25
25 orang harus mnyesuaikan diri dengan harapan; bisa bekerja sama, ambil bagian,
sopan, mengetahui aturan, bersikap santun, menghormati yang lebih tinggi dan bersikap baik terhadap yang lain dalam herarki yang lebih rendah dan seterusnya;
amatlah penting untuk menjaga kedudukan seseorang dan untuk memperoleh pengakuan sosial. Ditariknya pengakuan sosial, merupakan sanksi efektif untuk
menghukum orang-orang yang berperilaku menyimpang dalam masyarakat; seperti terlihat dalam praktek jothakan, disengiti dll. Niels Mulder, 1984:64.
Dengan begitu maka bagi orang Jawa diterima dalam kelompoknya berarti rasa aman, dan tidak diterima oleh kelompoknya menjadi tidak aman, takut, dan akan
menderita. Dari pikiran-pikiran terebut kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
dalam kehidupan masyarakat Jawa, kolektivitas demikian sangat penting. Eksistensi masing-masing pribadi adalah representasi dari kehidupan kolektifnya,
dan ekisistensi kondisi sosio kulturalnya adalah representasi dari pribadi-pribadi anggota masyarakatnya. Antara individu dengan lingkungannya baik yang bersifat
fisik maupun sosial, telah menjadi satu jalinan yang homogen dan integral.
2.3. Estetika Budaya Jawa
Menurut etika Jawa sebagaimana terurai di atas, bahwa tindakan manusia harus mengarah pada pemeliharaan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
dengan masyarakat dan jagad raya sebagai nilai tertinggi. Tindakan seseorang dianggap benar jika tetap memperhatikan kaidah-kaidah keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan tersebut, dan dianggap keliru jika tindakan seseorang tersebut
26
26 dapat mengganggu hukum keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan
lingkungannya; yang dimungkinkan dapat berakibat munculnya ketidaktenangan, kebingungan, dan ketidakadilan dalam lingkungan masyarakatnya.
Moralitas demikian pada dasarnya menjadi esensi dalam estetika budaya Jawa. Magnis Suseno 1996: 212 menandai ada dua kata kunci yang
dipergunakan dalam etika dan estetika Jawa untuk mengatur semua unsur lahir dan batin, yaitu kategori alus halus dan kasar
Dalam budaya Jawa mengenal kata alus, yang mengungkapkan kehalusan dalam kelakuan, kesopanan, dan menunjuk kualitas dari sebuah ungkapan karya
seni bathikane alus, tatahane alus, garise alus, wiramane alus, dsb. Sedangkan kata kasar dipergunakan untuk menunjukkan karakteristik ungkapan yang
berkebalikan dengan kata alus. Halus adalah tanda keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang sempurna. Apabila masyarakat berada dalam kondisi
demikian maka semuanya akan berjalan dengan baik dan tenang. Sikap dan perilaku seseorang yang disebut alus adalah orang yang telah dapat mengontrol
jasmaninya dan telah mengatur batiniahnya, sehingga ia akan mencapai rasa yang benar. sebaliknya perilaku kasar adalah tanda ketidakmampuan mengontrol diri
dan ketidakmatangan pribadi. Dengan begitu maka sekaligus dapat disimpulkan bahwa kata alus memiliki makna, yang paling baik, kesempurnaan, kekuatan;
sedangkan kata kasar memiliki makna, yang buruk, kurang, dan lemah. Istilah seni dalam budaya Jawa disebut kagunan, sejalan dengan pikiran di
atas dapat ditengarai bahwa kagunan Jawa baik pada manifestasi gerak tari, musik
27
27 gamelan, tembang, karya seni rupa kerajinan, dll. pada dasarnya
merepresentasikan karaktristik yang bersifat ngrawit, rumit, dan involutif. Dengan bertitik tolak dari karakteristik esensi estetika Jawa tersebut maka
dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kualitas gejala gambar wayang buatan anak-anak, dengan kriteria sebagai berikut:
2.3.1 Semakin rinci elaboratif ungkapan bentuk gambar, maka akan semakin halus; dan jika ungkapan gambar menunjukkan kecenderungan yang lakar saja
tidak rinci akan semakin kasar. 2.3.2 Sifat garis yang banyak mengeksploitir ungkapan garis lengkung 0dan
menunjukkan elastisitasnya, maka sifaf garis tersebut akan semakin halus; dan garis yang cenderung patah-patah, kaku akan cenderung menunjukkan sifat kasar.
2.3.3 Ungkapan garis yang bersifat lancar dan yang dibuat dengan penuh perasaan akan mengesankan sifatnya yang lebih halus, dibanding garis yang dibuat secara
tersendat. 2.3.4 Ungkapan gambar yang dibuat dengan isian atau ornamen yang cenderung
penuh akan menunjukkan sifatnya yang semakin halus; dan ungkapan gambar yang cenderung dengan ungkapan yang hanya sederhana akan menunjukkan sifat
yang kasar. 2.3.5 Gambar yang dibuat cenderung memenuhi bidang gambar akan
menunjukkan sifatnya yang halus; sedangkan gambar yang dibuat kecil dan tidak cukup menguasai bidang gambar maka menunjukkan sifatnya yang kasar.
2.3.6 Warna yang dibuat dengan rincihan warna dengan tingkat gradasi semakin banyak akan menunjukkan sifatnya yang halus, dan warna yang dibuat tidak
28
28 dalam kecenderungan mengurai warna, atau warna hadir dalam keadaan terpisah-
pisah dengan hue masing-masing maka akan cenderung menunjukkan sifatnya yang kasar.
Dengan demikian maka kaidah-kaidah estetika yang digunakan untuk mengkaji gejala kesenian Jawa, dalam hal ini gambar-gambar wayang buatan
anak-anak, menggunakan koridor estetika tersebut di atas. Sejalan dengan esensi estetika Jawa pada pikiran tersebut, menarik untuk mempertimbangkan pendapat
Beadsley dalam Smith. 1989: 218 yang menyatakan bahwa ada tiga ciri yang menjadi sifat-sifat membuat baik indah dari benda benda estetis yaitu: 1 Aspek
kesatuan unity. 2 Aspek kerumitan complexity. 3 Aspek kesungguhan intensity
Aplikasinya dalam kajian nilai estetis pada kasus penelitian ini, bahwa kualitas gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Siti Sulaekhah dalam konteks
gambar tersebut sebagai ekspresi estetis masyarakat yang berbudaya Jawa, akan dapat dijelaskan dengan menakar kadar kehalusan ungkapan bentuk secara
struktural yang dibangun dari unsur-unsur visualnya . Disamping itu memperhatikan: 1 Makna kesatuan secara keseluruhan, keterkaitannya dengan
aspek intrinsik keartistikan bentuk dan aspek ekstrinsik atau nilai-nilai dibalik perwujudannya itu. 2 Aspek kerumitan, adalah ungkapan bentuk, maupun teknik
yang digunakan dalam memanipulasi media; yang menjadikan kehadiran karya tersebut menjadi unik, rumit dan involutif kecenderungan karakteristik ekspresi
yang lebih bersifat ke dalam . 3 Aspek kesungguhan, adalah kualitas kondisi
29
29 yang dicapai saat proses kegiatan berlangsung. Data yang mengindikasikan aspek
kesungguhan tersebut diperoleh saat observasi, amatan terhadap efektivitas waktu yang digunakan pada saat proses menggambar, serta suasana batin yang
melingkupi saat kegiatan berlangsung; disamping amatan terhadap hasil karya itu sendiri.
2.4. Kesenian Wayang Dalam kebudayaan Jawa