21
21 menyertai kehidupan manusia sejak kehidupan awalnya telah membuktikan
bahwa kesenian bukan sebagai keharusan melainkan sebagai kebutuhan; dan dikatakan sebagai kebutuhan bio-sosiologis.
Pada kesenian melekat ciri-ciri khas suatu kebudayaan, yaitu kesenian milik bersama yang memiliki seperangkat nilai, gagasan,
dan unsur daras berpijak bagi perilaku; merupakan acuan bersama yang membuat tindakan individu dipahami, dan begitu pula
individu memahami kelompoknya. Ciri Khas berikutnya atau juga disebarluaskan pada generasi sebaya melalui proses enkulturasi,
sosialisasi, dan internalisasi. Kebutuhan akan keindahan mungkin juga bersifat biologis- seperti yang dikemukakan di atas sejalan
dengan diketahuinya fungsi benak otak sebelah kanan- namun jelas pemuasannya, inspirasi, dan pemerkayaan corak dan wujudnya
bersifat budaya. Rohendi, 2000: 208 Dari pikiran-pikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan budaya
yang digunakan untuk melakukan kajian dalam penelitihan ini, pada dasarnya memandang kehidupan ini sebagai suatu yang sistemik dan integral. Kebudayaan
dalam kehidupan manusia sebagai unsur-unsur yang mempunyai fungsi pedoman dan energi timbal balik yang mengatur hubungan integral antara individu, sosial,
maupun lingkungannya.
2.2. Kebudayaan Jawa.
Dengan mengikuti pikiran Geertz 1973: 126 yang menunjukkan adanya dua aspek pokok dalam setiap kebudayaan, yaitu aspek moral dan aspek estetis
yang sering disebut ethos disatu fihak dan aspek-aspek kognitif dan eksistensial yang sering disebut sebagai pandangan hidup atau world view di pihak lain.
Esensi kebudayaan Jawa meliputi kedua-duanya, kedua aspek tersebut terjalin dan tergambar dengan baik dalam pewayangan.
22
22 Secara lebih detail esensi budaya Jawa tersebut terimplimentasi dalam
kecenderungan manifestasi sikap hidup: religius, non doktriner non dogmatis, toleran, akomodatif, dan optimistik Sujamto, 1992: 33. Rumusan tersebut paling
tidak mewarnai baik secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri terhadap pertumbuhan dan perkembangan dari unsur-unsur kebudayaan yang ada. Bahasa
dan kesusasteraan, arsitektur, seni pertunjukan, seni rupa, sistem religi dll. Baik langsung maupun tidak langsung merefleksikan ciri-ciri tersebut.
Ciri-ciri utama atau sifat-sifat dasar yang ada dalam perilaku budaya Jawa menurut Sujamto 1992: 144 yaitu:
1 Percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai sangkan paraning dumadi, dengan segala sifat dan kekuasaanNya. 2
Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat imateriail bukan kebendaan dan hal-hal yang bersifat
adikodrati supranatural dan cenderung ke arah mistik. 3 Lebih mengutamakan hakekat ketimbang segi-segi formal dan
ritual. 4 Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. 5 Percaya kepada takdir dan
cenderung bersikap pasrah. 6 Bersifat konvergen menyatu, dan universal dan terbuka. 7 Momot dan non sektarian. 8
cenderung simbolistik. 9 Interaksi sosial yang cenderung gotong-royong, guyub, rukun dan damai. 10 Cenderung tidak
fanatik. 11 Luwes dan lentur. 12 Mengutamakan rasa ketimbang rasio. 13 Altruistis dan filanthropis. 14 Kurang
kompetitif dan kurang mengutamakan materi.
Bagaimana upaya masyarakat Jawa dalam menjaga nilai-nilai kebudayaannya, adalah menjadi tanggung jawab seluruh anggota masyarakat itu
sendiri dengan berpedoman pada semboyan Tri Dharma Mangkunegara I, yaitu: 1 Rumangsa melu handarbeni. 2 Wajib melu hangrungkebi. 3 Mulat sarira
hangrasa wani. Tri dharma tersebut menunjukkan betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam kerangka memproteksi kebudayaannya, agar nilai-nilai dalam
23
23 kebudayaan Jawa tersebut tetap menjadi acuan dalam perilaku kehidupan
masyarakat. Sikap dasar bagaimana manusia Jawa harus menempatkan diri dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, senantiasa dituntut untuk menjaga hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang. Kebudayaan Jawa dikonstruksi dari pangkal
tolak yang demikian, maka dapat difahami jika sikap hidup untuk rukun, hormat, eling lan waspada menjadi begitu penting dan di kedepankan dalam perilaku
kehidupannya. Kalimat: Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, Mangan ora mangan waton kumpul. Mikul duwur mendhem jero, Kurmat karo wong tuwa.
Eling marang sangkan paraning dumadi. Sing awas lan waspada. Dll. Adalah ungkapan yang sering digunakan sebagai emplementasi dari nilai-nilai di atas.
Magnis Suseno menyatakan 1996: 83: Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai
pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketenteraman, dan keseimbangan batin. Maka
pandangan dunia dan kelakuan dalam dunia tidak dapat dipisahkan seluruhnya. Keyakinan-keyakinan deskriptif orang Jawa terasa
benar sejauh membantu dia untuk mencapai keadaan batin itu tadi. Bagi orang Jawa suatu pandangan dunia dapat diterima semakin
semua unsur-unsurnya mewujudkan suatu kesatuan pengalaman yang harmonis, semakin unsur-unsur itu cocok satu sama lain
sreg. Dan kecocokan itu merupakan suatu kategori psikologis diri dalam tidak adanya ketegangan dan gangguan batin.
Dapat disimpulkan bahwa orientasi kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya cenderung mengejar nilai spriritual ketimbang nilai material. Konsep
ideal tentang kebahagiaan kehidupannya cenderung diukur dari rasa, ketenangan, ketenteraman dan keseimbangan batin; dan itu semua diperolehnya manakala
interaksi pada jalinan kosmologinya dapat berlangsung dengan harmonis.
24
24 Niels Mulder dalam De Jong, 1976:81 menyatakan bahwa sikap
manusia Jawa terhadap dunia sekitarnya pada dasarnya memperlihatkan pola, bahwa masyarakat Jawa tradisional seorang individu tak dapat dipisahkan dari
lingkungannya; identitasnya terdapat dalam lingkungannya atau masyarakatnya tersebut. Hubungan sosial tersebut dihayati bertalian dengan alam raya sekitarnya.
Dalam masyarakat tradisional individu-individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungan mereka; mereka hidup baik dalam alam
dan dalam masyarakat mereka. Identitas manusia tradisional terutama terletak dalam masyarakat, mereka makluk sosial, yang
berhubungan dengan alam secara alamiah, secara langsung. Irama alam, yaitu irama musism-musim, merupakan irama hidup
masyarakat pula. Alam individu-individu, dan masyarakat mereka, terikat secara akrab dan ketiga unsur tersebut saling berpartisipasi’
Niels Mulder dalam De jong, 1976: 81
Sebagai ciri kehidupan modern pada dasarnya ditandai oleh objektivasi, menaruh perhatian mental terhadap benda-benda, rasa hormat terhadap materi.
Hubungan positif emosional dengan materi ini merupakan salah satu ciri bagi perubahan hidup kearah modernisasi. Dalam masyarakat Jawa tak ada satu
hubungan emosionalpun dengan materi. Hubungan emosionalnya terpatri dalam kehidupan kolektif masyarakatnya. Masyarakatlah yang menentukan apa yang
baik dan apa yang buruk yang harus dipatui oleh anggota masyarakatnya Orang Jawa memperoleh keamanan psikologis yang cukup besar dari
perasaan akrab dan menyatu dengan lingkungannya. Tiap individu tidaklah sendirian melainkan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu
kelompok, dan dalam kelompok itu ia diterima dan memainkan peranan dalam pranata-pranata sosialnya. Pranata sosial tersebut mulai dari keluarga, Rukun
Tetangga, Rukun Warga , Desa, dll. Agar diterima dalam kelompoknya tersebut,
25
25 orang harus mnyesuaikan diri dengan harapan; bisa bekerja sama, ambil bagian,
sopan, mengetahui aturan, bersikap santun, menghormati yang lebih tinggi dan bersikap baik terhadap yang lain dalam herarki yang lebih rendah dan seterusnya;
amatlah penting untuk menjaga kedudukan seseorang dan untuk memperoleh pengakuan sosial. Ditariknya pengakuan sosial, merupakan sanksi efektif untuk
menghukum orang-orang yang berperilaku menyimpang dalam masyarakat; seperti terlihat dalam praktek jothakan, disengiti dll. Niels Mulder, 1984:64.
Dengan begitu maka bagi orang Jawa diterima dalam kelompoknya berarti rasa aman, dan tidak diterima oleh kelompoknya menjadi tidak aman, takut, dan akan
menderita. Dari pikiran-pikiran terebut kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
dalam kehidupan masyarakat Jawa, kolektivitas demikian sangat penting. Eksistensi masing-masing pribadi adalah representasi dari kehidupan kolektifnya,
dan ekisistensi kondisi sosio kulturalnya adalah representasi dari pribadi-pribadi anggota masyarakatnya. Antara individu dengan lingkungannya baik yang bersifat
fisik maupun sosial, telah menjadi satu jalinan yang homogen dan integral.
2.3. Estetika Budaya Jawa