banyak dari beratnya sendiri. Perubahan ini terjadi pada selang suhu yang sangat kecil yang disebut selang suhu gelatinisasi.
Proses pemasakan pada bahan yang mengandung pati menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati. Pati yang mengalami pemasakan
merupakan salah satu bentuk dari pati termodifikasi. Dengan pemasakan didapatkan produk yang memiliki sifat lebih mudah menyerap dan
mengembang dalam air dingin Vieira, 1997.
3. Pemanfaatan Sagu
Sagu telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok dan penyerta ataupun nyamikan dengan beragam kue di kepulauan Maluku sejak ratusan
tahun yang lalu. Sebagai bahan pangan, sagu mempunyai keunggulan komparatif terhadap bahan pangan lain, antara lain yaitu dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim serta resiko terkena penyakit tanaman kecil Djoefrie, 1999.
Beberapa penelitian tentang diversifikasi pangan sagu oleh beberapa instansi telah dilakukan, hasilnya mempunyai prospek untuk dikembangkan
lebih lanjut. Pembuatan empek-empek, bakso, mie, so’un dan makanan kecil seperti kue kukus, kue bolu, kue lapis, onde-onde, dodol dan cendol dari sagu
telah dapat diterima masyarakat Djoefrie, 1999. Hasil penelitian Sidik 1990, menunjukkan bahwa peningkatan
jumlah tepung sagu yang ditambahkan pada selang
5-15 dapat
menurunkan kadar air, kadar urea serta kadar protein bakso ikan cucut sebelum digoreng. Namun demikian, daya cerna protein dan derajat reaksi
pencoklatan enzimatis dari bakso goreng tidak dipengaruhi oleh peningkatan jumlah tepung sagu yang digunakan.
Pembuatan roti tawar dan mie basah dengan mensubstitusi terigu dengan sagu sebesar 10-50 dan 0-40 dilakukan oleh BPPT Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Hasilnya substitusi pati sagu sampai 30 masih disukai panelis uji organoleptik Pangloli dan Royaningsih, 1992
dikutip oleh Djoefrie, 1999. Pangloli dan Royaningsih sebelumnya telah mencoba mensubstitusi terigu dengan sagu untuk pembuatan biskuit dan
cracker. Substitusi sampai 30 untuk pembuatan biskuit dan 20 untuk
pembuatan cracker ternyata masih disukai panelis terutama mengenai warna, rasa, dan kerenyahannya. Sebelumnya Clark et al. 1977 dikutip oleh
Djoefrie 1999 menyatakan bahwa substitusi tepung gandum dengan tepung terigu sebanyak 10 tidak mempengaruhi mutu roti terutama tekstur dan
rasanya. Hasil penelitian Tasman 1981, menunjukkan bahwa penggunaan
tepung sagu dan tepung kedelai pada pembuatan biskuit berpengaruh terhadap aroma, warna dan kerenyahan biskuit. Semakin banyak penggunaan tepung
sagu dan tepung kedelai, aroma dan warna biskuit semakin kurang disukai, sedangkan tekstur biskuit menjadi semakin renyah. Penggunaan tepung sagu
dan tepung kedelai dengan perbandingan 7 : 3 menghasilkan biskuit dengan rasa, aroma dan warna yang dapat diterima, serta mempunyai kerenyahan
yang lebih baik dari pada biskuit dengan bahan terigu dan susu. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa makin banyak tepung sagu dan tepung
kedelai yang ditambahkan menyebabkan kadar air rendah dan penyerapan air tinggi, namun tidak berpengaruh terhadap kadar lemak dan kadar gula biskuit.
Ngadiwijaya dan Amos 1996 dikutip oleh Djoefrie 1999, menyatakan bahwa pemanfaatan pati sagu untuk industri pangan telah
dilakukan untuk pembuatan glukosa, alkohol, dekstrin, sirup, kerupuk, makanan ringan dan makanan bayi. Hasil penelitian Santosa 1989 tentang
formulasi makanan sapihan menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan pati sagu, maka semakin besar pula kekambaan produk yang dihasilkan pada
berat bahan yang sama volume produk lebih besar, viskositas semakin tinggi, daya serap air juga semakin semakin tingi. Berdasarkan penelitian Harun
1988, formula 75 pati sagu, 20 kedelai, dan 5 jagung memiliki kerenyahan produk ekstrusi dan nilai gizi yang baik, sedangkan aroma, rasa
dan warna dapat diperbaiki dengan cara menambahkan zat flavor dan pewarna.
B. KEDELAI
Kedelai sebagai bahan makanan mempunyai arti penting dalam penyediaan sumber protein nabati murah. Di Indonesia, kedelai telah
digunakan secara luas untuk pembuatan makanan seperti tahu, tempe, dan
kecap. Disamping itu kedelai juga dapat digunakan sebagai bahan penolong dalam pembuatan roti, kue, donat, dan juga sebagai campuran dalam
pembuatan makanan bayi Hubeis, 1984. Koswara 1992 menyatakan bahwa produk olahan kedelai dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu makanan terfermentasi dan makanan nonfermentasi. Makanan terfermentasi dapat berupa hasil
pengolahan tradisional yang terdapat dan berpotensi di pasaran dalam negeri adalah tempe, kecap dan tauco, sedangkan produk nonfermentasi diperoleh
dari hasil industri tradisional yaitu tahu dan kembang tahu.
1. Komposisi Kimia Kedelai