123
123 dinamis, trend tertentu, materialis, massa, dan seragam, telah berpengaruh besar
pada kehidupan anak-anak dengan segala aspeknya. Pengaruh tersebut sudah barang tentu berada pada kondisin tarik-menarik dengan upaya membumikan
nilai-nilai tradisi bagi sekelompok masyarakat yang masih peduli untuk melestarikan kebudayaan tradisinya melalui berbagai cara.
6.2 Faktor Pendukung
Berbagai faktor pendukung proses enkulturasi nilai tradisi budaya Jawa di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, antara lain adalah:
6.2.1 Masih dimilikinya kesetiaan yang relatif baik para orang tua di wilayah tersebut terhadap kebudayaan tradisinya. Indikator kesetiaan tersebut paling tidak
dapat dilihat dari berbagai kegiatan ritual yang mereka selenggarakan. Kegiatan ritual tersebut yang diselenggarakan dalam keluarga berkenaan dengan berbagai
acara selamatan dan syukuran sesuai dengan kepentingannya, maupun ritual yang dilaksanakan sebagai ekspresi sosial yang sarat dengan nilai-nilai tradisi.
6.2.2 Masih dimilikinya ikatan sosial yang cukup baik dalam kehidupan masyarakat, sehingga keberadaan mereka menjadi sebuah keluarga besar yang
masih memiliki hubungan emosional yang cukup baik. Dengan pranata-pranata sosial yang ada pada mereka, dan ketaatan mereka pada konvensi yang mengatur
kehidupan mereka, paling tidak menjadi sarana yang relatif kondusif bagi terciptanya iklim kebersamaan, dan terciptanya sebuah sistem yang integral untuk
mengkondisikan dan mengatur kebudayaannya mereka sendiri.
124
124 6.2.3 Masih dimilikinya jaringan sosial yang baik antara warga masyarakat
Mayangsari dengan masyarakat disekitarnya, yang sama-sama memiliki kaerakteristik sosial yang relatif sama, dan orientasi nilai-nilai kehidupan ideal
yang relatif sama. Dengan begitu ketika mereka memikul sebuah permasalahan sosial seakan-akan permasalahan tersebut dipikul bersama-sama oleh sebuah
kelompok masyarakat yang besar; dengan demikian mereka tidak merasa sendiri. 6.2.4 Sekolah tempat anak-anak belajar masih memiliki kesetiaan yang baik untuk
menanamkan nilai-nilai luhur kebudayaan mereka, khususnya dalam memelihara kesantunan, termasuk didalamnya adalah diajarkannya bahasa Jawa dengan segala
aspek kebudayaannya sebagai muatan kurikulum.
6.2.5 Terkondisinya iklim kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya yang pada dasarnya masih memiliki sikap religiusitas yang relatif tinggi. Kristen-
Jawa, Islam-Jawa, pencapaian nilai harmoni beserta nilai-nilai yang diidealkan dalam kehidupan religi mereka sejalan dengan nilai-nilai kulturalnya. Konsep
tentang: rukun, asih mring sasama, kurmat mring wong liya, eling lan waspada, dadi bocah sing alus, aja kasar dll serta orientasi pada pencapaian nilai spiritual
dalam segala tindakan, antara kehidupan religi dengan nilai kultural berada pada kesejajaran. Dengan demikian tindakan dalam upaya pelestarian nilai-nilai tradisi
tersebut pada dasarnya tidak berseberangan dengan penanaman nilai religi dalam kehidupan masyarakat. Sinkritisme antara agama baik Islam maupun Kristen
dengan budaya di wilayah tersebut berjalan dengan baik, indikator yang paling gampang ditengarahi dengan masih banyaknya kegiatan ritual dalam bentuk
125
125 kenduri dengan sajian makanan tertentu sesuai dengan khajatan masing-masing
namun dalam pelaksanaannya senantiasa menggunakan do’a yang diajarkan dalam tuntunan agama. Disamping itu tingkat kesadaran masyarakat untuk saling
menghormati antar kehidupan beragama di wilayah tersebut sangat baik. Faktor keharmonisan kondisi sosial tersebut, hemat penulis menjadi atmosfer khusus
yang memberi konstribusi besar bagi terjaganya stabilitas budaya serta memudahkan terjalinnya hubungan yang integral dari seluruh aspek yang berada
pada rajutan sistem kulturan di wilayah tersebut.
126
BAB 7 UNGKAPAN GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK
7.1. Pemilihan Tokoh Wayang
Dari hasil treatment yang dilakukan kepada Siswa Kelas VI Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang, dalam kegiatan menggambar
wayang, ternyata 90 memilih ikon tokoh yang berkarakter baik. Tokoh-tokoh itu antara lain: Bima atau Werkudara, Puntadewa, Arjuna, Gathotkaca, dan Para
Punakawan Semar, Gareng Petruk dan Bagong. 5 menggambar tokoh Putren dan binatang, dan 5 menggambar tokoh jahat, antara lain; Buta Cakil dan
Dewi Durga. Dari kecenderungan pemilihan ikon tokoh baik tersebut dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya mereka masih ada keterikatan emosi dengan persepsi simbolik yang dicitrakan oleh tokoh-tokoh dalam pewayangan; mereka masih
memiliki kesadaran untuk menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dan pilihan itu ternyata masih berpihak pada yang baik. Disamping itu anak-anak
masih memiliki kedekatan dengan imaji nilai dari sosok yang ditawarkan dalam pewayangan.
Anak-anak masih memiliki rasa kekaguman terhadap pesona keindahan, kebagusan, dan kegagahan yang dimiliki oleh beberapa tokoh wayang, dan dalam
proses pembuatan gambar wayang tersebut nak-anak tidak saja konsentrasi menggambar saja namun ungkapan ekspresinya total; terdengar mulut mereka
menirukan irama musik yang lazimnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan