Tradisi Apitan Proses Enkulturasi Nilai Budaya Jawa Dalam Kehidupan Masyarakat

93 93 Gambar :32 Sajian pentas tari pada malam peringatan HUT RI di Kampung Mayangsari

5.2.3 Tradisi Apitan

Tradisi apitan adalah ritual adat yang berlangsung secara turun temurun di wilayah Kampung Mayangsari dan sekitarnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai ungkapan syukur bagi para warga masyarakat atas kemurahan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Mahaesa. Dan dengan melaksanakan kegiatan tradisi tersebut para warga berpengharapan bahwa kemakmuran dan keselamatan hidup pada tahun berikutnya akan tetap terjaga. Pelaksanaan kegiatan apitan senantiasa ditandai dengan melaksanakan pagelaran wayang kulit. Istilah apitan nampaknya berasat dari kata apit =gapit atau jepit; dalam hal ini terkait dengan karakteristik wayang kulit yang kehadirannya senantiasa dijepit oleh garan atau tangkai, yang biasanya dibuat dari bambu atau tanduk kerbau. Dengan begitu maka tradisi apitan tersebut diidentikan dengan pagelaran wayang kulit. Tradisi apitan dilaksanakan setiap bulan Dzulkaidah, yang oleh warga masyarakat di wilayah tersebut disebut juga sebagai bulan Apit, karena bulan Dzulkaidah tersebut terjepit diantara dua bulan besar yaitu Syawal dan Dzulhijah atau Besar. Dengan begitu maka makna kata apit dapat dikait dengan waktu bulan 94 94 penyelenggaraan tradisi dan karakteristik bentuk penyelenggaraan tradisi itu sendiri. Dalam melaksanakan kegiatan tradisi apitan para warga masyarakat Mayangsari terikat dalam satu koordinasi dengan kampung Ringin Telu dan Panjangan. Bentuk keterikatan tersebut sesungguhnya bukan semata-mata karena alasan teknis yang berhubungan dengan keinginan memperingan biaya, namun lebih didasari pada keterikatan kesamaan kultural. Dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang bertanggungjawab melaksanakan kegiatan apitan tersebut dapat diperoleh informasi bahwa kegiatan tersebut dilatar belakangi oleh sejarah masa lalu terbentuknya komunitas bermasyarakat warga Panjangan dan sekitarnya. Tradisi lesan dalam kehidupan masyarakat tersebut mengisahkan bahwa seseorang yang pernah bubak alas atau mengawali tingal di daerah tersebut adalah Ny. Sepapah. Dikisahkan bahwa beliau adalah seorang perempuan cantik yang masih keturunan ningrat, dengan status tidak bersuami. Ny. Sepapah adalah sosok wanita yang sangat berjasa mendirikan kampung tersebut, memiliki jiwa sosial yang tinggi, dan peduli terhadap kehidupan seni budaya. Di sisi lain pada jarak yang tidak terlalu jauh dikisahkan terdapat tokoh Ki Bejotaruna dengan anak buahnya yang cenderung berperilaku negatif. Dua kekuatan, yang positif disimbulkan dengan kehadiran Ny. Sepapah dan kekuatan negatif yang disimbolkan dengan kehadiran Ki Bejotaruna menjadi karakterisktik atmosfer kehidupan budaya masyarakat kampung Panjangan di masa lalu dan merefleksi hingga kini. Dengan kearifan para tetua kampung tersebut, agar para warga 95 95 masyarakat dapat senantiasa hidup berdampingan secara baik maka dicarilah media yang dapat menyatukan kehidupan mereka tersebut yaitu pementasan wayang kulit. Nampaknya telah disadari oleh warga masyarakat di daerah tersebut bahwa kegiatan seni budaya memiliki tingkat resistance yang kecil, sekaligus telah difungsikan sebagai katalisator bagi kehidupan berbudaya dan bermasyarakat bagi mereka. Berawal dari kisah tersebut maka tradisi apitan yang ditandai dengan pagelaran wayang kulit itu berlangsung dari waktu yang telah cukup lama hingga sekarang. Pagelaran wayang kulit tersebut telah menjadi bagian dari sistem religi dan kepercayaan bagi mereka. Mereka mempercayai bahwa penyelenggaraan apitan tersebut menjadi sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, dan jika tidak dilaksanakan mereka takut akan terjadi pagebluk atau bencana dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan sistem kepercayaan yang demikian dapat dijelaskan bahwa warga masyarakat di wilayah tersebut memiliki kesetiaan menjaga nilai tradisi dalam kehidupan budayanya, wayang sebagai bentuk ekspresi berkesenian tidak saja dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan estetis mereka; namun wayang telah menjadi bagian dari kosmologi kehidupan budaya mereka. Mereka mempercayai jika kegiatan apitan tersebut dilaksanakan kehidupan akan menjadi harmonis dan jika kegiatan tersebut tidak dilaksanakan akan terjadi disharmoni dalam kehidupan sosialnya. Suatu kejadian yang barangkali sulit dirasionalisai, ketika pada bulan Apit atau Dzulkangidah tahun 2008 ini, karena alasan kondisi ekonomi warga masyarakat di wilayah tersebut yang sedang krisis, sehingga tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pagelaran wayang kulit sebagaimana yang telah 96 96 ditradisikan. Dan ketika Lurah mereka meninggal dunia Juni 2008 , ternyata sebagian warga masyarakat mempergunjingkan mengaitkan kematian tersebut dengan tidak diselenggarakannya pagelaran wayang kulit. Dari informasi para informan di lapangan dapat disimpulkan bahwa fungsi penyelenggaraan pergelaran wayang kulit bagi warga masyarakat Mayangsari dan sekitarnya yang diselenggarakan pada setiap bulan Apit tersebut yaitu: 1 Sebagai penghormatan terhadap para leluhur mereka yang telah berjasa mendirikan komunitas dikampung tersebut yang kemudian telah berkembang hingga sekarang, yaitu Ny. Sepapah dan Ki. Bejotaruna. Kedua nama tokoh tersebut yang selalu disebut disetiap mereka melakukan hajatan kenduri atau walimahan, terlebih lagi walimahan yang diselenggarakan mengawali hajat apitan. Hal demikian menunjukkan kearifan kehidupan mereka dalam menempatkan eksistensi kehidupan lingkungan yang mesti dihormati baik yang positif maupun negatif. Mereka memahami dan menghargai sifat kehidupan binary, baik-buruk, laki-perempuan, siang-malam, gelap-terang, hitam-putih dll. Sifat kehidupan yang saling berlawanan namun komplementer, sebagaimana masyarakat Bali menyebutnya sebagai Rwa bineda. Dan alat yang difungsikan sebagai katalisator perbedaan tersebut adalah kesenian wayang. 2 Sebagai bentuk penghormatan terhadap bumi atau sedekah bumi. Bagi mereka bumi adalah ibu dan langit adalah bapak sebagaimana yang 97 97 terungkap dalam kalimat Ibu bumi bapa angkasa. Keberadaan bumi sebagai ibu penting untuk dihormati, karena bumi memiliki sifat memberi, mengasuh, dan membimbing mereka. Sifat memberi, karena bumi memberikan hasil bumi yang dapat dimakan dan memiliki kandungan air yang dapat diminum. Sifat mengasuh, karena bumi tempat kaki berpijak memberikan arah kemana kaki melangkah. Dan sifat membimbing, karena bumi memberikan tanda-tanda baik yang bersifat material maupun imaterial agar manusia dapat menentukan strategi adaptasinya dan dapat pula menentukan arah bagi pencapaian kualitas kehidupannya. Sistem kebudayaan yang dianut oleh masyarakt Mayangsari dan sekitarnya dapat dikatakan berorientasi pada kebudayaan bumi. Alam diposisikan sebagai bagian dari eko-budaya mereka. Kondisi kontur tanah, liukan sungai Kreo, pepohonan-pepohonan dan semak-semak yung tumbuh di atas buminya adalah bagian dari kehidupannya. Dengan begitu dapat dipahami jika loyalitas terhadap bumi tersebut terekspresikan dalam kehidupan tradisinya. Disamping itu dapat dipahami pula jika dalam mereka memberikan nama untuk identitas kampung mereka banyak yang mengambil dari nama-nama yang terinspirasi dari potensi alam tersebut, antara lain nama : Mayangsari nama bunga pohon Pinang , Ringintelu, Kembangarum, Kalipancur, Kalialang, Kedungwadas, dll. 3 Melestarikan nilai tradisi Jawa melalui pagelaran wayang kulit. Kesenian wayang sebagai salah satu ekspresi estetis budaya Jawa diyakini memiliki kandungan nilai-nilai budaya Jawa yang tinggi, karena kesenian wayang 98 98 tersebut disamping sebagai tontonan masih diyakini dapat sebagai tuntunan untuk mendidik masyarakat. Didalam pagelaran wayang itulah masyarakat mendapatkan wejangan hidup tentang perlunya berperilaku baik sebagaimana perilaku para satria, dan harus menjahui perilaku nista sebagaimana yang dilakukan oleh para Raksasa. Melalui pagelaran wayang itulah mereka dapat meneguhkan kembali bahwa Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti, dan nilai-nilai keluhuran lain yang harus dijunjung tinggi dan yang harus disingkirkan dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai kehidupan tersebut bagi mereka merasa perlu untuk senantiasa dilestarikan dan diajarkan terus menerus melalui ritual-ritual yang ditradisikan terus menerus dari generasi satu ke generasi kemudian agar terjadi kesinambungan kehidupan budaya yang tetap terjaga. 4 Menempatkan pergelaran kesenian wayang sebagai filter bagi masuknya pengaruh asing. Dengan dikondisikannya pelaksanaan kegiatan pentas seni budaya wayang kulit minimal satu kali tiap tahun secara terus menerus, diharapkan sikap kepemilikan warga masyarakat terhadap kesenian tradisi tersebut dapat tetap terjaga. Kesenian wayang tersebut diharapkan pula dapat menjadi inspirasi edukasi bagi para orang tua dalam memberikan arahan bagi para putra-putrinya dalam menentukan orientasi hidup. Akibat modernisme yang ditandai dengan kemajuan teknologi, khususnya dunia komunikasi dan transportasi, masuknya pengaruh budaya asing adalah sebuah kemestian yang tidak bisa ditolak. Para tokoh masyarakat di wilayah tersebut sadar betul bahwa untuk mengatasi ekses 99 99 negatif dari pengaruh asing tersebut betapa penting diperlukannya tindakan intensifikasi potensi budaya sendiri sebagai tandingan yang diharapkan mampu berfungsi sebagai filter bagi timbulnya ekses negatif dari pengaruh budaya asing tersebut. Dan sebagai jawaban dari tindakan tersebut salah satunya adalah melakukan pelestarian kesenian wayang kulit. Telah disadari bersama bahwa pada kehidupan kini telah terjadi pergeseran nilai, yang berakibat menjadi terkikis dan bergesernya nilai tradisi budaya Jawa dalam kehidupan masyarakatnya. Terkikis dalam pengertian kebertautan seseorang khususnya para generasi muda demikian pula para anak-anak baik secara pribadi maupun pada kehidupan kolektivitas mereka telah menjadi semakin tipis tingkat pemahaman, penghayatan, dan penerapan nilai-nilai budaya Jawa tersebut dalam kehidupan mereka. Dan telah mengalami pergeseran nilai, akibat demikian gencarnya tawaran nilai-nilai baru melalui berbagai masmedia, dengan begitu bisa dipahami jika dalam kehidupan para generasi muda relatif cenderung mengususng nilai-nilai baru tersebut. Bertitik tolak dari keadaan demikian disadari benar oleh para tokoh masyarakat di wilayah tersebut, bahwa diperlukan strategi penanggulangan terjadinya arus pengaruh yang demikian deras. Dan salah satu strategi tersebut adalah membumikan kesenian tradisional wayang kulit tersebut yang mereka sebut sebagai ekspresi kesenian yang adiluhung. 5 Menanamkan kecintaan para generasi muda termasuk didalamnya adalah anak-anak kepada kesenian tradisinya. Ada ungkapan: Witing tresna 100 100 jalaran saka kulina atau tak kenal maka tak sayang. Kegiatan pentas kesenian wayang di wilayah tersebut dikandung tujuan pula sebagai upaya mendekatkan kesenian tradisi tersebut di hati para generasi muda dan anak-anak mereka. Berdasarkan pengamatan penulis antusiasme para generasi muda dan anak-anak di wilayah tersebut dalam menyaksikan pertunjukan wayang masih cukup tinggi. Pada sore hari menjelang pertunjukan dimulai biasanya banyak para orang tua yang mengajak anak- anak mereka melihat lihat suasana menjelang pementasan, dan lazimnya ditempat keramaian semacam itu banyak para penjual asongan yang menjajakan dagangannya dengan sasaran anak-anak; dan salah satu dagangan yang dijual tersebut biasanya adalah wayang-wayang kardus. Berdasarkan amatan penulis dan konfirmasi dengan beberapa tokoh masyarakat di wilayah tersebut mereka membenarkan jika masih banyak anak-anak yang tertarik untuk minta dibelikan wayang-wayang kardus tersebut kepada orang tuanya. Anak-anak menyaksikan pertunjukan wayang biasanya relatif tidak melewati pukul 22.00 Wib. setelah selesai perang gagal dengan alasan ngantuk. Namun berdasarkan informasi di lapangan ternyata masih banyak para orang tua yang kemudian membangunkan anak-anak mereka kembali untuk diajak menyaksikan pementasan wayang ketika menjelang dini hari sampai selesai. Upaya demikian dilakukan para orang tua warga masyarakat di wilayah tersebut dalam menjaga kelestarian tradisinya, dan berupaya agar kesenuian wayang tersebut tetap terpatri di hati para anak-anaknya. 101 101 6 Sebagai media pendidikan bagi warga masyarakat agar dapat memiliki budi pekerti yang baik sebagaimana yang dituntunkan dalam pagelaran wayang tersebut. Wayang adalah sumber nilai bagi budaya Jawa, dan para warga masyarakat Mayangsari dan sekitarnya masih meyakini itu. Dalam pertunjukan wayang tersebut terdapat tuntunan berperilaku hidup, khususnya yang menyangkut aspek budi pekerti dan kesantunan hidup. Para tokoh masyarakat di wilayah tersebut memahami bahwa seluruh aspek yang ada pada pagelaran wayang kulit terdapat nilai edukasi, baik pada tata sungging perwujudan dari masing-masing tokoh, tata karawitan yang memiliki tata dinamika dalam pengaturan pathet dari awal sampai akhir, tata istrumen gamelan yang memiliki nama dan karakteristik masing-masing, tata pakeliran dengan keagungannya digelar seluruh aspek visual sebagai refleksi sibol kesemestaan yang mempesona, tata cerita dengan permainan alur-alurnya menggunakan dramaturgi yang spesifik sebagai refleksi simbolik pencarian dan pencapaian jati diri manusia Jawa, tata sastra adalah seluruh aspek yang di narasikan dalang untuk menghidupkan tokoh-tokohnya. Dll; semuanya itu sarat dengan nilai edukasi. 7 Sebagai media untuk mengikat tali kebersamaan, kerukunan, dan kegotongroyongan para warga masyarakat. Salah satu esensi nilai tradisi Jawa adalah guyub, dalam pelaksanaan perhelatan pagelaran wayang inilah ekspresi keguyuban tersebut dapat dirasakan. Sebagai mana penuturan beberapa informan yang menjadi tokoh di wilayah tersebut menyatakan 102 102 bahwa pelaksanaan kegiatan apitan yang ditandai dengan pergelaran wayang kulit itu adalah produk dari rembuk warga. Mulai dari menentukan waktu, tempat, dalang, cerita, pengadaan perlengkapan, undangan, perijinan, serta besarnya dana yang harus diiur warga ditentukan dengan dasar musyawarah. Hal demikian bisa dipahami jika perhelatan apitan bagi warga masyarakat tersebut adalah bentuk ekspresi sosial dari rasa kebersamaan mereka untuk bersama-sama menjunjung tinggi nilai tradisinya. Berdasarkan informasi dari Tetua masyarakat di beberapa wilayah yang menyelenggarakan pergelaran wayang dalam rangka apitan tersebut Panjangan, Kembangarum, dan Kalipancur merasakan bahwa keguyuban warga relatif terjaga sebagai dampak positif dari perhelatan apitan. 8 Sebagai ungkapan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Mahaesa atas kemurahan dan berkah yang telah diberikan, dengan harapan semoga kesejahteraan, berkah, dan keselamatan akan senantiasa diberikan Tuhan di masa-masa kemudian. Pergelaran wayang kulit yang diselenggarakan dalam rangka apitan di wilayah sekitar Mayangsari terdapat di tiga titik kegiatan, yaitu di wilayah Panjangan, Kembangarum dan Kalipancur. Walaupun wilayah-wilayah tersebut masing-masing terpisah secara administratif akibat pemetaan wilayah tahun 1994, namun terikat secara kultural. Keberadaan Ny. Sepapah dan Ki Bejotaruna di masa lalu menjadi pijakan dalam melaksanakan tradisi di masyarakat tersebut, 103 103 yang sekaligus menjadi pengikat orientasi dalam melaksanakan hajatan apitan di tempat masing-masing. Beberapa cerita yang pernah dipentaskan dalam pergelaran wayang kulit tersebut antara lain; Sesaji Raja Suya, Wahyu Mahkuta Rama, Gathotkaca Winisuda, Petruk Gugat, dll; dan beberapa dalang yang pernah mayang di wilayah tersebut antara lain: Alm. Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, Ki Joko Edan, Ki Agus Tri Bojo dan kebetulan di wilayah Kembangarum sendiri terdapat dua dalang yang relatif sering digunakan pada akhir-akhir ini; yaitu Ki Surata dan Ki Rusmanto. Selain untuk keperluan ritual apitan, pertunjukan wayang dilakukan juga oleh warga masyarakat tertentu yang kebetulan punya hajat perkawinan putranya dan kebetulan juga memiliki dana cukup untuk penyelenggaraan itu; paling tidak dalam waktu lima tahun terakhir telah dua kali diselenggarakan kegiatan wayangan atas nama pribadi di wilayah tersebut. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan apitan yang ditandai dengan pergelaran kesenian wayang kulit pada dasarnya memberi konstribusi besar bagi tetap lestarinya kebudayaan Jawa di wilayah Mayangsari dan sekitarnya dan dapat dikatakan sebagai upaya taktis dalam rangka proses inkulturasi nilai budaya tersebut kepada anak-anak dan masyarakat lebih luas.

5.2.4 Kegiatan Pelatihan Kelompok Karawitan