dasarnya ditandai oleh objektivasi, menaruh perhatian mental terhadap benda-benda, rasa hormat terhadap materi. Hubungan positif emosional dengan materi ini merupakan salah satu ciri bagi perubahan hidup kearah modernisasi. Dalam masyarakat Jawa tak ada satu hubungan emosionalpun dengan materi. Hubungan emosionalnya terpatri dalam kehidupan kolektif masyarakatnya. Masyarakatlah yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk yang harus dipatui oleh anggota masyarakatnya

Orang Jawa memperoleh keamanan psikologis yang cukup besar dari perasaan akrab dan menyatu dengan lingkungannya. Tiap individu tidaklah sendirian melainkan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kelompok, dan dalam kelompok itu ia diterima dan memainkan peranan dalam pranata-pranata sosialnya. Pranata sosial tersebut mulai dari keluarga, Rukun Tetangga, Rukun Warga , Desa, dll. Agar diterima dalam kelompoknya tersebut,


(40)

25

orang harus mnyesuaikan diri dengan harapan; bisa bekerja sama, ambil bagian, sopan, mengetahui aturan, bersikap santun, menghormati yang lebih tinggi dan bersikap baik terhadap yang lain dalam herarki yang lebih rendah dan seterusnya; amatlah penting untuk menjaga kedudukan seseorang dan untuk memperoleh pengakuan sosial. Ditariknya pengakuan sosial, merupakan sanksi efektif untuk menghukum orang-orang yang berperilaku menyimpang dalam masyarakat; seperti terlihat dalam praktek jothakan, disengiti dll. (Niels Mulder, 1984:64). Dengan begitu maka bagi orang Jawa diterima dalam kelompoknya berarti rasa aman, dan tidak diterima oleh kelompoknya menjadi tidak aman, takut, dan akan menderita.

Dari pikiran-pikiran terebut kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam kehidupan masyarakat Jawa, kolektivitas demikian sangat penting. Eksistensi masing-masing pribadi adalah representasi dari kehidupan kolektifnya, dan ekisistensi kondisi sosio kulturalnya adalah representasi dari pribadi-pribadi anggota masyarakatnya. Antara individu dengan lingkungannya baik yang bersifat fisik maupun sosial, telah menjadi satu jalinan yang homogen dan integral.

2.3. Estetika Budaya Jawa

Menurut etika Jawa sebagaimana terurai di atas, bahwa tindakan manusia harus mengarah pada pemeliharaan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan masyarakat dan jagad raya sebagai nilai tertinggi. Tindakan seseorang dianggap benar jika tetap memperhatikan kaidah-kaidah keserasian, keselarasan, dan keseimbangan tersebut, dan dianggap keliru jika tindakan seseorang tersebut


(41)

26

dapat mengganggu hukum keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan lingkungannya; yang dimungkinkan dapat berakibat munculnya ketidaktenangan, kebingungan, dan ketidakadilan dalam lingkungan masyarakatnya.

Moralitas demikian pada dasarnya menjadi esensi dalam estetika budaya Jawa. Magnis Suseno (1996: 212) menandai ada dua kata kunci yang dipergunakan dalam etika dan estetika Jawa untuk mengatur semua unsur lahir dan batin, yaitu kategori alus (halus) dan kasar

Dalam budaya Jawa mengenal kata alus, yang mengungkapkan kehalusan dalam kelakuan, kesopanan, dan menunjuk kualitas dari sebuah ungkapan karya seni ( bathikane alus, tatahane alus, garise alus, wiramane alus, dsb.) Sedangkan kata kasar dipergunakan untuk menunjukkan karakteristik ungkapan yang berkebalikan dengan kata alus. Halus adalah tanda keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang sempurna. Apabila masyarakat berada dalam kondisi demikian maka semuanya akan berjalan dengan baik dan tenang. Sikap dan perilaku seseorang yang disebut alus adalah orang yang telah dapat mengontrol jasmaninya dan telah mengatur batiniahnya, sehingga ia akan mencapai rasa yang benar. sebaliknya perilaku kasar adalah tanda ketidakmampuan mengontrol diri dan ketidakmatangan pribadi. Dengan begitu maka sekaligus dapat disimpulkan bahwa kata alus memiliki makna, yang paling baik, kesempurnaan, kekuatan; sedangkan kata kasar memiliki makna, yang buruk, kurang, dan lemah.

Istilah seni dalam budaya Jawa disebut kagunan, sejalan dengan pikiran di atas dapat ditengarai bahwa kagunan Jawa baik pada manifestasi gerak tari, musik


(42)

27

gamelan, tembang, karya seni rupa/ kerajinan, dll. pada dasarnya merepresentasikan karaktristik yang bersifat ngrawit, rumit, dan involutif.

Dengan bertitik tolak dari karakteristik esensi estetika Jawa tersebut maka dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kualitas gejala gambar wayang buatan anak-anak, dengan kriteria sebagai berikut:

2.3.1 Semakin rinci (elaboratif) ungkapan bentuk gambar, maka akan semakin halus; dan jika ungkapan gambar menunjukkan kecenderungan yang lakar saja (tidak rinci) akan semakin kasar.

2.3.2 Sifat garis yang banyak mengeksploitir ungkapan garis lengkung 0dan menunjukkan elastisitasnya, maka sifaf garis tersebut akan semakin halus; dan garis yang cenderung patah-patah, kaku akan cenderung menunjukkan sifat kasar. 2.3.3 Ungkapan garis yang bersifat lancar dan yang dibuat dengan penuh perasaan akan mengesankan sifatnya yang lebih halus, dibanding garis yang dibuat secara tersendat.

2.3.4 Ungkapan gambar yang dibuat dengan isian atau ornamen yang cenderung penuh akan menunjukkan sifatnya yang semakin halus; dan ungkapan gambar yang cenderung dengan ungkapan yang hanya sederhana akan menunjukkan sifat yang kasar.

2.3.5 Gambar yang dibuat cenderung memenuhi bidang gambar akan menunjukkan sifatnya yang halus; sedangkan gambar yang dibuat kecil dan tidak cukup menguasai bidang gambar maka menunjukkan sifatnya yang kasar.

2.3.6 Warna yang dibuat dengan rincihan warna dengan tingkat gradasi semakin banyak akan menunjukkan sifatnya yang halus, dan warna yang dibuat tidak


(43)

28

dalam kecenderungan mengurai warna, atau warna hadir dalam keadaan terpisah-pisah dengan hue masing-masing maka akan cenderung menunjukkan sifatnya yang kasar.

Dengan demikian maka kaidah-kaidah estetika yang digunakan untuk mengkaji gejala kesenian Jawa, dalam hal ini gambar-gambar wayang buatan anak-anak, menggunakan koridor estetika tersebut di atas. Sejalan dengan esensi estetika Jawa pada pikiran tersebut, menarik untuk mempertimbangkan pendapat Beadsley (dalam Smith. 1989: 218) yang menyatakan bahwa ada tiga ciri yang menjadi sifat-sifat membuat baik (indah) dari benda benda estetis yaitu: (1) Aspek kesatuan (unity). (2) Aspek kerumitan (complexity). (3) Aspek kesungguhan (intensity)

Aplikasinya dalam kajian nilai estetis pada kasus penelitian ini, bahwa kualitas gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Siti Sulaekhah dalam konteks gambar tersebut sebagai ekspresi estetis masyarakat yang berbudaya Jawa, akan dapat dijelaskan dengan menakar kadar kehalusan ungkapan bentuk secara struktural (yang dibangun dari unsur-unsur visualnya ). Disamping itu memperhatikan: (1) Makna kesatuan secara keseluruhan, keterkaitannya dengan aspek intrinsik (keartistikan bentuk) dan aspek ekstrinsik atau nilai-nilai dibalik perwujudannya itu. (2) Aspek kerumitan, adalah ungkapan bentuk, maupun teknik yang digunakan dalam memanipulasi media; yang menjadikan kehadiran karya tersebut menjadi unik, rumit dan involutif ( kecenderungan karakteristik ekspresi yang lebih bersifat ke dalam ). (3) Aspek kesungguhan, adalah kualitas kondisi


(44)

29

yang dicapai saat proses kegiatan berlangsung. Data yang mengindikasikan aspek kesungguhan tersebut diperoleh saat observasi, amatan terhadap efektivitas waktu yang digunakan pada saat proses menggambar, serta suasana batin yang melingkupi saat kegiatan berlangsung; disamping amatan terhadap hasil karya itu sendiri.

2.4. Kesenian Wayang Dalam kebudayaan Jawa

Kedudukan kesenian wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa tak sekedar sebagai bentuk ekspresi estetis semata, sebab bagi kehidupan masyarakat Jawa antara falsafah dan wayang sebenarnya tak dapat dipisahkan; karena dalam kesenian wayang mengambil ajaran-ajaran dari sistem-sistem kepercayaan dan wayangpun menawarkan berbagai macam falsafah hidup yang bersumber dari sistem-sistem tersebut. Sumber-sumber falsafah tersebut dapat ditarik benang merahnya dengan konstruk teoritikalnya bahwa, ‘hidup harus didasarkan pada kebenaran’.

Dunia pewayangan telah ikut serta mendewasakan masyarakat dengan jalan membekalinya dengan konsepsi-konsepsi yang mudah dihayati dan diresapkan dalam menghadapi persoalan hidup. Filsafat pewayangan membuat para pendukungnya merenungkan hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, Manunggaling kawula Gusti (hubungan gaib antara dirinya dengan Tuhan ), kedudukan manusia dalam alam semesta dan sangkan paraning dumadi atau kembali ke asal mula yang dilambangkan dengan tancep kayon Sang Dalang pada akhir pergelaran. (Haryanto. 1991: 2).


(45)

30

Sebagai pertunjukan yang multidimensional, wayang dapat dikatakan memiliki fungsi komunikatif, disamping bidang studi filsafat, teologi, psikologi, karaktereologi, pedagogi, sosiologi, kultural, literatur (sastra), serta dramatologi. Selain itu pertunjukan wayang dapat digolongkan sebagai karya seni yang di dalamnya memiliki muatan seni sastra dan teater, seni karawitan dan tari, serta seni rupa pada bentuk peraga-peraganya. Disamping itu telah beberapa abad yang lalu dunia wayang telah menarik perhatian para cendikiawan sebagai objek studi menurut disiplin ilmu masing-masing, namun keunikan dalam berbagai aspek yang terkandung di dalamnya tiada habis-habisnya untuk diteliti dan dibahas. ( Satoto dalam Haryanto. 1991: 2)

Esensi dari segala cerita yang dikembangkan dalam pertunjukan wayang senantiasa merepresentasikan nilai bahwa kebenaranlah yang senantiasa harus dikedepankan dalam kehidupan (Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti = Keangkaramurkaan itu pada dasarnya akan binasa oleh kebenaran/keutamaan). Di dalam wayang kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan. Dan untuk mendapatkan kebenaran sejati manusia harus mencapai kesadaran sejati, untuk mencapai ini manusia harus memiliki ilmu dan pengetahuan sejati. Untuk mencapai ilmu sejati manusia harus memahami kenyataan sejati, dan untuk melakukan yang terakhir ini manusia harus melakukan dua hal yaitu: menyiapkan jiwa dan raganya sehingga menjadi manusia yang kuat dan suci, dan manusia harus memohon berkah Tuhan agar dirinya dapat terbuka bagi masuknya hal-hal di atas. Konsep ilmu dalam budaya Jawa bukan sesuatu yang dicapai semata menggunakan penalaran dan rasio, sebab pada suatu saat rasio itu akan berhenti dan manusia harus


(46)

31

menggunakan rasa sejati. Dengan ini manusia akan dapat melihat kenyataan hakiki tentang dirinya, asal mula dirinya, asal mula kehidupan, kemana tujuan hidup; yang lazim dalam wayang disebut Sangkan paraning dumadi (asal mula dan akhir kehidupan). (Timur, 1990). Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa esensi kesenian wayang kedudukannya dalam budaya Jawa adalah sebuah sistem filsafat kejawen yang mengajarkan pada manusia kesadaran akan sangkan paraning dumadi. Yang didasarkan pada lima prinsip: rasa sejati, kenyataan sejati, ilmu sejati, kesadaran sejati, dan kebenaran sejali. Kelima hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian maka wayang adalah menjadi pedoman perilaku darma hidup manusia Jawa dalam rangka meniti sangkan dan paran menuju Yang Sempurna dan Yang Abadi (Tuhan).

Kias nilai filosofis dalam kesenian wayang tersebut dapat ditemukan antara lain: Tingkat kedewasaan manusia, berturut turut dalam tahap karma, darma, bakti, dan moksa. Watak manusia yang berperan mewujudkan peri kelakuannya dalam lakon, seperti kesatriya, raksasa, dur angkara. Penggambaran watak dalam tiap tokoh wayang tercermin dari bentuk dan warna. Penyusunan struktur pergelaran wayang semalam suntuk, dengan pola adegan atau alur tertentu. Iringan karawitan dengan pathet dan gendhing-gendhing yang sarat dengan kias nilai-nilai kehidupan. (Abdullah, 1980). Filsafat Jawa telah dimanifestasikan dalam seni pewayangan, atau dapat dikatakan bahwa acuan peri laku kehidupan masyarakat Jawa adalah kesenian wayang itu sendiri.

Karena begitu besarnya peran wayang di dalam kehidupan masyarakat Jawa, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kesenian wayang merupakan


(47)

32

identitas utama manusia Jawa. Manusia Jawa gemar beridentifikasi dengan tokoh-tokoh wayang tertentu dan bercermin serta bercontoh padanya dalam melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-harinya. Identifikasi diri tersebut khususnya terhadap tokoh-tokoh Pandhawa ( Puntadewa, Bima, Arjuna, Nangkula dan Sadewa ), Para anak Pandhawa (Gathotkaca, Antasena, Abimanyu Dll). Kresna, Baladewa, Para Punakawan (Semar, gareng, Petruk, dan Bagong), dan adapula identifikasi diri terhadap tokoh yang bentuknya buruk (bukan manusia) tetapi berhati baik yaitu: Hanoman (berbentuk kera), dan Kumbakarna (berbentuk raksasa). Disisi lain tak pernah dijumpai manusia Jawa beridentifikasi diri terhadap tokoh tokoh jahat seperti para tokoh Kurawa (Durna, Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dll.). Pemilihan tokoh-tokoh tersebut senantiasa dipertimbangkan dengan harapan semoga watak terpuji yang dimiliki tokoh-tokoh wayang tersebut terwarisi oleh pemilik nama. Hal tersebut sebagai hasil pertimbangan magis-religius belaka dan kadang tidak dapat diikuti secara logika.

Walau isi cerita wayang itu berasal dari India namun terdapat perbedaan yang hakiki dalam perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam keyakinan mitologi, legenda dan sejarah, sedang di Jawa Cerita itu menyimbolkan perilaku watak-watak manusia dalam mencapai tujuan hidup. Pemahaman nilai-nilai simbolik tersebut sangat tegantung pada subjektifitas penghayatnya, yang dimungkinkan masing-masing akan berbeda kondisi internal dan eksternalnya; namun dalam menyaksikan pertunjukan wayang masing-masing akan ‘menikmati’ dan mendapatkan sesuatu dari yang disajikan dalam pergelaran wayang tersebut.


(48)

33

Dalam pergelaran kesenian wayang, induk cerita yang dipakai adalah Ramayana dan Mahabarata. Keduanya memiliki inti ajaran: (1) Aklak dan moral, yaitu mengajarkan bahwa segala sifat yang terpuji akan mendapatkan kebahagiaan dan sifat tidak terpuji akan menemui kehancuran. (2) Kepahlawanan, yaitu mengajarkan keberanian untuk membela kebenaran. (3) Kenegaraan, yaitu tentang bagaimana negara harus diatur dan bagaimana negara harus bertindak mengatasi masalahnya. (4) Filsafat, yaitu ajaran mencari hakekat hidup yang sejati. Cita-cita hidup, yaitu mengandung ajaran hidup untuk dapat memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akherat.(5) Ketuhanan, yaitu adanya ajaran untuk percaya adanya kekuatan-kekuatan di luar kekuatan manusia; dan pemahaman tentang ‘sangkan paraning dumadi’. Dalam menyampaikan ajaran tersebut disampaikan dengan pendekatan langsung dan tidak langsung, atau secara tersurat, tersirat atau simbolik.

Sejalan dengan pendapat di atas, Mulyono (1979: 14) mengatakan bahwa kesenian wayang merupakan manifestasi peradaban, moralitas pandangan hidup, dan sikap religius masyarakat pendukungnya; sekaligus mencerminkan peranan yang fungsional dalam kehidupan masyarakat . Wayang telah menjadi bagian sistem dalam kebudayaan Jawa, dan yang sekaligus sebagai acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat.

Bentuk fisik wayang merupakan karya seni rupa simbolik, yang menyiratkan berbagai karakter-karakter manusia; yang memiliki dimensi: Fisiologis, ialah ciri-ciri badani yang memiliki keartistikan sebagai karya seni perpaduan antara seni ukir dan seni sungging. Psikologis, ialah ciri-ciri kejiwaan


(49)

34

atau karakter yang dimiliki oleh masing-masing tokoh. Sosiologis, ialah ciri-ciri yang menyangkut status dan kedudukan dalam tata kemasyarakatan (Satoto, 1985: 19).

Tokoh-tokoh dalam wayang tersebut dikelompokkan menjadi empat yaitu: satria halusan, gagahan, wanita, dan raksasa. Dan dengan tambahan para Punakawan dan beberapa sosok binatang. Masing-masing karakter tokoh-tokoh tersebut dibedakan oleh ciri-ciri ukuran dan bentuk tubuh, rincian pada feature (bentuk hidung, mata, dan mulut), warna, dan atribut-atribut lain yang digunakan. Dari penggunaan atribut-atribut tersebut sekaligus dapat dikenali kedudukan wayang tersebut berada pada strata sosial yang bagaimana ( Satria, Raja, Begawan, Dewa, Prajurit, Punakawan, Putri, dll ). Dan dari penggunaan warna pada wajah, dapat pula diidentifikasi beraneka karakter yang saling berbeda, yang dengan istilah khusus disebut sebagai wanda.

Halus dan kasarnya karakter wayang pada dasarnya ditentukan oleh ciri-ciri fisik yang dimiliki masing-masing tokohnya. Haryanto, S (1991: 25) membagi karakteristik wayang klasik menjadi empat yaitu: jenis wanita (putren), satria halusan, satria gagahan, dan raksasa. Disamping klasifikasi tersebut sebenarnya masih ada kelompok wayang yang memiliki ciri khusus, yaitu para punakawan dan kera. Kekhususan ciri pada dua kelompok wayang tersebut yaitu pada perbentukanya yang secara fisik mendekati gejala bentuk tokoh berkarakter jahat, namun dalam konteks cerita tokoh-tokoh tersebut malah selalu berbuat baik.

Ciri-ciri khusus dari bentuk wayang putren pada dasarnya dapat dikenali dari: bentuk hidung walimiring, mata gabahan, mulut minkem, bertutup


(50)

35

kepala/irah-irahan sesuai dengan ciri masing-masing, memakai dodot putren, (dodot putren gaya Surakarta ujung kainnya menjorok ke belakang seolah-olah wayang tersebut sedang berjalan, sedangkan dodot putren gaya Yogyakarta ujung kain terebut menjorok ke depan seolah-olah wayang tersebut sedang berdiri diam dengan posisi punggung agak membungkuk ), dan posisi kaki jangkahan alus.Tutup kepala atau irah-irahan putren pada dasarnya lebih banyak menggunakan bentuk gelung dengan berbagai jenisnya, antara lain: gelung ukel keyongan, gelung ukel keyongan ber-jamang dan ber-gurdha, gelung ukel kembang, gelung endhel, dan gelung malang; disamping masih ada bentuk irah-irahan yang lain dalam bentuk kethon, sebagaimana yang banyak dipakai oleh wayang putren gaya Yogyakarta.

Gambar: 1 Profil wayang putren


(51)

36

Hidung walimiring, mata gabahan, mulut mingkem

Gambar: 2


(52)

37

Gambar: 3


(53)

38

Gambar: 4

Dewi Shinta gaya Yogyakarta memakai irah-irahan kethon.

Karakter satria alusan ditandai dengan ciri-ciri: wajah merunduk ke bawah atau mendatar, bentuk hidung walimiring, mata gabahan (liyepan) atau kedhelen, mulut mingkem, dengan tutup kepala /irah-irahan sesuai dengan ciri tokoh masing-masing, memakai bokongan, dan posisi kedua kaki jangkahan alus. Tutup kepala jenis satria alusan ini antara lain: bentuk topong (Karna, Sentanu, Dasarata, dll), bentuk makutha ( ,Kresna, Ramawijaya, Wisnu, dll), bentuk gelung (sanggul) supit urang (Arjuna, Nakula, Sadewa, dll). Bentuk gelung keling dapat dilihat pada tokoh Puntadewa, Destarastra, Yamawidura, dll.


(54)

39

Gambar: 5

Profil wayang alusan (berkarakter halus)

Hidung walimiring, dengan bentuk mata gabahan, dan kedhelen,

Gambar: 6


(55)

40

Gambar: 7


(56)

41

Gambar: 8

Contoh wayang satria alusan (Arjuna)

Karakter tokoh satria gagahan dengan ciri-ciri sebagai berikut: Wajah merunduk atau mendatar, bentuk hidung bentulan, mata kedhondhong (peten) atau thelengan, mulut minkem atau gusen tanpa taring, memakai tutup kepala/irah-irahan sesuai tokoh masing-masing (makutha pada Baladewa, gelung supit urang pada Bima, gelung keling pada Gandamana, gelung bundel ber-garudha mungkur pada Bratasena, dll) dan posisi kedua kaki jangkahan.


(57)

42

Gambar: 9 Profil wayang gagahan

hidung bentulan, mata kedhondhong, dan thelengan

Gambar: 10

Busana dodot wayang gagahan, dan bentuk rapekan dengan posisi kaki jangkahan gagah


(58)

43

Gambar: 11


(59)

44

Gambar: 12

Beberapa tokoh wayang gagahan

Karakter tokoh wayang raksasa dengan ciri-ciri sebagai berikut: Bentuk hidung wungkal gerang/ pelokan, mata plelengan (dengan satu mata atau dua mata), mulut mingkem gusen bertaring atau mulut mangap gusen bertaring, bentuk tutup kepala/ irah-irahan sesuai dengan ciri tokoh masing-masing, dan


(60)

45

posisi kedua kaki jangkahan. Disamping hal tersebut terdapat ciri yang lain pula yaitu pada tangan belakang kebanyakan tokoh raksasa menyatu dengan badan, namun ada pula beberapa tokoh yang kedua tangannya diurai pisah dari badannya (Buta Cakil, dan Rahwana gaya Jogya).

Gambar: 13

Profil wayang tokoh raksasa


(61)

46

Gambar: 14

Busana bentuk dodot, dan bentuk rapekan tokoh raksasa dengan posisi kaki jangkahan


(62)

47

Gambar: 15


(63)

48

Gambar: 16 Beberapa tokoh raksasa


(64)

49

2.5. Gambar Kerangka Berpikir

Pola relasi dalam penciptaan karya seni ( gambar wayang buatan anak-anak ) dengan lingkungannya pada dasarnya dapat dijelaskan dengan diagram di bawah ini.

Kedudukan kreator (internal Subjek ), hasil ekspresi estetis ( gambar wayang ), dan lingkungan ( keluarga, sekolah, masyarakat ) bersifat integral. Unsur-unsur tersebut akan saling mempengaruhi untuk dapat memberi dan diberi, dalam proses kehidupan budaya yang terjalin secara sistemik.

Gambar wayang Buatan anak-anak

Internal subjek Lingkungan Sekolah

Keluarga Masyarakat

Gambar: 17


(65)

50

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Metode

Kajian ini pada dasarnya merupakan studi kasus terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan anak-anak. Anak-anak sebagai bagian dari komunitas sosial menempati fungsi yang sangat strategis bagi upaya pelestarian nilai-nilai budaya kehidupan masyarakatnya. Proses enkulturasi nilai budaya itu senantiasa dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun, baik melalui peran keluarga, sekolah dan masyarakat.

Fenomena sosial tersebut tercermin dalam ekspresi gambar wayang buatan anak-anak. Dalam gambar tersebut anak-anak menyatakan pikirannya dan perasaannya sebagai tanggapan dan responnya terhadap kesenian tradisinya. Karya gambar wayang mereka adalah konstruksi tanda yang dapat dijelaskan dengan menganalisis unsur intra dan ekstra estetisnya, serta dapat digunakan untuk menjelaskan hubungannya dengan nilai-nilai kulturalnya sebagai bagian dari komunitas masyarakat yang hidup dalam tradisi Jawa. Seberapa besar nilai-nilai kultural Jawa itu melekat dalam pola kehidupan mereka, pada dasarnya akan dapat diketahui dari karakteristik ekspresi estetisnya. Dapat diasumsikan bahwa ekspresi gambar wayang buatan anak-anak menyiratkan adanya interaksi antara internal dirinya sebagai subjek dengan kondisi eksternnya, yang dimanifestasikan dalam suatu bentuk gambar wayang dalam konteks kini.


(66)

51

Medan kajian dalam penelitihan ini melibatkan anak-anak, sekolah, keluarga dan masyarakat, sebagai sebuah sistem yang integral yang tercermin dalam ekspresi gambar wayang buatan anak-anak; untuk dijelaskan esensi maknanya. Dengan begitu diperlukan pendekatan penelitian yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial itu secara efektif. Soetopo (1996: 5), dan beberapa para ahli sosiologi lainnya menyarankan agar penelitian bidang sosial budaya yang berupaya mengungkap esensi dari sebuah interaksi sosial hendaknya mendekati permasalahan tersebut secara kualitatif.

Gambar wayang buatan anak-anak adalah manifestasi adanya interaksi sosial antara anak-anak sebagai subjek kreator dengan lingkungan sosial budayanya. Fenomena yang tampak pada perbentukan gambar tersebut menyimpan makna yang memiliki relasi dengan kulturalnya, dan sebaliknya kondisi kultural dimana anak-anak tersebut tinggal akan berpengaruh besar pada gejala yang ada pada gambar wayang mereka. Dengan demikian agar kajian penelitian ini memperlihatkan kedalaman makna, serta menunjukkan keterlibatan peneliti secara langsung di lapangan, maka dipilih pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.

3.2. Fokus Penelitian

Kajian penelitian ini difokuskan pada gejala gambar wayang buatan anak-anak, siswa SD Siti Sulaekhah Mayangsari, Kalipancur Ngalian Semarang. Keberadaan SD tersebut dikawasan wilayah kultural yang nota-bene anggota masyarakatnya masih memiliki kesetiaan mempertahankan kesenian wayang,


(67)

52

paling tidak terdapat tiga titik tempat yang setiap tahun mentradisikan pertunjukan wayang melalui tradisi Apitan, yaitu di wilayah Panjangan, Kembang Arum, dan Kalipancur (jarak lokasi sekolah dengan tempat-tempat kegiatan pentas wayang tersebut dapat dilihat pada gambar ). Disamping posisi geografis Sekolah Dasar tersebut, dikepung oleh potensi-potensi seni tradisi wayang, anak-anak yang sekolah di SD tersebut ternyata tidak saja berasal dari kampung Mayangsari itu saja, tetapi mereka berasal pula dari wilayah-wilayah tersebut di atas.

Fokus penelitihan adalah gambar wayang buatan anak-anak siwa kelas VI SD tersebut. Dasar pertimbangan dipilihnya gambar buatan anak-anak siwa SD kelas VI didasarkan pada pertimbangan bahwa kemampuan menggambar anak-anak pada usia ini telah memasuki masa naturalistik semu, mereka telah memiliki kemampuan teknik dan cara mempersepsikan objek yang dilihatnya untuk diungkapkan kembali dalam bentuk gambar dimungkinkan telah mampu mereprentasikannya secara realistik. Perkembangan karya gambar anak pada usia kelas VI (12-14 th) menurut Lowenfeld (dalam Kamaril 2005: 2.38) memasuki masa naturalistik semu (pseudo naturalistic) dengan ciri-ciri gambar mereka sebagai berikut: Pada dasarnya masa-masa ini anak-anak mulai menyukai dan menikmati berkarya seni. Dari hasil karyanya mereka telah menunjukkan ciri-ciri bukan kanak-kanak lagi tetapi bukan berarti telah dewasa. Mereka semakin bisa berpikir abstrak dan perspektifnya tentang dunia berpijak pada kesadaran sosialnya. Perhatiannya terhadap karya seni mulai kritis, termasuk dalam menyikapi karyanya sendiri. Mereka akan merasa puas jika hasil karyanya lebih baik ketimbang hasil karya sebelumnya. Gambarnya telah dapat menjadi simbol


(1)

3.1 Bagaimana pandangan mereka tentang nilai budaya ideal yang seharusnya ditanamkan pada anak-anak ?

Jawab: Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip antara nilai-nilai luhur kejawaan dengan nilai luhur yang Islamik. Penanaman nilai luhur yang dilaksanakan di sekolah dalam rangka membentuk pribadi anak yang sholeh dan sholechah, agar anak memiliki kecerdasan, ketrampilan, berbudi pekerti luhur, dan bertagwa kepada Allah SWT.

3.2 Melalui kegiatan apa sajakah yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam menanamkan nilai-nilai luhur tersebut.?

Jawab: Melalui kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas. Pelaksanaan penanaman nilai-nilai luhur terintegrasi dengan pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran apa saja. Khususnya dalam pelajaran Baahasa Jawa dan Kewarganegaraan. Kegiatan di luar kelas sekolah bertanggung jawab mengkondisikan agar iklim berinteraksi seluruh civitas akademik di sekolah tersebut terkendali dalam hubungan interaksi yang menjunjung nilai-nilai kesantunan. Posisi Guru sebagai pemegang hidden kurikulum sangat penting, dengan demikian setiap guru dituntut untuk dapat berperan aktif baik di dalam maupun di luar kelas.

3.3 Bagaimana respon mereka terhadap kewajiban menerapan mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah.?

Jawab: Pada dasarnya menyambut baik, walaupun dengan konsekwensi para guru harus belajar lagi untuk mendalami materi pelajaran tersebut.

3.4 Efektivitas pelajaran Bahasa Jawa bagi pembentukan sikap berbudaya Jawa.?


(2)

tersebut sebisa mungkin para guru menggunakan bahasa pengantar bahasa Jawa Krama kepada para Siswa. Tingkat efektivitas pelajaran bahasa Jawa tersebut bagi pembentukan sikap berbudaya Jawa, masih diperlukan dukungan variabel lain yang integratif

3.5 Integralitas proses penanaman nilai budaya luhur pada Siswa.?

Jawab: Proses penanaman nilai-nilai luhur di sekolah terintegrasi dalam setiap interaksi antara guru dengan siswa baik di dalam maupun di luar kelas; serta baik yang terprogram melalui kurikulum secara tertulis maupun yang bersifat hidden kurikulum, khususnya kesuritauladanan guru yang selalu dituntut mampu berdiri sebagai cermin dari tata nilai-nilai luhur tersebut.

3.6 Apakah wayang pernah dijadikan sebagai subject matter dalam pelajaran, dan bagaimana implementasinya.?

Jawab: Pernah, khususnya dalam pengembangan materi pelajaran Bahasa Jawa. Mata pelajaran Agama, PKN, dan KPDL; untuk mata pelajaran lain belum.

3.7 Faktor-faktor apasajakah yang mendorong dan menghambat proses penanaman nilai luhur dalam kehidupan di sekolah.?

Jawab: Faktor penghambat: Pada dasarnya tidak dirasakan adanya hambatan yang berarti. Faktor pendukung: Suport dari para orang tua siswa demikian besar, sehingga fihak sekolah merasa tertantang untuk mengemban amanat tersebut agar para siswa menjadi anak yang bermoral dan berperilaku baik.


(3)

1. Di Lingkungan Keluarga

Pengamatan terhadap proses komunikasi dan interaksi antara anak-anak dengan anggota keluarga yang lain

Pengamatan terhadap perilaku anak-anak di rumah Pengamatan terhadap tata laksana rumah tangga Pengamatan terhadap kegiatan bermain anak-anak

Pengamatan terhadap barang-barang yang dekat dengan kegiatan bermain anak-anak

2. Di lingkungan Masyarakat

Pengamatan terhadap interaksi sosial

Pengamatan terhadap berbagai kelompok kegiatan kesenian dan sosial di masyarakat

Pengamatan terhadap berbagai aktivitas kesenian dan sosial yang bersifat insidental

Pengamatan terhadap berbagai aktivitas kesenian dan sosial yang bersifat periodik

Kenduri kampung ( bentuk, respon massa/ interaksi anak dengan yang lain)

Pentas Tujuhbelasan ( struktur acara, respon publik terhadap keseluruhan acara )

Pagelaran apitan /wayangan ( Medan pagelaran, respon anak-anak/ anggota masyarakat, Struktur pementasan )

3. Di lingkungan Sekolah

Pengamatan terhadap sarana dan prasarana sekolah Pengamatan terhadap tata laksana kelas


(4)

Pengamatan terhadap proses pembelajaran menggambar wayang di kelas

Pengamaatan terhadap kegiatan guru membuka pelajaran

Pengamatan terhadap kegiatan guru menanamkan apresiasi tentang wayang

kepada Siswa

Pengamatan terhadap kegiatan guru dalam memberikan instruksi kepada siswa

Pengamatan terhadap kegiatan proses menggambar siswa. Pengamatan terhadap hasil akhir gambar wayang yang dibuat


(5)

BIO DATA

Nama : Purwanto

NIM. : 2001501024

NIP. : 130915703

TTL. : Klaten, 1 Januari 1959

Alamat Rumah : Kalipancur Rt: 01/ II Ngaliyan Semarang Telpon : (024) 76631256

Pekerjaan : Dosen

Jurusan : Seni Rupa FBS- UNNES Pangkat/ Gol. : Pembina/ IV a

Jabatan : Lektor Kepala

Alamat Kantor : Kampus Sekaran Gunungpati Semarang Telpon : (024) 8508073

Riwayat Pendidikan:

1. Lulus SD Wedi Klaten : Tahun 1970 2. Lulus SMP N 3 Klaten : Tahun 1973 3. Lulus SPG N Ngawi : Tahun 1976


(6)

5. Lulus Sarjana Pendidikan

IKIP Yogyakarta : Tahun 1982 6. Lulus Magister Pendidikan