Kesenian Wayang Dalam kebudayaan Jawa

29 29 yang dicapai saat proses kegiatan berlangsung. Data yang mengindikasikan aspek kesungguhan tersebut diperoleh saat observasi, amatan terhadap efektivitas waktu yang digunakan pada saat proses menggambar, serta suasana batin yang melingkupi saat kegiatan berlangsung; disamping amatan terhadap hasil karya itu sendiri.

2.4. Kesenian Wayang Dalam kebudayaan Jawa

Kedudukan kesenian wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa tak sekedar sebagai bentuk ekspresi estetis semata, sebab bagi kehidupan masyarakat Jawa antara falsafah dan wayang sebenarnya tak dapat dipisahkan; karena dalam kesenian wayang mengambil ajaran-ajaran dari sistem-sistem kepercayaan dan wayangpun menawarkan berbagai macam falsafah hidup yang bersumber dari sistem-sistem tersebut. Sumber-sumber falsafah tersebut dapat ditarik benang merahnya dengan konstruk teoritikalnya bahwa, ‘hidup harus didasarkan pada kebenaran’. Dunia pewayangan telah ikut serta mendewasakan masyarakat dengan jalan membekalinya dengan konsepsi-konsepsi yang mudah dihayati dan diresapkan dalam menghadapi persoalan hidup. Filsafat pewayangan membuat para pendukungnya merenungkan hakikat hidup, asal dan tujuan hidup, Manunggaling kawula Gusti hubungan gaib antara dirinya dengan Tuhan , kedudukan manusia dalam alam semesta dan sangkan paraning dumadi atau kembali ke asal mula yang dilambangkan dengan tancep kayon Sang Dalang pada akhir pergelaran. Haryanto. 1991: 2. 30 30 Sebagai pertunjukan yang multidimensional, wayang dapat dikatakan memiliki fungsi komunikatif, disamping bidang studi filsafat, teologi, psikologi, karaktereologi, pedagogi, sosiologi, kultural, literatur sastra, serta dramatologi. Selain itu pertunjukan wayang dapat digolongkan sebagai karya seni yang di dalamnya memiliki muatan seni sastra dan teater, seni karawitan dan tari, serta seni rupa pada bentuk peraga-peraganya. Disamping itu telah beberapa abad yang lalu dunia wayang telah menarik perhatian para cendikiawan sebagai objek studi menurut disiplin ilmu masing-masing, namun keunikan dalam berbagai aspek yang terkandung di dalamnya tiada habis-habisnya untuk diteliti dan dibahas. Satoto dalam Haryanto. 1991: 2 Esensi dari segala cerita yang dikembangkan dalam pertunjukan wayang senantiasa merepresentasikan nilai bahwa kebenaranlah yang senantiasa harus dikedepankan dalam kehidupan Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti = Keangkaramurkaan itu pada dasarnya akan binasa oleh kebenarankeutamaan. Di dalam wayang kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan. Dan untuk mendapatkan kebenaran sejati manusia harus mencapai kesadaran sejati, untuk mencapai ini manusia harus memiliki ilmu dan pengetahuan sejati. Untuk mencapai ilmu sejati manusia harus memahami kenyataan sejati, dan untuk melakukan yang terakhir ini manusia harus melakukan dua hal yaitu: menyiapkan jiwa dan raganya sehingga menjadi manusia yang kuat dan suci, dan manusia harus memohon berkah Tuhan agar dirinya dapat terbuka bagi masuknya hal-hal di atas. Konsep ilmu dalam budaya Jawa bukan sesuatu yang dicapai semata menggunakan penalaran dan rasio, sebab pada suatu saat rasio itu akan berhenti dan manusia harus 31 31 menggunakan rasa sejati. Dengan ini manusia akan dapat melihat kenyataan hakiki tentang dirinya, asal mula dirinya, asal mula kehidupan, kemana tujuan hidup; yang lazim dalam wayang disebut Sangkan paraning dumadi asal mula dan akhir kehidupan. Timur, 1990. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa esensi kesenian wayang kedudukannya dalam budaya Jawa adalah sebuah sistem filsafat kejawen yang mengajarkan pada manusia kesadaran akan sangkan paraning dumadi. Yang didasarkan pada lima prinsip: rasa sejati, kenyataan sejati, ilmu sejati, kesadaran sejati, dan kebenaran sejali. Kelima hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian maka wayang adalah menjadi pedoman perilaku darma hidup manusia Jawa dalam rangka meniti sangkan dan paran menuju Yang Sempurna dan Yang Abadi Tuhan. Kias nilai filosofis dalam kesenian wayang tersebut dapat ditemukan antara lain: Tingkat kedewasaan manusia, berturut turut dalam tahap karma, darma, bakti, dan moksa. Watak manusia yang berperan mewujudkan peri kelakuannya dalam lakon, seperti kesatriya, raksasa, dur angkara. Penggambaran watak dalam tiap tokoh wayang tercermin dari bentuk dan warna. Penyusunan struktur pergelaran wayang semalam suntuk, dengan pola adegan atau alur tertentu. Iringan karawitan dengan pathet dan gendhing-gendhing yang sarat dengan kias nilai-nilai kehidupan. Abdullah, 1980. Filsafat Jawa telah dimanifestasikan dalam seni pewayangan, atau dapat dikatakan bahwa acuan peri laku kehidupan masyarakat Jawa adalah kesenian wayang itu sendiri. Karena begitu besarnya peran wayang di dalam kehidupan masyarakat Jawa, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kesenian wayang merupakan 32 32 identitas utama manusia Jawa. Manusia Jawa gemar beridentifikasi dengan tokoh- tokoh wayang tertentu dan bercermin serta bercontoh padanya dalam melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-harinya. Identifikasi diri tersebut khususnya terhadap tokoh-tokoh Pandhawa Puntadewa, Bima, Arjuna, Nangkula dan Sadewa , Para anak Pandhawa Gathotkaca, Antasena, Abimanyu Dll. Kresna, Baladewa, Para Punakawan Semar, gareng, Petruk, dan Bagong, dan adapula identifikasi diri terhadap tokoh yang bentuknya buruk bukan manusia tetapi berhati baik yaitu: Hanoman berbentuk kera, dan Kumbakarna berbentuk raksasa. Disisi lain tak pernah dijumpai manusia Jawa beridentifikasi diri terhadap tokoh tokoh jahat seperti para tokoh Kurawa Durna, Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dll.. Pemilihan tokoh-tokoh tersebut senantiasa dipertimbangkan dengan harapan semoga watak terpuji yang dimiliki tokoh- tokoh wayang tersebut terwarisi oleh pemilik nama. Hal tersebut sebagai hasil pertimbangan magis-religius belaka dan kadang tidak dapat diikuti secara logika. Walau isi cerita wayang itu berasal dari India namun terdapat perbedaan yang hakiki dalam perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam keyakinan mitologi, legenda dan sejarah, sedang di Jawa Cerita itu menyimbolkan perilaku watak-watak manusia dalam mencapai tujuan hidup. Pemahaman nilai-nilai simbolik tersebut sangat tegantung pada subjektifitas penghayatnya, yang dimungkinkan masing-masing akan berbeda kondisi internal dan eksternalnya; namun dalam menyaksikan pertunjukan wayang masing-masing akan ‘menikmati’ dan mendapatkan sesuatu dari yang disajikan dalam pergelaran wayang tersebut. 33 33 Dalam pergelaran kesenian wayang, induk cerita yang dipakai adalah Ramayana dan Mahabarata. Keduanya memiliki inti ajaran: 1 Aklak dan moral, yaitu mengajarkan bahwa segala sifat yang terpuji akan mendapatkan kebahagiaan dan sifat tidak terpuji akan menemui kehancuran. 2 Kepahlawanan, yaitu mengajarkan keberanian untuk membela kebenaran. 3 Kenegaraan, yaitu tentang bagaimana negara harus diatur dan bagaimana negara harus bertindak mengatasi masalahnya. 4 Filsafat, yaitu ajaran mencari hakekat hidup yang sejati. Cita-cita hidup, yaitu mengandung ajaran hidup untuk dapat memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akherat.5 Ketuhanan, yaitu adanya ajaran untuk percaya adanya kekuatan-kekuatan di luar kekuatan manusia; dan pemahaman tentang ‘sangkan paraning dumadi’. Dalam menyampaikan ajaran tersebut disampaikan dengan pendekatan langsung dan tidak langsung, atau secara tersurat, tersirat atau simbolik. Sejalan dengan pendapat di atas, Mulyono 1979: 14 mengatakan bahwa kesenian wayang merupakan manifestasi peradaban, moralitas pandangan hidup, dan sikap religius masyarakat pendukungnya; sekaligus mencerminkan peranan yang fungsional dalam kehidupan masyarakat . Wayang telah menjadi bagian sistem dalam kebudayaan Jawa, dan yang sekaligus sebagai acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat. Bentuk fisik wayang merupakan karya seni rupa simbolik, yang menyiratkan berbagai karakter-karakter manusia; yang memiliki dimensi: Fisiologis, ialah ciri-ciri badani yang memiliki keartistikan sebagai karya seni perpaduan antara seni ukir dan seni sungging. Psikologis, ialah ciri-ciri kejiwaan 34 34 atau karakter yang dimiliki oleh masing-masing tokoh. Sosiologis, ialah ciri-ciri yang menyangkut status dan kedudukan dalam tata kemasyarakatan Satoto, 1985: 19. Tokoh-tokoh dalam wayang tersebut dikelompokkan menjadi empat yaitu: satria halusan, gagahan, wanita, dan raksasa. Dan dengan tambahan para Punakawan dan beberapa sosok binatang. Masing-masing karakter tokoh-tokoh tersebut dibedakan oleh ciri-ciri ukuran dan bentuk tubuh, rincian pada feature bentuk hidung, mata, dan mulut, warna, dan atribut-atribut lain yang digunakan. Dari penggunaan atribut-atribut tersebut sekaligus dapat dikenali kedudukan wayang tersebut berada pada strata sosial yang bagaimana Satria, Raja, Begawan, Dewa, Prajurit, Punakawan, Putri, dll . Dan dari penggunaan warna pada wajah, dapat pula diidentifikasi beraneka karakter yang saling berbeda, yang dengan istilah khusus disebut sebagai wanda. Halus dan kasarnya karakter wayang pada dasarnya ditentukan oleh ciri- ciri fisik yang dimiliki masing-masing tokohnya. Haryanto, S 1991: 25 membagi karakteristik wayang klasik menjadi empat yaitu: jenis wanita putren, satria halusan, satria gagahan, dan raksasa. Disamping klasifikasi tersebut sebenarnya masih ada kelompok wayang yang memiliki ciri khusus, yaitu para punakawan dan kera. Kekhususan ciri pada dua kelompok wayang tersebut yaitu pada perbentukanya yang secara fisik mendekati gejala bentuk tokoh berkarakter jahat, namun dalam konteks cerita tokoh-tokoh tersebut malah selalu berbuat baik. Ciri-ciri khusus dari bentuk wayang putren pada dasarnya dapat dikenali dari: bentuk hidung walimiring, mata gabahan, mulut minkem, bertutup 35 35 kepalairah-irahan sesuai dengan ciri masing-masing, memakai dodot putren, dodot putren gaya Surakarta ujung kainnya menjorok ke belakang seolah-olah wayang tersebut sedang berjalan, sedangkan dodot putren gaya Yogyakarta ujung kain terebut menjorok ke depan seolah-olah wayang tersebut sedang berdiri diam dengan posisi punggung agak membungkuk , dan posisi kaki jangkahan alus.Tutup kepala atau irah-irahan putren pada dasarnya lebih banyak menggunakan bentuk gelung dengan berbagai jenisnya, antara lain: gelung ukel keyongan, gelung ukel keyongan ber-jamang dan ber-gurdha, gelung ukel kembang, gelung endhel, dan gelung malang; disamping masih ada bentuk irah- irahan yang lain dalam bentuk kethon, sebagaimana yang banyak dipakai oleh wayang putren gaya Yogyakarta. Gambar: 1 Profil wayang putren 36 36 Hidung walimiring, mata gabahan, mulut mingkem Gambar: 2 Dodot wayang putren gaya Surakarta dan Yogyakarta 37 37 Gambar: 3 Berbagai bentuk gelung wayang putren 38 38 Gambar: 4 Dewi Shinta gaya Yogyakarta memakai irah-irahan kethon. Karakter satria alusan ditandai dengan ciri-ciri: wajah merunduk ke bawah atau mendatar, bentuk hidung walimiring, mata gabahan liyepan atau kedhelen, mulut mingkem, dengan tutup kepala irah-irahan sesuai dengan ciri tokoh masing-masing, memakai bokongan, dan posisi kedua kaki jangkahan alus. Tutup kepala jenis satria alusan ini antara lain: bentuk topong Karna, Sentanu, Dasarata, dll, bentuk makutha ,Kresna, Ramawijaya, Wisnu, dll, bentuk gelung sanggul supit urang Arjuna, Nakula, Sadewa, dll. Bentuk gelung keling dapat dilihat pada tokoh Puntadewa, Destarastra, Yamawidura, dll. 39 39 Gambar: 5 Profil wayang alusan berkarakter halus Hidung walimiring, dengan bentuk mata gabahan, dan kedhelen, Gambar: 6 Bentuk bokongan dengan posisi kaki jangkahan alus 40 40 Gambar: 7 Berbagai bentuk tuup kepala tokoh satria alusan 41 41 Gambar: 8 Contoh wayang satria alusan Arjuna Karakter tokoh satria gagahan dengan ciri-ciri sebagai berikut: Wajah merunduk atau mendatar, bentuk hidung bentulan, mata kedhondhong peten atau thelengan, mulut minkem atau gusen tanpa taring, memakai tutup kepalairah- irahan sesuai tokoh masing-masing makutha pada Baladewa, gelung supit urang pada Bima, gelung keling pada Gandamana, gelung bundel ber-garudha mungkur pada Bratasena, dll dan posisi kedua kaki jangkahan. 42 42 Gambar: 9 Profil wayang gagahan hidung bentulan, mata kedhondhong, dan thelengan Gambar: 10 Busana dodot wayang gagahan, dan bentuk rapekan dengan posisi kaki jangkahan gagah 43 43 Gambar: 11 Berbagai bentuk tutup kepala wayang gagahan 44 44 Gambar: 12 Beberapa tokoh wayang gagahan Karakter tokoh wayang raksasa dengan ciri-ciri sebagai berikut: Bentuk hidung wungkal gerang pelokan, mata plelengan dengan satu mata atau dua mata, mulut mingkem gusen bertaring atau mulut mangap gusen bertaring, bentuk tutup kepala irah-irahan sesuai dengan ciri tokoh masing-masing, dan 45 45 posisi kedua kaki jangkahan. Disamping hal tersebut terdapat ciri yang lain pula yaitu pada tangan belakang kebanyakan tokoh raksasa menyatu dengan badan, namun ada pula beberapa tokoh yang kedua tangannya diurai pisah dari badannya Buta Cakil, dan Rahwana gaya Jogya. Gambar: 13 Profil wayang tokoh raksasa Hidung wungkal gerang atau pelokan, mata thelengan, mulut gusen bertaring 46 46 Gambar: 14 Busana bentuk dodot, dan bentuk rapekan tokoh raksasa dengan posisi kaki jangkahan 47 47 Gambar: 15 Berbagai bentuk tutup kepala tokoh raksasa 48 48 Gambar: 16 Beberapa tokoh raksasa 49 49

2.5. Gambar Kerangka Berpikir